“Bangun kalian!” hardik seseorang seraya menggebrak lantai pondok dari bambu itu. Perdana dan Atma mendadak bangun hingga dalam posisi duduk. Di hadapan mereka beberapa prajurit Dipa Kencana menatap garang dengan senjata terhunus di tangan.“Ada apa ini?” tanya Perdana tak mengerti. Kesadaran belum ia dapatkan sepenuhnya. Sementara Atma sudah mencium ada hal berbahaya yang tengah mengintai mereka berdua.“Ikut kami, Penyusup!” bentak prajurit terdepan, paling garang dan paling besar badannya.“Penyusup? Kami hanya pengembara, Tuan,” kilah Perdana membela diri.“Ya, pengembara dari Astagina yang menyusup kemari, bukan? Ikut kami atau terpaksa kami akan berbuat kasar!” ancam prajurit itu.“Tuan, tolong dengarkan kami,” pinta Perdana terus berusaha mengiba dengan mendekati seluruh prajurit itu satu persatu dan menyentuh lengan atau apa pun. Atma mengerti apa maksud rekannya. Pemuda itu menjauh ke sudut pondok untuk memberikan ruang pada Perdana.“Kau, kemari!” bentak prajurit itu lagi.A
“Aruna, bisa kau bawa Ayah ke Wedhari Praja?” pinta Arya setelah menemui putranya itu di beranda istananya. “Wedhari Praja?” tanya Aruna tak mengerti. Tak seperti biasa, ayahandanya tampak panik dan tergesa-gesa. “Maksud Ayah Asta-Wedhari,” ucap Arya meralat ucapannya. Wajahnya tampak tegang untuk seseorang yang sudah menghadapi begitu banyak hal yang mengancam nyawanya sendiri. “Jangan katakan padaku bahwa Asta-Wedhari memisahkan diri, Ayahanda!” ujar Aruna segera menegakkan kepala. Jika benar dugaannya, maka kehancuran Astagina hanya tinggal menunggu waktu saja. Jika wilayah kekuasaan sebesar Asta-Wedhari sudah memisahkan diri, maka kondisi internal Astagina dalam masalah besar. “Kau sudah bisa menebaknya, Nak,” sahut Arya menundukkan wajah. Ia tak ingin menyaksikan wajah kecewa putranya. Meski tak peduli dengan politik Astagina, Aruna amat tak menyukai potensi pertumpahan darah. “Ibunda sudah keterlaluan! Mengapa kita tidak ke Astagina saja, Ayahanda?” kilah Aruna karena menget
Prabu Ramatungga pemimpin Wedhari Praja yang kini sudah kembali naik tahta mengangkat tangan kanannya. Seketika lemparan batu berhenti dan suasana yang riuh menghilang. Tertinggal suara Perdana, Barata dan Atma yang mengaduh karena luka akibat lemparan batu. Sebagian besar wilayah kepala.Pria tua dengan puncak kekuasaan dan kewibawaan itu maju dua langkah hingga ke tepi pagar pembatas. Ia bersiap mengucapkan pidato yang membakar semangat dan rasa persatuan rakyat Wedhari Praja. Rangkaian kata-kata penuh kebanggaan yang sudah dua puluh tahun lebih tak pernah lagi ia ucapkan. Juga sebagai puncak momentum kemerdekaan Wedhari Praja dari kekuasaan Astagina.“Kita harus menyelamatkan mereka bertiga, Ayahanda!” bisik Aruna lembut. Ia tak ingin desah napasnya terdengar oleh rakyat Wedhari Praja.“Ayah tahu, tapi bagaimana caranya?” tanya Arya. Aruna terdiam. Dalam kondisi memanas Wedhari Praja, amat riskan melakukan tindakan yang mencolok perhatian. Terlebih mereka berdua berhubungan erat de
“Lokawigna....”“Sendika, Tuan. Mohon sebutkan permintaan Tuan,” ucap lelaki berpakaian putih dengan aksen emas itu. Ia bersedekap namun terus menunjukkan rasa hormat pada Arya.“Tolong pindahkan Sasra Sayaka-Cundhamani sesaat sebelum menghunjam rakyat Wedhari Praja,” titah Arya menatap anak panah apinya yang sudah mengganda menjadi ribuan. Hanya dalam hitungan detik ribuan lesatan jingga itu sudah menukik tajam karena gaya tarik bumi.“Sendika, Gusti!” Lokawigna menundukkan sedikit tubuhnya dah segera berbalik. Menatap ke arah yang sama seperti Arya.Rakyat Wedhari Praja masih terus mendongakkan kepala menatap langit yang dipenuhi lesatan jingga. Tak ada yang sadar bahwa itu adalah Sasra Sayaka-Cundhamani yang bisa saja menghancurkan mereka dalam beberapa detik ke depan. Namun hal itu tidak terjadi pada Prabu Ramatungga.“Sasra Sayaka-Cundhamani? Apa Arya tengah berada di sini? Apa dia akan menghancurkan Wedhari Praja?” gumam Prabu Ramatungga di tengah hiruk pikuk rakyatnya yang terp
