Perdana dan Atma saling pandang. Seolah masing-masing mereka mampu membaca pikiran rekannya. Tak mungkin ini Dipa Kencana bila seorang berpakaian prajurit itu menghardik orang asing yang baru sampai di perbatasan wilayah.“Kami hanya pengembara, Tuan. Kalau boleh tahu apa nama wilayah ini?” Pedana begitu ramah meski prajurit bertombak itu sama sekali tak menggeser ujung runcing senjatanya dari wajah mereka berdua.“Ini Wedhari Praja. Kalian akan aku periksa sebagai persyaratan untuk masuk wilayah ini,” sahut pria itu masih dengan wajah ketus dan dingin.“Apa tengah terjadi sesuatu di sini sampai setiap orang yang hendak masuk harus diperiksa?” tanya Perdana lagi.“Tak ada apa-apa. Hanya Wedhari Praja baru saja memisahkan diri dari Astagina. Kami patut mencurigai siapa pun yang melintas untuk menghindari mata-mata musuh!” tandas pria itu setelah puas memeriksa tubuh Perdana dan Atma.Kedua pemuda itu merentangkan tangan sebagai tanda mereka taat pada peraturan wilayah yang baru saja me
“Bangun kalian!” hardik seseorang seraya menggebrak lantai pondok dari bambu itu. Perdana dan Atma mendadak bangun hingga dalam posisi duduk. Di hadapan mereka beberapa prajurit Dipa Kencana menatap garang dengan senjata terhunus di tangan.“Ada apa ini?” tanya Perdana tak mengerti. Kesadaran belum ia dapatkan sepenuhnya. Sementara Atma sudah mencium ada hal berbahaya yang tengah mengintai mereka berdua.“Ikut kami, Penyusup!” bentak prajurit terdepan, paling garang dan paling besar badannya.“Penyusup? Kami hanya pengembara, Tuan,” kilah Perdana membela diri.“Ya, pengembara dari Astagina yang menyusup kemari, bukan? Ikut kami atau terpaksa kami akan berbuat kasar!” ancam prajurit itu.“Tuan, tolong dengarkan kami,” pinta Perdana terus berusaha mengiba dengan mendekati seluruh prajurit itu satu persatu dan menyentuh lengan atau apa pun. Atma mengerti apa maksud rekannya. Pemuda itu menjauh ke sudut pondok untuk memberikan ruang pada Perdana.“Kau, kemari!” bentak prajurit itu lagi.A
“Aruna, bisa kau bawa Ayah ke Wedhari Praja?” pinta Arya setelah menemui putranya itu di beranda istananya. “Wedhari Praja?” tanya Aruna tak mengerti. Tak seperti biasa, ayahandanya tampak panik dan tergesa-gesa. “Maksud Ayah Asta-Wedhari,” ucap Arya meralat ucapannya. Wajahnya tampak tegang untuk seseorang yang sudah menghadapi begitu banyak hal yang mengancam nyawanya sendiri. “Jangan katakan padaku bahwa Asta-Wedhari memisahkan diri, Ayahanda!” ujar Aruna segera menegakkan kepala. Jika benar dugaannya, maka kehancuran Astagina hanya tinggal menunggu waktu saja. Jika wilayah kekuasaan sebesar Asta-Wedhari sudah memisahkan diri, maka kondisi internal Astagina dalam masalah besar. “Kau sudah bisa menebaknya, Nak,” sahut Arya menundukkan wajah. Ia tak ingin menyaksikan wajah kecewa putranya. Meski tak peduli dengan politik Astagina, Aruna amat tak menyukai potensi pertumpahan darah. “Ibunda sudah keterlaluan! Mengapa kita tidak ke Astagina saja, Ayahanda?” kilah Aruna karena menget
Prabu Ramatungga pemimpin Wedhari Praja yang kini sudah kembali naik tahta mengangkat tangan kanannya. Seketika lemparan batu berhenti dan suasana yang riuh menghilang. Tertinggal suara Perdana, Barata dan Atma yang mengaduh karena luka akibat lemparan batu. Sebagian besar wilayah kepala.Pria tua dengan puncak kekuasaan dan kewibawaan itu maju dua langkah hingga ke tepi pagar pembatas. Ia bersiap mengucapkan pidato yang membakar semangat dan rasa persatuan rakyat Wedhari Praja. Rangkaian kata-kata penuh kebanggaan yang sudah dua puluh tahun lebih tak pernah lagi ia ucapkan. Juga sebagai puncak momentum kemerdekaan Wedhari Praja dari kekuasaan Astagina.“Kita harus menyelamatkan mereka bertiga, Ayahanda!” bisik Aruna lembut. Ia tak ingin desah napasnya terdengar oleh rakyat Wedhari Praja.“Ayah tahu, tapi bagaimana caranya?” tanya Arya. Aruna terdiam. Dalam kondisi memanas Wedhari Praja, amat riskan melakukan tindakan yang mencolok perhatian. Terlebih mereka berdua berhubungan erat de
“Lokawigna....”“Sendika, Tuan. Mohon sebutkan permintaan Tuan,” ucap lelaki berpakaian putih dengan aksen emas itu. Ia bersedekap namun terus menunjukkan rasa hormat pada Arya.“Tolong pindahkan Sasra Sayaka-Cundhamani sesaat sebelum menghunjam rakyat Wedhari Praja,” titah Arya menatap anak panah apinya yang sudah mengganda menjadi ribuan. Hanya dalam hitungan detik ribuan lesatan jingga itu sudah menukik tajam karena gaya tarik bumi.“Sendika, Gusti!” Lokawigna menundukkan sedikit tubuhnya dah segera berbalik. Menatap ke arah yang sama seperti Arya.Rakyat Wedhari Praja masih terus mendongakkan kepala menatap langit yang dipenuhi lesatan jingga. Tak ada yang sadar bahwa itu adalah Sasra Sayaka-Cundhamani yang bisa saja menghancurkan mereka dalam beberapa detik ke depan. Namun hal itu tidak terjadi pada Prabu Ramatungga.“Sasra Sayaka-Cundhamani? Apa Arya tengah berada di sini? Apa dia akan menghancurkan Wedhari Praja?” gumam Prabu Ramatungga di tengah hiruk pikuk rakyatnya yang terp
“Ayah curiga ada sesuatu yang terjadi dengan ibundamu, Aruna,” lirih Arya.Aruna hanya bersedekap dan diam. Seolah kalimat ayahandanya tadi tak menarik perhatiannya. Matanya menatap rembulan separuh di langit Padepokan Rakajiwa. Tak ada alasan lain yang lebih baik selain membawa Perdana, Barata dan Atma kembali ke padepokan demi memulihkan kondisi.“Kau merindukan ibunda, Ayahanda?” tanya Aruna tiba-tiba. Kata-kata Arya tadi bukan topik pembicaraan yang menarik baginya.“Mengapa kau tanyakan itu?” tanya Arya.“Hmm, apa yang membuat Ayahanda berpikir ada hal yang terjadi dengan ibunda? Padahal jelas-jelas banyak kebijakan Ibunda yang tak berpihak kepada rakyat. Pemisahan kerajaan-kerajaan kecil jadi bukti,” terang Aruna.Arya menghela napas panjang. Sebagai satu-satunya orang tersisa yang begitu mengenal Jenar, ia yakin istrinya itu tak mungkin berbuat sedemikian buruk. Terlepas dari kenyataan Jenar pernah berupaya mencelakainya dan Aruna, tapi Arya merasa ada hal besar yang ia tak tah
Pakaian kebesaran sudah ditanggalkan. Tak ada artinya bila kekuasaan tak lagi dalam genggaman. Kemilau mahkota dan perhiasan tak lagi berdampak apa pun di ruang lembab dan gelap ini. Entah sudah berapa lama Jenar duduk bersila menyandarkan tubuh kurusnya di dinding. Kedua matanya terpejam. Sudah lima kali gelap terang terakhir ia tak bisa lagi merasakan sakit pada tubuh, terutama perutnya.“Gusti, makan lah,” ucap Seruni lirih. Emban setia Jenar yang akhirnya ditugaskan menemani raja Astagina itu dalam sekapan Danapati.Tak ada jawaban dari bibir Jenar. Perempuan itu hanya menghela napas sejenak. Lalu kembali diam membisu. Wajahnya semakin tirus dengan kulit kusam tak terawat. Ia mengenakan pakaian serba putih dengan rambut diikat ke atas.“Hamba mohon, makan lah, Gusti. Sudah satu pekan ini Gusti hanya minum air,” lanjut Seruni.Jenar kembali menghela napasnya. “Tidak, Seruni. Aku akan makan jika aku menemukan alasannya.”“Alasannya?”“Ya, jika aku makan, apa kah aku bisa keluar dari
Sebuah bangunan megah sebelah utara istana raja tampak lengang. Sejak kematian Sanggageni dan menghilangnya Ki Bayanaka bangunan itu tiada lagi berpenghuni. Seruni pernah melihat seekor elang yang diikat di beranda tengah diberi makan oleh seorang abdi. Ia yakin itu Jenaka. Namun peristiwa itu sudah cukup lama. Seperti dugaannya, tak ada lagi Jenaka di beranda itu.Perempuan itu menggenggam lonceng pemberian Jenar. Raut wajahnya tampak ragu. Sesekali ia menoleh ke segala arah. Kewaspadaannya berada pada tingkat tertinggi. Ia tak boleh gagal dalam misi sederhana ini. Atau kepercayaan Jenar padanya akan tercoreng, juga mengancam hidup Jenar dan hidupnya sendiri.“Apa aman jika aku bunyikan lonceng di sini?” batin Seruna sambil terus mengawasi sekitar. Perempuan itu kini berdiri seorang diri di ambang beranda.“Apa yang kau lakukan di sini, Nyai?” tanya seorang pria bersuara berat di belakang Seruni. Tentu saja Emban itu terkejut dan serta merta menoleh ke belakang dengan wajah gugup.“