“Senang melihatmu lagi, Jenar. Aku pikir tak lagi akan bertemu dengan....”“Bodoh!” potong Jenar. “Sampai kapan kau akan mengorbankan dirimu sendiri seperti ini?”Arya mendadak diam. Pandangannya yang belum benar-benar jernih sudah mampu melihat bulir bening di sudut kelopak mata istrinya. Air mata itu terjun bebas meleleh ke wajah tirus Jenar. Peristiwa yang nyaris selalu terjadi saat ia di ambang hidup dan mati.“Aku ... Hanya mencoba melindungi hal yang paling berharga. Aku akan mati dengan tenang asalkan Astagina, kau dan Aruna baik-baik saja,” terang Arya, berharap Jenar akan berangsur tenang.“Diam! Aku harus konsentrasi!” potong Jenar lagi. Perempuan itu mulai mengobati Arya dengan menyalurkan energinya di atas luka-luka suaminya itu.Arya mengurai senyum. Ia bersyukur penantiannya untuk bertemu Jenar yang ia kenal berakhir. Lebih ia syukuri dari pada keluar dari istana dengan kondisi babak belur seperti ini. Ia pandangi lekat-lekat wajah istrinya yang begitu tegang. Titik-titi
Padang latih Padepokan Rakajiwa telah dipenuhi oleh murid-murid. Sejak pendirian kembali, sudah banyak pemuda-pemuda yang datang dari negeri yang jauh demi menimba ilmu. Mereka tak hanya belajar ilmu kanuragan, Legawa juga memberikan dasar-dasar kepemimpinan, adab, dan juga baca tulis. Beberapa veteran Baka Nirdaya diangkat menjadi pengajar.Semakin ramainya kaum muda yang menimba ilmu di Padepokan, membuat ekonomi menggeliat di pemukiman sekitarnya. Rakajiwa kini dikelilingi pemukiman hampir menyerupai desa. Dihuni lebih dari 200 jiwa, pemukiman itu diberi nama Wanapraya yang berarti hutan pengharapan. Mengingat mulanya wilayah itu hanya hutan yang kini menjadi harapan hidup masyarakat di sekitarnya.“Kau sudah lebih baik, Ayahanda?” tanya Aruna dengan tubuh penuh keringat hasil olah kanuragannya.“Ya, ibundamu merawatku dengan baik,” jawab Arya dengan senyum dan kerling mata penuh arti pada Jenar. Perempuan itu membalas senyumnya sekilas.Aruna duduk di samping orang tuanya. Ia mene
“Sepertinya kita harus berjalan dari sini, Ayahanda,” ucap Aruna setelah muncul di sebuah sungai dengan bebatuan besar dan aliran air yang cukup tenang.Mereka sudah beberapa kali menanyakan keberadaan Padepokan Pasimutara tiap kali menemui wilayah yang cukup ramai. Namun banyak yang tidak mengetahui keberadaannya. Beberapa mengetahui, namun ragu Padepokan itu masih ada.“Kau yakin kita hanya tegak lurus arah barat daya Astagina, bukan?” tanya Arya memastikan keberadaan mereka.“Ya, aku yakin,” jawab Aruna singkat. Pemuda itu kemudian berjongkok dan mengambil air sungai dengan dua telapak tangan dan meminumnya.Tempat yang mereka singgahi berupa anak sungai, pasti ada sungai utama yang aliran airnya lebih besar. Semakin ke barat daya maka jalan yang dilalui semakin terjal dan mendaki. Sungai ini seolah membelah dua bukit besar menjadi dua.“Apa Ayahanda yakin ada Padepokan di atas sana?” tanya Aruna mulai ragu.“Ayah pun tak tahu. Informasi tentang Pasimutara dari Paman Legawa juga ta
“Apa?” Anak laki-laki itu menyeruak lelaki di hadapannya. Ia tampak terkejut, juga ada senggurat amarah di wajahnya.“Sabar lah, Sanggabanu!” seru Ki Prabangkara seraya menahan tubuh anak laki-laki yang disebut Sanggabanu tadi.“Tapi, Kakanda....”“Jaga sikapmu! Dengarkan dulu apa tujuan keturunan Sanggageni ini!” tegas Ki Prabangkara.Arya dan Aruna tak mengerti apa yang tengah terjadi. Atau tepatnya apa yang dialami Sanggageni di masa lalu. Anak laki-laki bernama Sanggabanu itu tampak memiliki dendam kepada Sanggageni, sedang ia menyebut Ki Prabangkara sebagai kakanda. Rasanya tak mungkin seorang tua memiliki adik sekira usia 8 tahun itu.“Maafkan sikap adikku. Jadi, kau adalah putra Sanggageni?” tanya Ki Prabangkara pada Arya. “Dan kau adalah cucunya?”“Benar, Ki,” jawab Arya singkat.“Sebuah kehormatan bertemu dengan putra Gusti Dewi Gantari dan cucunya,” ucap Ki Prabangkara ramah. Pria itu mendekat ke arah Aruna dan memperhatikannya lekat-lekat. “Kau, aku tak mengerti, mengapa au