“Ayah curiga ada sesuatu yang terjadi dengan ibundamu, Aruna,” lirih Arya.Aruna hanya bersedekap dan diam. Seolah kalimat ayahandanya tadi tak menarik perhatiannya. Matanya menatap rembulan separuh di langit Padepokan Rakajiwa. Tak ada alasan lain yang lebih baik selain membawa Perdana, Barata dan Atma kembali ke padepokan demi memulihkan kondisi.“Kau merindukan ibunda, Ayahanda?” tanya Aruna tiba-tiba. Kata-kata Arya tadi bukan topik pembicaraan yang menarik baginya.“Mengapa kau tanyakan itu?” tanya Arya.“Hmm, apa yang membuat Ayahanda berpikir ada hal yang terjadi dengan ibunda? Padahal jelas-jelas banyak kebijakan Ibunda yang tak berpihak kepada rakyat. Pemisahan kerajaan-kerajaan kecil jadi bukti,” terang Aruna.Arya menghela napas panjang. Sebagai satu-satunya orang tersisa yang begitu mengenal Jenar, ia yakin istrinya itu tak mungkin berbuat sedemikian buruk. Terlepas dari kenyataan Jenar pernah berupaya mencelakainya dan Aruna, tapi Arya merasa ada hal besar yang ia tak tah
Pakaian kebesaran sudah ditanggalkan. Tak ada artinya bila kekuasaan tak lagi dalam genggaman. Kemilau mahkota dan perhiasan tak lagi berdampak apa pun di ruang lembab dan gelap ini. Entah sudah berapa lama Jenar duduk bersila menyandarkan tubuh kurusnya di dinding. Kedua matanya terpejam. Sudah lima kali gelap terang terakhir ia tak bisa lagi merasakan sakit pada tubuh, terutama perutnya.“Gusti, makan lah,” ucap Seruni lirih. Emban setia Jenar yang akhirnya ditugaskan menemani raja Astagina itu dalam sekapan Danapati.Tak ada jawaban dari bibir Jenar. Perempuan itu hanya menghela napas sejenak. Lalu kembali diam membisu. Wajahnya semakin tirus dengan kulit kusam tak terawat. Ia mengenakan pakaian serba putih dengan rambut diikat ke atas.“Hamba mohon, makan lah, Gusti. Sudah satu pekan ini Gusti hanya minum air,” lanjut Seruni.Jenar kembali menghela napasnya. “Tidak, Seruni. Aku akan makan jika aku menemukan alasannya.”“Alasannya?”“Ya, jika aku makan, apa kah aku bisa keluar dari
Sebuah bangunan megah sebelah utara istana raja tampak lengang. Sejak kematian Sanggageni dan menghilangnya Ki Bayanaka bangunan itu tiada lagi berpenghuni. Seruni pernah melihat seekor elang yang diikat di beranda tengah diberi makan oleh seorang abdi. Ia yakin itu Jenaka. Namun peristiwa itu sudah cukup lama. Seperti dugaannya, tak ada lagi Jenaka di beranda itu.Perempuan itu menggenggam lonceng pemberian Jenar. Raut wajahnya tampak ragu. Sesekali ia menoleh ke segala arah. Kewaspadaannya berada pada tingkat tertinggi. Ia tak boleh gagal dalam misi sederhana ini. Atau kepercayaan Jenar padanya akan tercoreng, juga mengancam hidup Jenar dan hidupnya sendiri.“Apa aman jika aku bunyikan lonceng di sini?” batin Seruna sambil terus mengawasi sekitar. Perempuan itu kini berdiri seorang diri di ambang beranda.“Apa yang kau lakukan di sini, Nyai?” tanya seorang pria bersuara berat di belakang Seruni. Tentu saja Emban itu terkejut dan serta merta menoleh ke belakang dengan wajah gugup.“
“Apa salahnya dicoba,” gumam Seruni dan segera menggoncangkan lonceng di tangan kanannya.Perempuan itu berjarak dua belas tombak dari pintu Mandalasari. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan di dalam. Kedatangan petugas yang memberi makan para satwa sama sekali tak memberinya kesempatan berpikir dan pilihan bertindak. Belum lagi prajurit penjaga yang terus mencari keberadaannya. Ia bahkan tanpa persiapan apa pun menghadapi seekor elang.Kadang ide memang datang di saat terdesak. Seruni teringat abdi yang ia lihat memberi makan Jenaka di dekat istana Sanggageni. Abdi itu mengenakan pelindung pada lengannya. Artinya cakar elang bisa saja mengoyak kulitnya. Buru-buru Seruni melilitkan selendang yang melingkar di pinggangnya pada lengan kanan, tempatnya memegang lonceng.“Apa itu dia?”Seruni mendengar suara beberapa kali kepakan sayap. Selanjutnya sesuatu tampak melesat begitu cepat ke arahnya. Perempuan itu memejamkan mata seraya merogoh kantung kulit di pinggangnya dengan tangan kiri. Sep
“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari
Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m
“Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y
Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina
Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha
Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar