Beranda / Pendekar / Aruna Putra Api / 99. Padepokan Pasimutara

Share

99. Padepokan Pasimutara

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Sepertinya kita harus berjalan dari sini, Ayahanda,” ucap Aruna setelah muncul di sebuah sungai dengan bebatuan besar dan aliran air yang cukup tenang.

Mereka sudah beberapa kali menanyakan keberadaan Padepokan Pasimutara tiap kali menemui wilayah yang cukup ramai. Namun banyak yang tidak mengetahui keberadaannya. Beberapa mengetahui, namun ragu Padepokan itu masih ada.

“Kau yakin kita hanya tegak lurus arah barat daya Astagina, bukan?” tanya Arya memastikan keberadaan mereka.

“Ya, aku yakin,” jawab Aruna singkat. Pemuda itu kemudian berjongkok dan mengambil air sungai dengan dua telapak tangan dan meminumnya.

Tempat yang mereka singgahi berupa anak sungai, pasti ada sungai utama yang aliran airnya lebih besar. Semakin ke barat daya maka jalan yang dilalui semakin terjal dan mendaki. Sungai ini seolah membelah dua bukit besar menjadi dua.

“Apa Ayahanda yakin ada Padepokan di atas sana?” tanya Aruna mulai ragu.

“Ayah pun tak tahu. Informasi tentang Pasimutara dari Paman Legawa juga ta
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Aruna Putra Api   100. Air dan Api

    “Apa?” Anak laki-laki itu menyeruak lelaki di hadapannya. Ia tampak terkejut, juga ada senggurat amarah di wajahnya.“Sabar lah, Sanggabanu!” seru Ki Prabangkara seraya menahan tubuh anak laki-laki yang disebut Sanggabanu tadi.“Tapi, Kakanda....”“Jaga sikapmu! Dengarkan dulu apa tujuan keturunan Sanggageni ini!” tegas Ki Prabangkara.Arya dan Aruna tak mengerti apa yang tengah terjadi. Atau tepatnya apa yang dialami Sanggageni di masa lalu. Anak laki-laki bernama Sanggabanu itu tampak memiliki dendam kepada Sanggageni, sedang ia menyebut Ki Prabangkara sebagai kakanda. Rasanya tak mungkin seorang tua memiliki adik sekira usia 8 tahun itu.“Maafkan sikap adikku. Jadi, kau adalah putra Sanggageni?” tanya Ki Prabangkara pada Arya. “Dan kau adalah cucunya?”“Benar, Ki,” jawab Arya singkat.“Sebuah kehormatan bertemu dengan putra Gusti Dewi Gantari dan cucunya,” ucap Ki Prabangkara ramah. Pria itu mendekat ke arah Aruna dan memperhatikannya lekat-lekat. “Kau, aku tak mengerti, mengapa au

  • Aruna Putra Api   101. Perdebatan Dengan Ki Daksa

    “Aku harus bicarakan ini dengan Ki Daksa, Ayahanda,” ujar Aruna saat Arya menghampiri dan duduk di sisinya. Ki Prabangkara memberinya waktu untuk memutuskan apakah bersedia melepaskan ilmu pengobatan warisan Ki Bayanaka itu.“Santai saja, Nak. Kau bisa pikirkan hal itu masak-masak. Hanya saja akan sangat merugi bila kita kehilangan kemampuan pengobatan Ki Bayanaka itu,” ujar Arya semakin membuat Aruna gamang.Aruna tak menjawab ayahandanya. Jauh di dalam hati, pemuda itu tentu menginginkan yang terbaik untuk Astagina dan kedua orang tuanya. Namun ia juga tak ingin kehilangan kemampuan yang terasa begitu cocok untuknya. Menyembuhkan dan menolong orang lain adalah cita-cita baginya.Arya bangkit dan menepuk pundak putranya. Ia tahu benar bahwa sangat tak mudah dihadapkan pada pilihan sulit. Peluang menyelamatkan Astagina terbuka luas andai Aruna mau mempelajari Ajian Dasa Daraka. Paling tidak ketakutan mereka berdua terhadap kayu sarayu sedikit berkurang. Tapi amat berat kehilangan kema

  • Aruna Putra Api   102. Mengelabui Ki Daksa

    Aruna duduk bersila di sebuah balai-balai. Saling berhadapan dengan Ki Prabangkara. Semua sudah direncanakan dengan matang. Pemuda itu membantu ayahandanya untuk terlepas dari raga dan berjumpa dengan Ki Daksa. Sedang ia bersiap untuk memulai latihannya.“Sebelum memulainya, apa saja yang sudah kau kuasai, Nak?” tanya Ki Prabangkara.“Selain ilmu pengobatan, aku menguasai Meraga Sukma dan Lembat Brabat, Ki,” jawab Aruna datar.“Hmm, aku anggap itu sebagai satu ilmu. Lembat Brabat adalah lanjutan dari Meraga Sukma, bukan?” ucap Ki Prabangkara tenang. Ia seperti kebanyakan pimpinan sebuah padepokan, pengetahuannya tentang berbagai macam ilmu terbilang bagus.“Apa aku bisa mulai pelatihannya, Ki?” tanya Aruna. “Ayahanda tak bisa berlama-lama dalam wujud halusnya,” tambahnya.“Aku mengerti, Nak. Aku hanya ingin memastikan kau akan siap menerima Ajian Dasa Daraka. Tahap pertama ini akan berlangsung singkat,” ucap Ki Prabangkara dengan senyum mengembang.Pria tua berjanggut lebat itu tampak

  • Aruna Putra Api   103. Malunya Seorang Raja

    Arya diam tak mengerti. Segera setelah Ki Daksa mengumpat, tubuhnya menguap dan tertarik ke tubuh Arya. Ada rasa pedih dan panas di dada. Ayahanda Aruna itu membuka mata dan ia sudah kembali ke tubuh kasarnya.Tak ada sensasi lain setelah peristiwa itu terjadi. Arya memperhatikan kedua telapak tangannya, tak ada yang berbeda. Namun ia merasa jauh lebih tenang. Perasaannya jauh lebih stabil, tak lagi meledak-ledak seperti api yang memang jadi kekuatan utamanya.“Apa yang terjadi pada Aruna ya? Jika Ki Daksa hampir musnah, artinya tahap pertama sudah selesai dilalui,” batin Arya.Lelaki itu bangkit dari batu besar dan berjalan cepat menuju rumah panggung tempat Ki Prabangkara menurunkan Ajian Dasa Daraka. Ia ingin segera melihat putranya. Entah bagaimana tahap berikutnya, tak begitu ia pedulikan untuk sementara.Balai-balai di beranda rumah panggung itu hancur. Bambu-bambu sebagai material penyusunnya parah beberapa bagian. Tak terlihar dimana Ki Prabangkara dan Aruna. Para penghuni pad

  • Aruna Putra Api   104. Serangan Pasukan Udara

    “Ampun, Gusti. Hamba sama sekali tak mendapatkan kabar penyerangan dari Telik Sandi. Ini sungguh aneh,” lapor Senopati Jatiwungu setelah tergopoh-gopoh menghampiri Jenar.“Sepertinya Danapati sudah tahu. Siapkan orang-orangmu, Jatiwungu. Jangan sampai ada satu orang pun dari Rakajiwa yang terluka!” titah Jenar.“Sendika, Gusti!” seru Senopati Jatiwungu dan segera berbalik meninggalkan Jenar dan Legawa.Perdana, Atma dan Barata sebagai murid terdekat Legawa setelah Aruna segera tiba. Ketiganya sudah siap dengan senjatanya masing-masing. Ini kali kedua pasukan udara Astagina menyerang Rakajiwa. Tak mungkin mereka tak memiliki persiapan yang lebih memadai dari serangan pertama.“Perdana, kau siagakan seluruh murid yang tersedia. Utamakan para pemanah. Anak panah kita terbatas, jadi hanya siagakan murid yang mahir!” titah Legawa.“Baik, Guru!” seru Perdana dan segera pergi meninggalkan tempat itu.“Barata, naik lah ke tempat tinggi dan lakukan Ghanaswara. Aku ingin pandangan pasukan udara

  • Aruna Putra Api   105. Sekutu

    Kabut yang menyelimuti langit Rakajiwa perlahan memudar. Alunan seruling yang terhenti sekaligus menandakan Ghanaswara pun selesai. Tubuh Barata jatuh begitu saja dari atas dahan pohon dan menghantam tanah. Pemuda itu kehabisan tenaga dan tak sadarkan diri.Jenar melompat turun demi memastikan Barata, pemuda berambut ikal itu masih hidup. Perempuan itu memeriksa denyut nadi dan jantung Barata. Ia pun memberikan pertolongan pertama agar pengguna Ghanaswara itu mampu bertahan hidup.“Mengapa mereka tak juga menyerang?” batin Jenar seraya menengadah. Pasukan udara Astagina masih terus berputar-putar di langit namun kini terbang lebih rendah.Jenar terus memperhatikan sekitar. Para pemanah segera menghunuskan senjata mereka melihat musuh berada dalam jangkauan. Tanpa dikomando mereka segera melesatkan anak panah ke arah pasukan udara itu. Seorang prajurit tertembus panah dan jatuh tak jauh dari tempat Jenar berada.Prajurit itu menyeringai. Selain luka terkena anak panah, sudah pasti jatu

  • Aruna Putra Api   106. Busur Anantara

    “Tapi aku tak yakin keabadiannya akan kekal,” ucap Ki Prabangkara.“Apa? Keabadian yang tak kekal? Aku tak mengerti, Ki?” tanya Arya. Sungguh ia tak mengerti kata-kata pria tua di hadapannya. Sejauh ia tahu, abadi dan kekal memiliki arti yang sama.“Ajian Dasa Daraka menyerap energi spiritual penggunanya. Semakin besar energi itu, maka Ajian Dasa Daraka akan lebih mudah dikuasai. Putramu juga pengguna Meraga Sukma, tak heran dia akan menguasainya dalam waktu singkat,” terang Ki Prabangkara.“Lantas apa hubungannya energi spiritual dengan keabadian?” cecar Arya. Penjelasan Ki Prabangkara sama sekali tak menjawab pertanyaannya.“Jika kau menikah dan menjalin asmara dengan seorang wanita, maka keseimbangan energi spiritual itu akan terganggu. Ia tak bisa sejalan dengan nafsumu. Aruna akan abadi sampai ia mencampuri istrinya kelak,” tandas Ki Prabangkara.Arya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Terjawab sudah mengapa abadi namun tak kekal. Juga sekaligus menjawab mengapa kekuatannya m

  • Aruna Putra Api   107. Pedang Sanggabanu

    “Bagaimana dengan persiapan penobatanku?” tanya Danapati pada seorang abdi yang ia temui di sela antar bangunan istana. Percakapan yang rupanya didengar oleh Warasena. Pria itu memang berniat untuk menghentikan acara penobatan Danapati sebagai raja.Abdi itu menunduk tak berani menatap Danapati. Semua perintah lelaki itu ia amini meski dengan berat hati. Banyak abdi istana yang tak menghendaki Danapati naik tahta. Sedang Jenar, Arya dan Aruna tak diketahui dimana rimbanya. Namun lagi-lagi demi keselamatan diri dan keluarga, mereka harus menaati perintah pimpinan tertinggi Astagina itu.“Oi, Danapati!” seru Warasena sekaligus mencegah lelaki berkaki kanan palsu itu urung pergi.“Ah, kau, Warasena! Tampaknya kau harus membiasakan diri memanggilku dengan gelar Prabu,” tandas Danapati dengan tawa di akhir kalimatnya.“Kau sungguh konyol!” umpat Warasena.“Apa-apaan kau ini?” tantang Danapati.“Daripada menobatkan diri menjadi raja, lebih baik kau membereskan Jenar dan keluarganya itu! Dia

Bab terbaru

  • Aruna Putra Api   133. Akhir Peperangan

    “Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali

  • Aruna Putra Api   132. Peperangan VI

    “Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari

  • Aruna Putra Api   131. Peperangan V

    Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m

  • Aruna Putra Api   130. Danapati Tiruan

    “Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y

  • Aruna Putra Api   129. Gugurnya Jenar Candrakanti

    Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.

  • Aruna Putra Api   128. Peperangan IV

    Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina

  • Aruna Putra Api   127. Peperangan III

    Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha

  • Aruna Putra Api   126. Peperangan II

    Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud

  • Aruna Putra Api   125. Nyawa Dibalas Nyawa

    Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar

DMCA.com Protection Status