“Ampun, Gusti. Hamba sama sekali tak mendapatkan kabar penyerangan dari Telik Sandi. Ini sungguh aneh,” lapor Senopati Jatiwungu setelah tergopoh-gopoh menghampiri Jenar.“Sepertinya Danapati sudah tahu. Siapkan orang-orangmu, Jatiwungu. Jangan sampai ada satu orang pun dari Rakajiwa yang terluka!” titah Jenar.“Sendika, Gusti!” seru Senopati Jatiwungu dan segera berbalik meninggalkan Jenar dan Legawa.Perdana, Atma dan Barata sebagai murid terdekat Legawa setelah Aruna segera tiba. Ketiganya sudah siap dengan senjatanya masing-masing. Ini kali kedua pasukan udara Astagina menyerang Rakajiwa. Tak mungkin mereka tak memiliki persiapan yang lebih memadai dari serangan pertama.“Perdana, kau siagakan seluruh murid yang tersedia. Utamakan para pemanah. Anak panah kita terbatas, jadi hanya siagakan murid yang mahir!” titah Legawa.“Baik, Guru!” seru Perdana dan segera pergi meninggalkan tempat itu.“Barata, naik lah ke tempat tinggi dan lakukan Ghanaswara. Aku ingin pandangan pasukan udara
Kabut yang menyelimuti langit Rakajiwa perlahan memudar. Alunan seruling yang terhenti sekaligus menandakan Ghanaswara pun selesai. Tubuh Barata jatuh begitu saja dari atas dahan pohon dan menghantam tanah. Pemuda itu kehabisan tenaga dan tak sadarkan diri.Jenar melompat turun demi memastikan Barata, pemuda berambut ikal itu masih hidup. Perempuan itu memeriksa denyut nadi dan jantung Barata. Ia pun memberikan pertolongan pertama agar pengguna Ghanaswara itu mampu bertahan hidup.“Mengapa mereka tak juga menyerang?” batin Jenar seraya menengadah. Pasukan udara Astagina masih terus berputar-putar di langit namun kini terbang lebih rendah.Jenar terus memperhatikan sekitar. Para pemanah segera menghunuskan senjata mereka melihat musuh berada dalam jangkauan. Tanpa dikomando mereka segera melesatkan anak panah ke arah pasukan udara itu. Seorang prajurit tertembus panah dan jatuh tak jauh dari tempat Jenar berada.Prajurit itu menyeringai. Selain luka terkena anak panah, sudah pasti jatu
“Tapi aku tak yakin keabadiannya akan kekal,” ucap Ki Prabangkara.“Apa? Keabadian yang tak kekal? Aku tak mengerti, Ki?” tanya Arya. Sungguh ia tak mengerti kata-kata pria tua di hadapannya. Sejauh ia tahu, abadi dan kekal memiliki arti yang sama.“Ajian Dasa Daraka menyerap energi spiritual penggunanya. Semakin besar energi itu, maka Ajian Dasa Daraka akan lebih mudah dikuasai. Putramu juga pengguna Meraga Sukma, tak heran dia akan menguasainya dalam waktu singkat,” terang Ki Prabangkara.“Lantas apa hubungannya energi spiritual dengan keabadian?” cecar Arya. Penjelasan Ki Prabangkara sama sekali tak menjawab pertanyaannya.“Jika kau menikah dan menjalin asmara dengan seorang wanita, maka keseimbangan energi spiritual itu akan terganggu. Ia tak bisa sejalan dengan nafsumu. Aruna akan abadi sampai ia mencampuri istrinya kelak,” tandas Ki Prabangkara.Arya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Terjawab sudah mengapa abadi namun tak kekal. Juga sekaligus menjawab mengapa kekuatannya m
“Bagaimana dengan persiapan penobatanku?” tanya Danapati pada seorang abdi yang ia temui di sela antar bangunan istana. Percakapan yang rupanya didengar oleh Warasena. Pria itu memang berniat untuk menghentikan acara penobatan Danapati sebagai raja.Abdi itu menunduk tak berani menatap Danapati. Semua perintah lelaki itu ia amini meski dengan berat hati. Banyak abdi istana yang tak menghendaki Danapati naik tahta. Sedang Jenar, Arya dan Aruna tak diketahui dimana rimbanya. Namun lagi-lagi demi keselamatan diri dan keluarga, mereka harus menaati perintah pimpinan tertinggi Astagina itu.“Oi, Danapati!” seru Warasena sekaligus mencegah lelaki berkaki kanan palsu itu urung pergi.“Ah, kau, Warasena! Tampaknya kau harus membiasakan diri memanggilku dengan gelar Prabu,” tandas Danapati dengan tawa di akhir kalimatnya.“Kau sungguh konyol!” umpat Warasena.“Apa-apaan kau ini?” tantang Danapati.“Daripada menobatkan diri menjadi raja, lebih baik kau membereskan Jenar dan keluarganya itu! Dia
“Cahaya apa itu?”Orang-orang Astagina segera menoleh ke langit arah barat daya. Semuanya menganga menyaksikan cahaya biru menggapai awan. Langit menjadi biru, lebih biru dari biasanya. Angin berhembus perlahan seolah tertarik pada cahaya biru itu, sama seperti orang-orang itu. Di tepian wilayah kerajaan, bahkan ada yang bergerak mendekat demi menyaksikan sumber cahaya.Begitu pun Danapati dan Warasena. Dua pria itu sampai berdiri di menara barat demi mengetahui dari mana cahaya biru itu berasal. Mereka saling pandang. Tak ada seorang pun dari mereka yang pernah mendatangi tempat itu.“Cahaya apa ini? Apakah ini suatu pertanda?” gumam Danapati.“Itu arah barat daya, seingatku tak ada apa pun di sana. Hanya hutan dan perbukitan, serta air terjun yang airnya mengalir hingga ke mari,” tambah Warasena.“Kau benar, tapi cahaya apa? Energi ini begitu besar. Jika pun pusaka, pasti pusaka sakti!” tandas Danapati. “Prajurit!” serunya.“Sendika, Gusti!”“Cari Senopati Kalawangsa. Minta dia kiri
“Aruna!” Arya bangkit dengan gontai. Ia paksakan diri menghampiri putranya yang tergeletak tak berdaya. Ki Prabangkara dan Sanggabanu mengikuti Arya dengan langkah yang lebih santai.“A-ayahanda....”“Aruna, bertahan lah, Nak!” seru Arya setengah menangis. Ini kali ketiga ia harus berhadapan dengan ujung hidup orang terdekatnya setelah kematian Gantari dan Sanggageni.Tanpa dikomando dan mungkin juga Arya tak menyadari, kedua telapak tangan lelaki menghadap ke tubuh Aruna. Ke tempat pedang Sanggabanu menancap. Aura biru segera muncul dari telapak tangan itu. Samar terdengar suara berdesis dan asap tipis mengepul mengeluarkan aroma daging terbakar.“Tolong cabut pedang itu, Ki!” pinta Arya.Ki Prabangkara tak bereaksi apa pun. Pria tua itu hanya diam dan menganggukkan kepalanya kepada adiknya Sanggabanu. Lelaki bertubuh bocah itu segera mendekat dan mencabut pedang dengan begitu mudah. Arya sampai menatapnya sesaat.“Hentikan pengobatanmu, Arya!” pinta Ki Prabangkara.“Apa? Apa maksudm
“Paman?”“Guru?”Seru Arya dan Aruna bersamaan. Di balik tanah yang menjorok dan rumput tebal mereka melihat Legawa tengah memegangi tangannya. Pria itu lah yang berteriak kesakitan tadi. Sebuah pedang kusam menancap di batu tepat di hadapan Legawa. Arya dan Aruna serta merta mendekat.“Kalian berdua?” Legawa terkejut namun juga gembira. Tak menyangka bertemu dengan ayah dan anak itu di Wana Payoda.“Apa yang Paman lakukan di sini?” tanya Arya meski ia sesungguhnya tahu alasannya setelah melihat pedang Sanggageni.“Kau tak mungkin tak tahu. Seluruh Astagina dan dataran ini pasti melihat cahaya biru dan merah menembus langit. Aku sudah menduga berasal dari pedang ayahandamu,” terang Legawa.“Lantas apa yang terjadi dengan tanganmu, Guru?” tanya Aruna.“Sebelumnya aku pernah menyentuh pedang ini dan baik-baik saja, entah mengapa kali ini tidak. Aku seperti menyentuh api!” tandas Legawa sembari mengibaskan telapak tangannya beberapa kali.Arya mendekat. Ia raih telapak tangan Legawa dan
“Ah, sepertinya kau harus tahu. Selama ini pedang yang digunakan ayahandaku rupanya memiliki pasangan. Pedang Sanggabanu dari Pasimutara. Kedua pedang ini lah yang memancarkan cahaya merah dan biru tadi,” terang Arya seraya meraih sepasang pedang dari tangan Rara Sati.Rara Anjani dan putrinya saling pandang. Mereka masih mengingat jelas bagaimana ketakutan Nyai Padmi melihat kedua cahaya itu. Juga kata-kata terakhirnya untuk berpihak pada seseorang yang membawa benda berpasangan jika ingin selamat.“Suamiku, aku akan memberikan bantuan apa pun asal semua itu keinginanmu!” tandas Rara Anjani.Rara Sati tersenyum mendengar kalimat ibundanya. Sedang Arya dan Aruna saling pandang tak percaya. Tanpa mengucapkan apa pun Arya merengkuh tubuh istrinya itu dan membisikkan kalimat cinta di telinganya. Terserah apa yang terjadi, mendapatkan bantuan lah yang terpenting.“Tapi aku punya satu syarat,” potong Rara Anjani menghentikan kegembiraan Arya.“Apa itu, Rara?”“Pusatkan lah kekuatan sini. A