Pakaian kebesaran sudah ditanggalkan. Tak ada artinya bila kekuasaan tak lagi dalam genggaman. Kemilau mahkota dan perhiasan tak lagi berdampak apa pun di ruang lembab dan gelap ini. Entah sudah berapa lama Jenar duduk bersila menyandarkan tubuh kurusnya di dinding. Kedua matanya terpejam. Sudah lima kali gelap terang terakhir ia tak bisa lagi merasakan sakit pada tubuh, terutama perutnya.“Gusti, makan lah,” ucap Seruni lirih. Emban setia Jenar yang akhirnya ditugaskan menemani raja Astagina itu dalam sekapan Danapati.Tak ada jawaban dari bibir Jenar. Perempuan itu hanya menghela napas sejenak. Lalu kembali diam membisu. Wajahnya semakin tirus dengan kulit kusam tak terawat. Ia mengenakan pakaian serba putih dengan rambut diikat ke atas.“Hamba mohon, makan lah, Gusti. Sudah satu pekan ini Gusti hanya minum air,” lanjut Seruni.Jenar kembali menghela napasnya. “Tidak, Seruni. Aku akan makan jika aku menemukan alasannya.”“Alasannya?”“Ya, jika aku makan, apa kah aku bisa keluar dari
Sebuah bangunan megah sebelah utara istana raja tampak lengang. Sejak kematian Sanggageni dan menghilangnya Ki Bayanaka bangunan itu tiada lagi berpenghuni. Seruni pernah melihat seekor elang yang diikat di beranda tengah diberi makan oleh seorang abdi. Ia yakin itu Jenaka. Namun peristiwa itu sudah cukup lama. Seperti dugaannya, tak ada lagi Jenaka di beranda itu.Perempuan itu menggenggam lonceng pemberian Jenar. Raut wajahnya tampak ragu. Sesekali ia menoleh ke segala arah. Kewaspadaannya berada pada tingkat tertinggi. Ia tak boleh gagal dalam misi sederhana ini. Atau kepercayaan Jenar padanya akan tercoreng, juga mengancam hidup Jenar dan hidupnya sendiri.“Apa aman jika aku bunyikan lonceng di sini?” batin Seruna sambil terus mengawasi sekitar. Perempuan itu kini berdiri seorang diri di ambang beranda.“Apa yang kau lakukan di sini, Nyai?” tanya seorang pria bersuara berat di belakang Seruni. Tentu saja Emban itu terkejut dan serta merta menoleh ke belakang dengan wajah gugup.“
“Apa salahnya dicoba,” gumam Seruni dan segera menggoncangkan lonceng di tangan kanannya.Perempuan itu berjarak dua belas tombak dari pintu Mandalasari. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan di dalam. Kedatangan petugas yang memberi makan para satwa sama sekali tak memberinya kesempatan berpikir dan pilihan bertindak. Belum lagi prajurit penjaga yang terus mencari keberadaannya. Ia bahkan tanpa persiapan apa pun menghadapi seekor elang.Kadang ide memang datang di saat terdesak. Seruni teringat abdi yang ia lihat memberi makan Jenaka di dekat istana Sanggageni. Abdi itu mengenakan pelindung pada lengannya. Artinya cakar elang bisa saja mengoyak kulitnya. Buru-buru Seruni melilitkan selendang yang melingkar di pinggangnya pada lengan kanan, tempatnya memegang lonceng.“Apa itu dia?”Seruni mendengar suara beberapa kali kepakan sayap. Selanjutnya sesuatu tampak melesat begitu cepat ke arahnya. Perempuan itu memejamkan mata seraya merogoh kantung kulit di pinggangnya dengan tangan kiri. Sep
“Kita tak mungkin melakukan pertarungan terbuka di Astagina,” buka Arya setelah memutuskan menunda perjalanan ke Dipa Kencana.“Apa maksud ibunda dengan ‘dua orang pengguna Wikararupa’, Ayahanda?” tanya Aruna masih menggenggam surat dari Jenar.“Ayah juga tak tahu, Nak. Setahu Ayah, Waradhana-lah pengguna Wikararupa terakhir. Jika memang masih ada dua orang, artinya mereka masih antek-antek Ranajaya!” jawab Arya dingin. Ada kemelut dalam hati yang tak seorang pun dari keempat pemuda di dekatnya itu tahu.“Apa kah kami bisa membantu, Paman?” tanya Perdana.“Benar, kami akan senang dapat membantu Paman dan Aruna, meski pun tak banyak,” sambung Atma sendu. Ketiga pemuda itu seolah sudah memperoleh simpulan untuk membantu Arya dan Aruna meski sama sekali tak melakukan pembicaraan.“Bagaimana denganmu, Aruna?” tanya Arya. Tentu saja pertanyaan pria itu mengacu pada risiko yang akan diterima putranya bila membawa banyak orang dengan Lembat Brabat.Aruna terdiam sejenak. Dahinya mengernyit t
