“Lesatan?”Lesatan keemasan meluncur deras melintasi langit di atas kepala mereka, entah mengarah kemana. Arya tersenyum dan memejamkan mata dengan tenang. Meninggalkan Barata dalam kebingungan dan Atma yang mulai kelelahan.“Bagaimana? Apa kau bisa membuat Aruna sadar?” tanya Atma terengah-engah. Pemuda itu bermandikan peluh. Kedua tinjunya mulai gemetar.“Tidak, dan sekarang Paman Arya juga tak sadarkan diri,” keluh Barata.“Bagus! Bagaimana caranya membawa dua orang terluka pergi dari tempat berpagar tinggi dan berbahaya ini?” tambah Atma. Ia menghela napas panjang sambil memandangi kedua tangannya.Pasukan Andanu kembali membentuk barisan. Beberapa yang terjatuh dan terperosok sudah kembali bergabung dengan rekan-rekannya. Dari tempat duduknya tampak Danapati menyeringai menahan sakit atas kaki kanannya yang sudah selesai mendapatkan pengobatan dari tabib istana. Ia layaknya Sakuntala dengan kaki berlawanan.“Kepung mereka!” seru Danapati.Puluhan prajurit Andanu bergerak. Mereka
“Serang lagi!” seru Danapati di kursinya. Ia ingin benar-benar memastikan empat orang dalam dinding tanah itu terkena oleh serangan anak panah pasukannya.Puluhan anak panah kembali melesat menerpa dinding tanah buatan Atma itu. Beberapa menancap, beberapa luruh. Beberapa lagi berhasil menukik dan menghunjam melewati atas dinding. Entah mengenai sasaran atau tidak. Banyak prajurit yang mengikatkan anak panah dengan tali, berharap bisa menyeberangi jurang melingkar.Tiga orang prajurit tiba-tiba roboh dan terjatuh ke dalam jurang. Dalam waktu berdekatan dua orang yang berniat menyeberangi jurang dengan tali juga terjatuh. Tak ada serangan yang terlihat. Hanya ada kilatan cepat yang tak bisa diikuti oleh mata.“Apa yang terjadi?” tanya Danapati marah. “Jangan-jangan ... tusuk konde emas itu....”Jenar melompat mendekati bekas menara utama itu. Ia kini berdiri di atap bangunan tempat penyimpanan senjata. Di sana, ia menari mengendalikan tusuk konde emas yang terus membuat lubang di dahi-
Angin malam bertiup sedang di istana Astagina. Huru-hara yang terjadi di menara utama seakan tak pernah tejadi. Tempat itu menjadi begitu sepi. Hanya ada lubang bergaris tengah tiga puluh tombak dengan dataran seperti pulau di dalamnya. Itu pun sudah tertutup Kanta Buana.Sebuah pelontar batu sudah disiapkan menghadap ke arah dimana dinding tanah itu berada. Seorang prajurit bertubuh besar menggendong godam besar di pundak. Ia diam seperti kebanyakan prajurit yang tak benar-benar mengerti apa yang terjadi. Prajurit itu mendongak, ke arah dimana Danapati berada. Selanjutnya ia mengangguk dan segera mengayunkan godam ke pengait yang menahan sebuah batu besar.“Maaf membuat Gusti menunggu lama,” ucap seorang pria tua berambut putih dan berpakaian putih pula. Ia mengenakan ikat kepala batik dan menggenggam sebuah tongkat.“Maaf merepotkanmu, Paman. Apa kita sudah keluar dari istana?” tanya Jenar.“Seperti yang Gusti lihat, kita berada di Telaga Padma,” jawab Legawa menenangkan semua orang
“Senang melihatmu lagi, Jenar. Aku pikir tak lagi akan bertemu dengan....”“Bodoh!” potong Jenar. “Sampai kapan kau akan mengorbankan dirimu sendiri seperti ini?”Arya mendadak diam. Pandangannya yang belum benar-benar jernih sudah mampu melihat bulir bening di sudut kelopak mata istrinya. Air mata itu terjun bebas meleleh ke wajah tirus Jenar. Peristiwa yang nyaris selalu terjadi saat ia di ambang hidup dan mati.“Aku ... Hanya mencoba melindungi hal yang paling berharga. Aku akan mati dengan tenang asalkan Astagina, kau dan Aruna baik-baik saja,” terang Arya, berharap Jenar akan berangsur tenang.“Diam! Aku harus konsentrasi!” potong Jenar lagi. Perempuan itu mulai mengobati Arya dengan menyalurkan energinya di atas luka-luka suaminya itu.Arya mengurai senyum. Ia bersyukur penantiannya untuk bertemu Jenar yang ia kenal berakhir. Lebih ia syukuri dari pada keluar dari istana dengan kondisi babak belur seperti ini. Ia pandangi lekat-lekat wajah istrinya yang begitu tegang. Titik-titi
Padang latih Padepokan Rakajiwa telah dipenuhi oleh murid-murid. Sejak pendirian kembali, sudah banyak pemuda-pemuda yang datang dari negeri yang jauh demi menimba ilmu. Mereka tak hanya belajar ilmu kanuragan, Legawa juga memberikan dasar-dasar kepemimpinan, adab, dan juga baca tulis. Beberapa veteran Baka Nirdaya diangkat menjadi pengajar.Semakin ramainya kaum muda yang menimba ilmu di Padepokan, membuat ekonomi menggeliat di pemukiman sekitarnya. Rakajiwa kini dikelilingi pemukiman hampir menyerupai desa. Dihuni lebih dari 200 jiwa, pemukiman itu diberi nama Wanapraya yang berarti hutan pengharapan. Mengingat mulanya wilayah itu hanya hutan yang kini menjadi harapan hidup masyarakat di sekitarnya.“Kau sudah lebih baik, Ayahanda?” tanya Aruna dengan tubuh penuh keringat hasil olah kanuragannya.“Ya, ibundamu merawatku dengan baik,” jawab Arya dengan senyum dan kerling mata penuh arti pada Jenar. Perempuan itu membalas senyumnya sekilas.Aruna duduk di samping orang tuanya. Ia mene
“Sepertinya kita harus berjalan dari sini, Ayahanda,” ucap Aruna setelah muncul di sebuah sungai dengan bebatuan besar dan aliran air yang cukup tenang.Mereka sudah beberapa kali menanyakan keberadaan Padepokan Pasimutara tiap kali menemui wilayah yang cukup ramai. Namun banyak yang tidak mengetahui keberadaannya. Beberapa mengetahui, namun ragu Padepokan itu masih ada.“Kau yakin kita hanya tegak lurus arah barat daya Astagina, bukan?” tanya Arya memastikan keberadaan mereka.“Ya, aku yakin,” jawab Aruna singkat. Pemuda itu kemudian berjongkok dan mengambil air sungai dengan dua telapak tangan dan meminumnya.Tempat yang mereka singgahi berupa anak sungai, pasti ada sungai utama yang aliran airnya lebih besar. Semakin ke barat daya maka jalan yang dilalui semakin terjal dan mendaki. Sungai ini seolah membelah dua bukit besar menjadi dua.“Apa Ayahanda yakin ada Padepokan di atas sana?” tanya Aruna mulai ragu.“Ayah pun tak tahu. Informasi tentang Pasimutara dari Paman Legawa juga ta
“Apa?” Anak laki-laki itu menyeruak lelaki di hadapannya. Ia tampak terkejut, juga ada senggurat amarah di wajahnya.“Sabar lah, Sanggabanu!” seru Ki Prabangkara seraya menahan tubuh anak laki-laki yang disebut Sanggabanu tadi.“Tapi, Kakanda....”“Jaga sikapmu! Dengarkan dulu apa tujuan keturunan Sanggageni ini!” tegas Ki Prabangkara.Arya dan Aruna tak mengerti apa yang tengah terjadi. Atau tepatnya apa yang dialami Sanggageni di masa lalu. Anak laki-laki bernama Sanggabanu itu tampak memiliki dendam kepada Sanggageni, sedang ia menyebut Ki Prabangkara sebagai kakanda. Rasanya tak mungkin seorang tua memiliki adik sekira usia 8 tahun itu.“Maafkan sikap adikku. Jadi, kau adalah putra Sanggageni?” tanya Ki Prabangkara pada Arya. “Dan kau adalah cucunya?”“Benar, Ki,” jawab Arya singkat.“Sebuah kehormatan bertemu dengan putra Gusti Dewi Gantari dan cucunya,” ucap Ki Prabangkara ramah. Pria itu mendekat ke arah Aruna dan memperhatikannya lekat-lekat. “Kau, aku tak mengerti, mengapa au
“Aku harus bicarakan ini dengan Ki Daksa, Ayahanda,” ujar Aruna saat Arya menghampiri dan duduk di sisinya. Ki Prabangkara memberinya waktu untuk memutuskan apakah bersedia melepaskan ilmu pengobatan warisan Ki Bayanaka itu.“Santai saja, Nak. Kau bisa pikirkan hal itu masak-masak. Hanya saja akan sangat merugi bila kita kehilangan kemampuan pengobatan Ki Bayanaka itu,” ujar Arya semakin membuat Aruna gamang.Aruna tak menjawab ayahandanya. Jauh di dalam hati, pemuda itu tentu menginginkan yang terbaik untuk Astagina dan kedua orang tuanya. Namun ia juga tak ingin kehilangan kemampuan yang terasa begitu cocok untuknya. Menyembuhkan dan menolong orang lain adalah cita-cita baginya.Arya bangkit dan menepuk pundak putranya. Ia tahu benar bahwa sangat tak mudah dihadapkan pada pilihan sulit. Peluang menyelamatkan Astagina terbuka luas andai Aruna mau mempelajari Ajian Dasa Daraka. Paling tidak ketakutan mereka berdua terhadap kayu sarayu sedikit berkurang. Tapi amat berat kehilangan kema