Share

Aruna Putra Api
Aruna Putra Api
Penulis: A.R. Ubaidillah

1. Kendali

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Aruna! Apa yang kau lakukan?” hardik Kertajaya setelah mendapati cucu kesayangannya, Rara Sati mendapatkan sebuah luka di wajah sebelah kiri. Sudah tak ia gunakan lagi gelar pangeran yang selalu disematkan di depan nama pemuda itu.

Pemuda 16 tahun tak bergeming dari tempatnya berdiri. Putra Arya dan Jenar yang menyandang status Putra Mahkota Astagina itu tampak mengepalkan kedua tinjunya. Kulit di sekujur tubuhnya memerah. Matanya menyalang ke arah ayundanya yang bersembunyi di balik tubuh kakeknya. Tepat setelah sekali berkedip, Aruna melesat menyerang dengan kecepatan tinggi.

“Aruna!” pekik pria renta itu sembari mendorong tubuh Rara Sati menjauh. Sedang dirinya tak mampu lagi menghindari serangan cepat Aruna.

“Kakek!”

Mulut Rara Sati menganga, manik matanya melebar maksimal. Dalam jatuhnya ia dapat melihat dengan jelas adik tirinya itu menusuk dada kiri kakeknya menggunakan tangan kanan yang sudah diselimuti api. Kertajaya tak sempat lagi mengaduh. Ia hanya terbelalak setelah memuntahkan banyak darah. Remaja di hadapannya seolah bukan lagi Pangeran Aruna, ia lebih menyerupai makhluk berselubung api yang haus darah.

Seketika api yang menyelimuti seluruh tubuh Aruna meredup. Meninggalkan asap putih tipis yang amat terasa pedih di mata. Tubuh Kertajaya melemah dan mulai luruh ke tanah. Seiring dengan aroma darah yang menguap di dada kiri.

“Ka ... Kakek!” lirih Aruna setelah menyadari hanya lengan kanannya lah yang membuat pria tua itu tetap berdiri dengan lemah. Ia menarik tangan kanannya yang basah oleh darah dan seketika tubuh Kertajaya ambruk ke tanah.

Angin Gunung Payoda berhembus lembut membawa aroma asap dan darah ke timur desa Girijajar. Rara Sati menangis histeris menyaksikan kakeknya tewas di tangan adik tirinya sendiri. Gadis itu tak menghiraukan luka bakar di wajah yang kemungkinan besar akan membekas dan merusak kecantikannya. Ia lebih hirau dengan tubuh kakeknya yang lemah dan masih mengeluarkan asap tipis dari luka menganga di dada kiri.

Belasan prajurit Astagina dan Astakencana sudah berdatangan namun tak berani melakukan satu hal pun. Seorang mantan Adipati terkapar tak berdaya di hadapan Pangeran Astagina dan Putri Astakencana. Mereka tak mau bertindak lancang yang berpotensi membahayakan diri mereka sendiri.

“Kakek!” isak Rara Sati. Gadis itu bersimpuh di sisi jasad kakeknya. Tak ada lelehan darah, semuanya menguap terkena api yang mulanya menyelimuti seluruh tubuh Aruna.

Sementara Aruna sang pelaku masih tak tahu harus berbuat apa. Ia tak lekang-lekang memperhatikan tangan kanannya yang dipenuhi bercak darah. Lengannya bergetar, juga dengan kedua kakinya. Ia sungguh membenci diri dan kekuatan warisan ayahandanya itu. Dirinya yang tak cakap, dan kekuatan api yang hanya bisa memusnahkan.

“Ayunda ... aku tak ber....”

“Diam kau, Pembunuh!” potong Rara Sati dengan kemarahan memenuhi dirinya. Gadis itu bangkit meninggalkan tubuh kakeknya yang ia ratapi. Ia berjalan begitu tegas menghampiri adiknya.

“Ayunda, aku tak bermaksud membunuh kakek, kau tahu aku tak bisa mengendalikan kekuatan api ini!” kilah Aruna. Pemuda itu mundur mencoba memberi jarak pada gadis yang dirundung murka itu.

“Bukan kekuatan itu masalahnya! Tapi kau yang tak mampu mengendalikan dirimu sendiri!” tandas Rara Sati. Gadis itu sudah mengunuskan pedang yang juga menghardik Pangeran Astagina. Sekilas ia melirik pada para prajurit yang tak berani melakukan apa pun selain bersiaga memegang tangkai senjata masing-masing.

“Ayunda, maafkan aku! Aku sungguh tak ingin semua ini terjadi!” Aruna mengatupkan kedua telapak tangannya sembari terus mundur memberi jarak dengan ayundanya.

“Lantas kau pikir dengan meminta maaf kakekku bisa kembali? Hah?” Belum pernah Rara Sati semarah dan semenakutkan seperti ini. Ditambah luka di sisi kiri wajahnya benar-benar membuatnya begitu mengerikan.

“Ayunda, aku mohon....”

“Sudah, diam kau, Pembunuh! Aku akan memaafkanmu asal nyawamu berpisah dari raga kotormu itu!” tandas Rara Sati seraya mulai menyerang adiknya di akhir kalimat.

Tusukan dan sayatan pedang dari Rara Sati hanya menghantam udara. Aruna sepenuhnya dapat menghindari tiap serangan ayundanya. Meski selama ini tak pernah sekali pun Rara Sati menang dalam latih tanding, tetap saja Aruna harus waspada menghadapi orang yang hilang kendali. Berkaca dari dirinya yang mampu mengeluarkan kekuatan sehebat tadi.

Sebuah gerakan cepat dari Aruna mampu menghindar sekaligus memukul pergelangan tangan ayundanya hingga pedang itu terlepas. Sebenarnya ia bisa saja melumpuhkan gadis itu sekarang. Namun rasa bersalahnya lebih besar dari pada keinginan untuk mengalahkan. Aruna mundur demi membujuk Rara Sati agar mengerti keadaannya. Meski hal itu nyaris mustahil.

“Ayunda, maafkan aku! Aku akan bertanggung jawab atas kematian kakek. Aku bersedia menjadi tahanan Astakencana!” bujuk Aruna. Sebuah tawaran buruk untuk situasi yang tak kalah buruknya.

“Kau tahu itu tak mungkin terjadi! Seorang Pangeran Astagina tak mungkin menjadi tawanan Kadipaten di bawahnya! Omong kosong! Satu-satunya caramu bertanggung jawab adalah mati di tanganku, Pembunuh!” sangkal Rara Sati tegas.

Kembali Putri Astakencana itu melakukan serangan membabi buta terhadap pemuda di hadapannya. Ukuran tubuh yang tak sama, ditambah dengan kekuatan serangan yang rendah membuat setiap gerakan Rara Sati seperti tak berarti. Lagi pula kemarahannya justru menghabiskan banyak energi yang harusnya bisa ia gunakan dengan bijak.

“Baik lah kalau itu yang Ayunda mau. Aku tak akan melawan!” lirih Aruna sembari mengendurkan kuda-kuda. Ia hembuskan napasnya kuat-kuat. Mungkin ia memang harus mati agar dosanya terampuni.

Pemuda itu berdiri tegak dan merentangkan tangannya. Tak lagi ia pikirkan tentang kedudukan dan juga keluarga yang mungkin akan sangat terpukul bila ia akhirnya mati muda. Apa lagi Astagina, sebuah kerajaan besar dengan ibundanya sebagai raja. Persetan dengan kerajaan itu.

“Aruna....”

“Lakukan lah, Ayunda. Bukan kah aku ini Pembunuh?” ucap Aruna meyakinkan ayundanya bahwa ia benar-benar ingin menebus kesalahannya. Kali ini ia bahkan sudah memejamkan mata. Bagaimana pun bilah pedang itu tajam dan pasti akan terasa sakit.

Rara Sati melangkah perlahan menghampiri pedangnya yang tadi jatuh berjarak dua langkah di sisi Aruna. Gadis itu begitu waspada, bargantian menatap Aruna, pedang dan langkah kakinya sendiri. Ia curiga dan tak percaya pada Pangeran Astagina itu. Kakeknya yang mantan Adipati dan memiliki ilmu kanuragan tinggi pun dapat dikalahkan dengan sekali serangan.

Tak ada pergerakan dari Aruna. Hanya ada tarikan dan hembusan napas yang terlihat lebih cepat. Bukti bahwa pemuda itu juga merasakan takut dan cemas. Hingga Rara Sati meraih pedang dan memasang kuda-kuda, Aruna masih tetap diam merentangkan tangan dan memejamkan mata.

“Minta lah permohonan maaf pada kakek di alam baka, Pangeran Astagina!” seru Rara Sati sembari mengayunkan pedang penuh tenaga.

“Aaargh!”

Aruna jatuh bersimpuh dengan seringai lebar di bibir. Pakaiannya terasa basah dari pundak kiri hingga pinggang kanan. Setiap tarikan napas membuat rasa sakit itu seolah bertambah dua kali lipat. Pemuda itu membuka mata dan mendapati tubuh bagian depannya sudah memerah. Ia mengarahkan pandangan pada Rara Sati yang memegang pedang dengan tubuh gemetar.

“Kau bodoh, Ayunda,” lirih Aruna.

“Aruna, kau....” Rara Sati terbelalak menyaksikan luka di tubuh adik tirinya itu berdesis dan mengeluarkan asap tipis. Luka itu menutup perlahan disertai ekspresi Aruna yang menahan sakit dengan seringainya.

“Serangan seperti itu tak akan membunuhku. Kau hanya membuatku marah!” sambung Aruna. Kedua tangannya mengepal dan meninju tanah. Pemuda itu bangkit perlahan dan membiarkan amarah menguasai dirinya.

“Ah, tidak! Selubung api itu lagi!” rutuk Rara Sati dalam hati. “Sepertinya aku harus menyerang bagian vitalnya seperti yang ia lakukan pada kakek!”

Rara Sati menggenggam tangkai pedangnya kuat-kuat. Ia harus cepat bergerak sebelum selubung api yang mulai menjalari tubuh Aruna dari kaki itu sampai ke kepalanya. Atau Aruna akan tak terkendali dan mungkin justru ia yang menyusul kakeknya. Gadis itu mengarahkan tikaman ke arah jantung Aruna. Namun dengan cepat pemuda itu menangkap bilah pedang dengan tangan kiri berselubung api.

“Terlalu lambat!” ucap Aruna singkat disertai tatapan mata menyala dengan api sudah menutupi seluruh wajah.

“Sial!”

A.R. Ubaidillah

Untuk yang ingin mengetahu siapa Arya, Jenar, Rara Anjani, Suji Pati, dll, baca juga buku saya: Cundhamani (Panah Api) hanya di GoodNovel.

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
A.R. Ubaidillah
Baca juga Cundhamani (Panah Api) untuk mengetahu keterkaitan Aruna, Arya, Jenar, Ki Bayanaka, Sanggageni, dll. Happy reading ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Aruna Putra Api   2. Pertolongan Ayahanda

    Perlahan tapi pasti api yang menyelubungi tubuh Aruna merambat ke bilah pedang milik Rara Sati. Tangkai pedang sudah menghangat, sebentar lagi akan terbakar. Putri Astakencana itu segera melepaskan pedangnya dan mundur beberapa langkah guna meningkatkan kewaspadaan. Kertajaya dalam jarak sepuluh tombak saja dapat diserang dengan sekali kedipan mata. Apa lagi dengan jaraknya kini.“Aruna, apa kau tak puas sudah membunuh kakek? Apa aku juga harus mati? Hah?” seru Rara Sati sembari mengedarkan pandangan mencari pertolongan dari para prajurit. Gabungan prajurit Astagina dan Astakencana segera bergerak melindungi gadis itu.Aruna mendengus, jilatan api keluar dari lubang hidungnya. Pemuda itu menengadah dan berteriak. Api menyembut dalam jumlah besar dan bertahan beberapa masa. Ia tak ubahnya seperti seekor naga dalam wujud manusia api. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Aruna hanya terus mendengus seolah tengah berusaha meredam amarah.“Hei, kau, Prajurit Astagina, apa Pangeranmu per

  • Aruna Putra Api   3. Hantaman

    Entah putranya itu mengerti atau tidak, Arya segera melesat menghantamkan tinjunya ke dada Aruna yang belum sempat bereaksi apa pun. Tubuh berselubung api itu terpental jauh hingga butuh beberapa pohon besar untuk membuatnya berhenti. Semua orang yang melihat peristiwa itu segera melarikan diri. Kecuali Sanggageni yang baru saja tiba dan Jenar. Keduanya mendekat namun dengan terus menjaga jarak.Meski lebih dewasa, dengan api di tubuh, mau tak mau Arya pun tersulut emosi. Apa lagi melihat putranya yang justru semakin marah diperlakukan sedemikian rupa. Tak butuh waktu lama untuk ayah dan anak itu saling bertarung, menghantamkan energi yang begitu besar hingga membuat separuh desa terbakar.“Arya! Kau harus membuatnya menjauh dari desa! Atau Girijajar akan hancur!” seru Sanggageni kepada putranya di tengah pertarungan.Sanggageni amat memahami, bahwa Aruna bukan lah lagi cucunya bila tengah berada dalam wujud seperti ini. Pun sama dengan saat dirinya dulu, bedanya Aruna lebih kuat dan

  • Aruna Putra Api   4. Pertarungan

    Sanggageni segera menghampiri cucunya dengan satu lompatan. Pria setengah baya dengan satu tangan itu menatap tak percaya tubuh Aruna yang terluka yang segera pulih dengan cepat. Ia teringat Ajian Dasa Daraka yang sempat ia kuasai. Itu pun memerlukan waktu sedikit lebih lama.“Aruna! Kau baik-baik saja?” tanya Sanggageni di tengah seringai pemuda itu.“Apa yang terjadi padaku, Kek? Ada apa dengan tubuhku? Ayahanda selalu memintaku untuk menguasai kekuatan api. Tapi aku menjadi aneh dan kadang menakutkan!” seru Aruna kepada kakeknya.“Ini takdirmu, Aruna. Kau mewarisi darah Ayahandamu, dan Ayahandamu mewarisi darahku, kau tak bisa menolaknya,” terang Sanggageni berusaha menenangkan cucunya.“Dan aku tak meminta untuk dilahirkan sebagai putra Ayahanda dan juga cucu Kakek!” pungkas Aruna berapi-api.Sanggageni terdiam, ia mencoba mengerti apa yang dirasakan cucunya itu. Lahir sebagai seorang pangeran sebuah kerajaan sebesar Astagina, tentu membuat Aruna merasa tak memerlukan kekuatan sep

  • Aruna Putra Api   5. Alasan

    Arya mengurungkan pukulannya. Ia menoleh ke kiri, ke arah seorang perempuan yang mulai menari. Kilatan-kilatan emas mengitari tubuh istrinya itu. Sebelum sebuah hentakan kaki kirinya di bumi dan ayunan lengan rampingnya melesatkan tusuk konde emas ke arah suaminya.“Apa-apaan kau, Jenar!” seru Arya sembari melepaskan cengkramannya di leher Aruna. Tubuh Putra Mahkota Astagina itu luruh ke tanah bersamaan dengan Arya yang menghadang laju Tusukan Kematian itu dengan gelombang api dari kedua telapak tangannya.Arya paham, Suji Pati begitu mematikan. Ia sampai harus mengeluarkan pasokan energi yang besar untuk membuat perisai dari api yang menyelubungi tubuhnya, terutama kepala. Ujung runcing berwarna emas itu terus saja menghunjam mencari celah untuk menembus selubung api milik Arya.Sejauh ini Arya hanya bertahan. Sembari ia mencari cara untuk menghentikan amarah istrinya. Memberi pengertian dalam jarak lebih dari dua puluh tombak amat tak mungkin. Sedang Jenar terus saja menghujaninya d

  • Aruna Putra Api   6. Tuduhan

    Arya terpaku menyaksikan ayahandanya tewas. Ia marah, semua usahanya untuk menghentikan dan menangkal Suji Pati justru berbuah pada kematian Sanggageni. Batas kesabarannya yang memang sudah begitu tipis, kini benar-benar hilang. Lelaki itu menoleh ke arah Jenar yang berdiri di atas dahan pohon sembari memasangkan anak panah logam pada busur Agnitama.“Demi ayahandaku, aku akan membunuhmu!” seru Arya seketika menarik tali busur hingga ke batas maksimal.Mata panah menyala jingga dan mengeluarkan denging menusuk telinga. Kaitan ibu jari tangan kanan Arya pada tali busur sudah terlepas. Getaran akibat lesatan anak panah membentur lengan kiri bagian dalam. Terasa lebih sakit dari biasanya.Jenar segera melompat demi menghindari Cundhamani. Perempuan itu segera bergerak agar api Cundhamani tak mengenai tubuhnya. Batang pohon tempatnya tadi berpijak segera tumbang dan terbakar. Raja Astagina itu segera mengembalikan kuda-kudanya setelah denging itu terdengar kembali.“Gawat! Arya benar-bena

