Semua Bab Terjebak Trauma Sang Duda: Bab 1 - Bab 10

31 Bab

01. Daftar Kelam

Jangan! Ayah tidak boleh memerkosa Kaneena!Saat itu, Kenedi melucuti seluruh helai di tubuhku hingga tercabik-cabik tanpa belas kasihan. Di sorotnya pun tak lepas dari kekejian. Jika benci dan dendam padanya adalah dosa paling besar, jangan pernah tunjukkan aku surga keabadian.Ketika uang mudah sekali kudapat hanya dengan berlenggak-lenggok atau berpose layaknya wanita tercantik di dunia, tapi Tuhan memberi hidup ini kecacatan keluarga."Kapan tua bangka itu mati?" celetukku sebelum dipukul oleh Willis yang baru saja menurunkan sandal rumahan, pengganti stiletto karena tungkai ini nyaris tergelincir. Aku memicing sengit. "Sakit! Jika bahuku memar karena pukulanmu, pemotretan berbaju seksi, kau yang akan menggantikannya!"Memasuki lorong-lorong sempit untuk sekadar mencari tua bangka sialan itu, membuat darahku naik hingga ubun-ubun. Tidak adakah hal lain yang pria itu lakukan selain meminta uang, berjudi, mabuk-mabukan, dan bermain dengan para jalang? Andai ia tak mengancam akan men
Baca selengkapnya

02. Hilang & Menemukan

Aku pernah mengharapkan kematian Kenedi karena pria itu telah melukai kami. Ia menyiksa ibu, belum lagi Kaneena kecil—jiwa murni—yang tak seharusnya berada di lingkaran kekerasan rumah tangga. Namun, sejauh apa pun harap insan, aku tak pernah berpikir bahwa ia akan mati secepat ini.Kenedi ditemukan membusuk di bangunan dua lantai—tempat yang aku dan Willis kunjungi beberapa waktu lalu. Setelah diautopsi, pihak rumah sakit mengatakan bahwa pria itu keracunan sianida. Ia bunuh diri. Terkejut, pasti. Namun, aku berpikir realistis. Daripada Kenedi menumpuk dosa di dunia, lebih baik Tuhan segera mencabut nyawanya.Telapak tangan bergetarku mengusap bahu Kian yang naik turun karena isak tangis. Aku tahu saat itu ia masih terlalu dini untuk memahami kekerasan yang Kenedi lakukan pada ibu. Mungkin hal tersebut yang menjadi alasan hingga Kian amat terpuruk karena kepergian."Maaf." Berulang kali Kian mengucapkan maaf pada Kenedi sebelum beranjak, memelukku erat.Kusesap feromon Kian. Kuusap p
Baca selengkapnya

03. Awal Kehancuran

Kembali padaku, atau terima akibatnya. Aku tertawa sumbang karena mengingat ancaman Anggara ketika pria itu mengajak balikan setelah aku putuskan beberapa waktu lalu. Merasa memori tersebut tidak penting, netra ini kembali menerawang.Tak jarang aku iri dengan pengusaha papan atas yang mampu menggunakan isi kepalanya untuk berbisnis. Kaum-kaum elit dapat melempar ide terkait perkembangan dunia. Belum lagi kopi mengepul peneman rapat di hadapan petinggi-petinggi usaha bersama monitor yang menyala-nyala. Namun, sayang sekali, aku tak memiliki apa yang mereka miliki. Menjadi orang kantoran rasanya amat mustahil di negeri ini karena Kaneena hanya lulusan Sekolah Dasar.Setelah Kaneena kecil tumbuh menjadi gadis menawan, aku mengikuti ajang Gadis Sampul di usia lima belas tahun tepat ketika kami memisahkan diri dari Kenedi. Di sana keberanian ini mengasah akting, kemampuan berpose, serta tersenyum manis di hadapan kamera tanpa tekanan apa pun. Lambat laun, upaya menghasilkan buahnya. Namun
Baca selengkapnya

04. Nyaris Diperkosa

Helai rambut ibu yang menempel pada sisir dan sela-sela jemariku adalah tamparan hebat bahwa wanita itu telah bertahan hingga detik ini, melalui tahapan demi tahapan kemoterapi. Entah berapa banyak sel-sel baik di tubuhnya yang ikut terbunuh akibat pembasmian sel kanker.Nona Kaneena harus bersabar karena untuk mendapatkan pendonor sumsum tulang belakang, tidak semudah mendapatkan donor darah. Keberhasilannya pun sangat tipis. Bisa satu banding satu juta orang yang berhasil jika pendonor tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan pasien. Namun, kami akan berusaha semaksimal mungkin.Beberapa jam menemani ibu, aku undur diri karena ada keperluan hingga tungkai ini menggemakan langkah di tengah lorong rumah sakit bersama pikiran-pikiran. Namun, ketika berbelok, seolah ada ribuan batu yang memberatkan langkahku hingga melambat. Aku menemukan Baeck, penyebab emosi Kaneena tersulut karena mengingat ucapan pedasnya. Hendak melempar perseteruan, tapi urung karena gurat pria itu penuh kesendua
Baca selengkapnya

05. Penawar: Bocah Kecil

Bibir ini tertawa nyaring dengan pipi basah yang dapat kurasakan asinnya.Mengapa pengaduan pelecehan sialan itu makin menganga, seolah senjata makan tuan? Bukankah dalam kasus ini Anggara yang bersalah? Namun, aku yang dicaci!Pertanyaan demikian berputar kusut di benakku bersama cairan penghapus dahaga luka. Berbotol-botol alkohol telah kerongkongan ini tenggak, tapi mengapa Kaneena masih mampu membaca judul-judul artikel tak berperi? "Mengapa hanya namaku saja yang dijatuhkan oleh mereka? Mengapa tidak ada nama Anggara?!" Suraiku terjambak kasar akibat sakit yang tak berujung. Ini tidak adil. Setidaknya, jika Kaneena hancur, penghancurnya pun sama. Bagiku, Anggara tak cukup hanya dengan dijebloskan ke penjara!Hening .... Bahkan, dinding ruangan ini pun seolah tak sudi mendengar keluhku. Mereka beralih tertawa, mencemooh bahwa Kaneena berhak mendapatkan kehancuran."Bisa diam tidak, sih?!" geramku, pada mereka. "Ah, ya." Aku mengangguk dengan senyuman miring. "Aku lupa. Bukankah Ka
Baca selengkapnya

06. Belajar Menjadi Pengasuh

Dulu, Kaneena merasa aman dengan apa yang ia miliki hingga tak berpikir bahwa hari jatuh akan tiba. Aku berpikir akan menjadi artis selamanya, tapi Tuhan mencabut seluruh yang hidup ini miliki hanya dengan sekedipan mata. Ya, sedikit manusia yang berpikir panjang. Namun, mulai detik ini, aku akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran. Percayalah, denda yang harus dibayarkan ke agensi akibat cinta buta kami bukan miliaran melainkan triliunan.Dulu, ibu mendoktrin Kaneena untuk menjadi artis dan mengatakan bahwa kami akan kaya raya, kemudian hidup bahagia hingga mimpiku menjadi seorang dosen harus pupus. Tak apa asalkan mereka bahagia, tentunya. Namun, ketika aku menjadi artis—mengikuti doktrin ibu, bahkan hidup dengan harta melimpah sekalipun—percayalah, hati ini hampa. Tidak ada kebahagiaan selain ambisi untuk mencapai kesenangan fisik, bukan jiwa. Dari sana aku belajar satu inti kehidupan, yaitu jangan pernah mendoktrin orang lain untuk mengikuti keinginanmu, bahkan darah dagingmu s
Baca selengkapnya

07. Mulai Berubahnya Gaya Hidup

Sialan. Rutinitas Kaneena membawa handbag ternama bersama Willis di sisi kirinya, kini tergantikan dengan seonggok daging bernyawa yang menjinjing tas laptop menuju perpustakaan kota. Demi rupiah yang dulu memenuhi ATM pribadiku, Kaneena tak pernah berpikir akan menghabiskan waktu di tempat ini untuk sekadar mencari informasi guna merangkai kata-kata menjadi kalimat.Aku mengembuskan napas berkali-kali setelah menyadari bahwa perpustakaan ini amat luas. "Pertama kemari, aku menemani ...." Gumamanku tergantikan dengan putaran mata malas karena mengingat Anggara. "Kedua bersama Kian."Ada beberapa teori filsafat yang aku cantumkan di kisah Ares dan Rhea, tentunya membutuhkan riset mendalam. Percayalah, meskipun cerita fiksi, tapi landasan yang terurai pun harus sangat jelas agar para pembaca tidak salah persepsi. Aku tahu. Selain manusia dewasa, tentunya banyak bocil-bocil nakal yang memiliki rasa penasaran setinggi langit. Tak menutup kemungkinan mereka akan menelan informasi secara me
Baca selengkapnya

