Home / Romansa / DIA AYAHKU / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of DIA AYAHKU: Chapter 1 - Chapter 10

111 Chapters

Part 1

"Aku sudah lelah mengurus Abang. Tidakkah Abang kasihan melihatku dan anak-anak?" Kudengar keluhan Ibu dari ambang pintu. "Maafkan Abang, Risma. Abang memang laki-laki yang tidak berguna." Ayah menjawab dengan lirih. "Kalau Abang sadar, seharusnya Abang tahu diri dan tidak lagi menyusahkan kami."Suara tangis Ibu terdengar bahkan sampai ke halaman depan. Tidakkah dia malu bila didengar tetangga yang jaraknya tidak sampai satu jengkal baik di sebelah kiri dan sebelah kanan? Aku hanya tertunduk pilu mendengar keseharian Ibuku yang hanya bisa mengomel dan memarahi Ayah. "Apa saja yang Abang lakukan seharian di rumah? Kenapa sampai masak nasi saja tidak sempat? Abang pikir kita masih sanggup membayar pembantu di rumah ini, ha?" Ibu kembali meninggikan suara. "Maaf, Risma. Abang pikir tadi sudah dimasak sama Dara.""Halah, alasan saja.""Ya, sudah. Biar Abang masak sekarang."Kulihat Ayah berusaha bangkit dari duduknya. Berjalan melangkah menuju dapur. Tak sampai lima langkah, kudeng
Read more

Part 2

Seminggu sudah Ibu dan Dara pergi. Ayah kembali tak banyak bicara. Namun tak ada lagi rasa tangis dan sesal di hatinya. Mungkin asalkan mereka bahagia, itu sudah cukup baginya. Mengurus Ayah tidaklah sesulit yang Ibu katakan. Meski dengan bantuan tongkat yang dia apit di kedua belah ketiak, dia masih sanggup untuk berjalan. Tak perlu dibantu untuk hanya sekedar ke kamar mandi dan mengganti pakaian. Ayah masih sanggup melakukannya sendiri. Yang Ibu kesalkan hanya karena Ayah tak sanggup lagi bekerja dan menghasilkan uang. Selebihnya, Ayah masih bisa melakukan. Ibu memang sungguh tak tahu diri. Selepas kematian suami pertamanya_Ayah kandungku_kami terus hidup dalam kesusahan. Keluarga Ayah sama sekali tak ada yang ingin menolong, karena pernikahan mereka memang tanpa restu dari keluarga Ayah. Untunglah Ibu bertemu dengan Ayahku yang sekarang. Mereka kemudian menikah dan derajat kami mulai terangkat. Hidup kamipun mulai membaik. Serta kasih sayang Ayah begitu besar terhadap kami. Set
Read more

Part 3

Kereta berhenti di stasiun tujuanku. Kulirik benda berbentuk bulat kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Memang tepat lima jam perjalanan yang sudah kutempuh. Bisa kupastikan karena aku juga melakukan hal yang sama pada tangan kiriku sesaat setelah kereta bergerak, tepat jam dua belas teng. Kubaca lagi alamat yang dikirimkan Ibu. Semenjak dia menjual rumah, nomor ponselnya berubah. Biasanya dia menghubungi lewat ponsel Dara. Seperti dugaanku, sebentar lagi uang hasil penjualan rumah akan segera habis sebelum tahun ajaran baru dimulai. Dan angan-angan Dara untuk kuliah hanya akan tinggal cerita saja. Aku memanggil becak yang berderet-deret di di pintu luar stasiun. Kusebutkan alamat tersebut dan dengan cepat dia mengiyakan. Jalan yang kulewati hanyalah jalan lintas yang di sepanjang jalan kiri dan kanan berbaris pohon-pohon sawit. Terdapat juga rumah-rumah berbentuk serupa. Pastilah itu mess bagi karyawan yang telah disediakan o
Read more

Part 4

Ibu terus saja menghubungi sekembalinya aku dari kampung. Dia terus saja mendesak agar aku berkata jujur. Barulah kutahu apa maksud dan tujuannya menyuruhku ke sana. "Percuma saja kau kuliah. Kalau pikiranmu masih blo on juga," ketus Ibu saat ku angkat panggilannya."Sudahlah, Bu. Jangan serakah. Apa Ibu pikir Sarah tidak malu? Mereka menerima Sarah saja itu sudah cukup." Aku membela diri."Memang kau tidak berguna. Seharusnya kau bilang keadaan kau yang sebenarnya. Setidaknya mereka bisa memberikan kehidupan yang layak buat kau. Tak tahu kah bahwa Ibu juga memikirkan keadaan kau di sana?""Kalau Ibu memikirkan Sarah, seharusnya Ibu tidak pergi meninggalkan kami. Ibu sama sekali tidak pantas memperlakukan Ayah seperti itu.""Terserah kau sajalah. Kau sendiri yang merasakan kesusahan itu.".Aku kembali menghela nafas. Bersandar pada kursi kasir agar hilang penat tubuh dan pikiran. Kulihat pemuda tempo hari yang mengaku bernama Andar kembali masuk dan duduk di kursi pojok. Dia sama s
Read more

Part 5

"Lebih tidak masuk akal kalau aku memanggilnya dengan sebutan Om. Dia bahkan lebih cocok jadi adikku.""Ha? Kok bisa?""Dia hanya lebih tua tiga tahun dariku. Tapi wajahnya jelas lebih muda dibandingkan aku. Bisa kau naikkan gajiku bulan ini? Aku butuh biaya untuk perawatan agar terlihat lebih muda.""Dasar tidak waras. Kenapa tidak sekalian kau memintaku untuk membelikanmu sabun mandi dan juga pasta gigi. Berhenti berhemat. Belum cukup juga tabungan untuk hadiah Ayahmu itu?""Kenapa membahasnya sekarang? Cepatlah, aku takut Paman terlalu lama menunggu.""Aku baru tahu kalau kau punya Paman. Apa dia tampan?" godanya. Aku memutar bola mata, malas. Lekas ku rebut kunci mobil yang masih menjuntai di tangannya."Terima kasih, Bos. