Home / Pendekar / Aruna Putra Api / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Aruna Putra Api: Chapter 51 - Chapter 60

133 Chapters

51. Rencana Penyerangan

Seluruh mata kini tertuju pada ribuan anak panah jingga di langit Prastawarna. Semuanya menukik dengan cepat dan menyebar ke semua penjuru mata angin. Senopati Jatiwungu yang baru saja hendak memberikan komando penyerangan, segera menghentikan niatnya. Ada hal indah dan luar biasa yang mungkin hanya sekali seumur hidup ditampakkan di depan mata.Namun berbeda bagi Aruna. Tak ada waktu untuknya menikmati keindahan Sasra Sayaka-Cundhamani. Ia sibuk memindahkan orang-orang yang berada pada jalur lesatan anak-anak panah jingga itu menggunakan Lembat Brabat andalannya. Misinya hanya satu, jangan sampai ada jatuh korban.Anak-anak panah jingga menghunjam tanah nyaris bersamaan. Titik jatuhnya adalah sekira sepuluh tombak dari pagar dinding istana Prastawarna. Istana kecil itu kini sudah dikelilingi api Cundhamani. Tak ada yang bisa masuk atau keluar paling tidak sampai hari ini berakhir atau rombongan yang tadi keluar istana kembali.“Aku tak percaya kau berhasil mengeluarkan lagi Sasra Say
Read more

52. Rencana Penyerangan II

Pasca munculnya Sasra Sayaka-Cundhamani di Prastawarna, orang-orang mulai kembali menyadari bahwa Ksatria Cundhamani itu masih hidup dan akan terus menyeimbangkan kehidupan. Hal yang membuat Astagina dilanda euforia meski rajanya sendiri terus merasa resah. Beruntung di Girijajar tak ada yang mengetahui bahwa Arya putra Gantari-lah Ksatria itu.Di Dipa Kencana, Rara Anjani begitu bahagia mendengar berita kemunculan Seribu Panah Api itu. Ia pun mengirim orangnya ke Prastawarna demi menemui suaminya, atau pun hanya mendapat informasi tentang Arya. Jika Arya bisa dibujuk untuk tinggal di Dipa Kencana, maka ia akan lebih percaya diri terhadap serangan yang mungkin dilakukan Astagina pasca memerdekakan diri.“Ibunda, apa benar Ayahanda sudah ditemukan?” tanya Rara Sati suatu pagi. Meski sudah hilang lebih dari tiga tahun, Dipa Kencana sama sekali tak menganggap Arya mati.“Ibu masih menunggu kabar utusan dari Prastawarna, Putriku. Namun yang pasti dengan kemunculan Sasra Sayaka-Cundhamani,
Read more

53. Bertarung Bersama Ayahanda

“Mereka, pengawal ibundamu, Aruna?” tanya Arya begitu tenang. Ia pernah dalam kondisi lebih tak menguntungkan. Melawan enam pendekar bersama sang putra, sepertinya bukan masalah.“Ya, Ayahanda. Perempuan itu yang memanahku dengan anak panah kayu sarayu,” adu Aruna seraya menunjuk Pitaka yang berdiri paling belakang. Tetap ia kenali meski menutup wajah karena posturnya paling berbeda.“Tentu saja ibundamu tahu kelemahan kita,” bisik Arya.Keenam pengawal raja Astagina itu belum juga menyerang. Entah apa yang mereka lakukan dengan terus memasang kuda-kuda. Padahal Arya dan Aruna sama sekali tak terlihat ingin menyerang. Keduanya tampak santai dan tenang. Bahkan Arya masih menghamparkan kain dan menyembunyikan kedua tangan demi menahan dingin.“Gusti Pangeran, kami punya tawaran untukmu!” seru Pitaka dari belakang.“Aku tak peduli apa kah itu tawaran kalian atau dari ibundaku!” sahut Aruna ketus. “Lagi pula, maju lah, Pitaka! Kau terlalu jauh untuk berbincang!” ledeknya.Arya tersenyum s
Read more

54. Bertarung Bersama Ayahanda II

Api sudah menjalari tubuh Aruna. Pemuda itu tak kuasa lagi menahan amarah. Apa lagi ayahandanya terluka karena ia terlalu ceroboh dalam menggunakan serangan kombinasi Lembat Brabat. Tubuh Arya ia angkat dan rebahkan di pangkuannya.“Tidak, Aruna. Percuma!” lirih Arya menyeringai menahan sakit di pinggangnya.Kata-kata Legawa kembali terngiang di telinga Putra Mahkota Astagina itu. Berpikir dan bertindak seperti seorang pendekar. Sudah Arya contohkan langsung tadi padanya. Menghadapi enam orang pengawal, ayahandanya lebih memilih bertarung tanpa kekuatan api. Meski akhirnya kekuatan itu ia gunakan demi melindungi putranya.“Aku mengerti, Ayahanda!” bisik Aruna dan tiba-tiba tubuh mereka berdua menghilang.“Kemana mereka pergi?” tanya seorang pengawal sambil memegangi kakinya yang terhantam toya Aruna tadi. Tiga pengawal sudah dilumpuhkan. Tersisa tiga orang termasuk Pitaka.“Perempuan licik itu hanya membekali kita dengan kayu sarayu. Kita tidak disiapkan untuk menghadapi Lembat Brabat
Read more

55. Dendam Danapati

"Ya, apa kau tak bertanya mengapa tujuh pengawal raja yang tersohor itu hanya ada enam?” tutur Danapati dengan sejumput senyum sinis di tepi bibir.Aruna tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. Pun Arya meski kini ia lebih banyak menyeringai menahan sakit. Ia teringat salah satu dari tujuh pengawal kakeknya yang berhasil selamat, Sokha. Ia menyamar menjadi pedagang untuk mendapatkan pasokan senjata Baka Nirdaya. Arya sendiri baru mengetahuinya setelah pertempuran Padang Kalaha dari ayahandanya.“Kau pengawal ketujuh. Benar?” tanya Arya tak kalah sinis.“Bukan hanya itu, aku lah pimpinan mereka!” seru Danapati merasa jumawa. Sekian lama berpura-pura menjadi sekutu sebagai mantan Patih Astagina, mengetahui keberadaan Aruna dan menemukan Arya. Kinerjanya layak mendapatkan hadiah besar dari Jenar.“Kau ... masih sepupu Jenar, Danapati! Aku tak menyangka kau bersekongkol dengannya untuk membunuhku!” sesal Arya.“Dan kau ingin tahu sebabnya, Ksatria Cundhamani yang digjaya?” ledek Danapat
Read more

56. Pertarungan

Sebuah ancaman yang ditanggapi dingin oleh ketujuh pengawal raja. Dalam kasus seperti ini mereka memilih untuk bereaksi. Atau tepatnya tak memiliki rencana bila ternyata rencana utama tak berjalan dengan baik. Danapati sendiri memilih untuk tak mendengarkan ancaman putra Jenar itu. Ia masih ingin melihat apakah Aruna akan meninggalkan ayahandanya untuk bertarung.Mendengar tak ada jawaban dari Danapati, dan melihat tak ada yang dilakukan musuh, Aruna memutuskan untuk bergerak. Pemuda berselubung api itu memejamkan mata. Entah apa yang ia pikirkan dan rencanakan. Aruna hanya mencoba berpikir sebagai seorang pendekar sekarang.“Dia akan pergi! Siapkan tabirnya!” seru Danapati setelah melihat Aruna terpejam. Seperti ingin memulai Lembat Brabat yang ia tak sukai itu.Keenam pengawal raja mengangguk. Mereka segera menyebar ke beberapa titik sekitar rumah itu dan memulai sebuah prosesi, kecuali Pitaka. Perempuan itu berjalan mendekati Danapati. Di tangan kirinya masih ada sebuah busur yang
Read more

57. Menuju Dipa Kencana

“Rencana yang bodoh, Danapati!” gumam Arya nyaris tertawa di tangah sakitnya.Danapati dan Pitaka begitu panik setelah kemana pun mereka pergi hanya menemui api dan dinding penghalang Pancawala. Mereka mulai kehabisan udara setelah Aruna berhenti menghembuskan api. Sedang untuk memberi tahu lima rekan mereka sepertinya percuma.“Apa yang harus kita lakukan, Gusti Patih?” tanya Pitaka. Perempuan itu bertumpu pada lututnya demi mendapatkan udara lebih baik dibanding asap.“Dan siapa yang harus aku tanyai, hah?” hardik Danapati. “Minta mereka untuk menghentikan Pancawala!”“Tapi....”“Kau ingin mati terpanggang di sini? Beruntung ini bukan api Cundhamani!” hardik Danapati lagi. Tidak ada pilihan baginya selain membuka dinding penghalang Pancawala, atau dia akan binasa.Pitaka segera berlari ke salah satu sudut dinding yang di luarnya terdapat seorang pengawal raja. Pria itu memejamkan mata dan berkonsentrasi menjaga dinding Pancawala tetap kuat berdiri. Pitaka segera menghantam dinding t
Read more

