Beranda / Pendekar / Aruna Putra Api / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab Aruna Putra Api: Bab 1 - Bab 10

133 Bab

1. Kendali

“Aruna! Apa yang kau lakukan?” hardik Kertajaya setelah mendapati cucu kesayangannya, Rara Sati mendapatkan sebuah luka di wajah sebelah kiri. Sudah tak ia gunakan lagi gelar pangeran yang selalu disematkan di depan nama pemuda itu. Pemuda 16 tahun tak bergeming dari tempatnya berdiri. Putra Arya dan Jenar yang menyandang status Putra Mahkota Astagina itu tampak mengepalkan kedua tinjunya. Kulit di sekujur tubuhnya memerah. Matanya menyalang ke arah ayundanya yang bersembunyi di balik tubuh kakeknya. Tepat setelah sekali berkedip, Aruna melesat menyerang dengan kecepatan tinggi. “Aruna!” pekik pria renta itu sembari mendorong tubuh Rara Sati menjauh. Sedang dirinya tak mampu lagi menghindari serangan cepat Aruna. “Kakek!” Mulut Rara Sati menganga, manik matanya melebar maksimal. Dalam jatuhnya ia dapat melihat dengan jelas adik tirinya itu menusuk dada kiri kakeknya menggunakan tangan kanan yang sudah diselimuti api. Kertajaya tak sempat lagi mengaduh. Ia hanya terbelalak setelah m
Baca selengkapnya

2. Pertolongan Ayahanda

Perlahan tapi pasti api yang menyelubungi tubuh Aruna merambat ke bilah pedang milik Rara Sati. Tangkai pedang sudah menghangat, sebentar lagi akan terbakar. Putri Astakencana itu segera melepaskan pedangnya dan mundur beberapa langkah guna meningkatkan kewaspadaan. Kertajaya dalam jarak sepuluh tombak saja dapat diserang dengan sekali kedipan mata. Apa lagi dengan jaraknya kini.“Aruna, apa kau tak puas sudah membunuh kakek? Apa aku juga harus mati? Hah?” seru Rara Sati sembari mengedarkan pandangan mencari pertolongan dari para prajurit. Gabungan prajurit Astagina dan Astakencana segera bergerak melindungi gadis itu.Aruna mendengus, jilatan api keluar dari lubang hidungnya. Pemuda itu menengadah dan berteriak. Api menyembut dalam jumlah besar dan bertahan beberapa masa. Ia tak ubahnya seperti seekor naga dalam wujud manusia api. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Aruna hanya terus mendengus seolah tengah berusaha meredam amarah.“Hei, kau, Prajurit Astagina, apa Pangeranmu per
Baca selengkapnya

3. Hantaman

Entah putranya itu mengerti atau tidak, Arya segera melesat menghantamkan tinjunya ke dada Aruna yang belum sempat bereaksi apa pun. Tubuh berselubung api itu terpental jauh hingga butuh beberapa pohon besar untuk membuatnya berhenti. Semua orang yang melihat peristiwa itu segera melarikan diri. Kecuali Sanggageni yang baru saja tiba dan Jenar. Keduanya mendekat namun dengan terus menjaga jarak.Meski lebih dewasa, dengan api di tubuh, mau tak mau Arya pun tersulut emosi. Apa lagi melihat putranya yang justru semakin marah diperlakukan sedemikian rupa. Tak butuh waktu lama untuk ayah dan anak itu saling bertarung, menghantamkan energi yang begitu besar hingga membuat separuh desa terbakar.“Arya! Kau harus membuatnya menjauh dari desa! Atau Girijajar akan hancur!” seru Sanggageni kepada putranya di tengah pertarungan.Sanggageni amat memahami, bahwa Aruna bukan lah lagi cucunya bila tengah berada dalam wujud seperti ini. Pun sama dengan saat dirinya dulu, bedanya Aruna lebih kuat dan
Baca selengkapnya

4. Pertarungan

Sanggageni segera menghampiri cucunya dengan satu lompatan. Pria setengah baya dengan satu tangan itu menatap tak percaya tubuh Aruna yang terluka yang segera pulih dengan cepat. Ia teringat Ajian Dasa Daraka yang sempat ia kuasai. Itu pun memerlukan waktu sedikit lebih lama.“Aruna! Kau baik-baik saja?” tanya Sanggageni di tengah seringai pemuda itu.“Apa yang terjadi padaku, Kek? Ada apa dengan tubuhku? Ayahanda selalu memintaku untuk menguasai kekuatan api. Tapi aku menjadi aneh dan kadang menakutkan!” seru Aruna kepada kakeknya.“Ini takdirmu, Aruna. Kau mewarisi darah Ayahandamu, dan Ayahandamu mewarisi darahku, kau tak bisa menolaknya,” terang Sanggageni berusaha menenangkan cucunya.“Dan aku tak meminta untuk dilahirkan sebagai putra Ayahanda dan juga cucu Kakek!” pungkas Aruna berapi-api.Sanggageni terdiam, ia mencoba mengerti apa yang dirasakan cucunya itu. Lahir sebagai seorang pangeran sebuah kerajaan sebesar Astagina, tentu membuat Aruna merasa tak memerlukan kekuatan sep
Baca selengkapnya

5. Alasan

Arya mengurungkan pukulannya. Ia menoleh ke kiri, ke arah seorang perempuan yang mulai menari. Kilatan-kilatan emas mengitari tubuh istrinya itu. Sebelum sebuah hentakan kaki kirinya di bumi dan ayunan lengan rampingnya melesatkan tusuk konde emas ke arah suaminya.“Apa-apaan kau, Jenar!” seru Arya sembari melepaskan cengkramannya di leher Aruna. Tubuh Putra Mahkota Astagina itu luruh ke tanah bersamaan dengan Arya yang menghadang laju Tusukan Kematian itu dengan gelombang api dari kedua telapak tangannya.Arya paham, Suji Pati begitu mematikan. Ia sampai harus mengeluarkan pasokan energi yang besar untuk membuat perisai dari api yang menyelubungi tubuhnya, terutama kepala. Ujung runcing berwarna emas itu terus saja menghunjam mencari celah untuk menembus selubung api milik Arya.Sejauh ini Arya hanya bertahan. Sembari ia mencari cara untuk menghentikan amarah istrinya. Memberi pengertian dalam jarak lebih dari dua puluh tombak amat tak mungkin. Sedang Jenar terus saja menghujaninya d
Baca selengkapnya

6. Tuduhan

Arya terpaku menyaksikan ayahandanya tewas. Ia marah, semua usahanya untuk menghentikan dan menangkal Suji Pati justru berbuah pada kematian Sanggageni. Batas kesabarannya yang memang sudah begitu tipis, kini benar-benar hilang. Lelaki itu menoleh ke arah Jenar yang berdiri di atas dahan pohon sembari memasangkan anak panah logam pada busur Agnitama.“Demi ayahandaku, aku akan membunuhmu!” seru Arya seketika menarik tali busur hingga ke batas maksimal.Mata panah menyala jingga dan mengeluarkan denging menusuk telinga. Kaitan ibu jari tangan kanan Arya pada tali busur sudah terlepas. Getaran akibat lesatan anak panah membentur lengan kiri bagian dalam. Terasa lebih sakit dari biasanya.Jenar segera melompat demi menghindari Cundhamani. Perempuan itu segera bergerak agar api Cundhamani tak mengenai tubuhnya. Batang pohon tempatnya tadi berpijak segera tumbang dan terbakar. Raja Astagina itu segera mengembalikan kuda-kudanya setelah denging itu terdengar kembali.“Gawat! Arya benar-bena
Baca selengkapnya

7. Membunuh Dengan Tenang

“Braja!” Ki Bayanaka sibuk mengibaskan toya dari kayu sarayu ke api-api Cundhamani itu. Dari jarak dua puluh tombak dan kondisi tanah yang meninggi, ia dapat menyaksikan Sanggageni terkulai tak berdaya di hadapan cucunya setelah kepalanya tertembus tusuk konde emas.Firasat pria tua itu benar-benar tajam. Sebelumnya ia tak pernah mengikuti keluarga istana berkunjung ke Girijajar. Kali ini ia menyusul karena merasa tak nyaman dengan perasaannya. Separuh desa sudah hancur terbakar, dan kini lereng Payoda tengah berkobar. Rupanya cerita Mahaguru Rakajiwa terbukti sekarang.“Ksatria Cundhamani dan pengguna Suji Pati tak akan bisa bersanding untuk waktu yang lama. Braja, sudah aku katakan dulu. Tapi kau tak percaya bahkan dengan hal yang kau alami sendiri!” rutuk Ki Bayanaka dalam hati.Dari tempatnya berdiri ia dapar menyaksikan Aruna, Putra Mahkota Astagina menggoncang-goncangkan tubuh kakeknya dengan mata basah. Sebelumnya Ki Bayanaka sudah menyaksikan Rara Anjani menangisi jasad ayahan
Baca selengkapnya

8. Resonansi

Jenar jatuh bersimpuh, menyangga tubuh dengan kedua tangan dan sisa-sisa tenaganya. Napas Raja Astagina itu terengah-engah, seperti cerminan pertarungannya dengan sang suami. Keringat menetes dari dahi dan juga dagunya. Rambutnya yang biasa terikat tapi ke belakang, kini menjuntai beranta kan seperti rumah tangganya.“Sial! Aku belum pernah bertarung hingga menguras tenaga seperti ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Jenar di antara tarikan napas memburu.Arya melemparkan tusuk konde emas yang membara ke arah Jenar. Sengaja tak ia kenakan pada tubuh istrinya itu. Lelaki itu melenguh seperti ada sesuatu yang terjadi pada tangannya. Tusuk konde emas menancap tepat di hadapan Jenar. Di tempat peluhnya tadi menetes.“Benda itu memang istimewa. Tenagaku seperti terserap olehnya,” ucap Arya dalam hati.Lelaki itu melangkah mendekati istrinya yang tak berdaya. Langkahnya begitu mantap dan penuh percaya diri. Apa lagi melihat tubuh Jenar yang gemetar, Arya merasa marwahnya sebagai
Baca selengkapnya

9. Menganggap Mati

Jenar memutar tubuhnya satu kali dengan gerakan tangan yang begitu indah. Ia merasa sudah begitu siap untuk melakukan serangan pamungkas. Tusuk konde emas sudah cukup lama berputar-putar di atas kepala. Benda itu seolah mengumpulkan energi untuk menghunjam dengan kekuatan penuh.“Aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti aku tak akan membunuhmu! Sudah cukup menyakitiku dengan berbagi cinta dengan Rara Anjani. Kau tak akan kubiarkan hidup jika menyakiti putraku!”Tatap nyalang Jenar mengawali hentakan kaki dan gerakan tangan tegas mengarah pada suaminya. Sementara Arya masih menutup mata. Ada seutas senyum di sudut bibir lelaki itu. Ia memang tak melihat. Namun datangnya energi besar dan cepat itu dapat ia deteksi dengan begitu gamblang.Tepat sebelum tusuk konde emas itu menghujam keningnya, Arya mengatupkan kedua telapak tangan di kening sembari menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya tertarik oleh gravitasi dan membawanya masuk ke dalam jurang gelap itu. Lelaki itu mampu menangk
Baca selengkapnya

10. Sumpah Rara Anjani

“Dimana Arya, Jenar?” tanya Rara Anjani kepada madunya itu.Jenar tak menyahut sedikit pun. Perempuan itu duduk terpaku di dalam kereta yang ditarik empat ekor kuda dalam pengawalan empat prajurit. Mereka disambut oleh Senopati Jatiwungu dan satu peleton pasukan berkuda Astagina.“Jenar!” pekik Rara Anjani mengiringi langkah kereta kuda itu. Sedang Jenar sama sekali tak menoleh pada istri kedua suaminya itu.“Gusti,” hormat Senopati Jatiwungu pada rajanya yang tampak berbeda.Jenar menoleh dengan tatap mata tajamnya. “Mengapa kau di sini, Senopati?” tanyanya.“Ampun, Gusti. Patih Danapati meminta hamba untuk membawa pasukan ke mari,” jawab Senopati Jatiwungu sembari terus mengiringi kereta kuda rajanya.“Kembali lah! Kau tak diperlukan di sini!” titah Jenar dingin.“Sendika, Gusti!” sahut Senopati Jatiwungu cepat. Lelaki itu segera menghentikan langkahnya dan kembali ke rombongan pasukan berkuda pimpinannya.“Jenar! Dimana Arya?” Rara Anjani mencoba mendapatkan jawaban sekali lagi. Ia
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
14
DMCA.com Protection Status