Home / Pendekar / Aruna Putra Api / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Aruna Putra Api: Chapter 71 - Chapter 80

133 Chapters

71. Mendatangi Istri

Wangi kayu gaharu yang dibakar segera menyeruak indera penciuman Arya. Seketika yang ia lihat di depan mata bukan lagi gelap malam dan ribuan bintang yang seolah mengerumuni bulan. Namun pendar cahaya dari lampu minyak di dinding. Samar-samar tampak seorang perempuan tengah tertidur di dalam pembaringan berkelambu sutera.“Ini....”“Dia lah perempuan yang selalu Ayahanda rindukan, bukan?” bisik Aruna.Pria di hadapan Pangeran Astagina itu tersenyum. Tak lagi ia pedulikan ocehan putranya tentang sebuah kerinduan yang terpendam. Arya melangkah mendekati istrinya yang terlihat begitu tenang dalam peraduan. Merendahkan tubuh jadi pilihan Arya demi dapat memandangi wajah cantik yang begitu ia rindu.“Jenar,” batin Arya. Tak ada kata yang terbesit di benak pria itu, hanya itu. Tanda begitu lama memendam kerinduan kepada istrinya itu. Tak ada pula hal yang dilakukan Arya selain bersimpuh di sisi pembaringan Jenar.Aruna memandang ayahandanya dari belakang sambil bersedekap. Setelah tiga tahu
Read more

72. Banyak Bicara

Tiga purnama berlalu sejak kedatangan pasukan berkuda Astagina di Rakajiwa. Buah dari Baladhara milik pemuda pendiam bernama Atma, padepokan seperti berdiri di tepi jurang. Namun kini sudah ada jembatan yang menghubungkannya dengan tanah seberang. Sejauh ini tak ada tanda-tanda serangan susulan dari Astagina. Dua hari lalu Arya dan Aruna sudah kembali ke Dipa Kencana. Dan kini Perdana, Barata, Adisatya dan Atma sudah bersiap melakukan pengembaraan mencari hidup yang diinginkan.Legawa berjalan pelan menghampiri keempat muridnya di ambang gerbang padepokan. Empat pemuda yang sudah mencapai ilmu kanuragan lebih tinggi dari prajurit tingkat menengah itu siap untuk dilepas. Sudah tak ada lagi yang bisa dipelajari di Rakajiwa. Mereka sudah habis mempelajari gulungan yang diberikan sesuai dengan minat dan bakatnya.“Guru,” Perdana menyalami Legawa penuh takdzim. Sedang Legawa segera memeluk muridnya itu erat-erat. Disusul dengan pelukan pada Barata, Adisatya dan Atma.“Simpan lah ini!” Lega
Read more

73. Menguji Baladhara

“Kau saja,” ucap Atma singkat.Dua pemuda itu melangkah seperti biasa memanggul buntalan kain di pundak. Mereka mencoba mengacuhkan enam pria yang sudah tersenyum penuh intimidasi. Atma bahkan menunduk seolah-olah ia begitu takut. Sedang Perdana mencoba untuk menerobos namun juga bertindak sopan.“Permisi....” ucap Perdana sopan.“Eit, tunggu dulu, Anak Muda! Kami baru kali ini melihatmu, kau pasti bukan orang desa ini. Hmm, apa kalian dari Rakajiwa?” tanya seorang pria berkumis lebat.“Ya, kami dari Rakajiwa,” jawab Perdana tegas. “Ada perlu apa Ki Sanak semua menghalangi jalan kami?”“Hei, Anak Muda Angkuh! Harusnya kami yang bertanya padamu, ada perlu apa kalian di desa kami?” hardik seorang yang sepertinya paling muda.“Kami dalam pengembaraan, dan jalan yang kami tempuh memang harus melewati desa ini,” jawab Perdana lagi.“Tak ada gunanya menjelaskan pada mereka, Perdana!” bisik Atma. Kedua tangan pemuda itu sudah mengepal. Pengalaman pahit di masa lalu membuat siapa pun perampok
Read more

74. Menguji Baladhara II

Belasan laki-laki itu menyebar. Dalam jalan setapak sejajar dengan Atma hanya terdapat lima orang berusia serupa. Sisanya berada di sisi kanan dan kiri. Ada yang masuk dalam ilalang, dahan dan balik pohon. Dari gerakan dan cara mereka bereaksi, sepertinya memburu mangsa dalam kelompok besar acap kali mereka lakukan.“Hati-hati lah, Atma!” seru Perdana. Atma menghentikan langkah dan menoleh.“Apa gunanya dirimu? Bukan kah kau adalah perlindunganku ketika aku menyerang?” ucap Atma setengah meledek. Hal itu hanya berlaku bila tak ada kata-kata meminta rekannya mundur. Kondisi seperti ini maka kepercayaan terhadap rekan adalah segalanya.“Kau ini, masih sempat bergurau!” rutuk Perdana sembari tersenyum kecil.“Kau sungguh berani maju seorang diri!” seru pemuda yang berdiri di atas batu. Dari gelagatnya, ia lah pemimpin gerombolan ini. Pasti dia bukan orang sembarangan. “Oh, atau bodoh! Hanya orang sangat pemberani atau bodoh yang bertindak sepertimu!”Tawa pemuda itu pecah di susul dengan
Read more

75. Tekad Aruna

“Jumlah kekuatan Dipa Kencana pasti tak sebanding dengan Astagina. Dari pada fokus pada penyerangan, bukan kah lebih baik memperbaiki pertahanan, Ayahanda?” ucap Aruna mencoba mengutarakan idenya.“Hmm, kau benar. Meski tak ada lagi aku dan kakekmu, mereka tetap saja pasukan terkuat saat ini,” timpal Arya.“Kita bisa memanfaatkan karakter alam di Dipa Kencana. Kalau pun memang akan ada penyerangan dari Astagina, aku tak ingin ada korban dari kedua belah pihak,” tambah Aruna sembari menunduk. Kematian masih menjadi trauma tersendiri baginya, apa lagi kematian orang dekat.“Aruna benar, Suamiku. Bagaimana pun Astagina adalah tempatmu berasal. Lagi pula meski apa yang terjadi, Aruna tetap lah Putra Mahkota,” potong Rara Anjani yang tiba-tiba saja muncul dan ikut bergabung dalam perbincangan.“Rara,”“Jenar tetap istrimu dan ibunda Aruna. Aku mendukung segala upaya demi menghindari pertumpahan darah!” Rara Anjani sampai di hadapan suami dan putra tirinya. Ia tersenyum manis dan menepuk pu
Read more

76. Duri Dalam Daging

“Kau benar-benar bedebah, Danapati! Apa yang sebenarnya kau inginkan?” hardik Jenar begitu marah. Dari sekian banyak orang sakti di Astagina, mungkin hanya Danapati yang menyadari bahwa tusuk konde emas tak lagi terpasang di kepalanya.“Yang aku inginkan?” Danapati tertawa lepas namun seketika berhenti. “Akhirnya kau mengucapkan pertanyaan itu, Jenar Candrakanti!” tandasnya tak kalah sinis. Seolah ia sudah menantikan begitu lama momen seperti ini.“Kau ... Sudah merencanakan semua ini?” tanya Jenar hampir tak percaya.Danapati kembali tertawa, namun kali ini cukup lama. Ia sampai berganti arah beberapa kali. Meski tetap berada di sekitar Raja Astagina yang baru saja menyadari kebusukan patihnya. Danapati berdiri tepat di muka Jenar, tak ada lagi penghormatan kepada seorang raja yang biasa dilakukan.“Kematian suamimu!” tandas Danapati.“Ada apa dengan Arya? Mengapa kau menginginkan kematiannya?” cecar Jenar.“Tentu kau tak merasakan bagaimana menunggu belasan tahun untuk merebut kemba
Read more

77. Penyesalan

Jenar menatap nyalang patih yang juga sepupunya itu. Perempuan itu masih yakin bahwa punggawanya masih banyak yang setia. Meski pengawalnya sekali pun sudah menjadi antek-antek Danapati. Wajar saja, keenam pengawalnya yang kini tersisa lima adalah pilihan Danapati. Bahkan cucu Prabu Anarawan itu yang mengetuainya sendiri.“Tak ada lagi yang berpihak padamu, Jenar. Sadar lah! Tanpa Tuan Sanggageni, Ki Bayanaka dan suamimu itu, kau hanya lah perempuan biasa. Kau hanya simbol! Boneka!” tandas Danapati tepat di depan wajah Raja Astagina itu.Sebuah hantaman kembali menyasar ulu hati Danapati. Lelaki itu tersungkur memegangi perutnya. Pitaka hendak membantu, namun hardikan Jenar dengan tatapan mata sudah cukup untuk membuatnya mundur. Jika Danapati tak berdaya, maka keberadaannya bersama empat orang pengawal itu dalam posisi yang gamang.“P-Pitaka, bawa dia! Cepat!” titah Danapati tersengal-sengal.“Kau berani, Pitaka? Kalian? Begini balasan kalian padaku? Jika tak menjadi pengawalku, kali
Read more

78. Orang Asing

Perdana dan Atma saling pandang. Seolah masing-masing mereka mampu membaca pikiran rekannya. Tak mungkin ini Dipa Kencana bila seorang berpakaian prajurit itu menghardik orang asing yang baru sampai di perbatasan wilayah.“Kami hanya pengembara, Tuan. Kalau boleh tahu apa nama wilayah ini?” Pedana begitu ramah meski prajurit bertombak itu sama sekali tak menggeser ujung runcing senjatanya dari wajah mereka berdua.“Ini Wedhari Praja. Kalian akan aku periksa sebagai persyaratan untuk masuk wilayah ini,” sahut pria itu masih dengan wajah ketus dan dingin.“Apa tengah terjadi sesuatu di sini sampai setiap orang yang hendak masuk harus diperiksa?” tanya Perdana lagi.“Tak ada apa-apa. Hanya Wedhari Praja baru saja memisahkan diri dari Astagina. Kami patut mencurigai siapa pun yang melintas untuk menghindari mata-mata musuh!” tandas pria itu setelah puas memeriksa tubuh Perdana dan Atma.Kedua pemuda itu merentangkan tangan sebagai tanda mereka taat pada peraturan wilayah yang baru saja me
Read more

79. Wedhari Praja

“Bangun kalian!” hardik seseorang seraya menggebrak lantai pondok dari bambu itu. Perdana dan Atma mendadak bangun hingga dalam posisi duduk. Di hadapan mereka beberapa prajurit Dipa Kencana menatap garang dengan senjata terhunus di tangan.“Ada apa ini?” tanya Perdana tak mengerti. Kesadaran belum ia dapatkan sepenuhnya. Sementara Atma sudah mencium ada hal berbahaya yang tengah mengintai mereka berdua.“Ikut kami, Penyusup!” bentak prajurit terdepan, paling garang dan paling besar badannya.“Penyusup? Kami hanya pengembara, Tuan,” kilah Perdana membela diri.“Ya, pengembara dari Astagina yang menyusup kemari, bukan? Ikut kami atau terpaksa kami akan berbuat kasar!” ancam prajurit itu.“Tuan, tolong dengarkan kami,” pinta Perdana terus berusaha mengiba dengan mendekati seluruh prajurit itu satu persatu dan menyentuh lengan atau apa pun. Atma mengerti apa maksud rekannya. Pemuda itu menjauh ke sudut pondok untuk memberikan ruang pada Perdana.“Kau, kemari!” bentak prajurit itu lagi.A
Read more

80. Hukuman Gantung

“Aruna, bisa kau bawa Ayah ke Wedhari Praja?” pinta Arya setelah menemui putranya itu di beranda istananya. “Wedhari Praja?” tanya Aruna tak mengerti. Tak seperti biasa, ayahandanya tampak panik dan tergesa-gesa. “Maksud Ayah Asta-Wedhari,” ucap Arya meralat ucapannya. Wajahnya tampak tegang untuk seseorang yang sudah menghadapi begitu banyak hal yang mengancam nyawanya sendiri. “Jangan katakan padaku bahwa Asta-Wedhari memisahkan diri, Ayahanda!” ujar Aruna segera menegakkan kepala. Jika benar dugaannya, maka kehancuran Astagina hanya tinggal menunggu waktu saja. Jika wilayah kekuasaan sebesar Asta-Wedhari sudah memisahkan diri, maka kondisi internal Astagina dalam masalah besar. “Kau sudah bisa menebaknya, Nak,” sahut Arya menundukkan wajah. Ia tak ingin menyaksikan wajah kecewa putranya. Meski tak peduli dengan politik Astagina, Aruna amat tak menyukai potensi pertumpahan darah. “Ibunda sudah keterlaluan! Mengapa kita tidak ke Astagina saja, Ayahanda?” kilah Aruna karena menget
Read more
PREV
1
...
678910
...
14
DMCA.com Protection Status