“Aku harus bicarakan ini dengan Ki Daksa, Ayahanda,” ujar Aruna saat Arya menghampiri dan duduk di sisinya. Ki Prabangkara memberinya waktu untuk memutuskan apakah bersedia melepaskan ilmu pengobatan warisan Ki Bayanaka itu.“Santai saja, Nak. Kau bisa pikirkan hal itu masak-masak. Hanya saja akan sangat merugi bila kita kehilangan kemampuan pengobatan Ki Bayanaka itu,” ujar Arya semakin membuat Aruna gamang.Aruna tak menjawab ayahandanya. Jauh di dalam hati, pemuda itu tentu menginginkan yang terbaik untuk Astagina dan kedua orang tuanya. Namun ia juga tak ingin kehilangan kemampuan yang terasa begitu cocok untuknya. Menyembuhkan dan menolong orang lain adalah cita-cita baginya.Arya bangkit dan menepuk pundak putranya. Ia tahu benar bahwa sangat tak mudah dihadapkan pada pilihan sulit. Peluang menyelamatkan Astagina terbuka luas andai Aruna mau mempelajari Ajian Dasa Daraka. Paling tidak ketakutan mereka berdua terhadap kayu sarayu sedikit berkurang. Tapi amat berat kehilangan kema
Aruna duduk bersila di sebuah balai-balai. Saling berhadapan dengan Ki Prabangkara. Semua sudah direncanakan dengan matang. Pemuda itu membantu ayahandanya untuk terlepas dari raga dan berjumpa dengan Ki Daksa. Sedang ia bersiap untuk memulai latihannya.“Sebelum memulainya, apa saja yang sudah kau kuasai, Nak?” tanya Ki Prabangkara.“Selain ilmu pengobatan, aku menguasai Meraga Sukma dan Lembat Brabat, Ki,” jawab Aruna datar.“Hmm, aku anggap itu sebagai satu ilmu. Lembat Brabat adalah lanjutan dari Meraga Sukma, bukan?” ucap Ki Prabangkara tenang. Ia seperti kebanyakan pimpinan sebuah padepokan, pengetahuannya tentang berbagai macam ilmu terbilang bagus.“Apa aku bisa mulai pelatihannya, Ki?” tanya Aruna. “Ayahanda tak bisa berlama-lama dalam wujud halusnya,” tambahnya.“Aku mengerti, Nak. Aku hanya ingin memastikan kau akan siap menerima Ajian Dasa Daraka. Tahap pertama ini akan berlangsung singkat,” ucap Ki Prabangkara dengan senyum mengembang.Pria tua berjanggut lebat itu tampak
Arya diam tak mengerti. Segera setelah Ki Daksa mengumpat, tubuhnya menguap dan tertarik ke tubuh Arya. Ada rasa pedih dan panas di dada. Ayahanda Aruna itu membuka mata dan ia sudah kembali ke tubuh kasarnya.Tak ada sensasi lain setelah peristiwa itu terjadi. Arya memperhatikan kedua telapak tangannya, tak ada yang berbeda. Namun ia merasa jauh lebih tenang. Perasaannya jauh lebih stabil, tak lagi meledak-ledak seperti api yang memang jadi kekuatan utamanya.“Apa yang terjadi pada Aruna ya? Jika Ki Daksa hampir musnah, artinya tahap pertama sudah selesai dilalui,” batin Arya.Lelaki itu bangkit dari batu besar dan berjalan cepat menuju rumah panggung tempat Ki Prabangkara menurunkan Ajian Dasa Daraka. Ia ingin segera melihat putranya. Entah bagaimana tahap berikutnya, tak begitu ia pedulikan untuk sementara.Balai-balai di beranda rumah panggung itu hancur. Bambu-bambu sebagai material penyusunnya parah beberapa bagian. Tak terlihar dimana Ki Prabangkara dan Aruna. Para penghuni pad
“Ampun, Gusti. Hamba sama sekali tak mendapatkan kabar penyerangan dari Telik Sandi. Ini sungguh aneh,” lapor Senopati Jatiwungu setelah tergopoh-gopoh menghampiri Jenar.“Sepertinya Danapati sudah tahu. Siapkan orang-orangmu, Jatiwungu. Jangan sampai ada satu orang pun dari Rakajiwa yang terluka!” titah Jenar.“Sendika, Gusti!” seru Senopati Jatiwungu dan segera berbalik meninggalkan Jenar dan Legawa.Perdana, Atma dan Barata sebagai murid terdekat Legawa setelah Aruna segera tiba. Ketiganya sudah siap dengan senjatanya masing-masing. Ini kali kedua pasukan udara Astagina menyerang Rakajiwa. Tak mungkin mereka tak memiliki persiapan yang lebih memadai dari serangan pertama.“Perdana, kau siagakan seluruh murid yang tersedia. Utamakan para pemanah. Anak panah kita terbatas, jadi hanya siagakan murid yang mahir!” titah Legawa.“Baik, Guru!” seru Perdana dan segera pergi meninggalkan tempat itu.“Barata, naik lah ke tempat tinggi dan lakukan Ghanaswara. Aku ingin pandangan pasukan udara