Arya mengurungkan pukulannya. Ia menoleh ke kiri, ke arah seorang perempuan yang mulai menari. Kilatan-kilatan emas mengitari tubuh istrinya itu. Sebelum sebuah hentakan kaki kirinya di bumi dan ayunan lengan rampingnya melesatkan tusuk konde emas ke arah suaminya.
“Apa-apaan kau, Jenar!” seru Arya sembari melepaskan cengkramannya di leher Aruna. Tubuh Putra Mahkota Astagina itu luruh ke tanah bersamaan dengan Arya yang menghadang laju Tusukan Kematian itu dengan gelombang api dari kedua telapak tangannya.
Arya paham, Suji Pati begitu mematikan. Ia sampai harus mengeluarkan pasokan energi yang besar untuk membuat perisai dari api yang menyelubungi tubuhnya, terutama kepala. Ujung runcing berwarna emas itu terus saja menghunjam mencari celah untuk menembus selubung api milik Arya.
Sejauh ini Arya hanya bertahan. Sembari ia mencari cara untuk menghentikan amarah istrinya. Memberi pengertian dalam jarak lebih dari dua puluh tombak amat tak mungkin. Sedang Jenar terus saja menghujaninya dengan Suji Pati. Satu-satunya cara adalah dengan mendekat.
“Sial, kalau begini terus aku akan segera kehabisan tenaga!” rutuk Arya dalam hati.
Lelaki pemilik Cundhamani itu bergerak perlahan. Ia terus saja memelihara fokusnya. Lengah sedikit saja, tusuk konde emas itu akan segera menembus kepalanya. Ingin sekali ia meraih busur Agnitama dan anak panah logam di punggungnya. Namun ia khawatir hal itu justru membuat Jenar salah paham.
“Tak akan aku biarkan kau mendekat!” jerit Jenar sembari mundur untuk mengembalikan lagi jaraknya.
“Jenar! Aku bisa jelaskan, tapi tolong hentikan dulu Suji Pati-mu!” pinta Arya dengan suara sayup-sayup. Lelaki itu terus mendekat. Niatnya untuk memberikan penjelasan disalahartikan sebagai usaha untuk menghadapi jurus andalan istrinya.
“Tak ada ampun untuk orang yang telah menyakiti putraku! Meski pun itu ayahandanya sendiri!” pekik Jenar terus bergerak mengendalikan tusuk konde emas.
Arya memayungi kepalanya sendiri dengan energi yang perlahan mulai mengikis. Ia sudah menjadi lelaki yang berbeda sejak serangan di Pantai Selatan Astagina belasan tahun silam. Meski kedewasaan membuatnya bijak, tapi kekuatannya menyusut cukup banyak.
“Jenar pasti mengira aku mendekat untuk melawan kelemahan Suji Pati,” batin Arya. “Tapi aku tak punya pilihan lain.”
Telapak tangan kanan Arya mulai menggenggam ujung busur Agnitama yang menggantung di pundak. Sesungguhnya lelaki itu meragu. Melawan istrinya sendiri tentu akan sangat memalukan. Walau pun melawan atau tidak, potensi terbunuhnya tetap tak berkurang.
“Tidak, aku masih punya cukup tenaga untuk melawannya!” Arya mengurungkan niatnya menggunakan busur Agnitama. Rencananya sekarang adalah terus mendekat dan mengenai tubuh Jenar agar Suji Pati berakhir.
Jenar masih terus bergerak dengan indah dan gemulai. Anak-anak rambutnya menjurai sebagian menutupi dahi. Titik-titik keringat di dahi Raja Astagina itu menandakan usaha yang dilakukan sudah menguras tenaganya. Meski matanya terus menyalang tak kenal takut, namun engah napas tak mampu menutupi kelelahannya.
“Kita lihat saja siapa yang memenangkan jarak ini, kau atau aku!” teriak Arya diakhiri dengan lolongan panjang berbuah lonjakan energi dari tubuhnya. Lelaki itu kini telah menyerupai bentuknya saat membunuh Prabu Ranajaya.