58. Garjita

Arya duduk bersandar pada pembaringan mewah istana raja Dipa Kencana. Istrinya, Rara Anjani setia menemani. Aruna yang masih menyembunyikan jati diri masih mengobati luka di pinggang ayahandanya. Sementara Rara Sati yang baru tiba menyusul ibundanya tampak sedih sekaligus bahagia ayahandanya kembali.“Jenar benar-benar sudah gila!” rutuk Rara Anjani. “Ia benar-benar menginginkan kematianmu, Suamiku!”Arya tak menjawab. Ia masih meringis menahan sakit meski lukanya sudah jauh lebih baik. Sejak memutuskan untuk beristri dua, Arya selalu menahan diri untuk tak menimpali tiap ucapan istrinya terkait istri lainnya. Hal yang berdampak baik setidaknya sampai enam belas tahun berlalu.“Bagaimana dia bisa tahu keberadaanmu?” tanya Rara Anjani masih dengan amarah yang tinggi.“Aku tak tahu, Rara. Beruntung aku bertemu Garjita, ilmu pengobatannya mungkin setara dengan mendiang Ki Bayanaka,” kilah Arya menyebut putranya sebagai Garjita.“Ki Bayanaka sudah wafat? Benar kah itu?” Rara Anjani begitu
Read more

59. Keluarga

“Aruna?”“Ayunda....” Aruna tampak kebingungan. Ia berusaha untuk menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Namun percuma ia sudah memanggil Rara Sati dengan panggilan yang hanya ia seorang melakukannya.“Tak usah kau sembunyikan wajahmu!” tepis Rara Sati. Ia menampik tangan Aruna agar tak menutupi wajahnya sendiri.Aruna mematung menyaksikan ayundanya mulai menangis. Pemuda itu ragu, ingin ia merangkul pundak yang bergerak beriring isaknya. Rara Sati membuang pandangannya ke kanan. Maka tampak lah bekas luka di pipi kiri gadis yang lebih tua beberapa bulan darinya itu. Buah dari amukan Aruna tiga tahun lalu.“Ayunda....” Kedua mata Aruna sudah penuh dengan air mata. Seberapa kuat pun di tahan, Aruna tetap lah pemuda 19 tahun yang begitu perasa. Tiga tahun bukan lah waktu yang cukup untuk merubah semua tabiat seorang pangeran.“Kau bodoh, Aruna!” lirih Rara Sati.“Bodoh?”“Mengapa kau menyamar menjadi Garjita dan membiarkan dirimu diperlakukan sebagai tamu? Bahkan kau menyebut ayahanda
Read more

60. Keluarga II

“Kau sudah lebih dahulu tau ya, Sati?” ucap Arya seraya tersenyum menyelisihi istrinya yang tampak terkejut. Ia bergerak menghampiri dua anaknya yang berdiri dengan gamang. Dirangkul keduanya. Arya di kanan dan Rara Sati di kiri.“Jadi kau dan dia sengaja menyembunyikan jati dirinya?” tanya Rara Anjani pada suaminya.“Ya, semata-mata karena Aruna masih menyimpan begitu banyak rasa bersalah atas kematian ayahanda Kertajaya. Sedang kami tak punya pilihan selain datang ke sini. Ke tempat kami dianggap sebagai keluarga,” terang Arya sama sekali tak mengendurkan rengkuhan tangannya.“Dan kau pun sudah mengetahuinya, Sati?” tanya Rara Anjani. Wajahnya benar-benar dipenuhi emosi yang akan segera meluap.“Aku mengikutinya tadi. Suara dan posturnya benar-benar menyerupai Aruna. Adikku yang sudah tiga tahun menghilang,” jawab Rara Sati dengan senyum mengembang.“Ibunda ... Maaf,” lirih Aruna.“Diam kau!” hardik Rara Anjani. Seketika Arya, Rara Sati dan Aruna menegang. Hal ini lah yang amat dita
Read more
PREV
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status