“Membunuhku? Yang benar saja, Arya! Kau memang kuat, tapi sikap rendah hatimu itu membuat kau lemah!” ketus Sakuntala. Pria itu seperti tak punya rasa takut. Ia masih saja terus memancing amarah lawannya meski anak panah api tengah menghunusnya.“Aku mengenalmu. Lebih dalam dari pada kau mengenal dirimu sendiri. Jika suatu waktu kau terlalu sombong dan banyak bicara, biasanya bencana akan datang kepadamu,” ucap Arya seraya menarik talik busurnya kuat-kuat. “Bencana kali ini akan datang dariku!”Sakuntala tertawa lebar sampai mendongak. Ia seperti tak takut lagi dengan api cundhamani yang menyebabkannya kehilangan kaki kiri. Padahal di sekitarnya sama sekali tak ada bantuan prajurit atau orang lain yang bisa menyelamatkan dirinya.“Susul Waradhana dan Ranajaya junjunganmu, Sakuntala!” seru Arya disusul dengan tali busur yang dilepaskan.Aruna memperhatikan peristiwa itu dengan seksama. Apa jadinya bila Cundhamani dilepaskan dalam jarak sedekat itu. Sasra Sayaka-Cundhamani sudah ia saks
“Danapati, tak bisa aku percaya ini. Kau sudah menguasai Astagina, serahkan Jenar padaku. Apa semua ini belum cukup?” seru Arya dengan kekuatan api menyilaukan itu masih dalam genggaman.“Kau panggil aku apa? Danapati? Dimana rasa hormatmu pada Paman? Dasar anak nakal!” hardik Danapati setengahnya meledek. Hal yang membuat Arya semakin tersulut emosinya. Api di tusuk konde emas dalam genggaman semakin membesar, sama seperti amarahnya.“Aku menyesal memberikan tempat untuk seorang pengkhianat!” seru Arya. “Dengan segala kekuasaan ini bahkan kau masih belum merasa cukup!”“Kekuasaan? Aku hanya merasa berkuasa bila telah menumbangkan raja dari kerajaan besar dan menghancurkan sebuah kerajaan kecil. Bukan begitu, Arya?” sindir Danapati dengan tatapan liciknya.Tentu kata-kata Danapati mengacu pada apa yang telah dilakukan Arya di masa lampau. Menumbangkan Ranajaya dan menghancurkan Candikapura. Kerajaan yang sudah sejak lama ingin Danapati kuasai kembali sebagai keturunan terakhir trah Ca
“Kau? Bagaimana mungkin kau ada di sini?” tanya Pitaka tak mengerti. Matanya menatap lekat-lekat Perdana yang kadang mencoba melepaskan diri dari cengkeraman para prajurit.“Tentu saja, kau pikir bagaimana kau bisa di Wedhari Praja? Begitu pun mengapa aku bisa ada di sini!” sahut Perdana sinis.“Bedebah! Untuk siapa kau bekerja?” hardik Pitaka.“Bekerja? Ah, aku baru ingat kalau aku harus bekerja,” ucap Perdana seraya mengatupkan kedua telapak tangan.Puluhan prajurit itu mendadak berjatuhan. Mereka semua mengerang kesakitan, kebanyakan memegangi tangannya yang terasa begitu sakit. Pitaka terbelalak, tak mengerti apa yang terjadi. Namun ia paham bahwa pemuda di hadapannya lah dalang dari semua itu.“Prajurit! Tangkap dia!” titah Pitaka pada lima prajurit tersisa. Kelimanya berjaga di pintu masuk istana milik mendiang Sanggageni itu.Lima prajurit segera menghambur dengan pedang terhunus. Perdana tersenyum seolah sudah memprediksi hal ini. Ia menjentikkan sebatang tombak dengan kaki ka
“Aruna putraku....” lirih Jenar dengan gerakan yang terbatas.“Lepaskan dia, Pangeran Aruna! Atau Gusti Sri Maharani aku habisi!” ancam pria itu. Ia merupakan salah satu dari tujuh pengawal raja pilihan Danapati.“Pengkhianat kau, Paman Suhita! Apa orang ini begitu penting bagi kalian hingga harus menggunakan ibundaku?” hardik Aruna mulai merasakan amarah. Hal yang sudah lama ia hindari dan tekan dalam-dalam.“Prabu Warasena ... kau rupanya,” lirih Jenar mendapati seorang yang tengah tertusuk sinar merah dari tangan putranya.“Huh! Pertemuan ibu dan anak yang menggelikan. Sayang sekali yang datang ke sini bukan anak pandai besi itu. Aku ingin sekali meremukkan tulangnya!” oceh Warasena. Padahal ia sudah tak bisa bergerak dengan luka di dada kanan.“Jadi kau yang merebut Candrapurwa ya? Bagaimana mungkin Paman Danapati bersekutu dengan orang yang membantai keluarganya?” tanya Aruna tak bisa mengerti.Warasena tertawa lirih. Entah bagaimana caranya menjelaskan pada pemuda di hadapannya