Lesatan jingga bergerak begitu cepat hanya dengan sekedip mata. Tubuh Jenar terpental dua tombak ke belakang dan ambruk ke tanah. Tak sempat ia menghindar, ia hanya sempat menahan lesatan suaminya itu dengan menyilangkan kedua tangan di dada.
Perlahan Jenar bangkit. Ia tak hiraukan separuh wajah yang tertutup rambut. Suji Pati-nya memang berhenti. Tusuk konde emas itu sudah kembali berada di genggamannya. Namun tidak dengan amarahnya. Tatap mata nanar dengan lelehan darah di sudut bibir menandakan serangan Arya hanya menambah kemarahannya.
“Putramu sudah kau hajar, kini istrimu, hah?” hardik Jenar dengan suara parau.
“Kau tak memberiku pilihan....”
“Seperti kau yang juga tak memberi Aruna pilihan!” potong Jenar sembari memasang kuda-kuda. Lelaki berselubung api sepuluh tombak di depannya sama sekali tak membuatnya gentar.
“Aku sebagai ayahandanya bertanggung jawab atas perbuatannya membunuh kakeknya sendiri, Jenar!” ucap Arya mencoba memberikan pengertian kepada istrinya itu.
“Cih! Kau tak perlu repot-repot, Arya! Biar aku yang bertanggung jawab atas perbuatan putraku! Kau cukup bela saja putri cantikmu itu!” jawab Jenar sinis.
“Kau tak pernah berubah, Jenar!” ucap Arya singkat.
Sudah beberapa kali Jenar memang mengatakan bahwa Arya lebih menyayangi Rara Sati dari pada Aruna. Tentu saja Arya tak mengakuinya. Ia berusaha untuk adik kepada keduanya. Dan menurutnya memperlakukan dua orang yang berbeda dengan sama bukan lah merupakan keadilan yang sebenarnya.
“Dan sampai mati pun aku tak akan pernah berubah!” seru Jenar disusul dengan hentakan kaki kanannya di tanah.
Tusuk konde emas perlahan melayang memancarkan sinar yang begitu terang. Pengikat rambut itu berputar-putar tepat di atas kepala Jenar. Arya mengernyit. Belum pernah ia melihat Suji Pati dimulakan dengan demikian indah. Perlahan putaran benda itu semakin cepat dan berpengaruh pada gerakan udara di sekitarnya.
Arya mundur beberapa langkah. Tepat seperti rencana Jenar, memberikan jarak yang cukup untuk melancarkan serangan menggunakan jurus jarak jauh ini. Raja Astagina itu mulai menari. Gerakan tusuk konde emas yang mulanya seperti liar tak terkendali, kini cenderung lebih tenang. Namun justru ini lah saat-saat menegangkan.
Jenar melompat ke sebuah batu besar demi mendapatkan pandangan luas demi memulai serangan. Arya yang masih terpukau diam-diam menyadari bahwa sebentar lagi Suji Pati akan datang dengan kekuatan lebih besar. Lelaki itu diam-diam sudah menyentuh pangkal anak panah logam di punggungnya.
“Aruna, apa kau baik-baik saja?” tanya Sanggageni begitu mendapati cucunya membuka mata.
“Kakek?” Aruna segera bangkit setelah menyadari bahwa ia masih berada di Wana Payoda yang terbakar. “Dimana ayahanda?”
“Dia di sana. Sepertinya kedua orang tuamu akan bertarung kali ini,” ucap Sanggageni lirih.
“Ibunda? Apakah itu Ibunda?” Aruna menunjuk seorang perempuan dengan rambut tergerai bergerak dengan anggun di atas sebuah batu besar.
“Ya, mereka bertarung karenamu, Aruna,” ucap Sanggageni dingin.
“Karena aku?” tanya Aruna membuang muka. “Aku tahu, Kakek. Maafkan aku tak bisa menguasai kekuatan api itu,” sambungnya.
“Tidak, Aruna. Suatu saat kau pasti menguasainya. Dan jika saat itu tiba, kau akan lebih hebat dari ayahandamu. Percaya pada Kakek,” ujar Sanggageni menatap tajam mata cucunya itu.
Pria tua itu bergerak melindungi Aruna manakala energi Suji Pati dan Cundhamani telah saling berbenturan. Ia lalu membawa Putra Mahkota Astagina itu ke tempat yang dirasa aman, namun masih tetap dapat mengawasi pertarungan.
“Mengapa Kakek berkata demikian?” tanya Aruna tak mengerti.
“Kakek melihat perubahanmu, Aruna. Juga saat kau dikuasai energi besar itu. Kau benar-benar luar biasa!” puji Sanggageni.
“Tapi....” Aruna memandang telapak tangannya sendiri. Tangan yang sudah melukai ayundanya dan juga Kakek Kertajaya.
“Kau hanya membutuhkan alasan untuk menguasainya. Dan tugasmu sekarang adalah mengetahui alasan itu,” ucap Sanggageni sambil tersenyum memeluk cucunya.
Sebuah ledakan membuat kakek dan cucu itu menunduk serempak. Sanggageni sudah mengerti, sesungguhnya Cundhamani dan Suji Pati tak akan pernah bisa bersatu. Itu sebab ia rela meninggalkan Gantari dan Arya kecil untuk berjuang bersama Baka Nirdaya. Kedua ilmu hebat itu tak mampu saling melengkapi. Mereka akan saling menghancurkan.
“Mengapa Kakek tersenyum?” tanya Aruna. Pemuda itu tak mengerti mengapa di saat genting seperti ini kakeknya masih bisa tersenyum dengan tenang.
“Kakek senang sudah bisa mengatakannya. Ingat baik-baik, Aru....”
Aruna terbelalak. Sebuah benda runcing keemasan menghantam kepala kakeknya hingga menembus kening. Setelahnya benda itu segera tercabut dan melesat entah kemana. Sanggageni luruh di pangkuan Aruna.
“Kakek!”
Arya terpaku menyaksikan ayahandanya tewas. Ia marah, semua usahanya untuk menghentikan dan menangkal Suji Pati justru berbuah pada kematian Sanggageni. Batas kesabarannya yang memang sudah begitu tipis, kini benar-benar hilang. Lelaki itu menoleh ke arah Jenar yang berdiri di atas dahan pohon sembari memasangkan anak panah logam pada busur Agnitama.“Demi ayahandaku, aku akan membunuhmu!” seru Arya seketika menarik tali busur hingga ke batas maksimal.Mata panah menyala jingga dan mengeluarkan denging menusuk telinga. Kaitan ibu jari tangan kanan Arya pada tali busur sudah terlepas. Getaran akibat lesatan anak panah membentur lengan kiri bagian dalam. Terasa lebih sakit dari biasanya.Jenar segera melompat demi menghindari Cundhamani. Perempuan itu segera bergerak agar api Cundhamani tak mengenai tubuhnya. Batang pohon tempatnya tadi berpijak segera tumbang dan terbakar. Raja Astagina itu segera mengembalikan kuda-kudanya setelah denging itu terdengar kembali.“Gawat! Arya benar-bena
“Braja!” Ki Bayanaka sibuk mengibaskan toya dari kayu sarayu ke api-api Cundhamani itu. Dari jarak dua puluh tombak dan kondisi tanah yang meninggi, ia dapat menyaksikan Sanggageni terkulai tak berdaya di hadapan cucunya setelah kepalanya tertembus tusuk konde emas.Firasat pria tua itu benar-benar tajam. Sebelumnya ia tak pernah mengikuti keluarga istana berkunjung ke Girijajar. Kali ini ia menyusul karena merasa tak nyaman dengan perasaannya. Separuh desa sudah hancur terbakar, dan kini lereng Payoda tengah berkobar. Rupanya cerita Mahaguru Rakajiwa terbukti sekarang.“Ksatria Cundhamani dan pengguna Suji Pati tak akan bisa bersanding untuk waktu yang lama. Braja, sudah aku katakan dulu. Tapi kau tak percaya bahkan dengan hal yang kau alami sendiri!” rutuk Ki Bayanaka dalam hati.Dari tempatnya berdiri ia dapar menyaksikan Aruna, Putra Mahkota Astagina menggoncang-goncangkan tubuh kakeknya dengan mata basah. Sebelumnya Ki Bayanaka sudah menyaksikan Rara Anjani menangisi jasad ayahan
Jenar jatuh bersimpuh, menyangga tubuh dengan kedua tangan dan sisa-sisa tenaganya. Napas Raja Astagina itu terengah-engah, seperti cerminan pertarungannya dengan sang suami. Keringat menetes dari dahi dan juga dagunya. Rambutnya yang biasa terikat tapi ke belakang, kini menjuntai beranta kan seperti rumah tangganya.“Sial! Aku belum pernah bertarung hingga menguras tenaga seperti ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Jenar di antara tarikan napas memburu.Arya melemparkan tusuk konde emas yang membara ke arah Jenar. Sengaja tak ia kenakan pada tubuh istrinya itu. Lelaki itu melenguh seperti ada sesuatu yang terjadi pada tangannya. Tusuk konde emas menancap tepat di hadapan Jenar. Di tempat peluhnya tadi menetes.“Benda itu memang istimewa. Tenagaku seperti terserap olehnya,” ucap Arya dalam hati.Lelaki itu melangkah mendekati istrinya yang tak berdaya. Langkahnya begitu mantap dan penuh percaya diri. Apa lagi melihat tubuh Jenar yang gemetar, Arya merasa marwahnya sebagai
Jenar memutar tubuhnya satu kali dengan gerakan tangan yang begitu indah. Ia merasa sudah begitu siap untuk melakukan serangan pamungkas. Tusuk konde emas sudah cukup lama berputar-putar di atas kepala. Benda itu seolah mengumpulkan energi untuk menghunjam dengan kekuatan penuh.“Aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti aku tak akan membunuhmu! Sudah cukup menyakitiku dengan berbagi cinta dengan Rara Anjani. Kau tak akan kubiarkan hidup jika menyakiti putraku!”Tatap nyalang Jenar mengawali hentakan kaki dan gerakan tangan tegas mengarah pada suaminya. Sementara Arya masih menutup mata. Ada seutas senyum di sudut bibir lelaki itu. Ia memang tak melihat. Namun datangnya energi besar dan cepat itu dapat ia deteksi dengan begitu gamblang.Tepat sebelum tusuk konde emas itu menghujam keningnya, Arya mengatupkan kedua telapak tangan di kening sembari menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya tertarik oleh gravitasi dan membawanya masuk ke dalam jurang gelap itu. Lelaki itu mampu menangk
“Dimana Arya, Jenar?” tanya Rara Anjani kepada madunya itu.Jenar tak menyahut sedikit pun. Perempuan itu duduk terpaku di dalam kereta yang ditarik empat ekor kuda dalam pengawalan empat prajurit. Mereka disambut oleh Senopati Jatiwungu dan satu peleton pasukan berkuda Astagina.“Jenar!” pekik Rara Anjani mengiringi langkah kereta kuda itu. Sedang Jenar sama sekali tak menoleh pada istri kedua suaminya itu.“Gusti,” hormat Senopati Jatiwungu pada rajanya yang tampak berbeda.Jenar menoleh dengan tatap mata tajamnya. “Mengapa kau di sini, Senopati?” tanyanya.“Ampun, Gusti. Patih Danapati meminta hamba untuk membawa pasukan ke mari,” jawab Senopati Jatiwungu sembari terus mengiringi kereta kuda rajanya.“Kembali lah! Kau tak diperlukan di sini!” titah Jenar dingin.“Sendika, Gusti!” sahut Senopati Jatiwungu cepat. Lelaki itu segera menghentikan langkahnya dan kembali ke rombongan pasukan berkuda pimpinannya.“Jenar! Dimana Arya?” Rara Anjani mencoba mendapatkan jawaban sekali lagi. Ia
“Dimana ini, Kakek Legawa?” tanya Aruna begitu ia, Legawa dan Ki Bayanaka tiba di sebuah kumpulan bangunan dari bambu.“Selamat datang di Rakajiwa, Pangeran Aruna,” ucap Legawa setelah menyelesaikan Lembat Brabat-nya.“Kakek, mohon jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku sudah sepakat dengan Ki Bayanaka untuk tak lagi mengenakan gelar itu di depan namaku,” pinta Aruna sekilas melirik Ki Bayanaka.Legawa tersenyum lembut. Ia memandang Ki Bayanaka yang tampak memperhatikan sekitar padepokan sembari mengusap janggutnya. Pria tua bertoya itu mengangguk tanda setuju. Itu memang sudah menjadi kesepakatannya dengan Aruna agar putra Arya dan Jenar itu mau ikut dengannya.“Baik lah. Namun boleh kah kau memanggilku dengan Ki saja? Aku merasa berada di istana dengan panggilan Kakek,” pinta Legawa setengah tersenyum.“Tentu saja, Ki,” sahut Aruna dengan senyum merekah. “Lantas, apakah aku akan tinggal di sini? Bukan kah Rakajiwa sudah lama hancur?”“Ya, kita akan tinggal di sini, Aruna. Rakaj
Aruna menghampiri jasad kakeknya yang kembali diletakkan di atas balai bambu oleh orang-orang Baka Nirdaya. Wajah teduh pria paruh baya itu terlihat begitu tenang. Bibirnya memucat, beberapa titik kulit wajah tampak membiru. Pangeran Astagina itu terus berusaha menahan tangis yang kembali terpacu oleh keharuan orang-orang di padepokan ini.“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Ki Bayanaka.“Kakek dan ayahanda selalu mengatakan bahwa kami memiliki unsur pembentuk api dalam darah,” ucap Aruna sembari menyingkap kain yang menutup tubuh Sanggageni.“Lantas?” Ki Bayanaka penasaran.“Bukan kah manusia berasal dari tanah?” tanya Aruna sambil terus memperhatikan seluruh tubuh kakeknya, terutama pada bagian jantung.“Ya, benar!”“Entah mengapa aku yakin bila seseorang mati maka dia akan kembali menjadi tanah seperti asalnya,” jawab Aruna sama sekali tak memperhatikan lawan bicaranya.“Lantas?” tanya Ki Bayanaka lagi.“Unsur penyusun api itu, Ki. Meski sudah berada dalam tubuh sejak lahir, ia te
“Apa yang harus aku perbuat dengan benda ini, Ki?” tanya Aruna pada Ki Bayanaka, sosok paling senior di padepokan kini.“Simpan lah. Aku tak tahu apa kah berguna atau tidak. Tapi mustika itu berasal dari tubuh kakekmu. Selain kau dan Arya tak ada yang lebih berhak untuk menyimpannya,” jawab Ki Bayanaka bijak.Aruna mengangguk tanda setuju. Pemuda itu menggenggam kembali Mustika Api dari tubuh kakeknya itu. Ia menyambut uluran tangan Legawa untuk dapat berdiri dan memulai prosesi pemakaman Sanggageni.“Perdana!” panggil Legawa. Seorang pemuda lebih tua sedikit dari Aruna muncul dari kerumunan yang nyaris tak mampu dibedakan.“Ya, Guru,” sahut pemuda bernama Perdana itu.“Antarkan Aruna ke bilikmu. Kalian akan menjadi teman satu bilik. Sementara berikan dia pakaianmu. Setelah itu segera bergabung untuk mengurus pemakaman Tuan Sanggageni!” titah Legawa.“Baik, Guru!” sahut pemuda itu dengan penuh hormat. “Mari, Tuan Aruna.”Perdana mempersilahkan Aruna untuk mengikutinya. Sebuah gestur p
“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari
Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m
“Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y
Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina
Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha
Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar