“Kita tak mungkin melakukan pertarungan terbuka di Astagina,” buka Arya setelah memutuskan menunda perjalanan ke Dipa Kencana.“Apa maksud ibunda dengan ‘dua orang pengguna Wikararupa’, Ayahanda?” tanya Aruna masih menggenggam surat dari Jenar.“Ayah juga tak tahu, Nak. Setahu Ayah, Waradhana-lah pengguna Wikararupa terakhir. Jika memang masih ada dua orang, artinya mereka masih antek-antek Ranajaya!” jawab Arya dingin. Ada kemelut dalam hati yang tak seorang pun dari keempat pemuda di dekatnya itu tahu.“Apa kah kami bisa membantu, Paman?” tanya Perdana.“Benar, kami akan senang dapat membantu Paman dan Aruna, meski pun tak banyak,” sambung Atma sendu. Ketiga pemuda itu seolah sudah memperoleh simpulan untuk membantu Arya dan Aruna meski sama sekali tak melakukan pembicaraan.“Bagaimana denganmu, Aruna?” tanya Arya. Tentu saja pertanyaan pria itu mengacu pada risiko yang akan diterima putranya bila membawa banyak orang dengan Lembat Brabat.Aruna terdiam sejenak. Dahinya mengernyit t
“Membunuhku? Yang benar saja, Arya! Kau memang kuat, tapi sikap rendah hatimu itu membuat kau lemah!” ketus Sakuntala. Pria itu seperti tak punya rasa takut. Ia masih saja terus memancing amarah lawannya meski anak panah api tengah menghunusnya.“Aku mengenalmu. Lebih dalam dari pada kau mengenal dirimu sendiri. Jika suatu waktu kau terlalu sombong dan banyak bicara, biasanya bencana akan datang kepadamu,” ucap Arya seraya menarik talik busurnya kuat-kuat. “Bencana kali ini akan datang dariku!”Sakuntala tertawa lebar sampai mendongak. Ia seperti tak takut lagi dengan api cundhamani yang menyebabkannya kehilangan kaki kiri. Padahal di sekitarnya sama sekali tak ada bantuan prajurit atau orang lain yang bisa menyelamatkan dirinya.“Susul Waradhana dan Ranajaya junjunganmu, Sakuntala!” seru Arya disusul dengan tali busur yang dilepaskan.Aruna memperhatikan peristiwa itu dengan seksama. Apa jadinya bila Cundhamani dilepaskan dalam jarak sedekat itu. Sasra Sayaka-Cundhamani sudah ia saks
“Danapati, tak bisa aku percaya ini. Kau sudah menguasai Astagina, serahkan Jenar padaku. Apa semua ini belum cukup?” seru Arya dengan kekuatan api menyilaukan itu masih dalam genggaman.“Kau panggil aku apa? Danapati? Dimana rasa hormatmu pada Paman? Dasar anak nakal!” hardik Danapati setengahnya meledek. Hal yang membuat Arya semakin tersulut emosinya. Api di tusuk konde emas dalam genggaman semakin membesar, sama seperti amarahnya.“Aku menyesal memberikan tempat untuk seorang pengkhianat!” seru Arya. “Dengan segala kekuasaan ini bahkan kau masih belum merasa cukup!”“Kekuasaan? Aku hanya merasa berkuasa bila telah menumbangkan raja dari kerajaan besar dan menghancurkan sebuah kerajaan kecil. Bukan begitu, Arya?” sindir Danapati dengan tatapan liciknya.Tentu kata-kata Danapati mengacu pada apa yang telah dilakukan Arya di masa lampau. Menumbangkan Ranajaya dan menghancurkan Candikapura. Kerajaan yang sudah sejak lama ingin Danapati kuasai kembali sebagai keturunan terakhir trah Ca
“Kau? Bagaimana mungkin kau ada di sini?” tanya Pitaka tak mengerti. Matanya menatap lekat-lekat Perdana yang kadang mencoba melepaskan diri dari cengkeraman para prajurit.“Tentu saja, kau pikir bagaimana kau bisa di Wedhari Praja? Begitu pun mengapa aku bisa ada di sini!” sahut Perdana sinis.“Bedebah! Untuk siapa kau bekerja?” hardik Pitaka.“Bekerja? Ah, aku baru ingat kalau aku harus bekerja,” ucap Perdana seraya mengatupkan kedua telapak tangan.Puluhan prajurit itu mendadak berjatuhan. Mereka semua mengerang kesakitan, kebanyakan memegangi tangannya yang terasa begitu sakit. Pitaka terbelalak, tak mengerti apa yang terjadi. Namun ia paham bahwa pemuda di hadapannya lah dalang dari semua itu.“Prajurit! Tangkap dia!” titah Pitaka pada lima prajurit tersisa. Kelimanya berjaga di pintu masuk istana milik mendiang Sanggageni itu.Lima prajurit segera menghambur dengan pedang terhunus. Perdana tersenyum seolah sudah memprediksi hal ini. Ia menjentikkan sebatang tombak dengan kaki ka
“Aruna putraku....” lirih Jenar dengan gerakan yang terbatas.“Lepaskan dia, Pangeran Aruna! Atau Gusti Sri Maharani aku habisi!” ancam pria itu. Ia merupakan salah satu dari tujuh pengawal raja pilihan Danapati.“Pengkhianat kau, Paman Suhita! Apa orang ini begitu penting bagi kalian hingga harus menggunakan ibundaku?” hardik Aruna mulai merasakan amarah. Hal yang sudah lama ia hindari dan tekan dalam-dalam.“Prabu Warasena ... kau rupanya,” lirih Jenar mendapati seorang yang tengah tertusuk sinar merah dari tangan putranya.“Huh! Pertemuan ibu dan anak yang menggelikan. Sayang sekali yang datang ke sini bukan anak pandai besi itu. Aku ingin sekali meremukkan tulangnya!” oceh Warasena. Padahal ia sudah tak bisa bergerak dengan luka di dada kanan.“Jadi kau yang merebut Candrapurwa ya? Bagaimana mungkin Paman Danapati bersekutu dengan orang yang membantai keluarganya?” tanya Aruna tak bisa mengerti.Warasena tertawa lirih. Entah bagaimana caranya menjelaskan pada pemuda di hadapannya
“Dulu aku begitu takjub dengan kekuatannya. Dia yang menghancurkan satu-satunya warisan berharga Kakek Anarawan. Tapi dengan perisai kayu sarayu ini, akan kubinasakan putra Gantari ini!” batin Danapati bersiap menyongsong serangan Arya.Menara utama sudah hancur, rata dengan tanah. Tak sedikit prajurit yang tewas. Danapati terus waspada mencari pijakan aman demi menghindari api Cundhamani yang terus membakar puing-puing menara. Patih Astagina itu tak peduli meski lambat laun Astagina akan terbakar habis.Di tengah-tengah puing menara, berdiri pria berselubung api. Napasnya terengah-engah menyemburkan asap putih. Sudah beberapa kali serangannya berhasil ditangkal oleh Danapati. Sepupu Jenar itu tampaknya sudah mempersenjatai diri dengan perisai dan pedang dari kayu sarayu.“Kekuatan ini begitu besar, tak sesuai dengan ketahanan tubuhku sendiri,” keluh Arya memegangi dadanya. Detak jantungnya tak beraturan, semakin lama makin ia rasakan nyeri di organ utamanya itu. Lelaki itu jatuh ber
“Jatiwungu?” seru Jenar. Manik mata perempuan itu membesar. Seorang lelaki diikuti tiga orang prajurit di belakangnya muncul dari kegelapan. Seorang baru saja melepaskan anak panah yang berhasil ditangkal Perdana.“Ampun, Gusti! Hamba benar-benar tidak tahu kalau pemuda ini melindungi Gusti!” seru Senopati Jatiwungu seraya bersimpuh dengan sebelah kaki diikuti tiga prajurit.“Bangun lah, Jatiwungu! Aku justru mengira kau sudah menjadi antek-antek Danapati,” ucap Jenar penuh kelegaan.Pun begitu dengan Perdana. Kuda-kudanya ia batalkan. Ia menghela napas lega. Tak jadi bertarung dengan empat orang penyerang sekaligus melindungi dua orang perempuan. Mengandalkan Mandaraji tentu tak akan cukup.Senopati Jatiwungu bangkit dan mendekat perlahan. Tubuh tegapnya begitu menampakkan diri sebagai seorang punggawa kerajaan besar. Ketiga prajurit di belakangnya tak mungkin prajurit biasa. Paling tidak lebih tinggi dari prajurit tingkat menengah. Dari pakaian yang mereka kenakan, sudah pasti merek
“Lesatan?”Lesatan keemasan meluncur deras melintasi langit di atas kepala mereka, entah mengarah kemana. Arya tersenyum dan memejamkan mata dengan tenang. Meninggalkan Barata dalam kebingungan dan Atma yang mulai kelelahan.“Bagaimana? Apa kau bisa membuat Aruna sadar?” tanya Atma terengah-engah. Pemuda itu bermandikan peluh. Kedua tinjunya mulai gemetar.“Tidak, dan sekarang Paman Arya juga tak sadarkan diri,” keluh Barata.“Bagus! Bagaimana caranya membawa dua orang terluka pergi dari tempat berpagar tinggi dan berbahaya ini?” tambah Atma. Ia menghela napas panjang sambil memandangi kedua tangannya.Pasukan Andanu kembali membentuk barisan. Beberapa yang terjatuh dan terperosok sudah kembali bergabung dengan rekan-rekannya. Dari tempat duduknya tampak Danapati menyeringai menahan sakit atas kaki kanannya yang sudah selesai mendapatkan pengobatan dari tabib istana. Ia layaknya Sakuntala dengan kaki berlawanan.“Kepung mereka!” seru Danapati.Puluhan prajurit Andanu bergerak. Mereka