  • Aruna Putra Api   7. Membunuh Dengan Tenang

    “Braja!” Ki Bayanaka sibuk mengibaskan toya dari kayu sarayu ke api-api Cundhamani itu. Dari jarak dua puluh tombak dan kondisi tanah yang meninggi, ia dapat menyaksikan Sanggageni terkulai tak berdaya di hadapan cucunya setelah kepalanya tertembus tusuk konde emas.Firasat pria tua itu benar-benar tajam. Sebelumnya ia tak pernah mengikuti keluarga istana berkunjung ke Girijajar. Kali ini ia menyusul karena merasa tak nyaman dengan perasaannya. Separuh desa sudah hancur terbakar, dan kini lereng Payoda tengah berkobar. Rupanya cerita Mahaguru Rakajiwa terbukti sekarang.“Ksatria Cundhamani dan pengguna Suji Pati tak akan bisa bersanding untuk waktu yang lama. Braja, sudah aku katakan dulu. Tapi kau tak percaya bahkan dengan hal yang kau alami sendiri!” rutuk Ki Bayanaka dalam hati.Dari tempatnya berdiri ia dapar menyaksikan Aruna, Putra Mahkota Astagina menggoncang-goncangkan tubuh kakeknya dengan mata basah. Sebelumnya Ki Bayanaka sudah menyaksikan Rara Anjani menangisi jasad ayahan

  • Aruna Putra Api   8. Resonansi

    Jenar jatuh bersimpuh, menyangga tubuh dengan kedua tangan dan sisa-sisa tenaganya. Napas Raja Astagina itu terengah-engah, seperti cerminan pertarungannya dengan sang suami. Keringat menetes dari dahi dan juga dagunya. Rambutnya yang biasa terikat tapi ke belakang, kini menjuntai beranta kan seperti rumah tangganya.“Sial! Aku belum pernah bertarung hingga menguras tenaga seperti ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Jenar di antara tarikan napas memburu.Arya melemparkan tusuk konde emas yang membara ke arah Jenar. Sengaja tak ia kenakan pada tubuh istrinya itu. Lelaki itu melenguh seperti ada sesuatu yang terjadi pada tangannya. Tusuk konde emas menancap tepat di hadapan Jenar. Di tempat peluhnya tadi menetes.“Benda itu memang istimewa. Tenagaku seperti terserap olehnya,” ucap Arya dalam hati.Lelaki itu melangkah mendekati istrinya yang tak berdaya. Langkahnya begitu mantap dan penuh percaya diri. Apa lagi melihat tubuh Jenar yang gemetar, Arya merasa marwahnya sebagai

  • Aruna Putra Api   9. Menganggap Mati

    Jenar memutar tubuhnya satu kali dengan gerakan tangan yang begitu indah. Ia merasa sudah begitu siap untuk melakukan serangan pamungkas. Tusuk konde emas sudah cukup lama berputar-putar di atas kepala. Benda itu seolah mengumpulkan energi untuk menghunjam dengan kekuatan penuh.“Aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti aku tak akan membunuhmu! Sudah cukup menyakitiku dengan berbagi cinta dengan Rara Anjani. Kau tak akan kubiarkan hidup jika menyakiti putraku!”Tatap nyalang Jenar mengawali hentakan kaki dan gerakan tangan tegas mengarah pada suaminya. Sementara Arya masih menutup mata. Ada seutas senyum di sudut bibir lelaki itu. Ia memang tak melihat. Namun datangnya energi besar dan cepat itu dapat ia deteksi dengan begitu gamblang.Tepat sebelum tusuk konde emas itu menghujam keningnya, Arya mengatupkan kedua telapak tangan di kening sembari menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya tertarik oleh gravitasi dan membawanya masuk ke dalam jurang gelap itu. Lelaki itu mampu menangk

Bab terbaru

  • Aruna Putra Api   133. Akhir Peperangan

    “Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali

  • Aruna Putra Api   132. Peperangan VI

    “Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari

  • Aruna Putra Api   131. Peperangan V

    Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m

  • Aruna Putra Api   130. Danapati Tiruan

    “Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y

  • Aruna Putra Api   129. Gugurnya Jenar Candrakanti

    Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.

  • Aruna Putra Api   128. Peperangan IV

    Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina

  • Aruna Putra Api   127. Peperangan III

    Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha

  • Aruna Putra Api   126. Peperangan II

    Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud

  • Aruna Putra Api   125. Nyawa Dibalas Nyawa

    Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar

DMCA.com Protection Status