08. Ide Kurang Ajar Kian

Kebodohanku pernah bersikap sopan dan baik pada seseorang yang jiwa ini anggap pantas menerimanya, tapi kenyataan berkhianat. Kenedi yang akal pikiran ini hormati setengah mati karena statusnya sebagai ayah, tega menjual dan memerkosaku.Aku sakit. Bertahun-tahun lamanya memendam penderitaan karena kenyataan, jiwa ini seolah memberontak, kemudian membentuk pertahanan refleks agar tak terluka lagi. Tak satu pun pula insan tahu kecuali psikiater yang akhir-akhir ini tak pernah kukunjungi karena keadaan. Lantas, apakah aku salah jika memilih tidak menghormati siapa pun jika pada akhirnya rasa hormat ternodai akibat ulah bejat manusia yang bertameng manusiawi?Kaneena akan menjadi Kaneena. Ia tak akan tersentuh, menyedihkan, berlebih diinjak-injak oleh insan. Ia hidup dan membara, tak membiarkan jiwanya dilukai atau terluka.Demi Tuhan, uangku menipis. Beberapa bulan lalu sisa dana di tabungan telah digunakan untuk berinvestasi. Nahas, perusahan tersebut bangkrut dan stakeholder terkena b
Baca selengkapnya

09. Jatuh Sakit

Katanya, taraf ikhlas itu tergantung jarak kita pada Tuhan. Makin renggang hubungannya secara vertikal, maka ikhlas makin tak berwujud. Namun, satu yang membuatku tersadar bahwa Tuhan terkadang amat menyebalkan.Mengapa Ia harus menciptakan larangan jika insan tak selalu mampu mengontrol keinginannya? Ini seputar surga dan neraka, tapi bagaimana dengan insan yang amat terluka akibat aturan-Nya?Hal yang amat Kaneena benci dari Tuhan adalah, Ia tak menyelamatkanku ketika Kaneena diperkosa oleh sang ayah. Kepercayaan ini pada Tuhan tergerus karena sakit yang kuderita. Aku yakin bahwa luka ini tak akan sembuh.Kibasan lembar putih membuatku tersadar dari lamunan. Setelah menyadari sesuatu, denyutan di kepala ini memekat.Lorong kelam di hadapanku memberi pertunjukan. Di ujungnya amat menyilaukan, tapi mengapa pemilik bangunan mirip galeri foto kosong ini tak memberi lampu sebagai penghubung ruangan? Ia seolah tahu bahwa Kaneena tak memiliki rasa takut.Tungkai ini terayun pelan, sedikit
Baca selengkapnya

10. Awal Penderitaan

Seseorang yang tumbuh menjadi pribadi keji, terkadang bukan karena mereka memang terlahir keji melainkan akibat dari bentuk pertahanan atas luka-luka lampau. Analogi sederhana, bagaimana cara kau bertahan di tengah terjangan kejahatan? Tentunya menjadi jahat lebih memabukkan daripada kau tertindas. Mungkin pemikiranku terdengar konyol. Namun, bukankah setiap insan berhak berkesimpulan?Aku memiliki beberapa prinsip dalam hidup. Pertama, Kaneena tidak akan menikah. Kedua, Kaneena tak sudi memiliki anak. Ketiga, ia akan tetap membara dan tak akan diinjak oleh insan. Tiga aturan tersebut telah bulat, kutulis dalam setiap langkah perjalanan. Tidak muluk-muluk. Kuakui bahwa prinsip dapat tercipta sempurna setelah kepercayaan dicampakkan oleh cinta dan kebahagiaan.Aku tertampar ketika Zillo mendongak. Tatapan polosnya seolah berkata, Bagaimana jika Tuhan berkata lain?"Jangan menatapku begitu, bocah." Netra ini berputar malas sebelum fokus pada bianglala. Dalam hati, aku berdecak. Jika Tuh
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status