“Aruna putraku....” lirih Jenar dengan gerakan yang terbatas.“Lepaskan dia, Pangeran Aruna! Atau Gusti Sri Maharani aku habisi!” ancam pria itu. Ia merupakan salah satu dari tujuh pengawal raja pilihan Danapati.“Pengkhianat kau, Paman Suhita! Apa orang ini begitu penting bagi kalian hingga harus menggunakan ibundaku?” hardik Aruna mulai merasakan amarah. Hal yang sudah lama ia hindari dan tekan dalam-dalam.“Prabu Warasena ... kau rupanya,” lirih Jenar mendapati seorang yang tengah tertusuk sinar merah dari tangan putranya.“Huh! Pertemuan ibu dan anak yang menggelikan. Sayang sekali yang datang ke sini bukan anak pandai besi itu. Aku ingin sekali meremukkan tulangnya!” oceh Warasena. Padahal ia sudah tak bisa bergerak dengan luka di dada kanan.“Jadi kau yang merebut Candrapurwa ya? Bagaimana mungkin Paman Danapati bersekutu dengan orang yang membantai keluarganya?” tanya Aruna tak bisa mengerti.Warasena tertawa lirih. Entah bagaimana caranya menjelaskan pada pemuda di hadapannya
“Dulu aku begitu takjub dengan kekuatannya. Dia yang menghancurkan satu-satunya warisan berharga Kakek Anarawan. Tapi dengan perisai kayu sarayu ini, akan kubinasakan putra Gantari ini!” batin Danapati bersiap menyongsong serangan Arya.Menara utama sudah hancur, rata dengan tanah. Tak sedikit prajurit yang tewas. Danapati terus waspada mencari pijakan aman demi menghindari api Cundhamani yang terus membakar puing-puing menara. Patih Astagina itu tak peduli meski lambat laun Astagina akan terbakar habis.Di tengah-tengah puing menara, berdiri pria berselubung api. Napasnya terengah-engah menyemburkan asap putih. Sudah beberapa kali serangannya berhasil ditangkal oleh Danapati. Sepupu Jenar itu tampaknya sudah mempersenjatai diri dengan perisai dan pedang dari kayu sarayu.“Kekuatan ini begitu besar, tak sesuai dengan ketahanan tubuhku sendiri,” keluh Arya memegangi dadanya. Detak jantungnya tak beraturan, semakin lama makin ia rasakan nyeri di organ utamanya itu. Lelaki itu jatuh ber
“Jatiwungu?” seru Jenar. Manik mata perempuan itu membesar. Seorang lelaki diikuti tiga orang prajurit di belakangnya muncul dari kegelapan. Seorang baru saja melepaskan anak panah yang berhasil ditangkal Perdana.“Ampun, Gusti! Hamba benar-benar tidak tahu kalau pemuda ini melindungi Gusti!” seru Senopati Jatiwungu seraya bersimpuh dengan sebelah kaki diikuti tiga prajurit.“Bangun lah, Jatiwungu! Aku justru mengira kau sudah menjadi antek-antek Danapati,” ucap Jenar penuh kelegaan.Pun begitu dengan Perdana. Kuda-kudanya ia batalkan. Ia menghela napas lega. Tak jadi bertarung dengan empat orang penyerang sekaligus melindungi dua orang perempuan. Mengandalkan Mandaraji tentu tak akan cukup.Senopati Jatiwungu bangkit dan mendekat perlahan. Tubuh tegapnya begitu menampakkan diri sebagai seorang punggawa kerajaan besar. Ketiga prajurit di belakangnya tak mungkin prajurit biasa. Paling tidak lebih tinggi dari prajurit tingkat menengah. Dari pakaian yang mereka kenakan, sudah pasti merek
“Lesatan?”Lesatan keemasan meluncur deras melintasi langit di atas kepala mereka, entah mengarah kemana. Arya tersenyum dan memejamkan mata dengan tenang. Meninggalkan Barata dalam kebingungan dan Atma yang mulai kelelahan.“Bagaimana? Apa kau bisa membuat Aruna sadar?” tanya Atma terengah-engah. Pemuda itu bermandikan peluh. Kedua tinjunya mulai gemetar.“Tidak, dan sekarang Paman Arya juga tak sadarkan diri,” keluh Barata.“Bagus! Bagaimana caranya membawa dua orang terluka pergi dari tempat berpagar tinggi dan berbahaya ini?” tambah Atma. Ia menghela napas panjang sambil memandangi kedua tangannya.Pasukan Andanu kembali membentuk barisan. Beberapa yang terjatuh dan terperosok sudah kembali bergabung dengan rekan-rekannya. Dari tempat duduknya tampak Danapati menyeringai menahan sakit atas kaki kanannya yang sudah selesai mendapatkan pengobatan dari tabib istana. Ia layaknya Sakuntala dengan kaki berlawanan.“Kepung mereka!” seru Danapati.Puluhan prajurit Andanu bergerak. Mereka
“Serang lagi!” seru Danapati di kursinya. Ia ingin benar-benar memastikan empat orang dalam dinding tanah itu terkena oleh serangan anak panah pasukannya.Puluhan anak panah kembali melesat menerpa dinding tanah buatan Atma itu. Beberapa menancap, beberapa luruh. Beberapa lagi berhasil menukik dan menghunjam melewati atas dinding. Entah mengenai sasaran atau tidak. Banyak prajurit yang mengikatkan anak panah dengan tali, berharap bisa menyeberangi jurang melingkar.Tiga orang prajurit tiba-tiba roboh dan terjatuh ke dalam jurang. Dalam waktu berdekatan dua orang yang berniat menyeberangi jurang dengan tali juga terjatuh. Tak ada serangan yang terlihat. Hanya ada kilatan cepat yang tak bisa diikuti oleh mata.“Apa yang terjadi?” tanya Danapati marah. “Jangan-jangan ... tusuk konde emas itu....”Jenar melompat mendekati bekas menara utama itu. Ia kini berdiri di atap bangunan tempat penyimpanan senjata. Di sana, ia menari mengendalikan tusuk konde emas yang terus membuat lubang di dahi-
Angin malam bertiup sedang di istana Astagina. Huru-hara yang terjadi di menara utama seakan tak pernah tejadi. Tempat itu menjadi begitu sepi. Hanya ada lubang bergaris tengah tiga puluh tombak dengan dataran seperti pulau di dalamnya. Itu pun sudah tertutup Kanta Buana.Sebuah pelontar batu sudah disiapkan menghadap ke arah dimana dinding tanah itu berada. Seorang prajurit bertubuh besar menggendong godam besar di pundak. Ia diam seperti kebanyakan prajurit yang tak benar-benar mengerti apa yang terjadi. Prajurit itu mendongak, ke arah dimana Danapati berada. Selanjutnya ia mengangguk dan segera mengayunkan godam ke pengait yang menahan sebuah batu besar.“Maaf membuat Gusti menunggu lama,” ucap seorang pria tua berambut putih dan berpakaian putih pula. Ia mengenakan ikat kepala batik dan menggenggam sebuah tongkat.“Maaf merepotkanmu, Paman. Apa kita sudah keluar dari istana?” tanya Jenar.“Seperti yang Gusti lihat, kita berada di Telaga Padma,” jawab Legawa menenangkan semua orang
“Senang melihatmu lagi, Jenar. Aku pikir tak lagi akan bertemu dengan....”“Bodoh!” potong Jenar. “Sampai kapan kau akan mengorbankan dirimu sendiri seperti ini?”Arya mendadak diam. Pandangannya yang belum benar-benar jernih sudah mampu melihat bulir bening di sudut kelopak mata istrinya. Air mata itu terjun bebas meleleh ke wajah tirus Jenar. Peristiwa yang nyaris selalu terjadi saat ia di ambang hidup dan mati.“Aku ... Hanya mencoba melindungi hal yang paling berharga. Aku akan mati dengan tenang asalkan Astagina, kau dan Aruna baik-baik saja,” terang Arya, berharap Jenar akan berangsur tenang.“Diam! Aku harus konsentrasi!” potong Jenar lagi. Perempuan itu mulai mengobati Arya dengan menyalurkan energinya di atas luka-luka suaminya itu.Arya mengurai senyum. Ia bersyukur penantiannya untuk bertemu Jenar yang ia kenal berakhir. Lebih ia syukuri dari pada keluar dari istana dengan kondisi babak belur seperti ini. Ia pandangi lekat-lekat wajah istrinya yang begitu tegang. Titik-titi
Padang latih Padepokan Rakajiwa telah dipenuhi oleh murid-murid. Sejak pendirian kembali, sudah banyak pemuda-pemuda yang datang dari negeri yang jauh demi menimba ilmu. Mereka tak hanya belajar ilmu kanuragan, Legawa juga memberikan dasar-dasar kepemimpinan, adab, dan juga baca tulis. Beberapa veteran Baka Nirdaya diangkat menjadi pengajar.Semakin ramainya kaum muda yang menimba ilmu di Padepokan, membuat ekonomi menggeliat di pemukiman sekitarnya. Rakajiwa kini dikelilingi pemukiman hampir menyerupai desa. Dihuni lebih dari 200 jiwa, pemukiman itu diberi nama Wanapraya yang berarti hutan pengharapan. Mengingat mulanya wilayah itu hanya hutan yang kini menjadi harapan hidup masyarakat di sekitarnya.“Kau sudah lebih baik, Ayahanda?” tanya Aruna dengan tubuh penuh keringat hasil olah kanuragannya.“Ya, ibundamu merawatku dengan baik,” jawab Arya dengan senyum dan kerling mata penuh arti pada Jenar. Perempuan itu membalas senyumnya sekilas.Aruna duduk di samping orang tuanya. Ia mene
“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari
Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m
“Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y
Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina
Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha
Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar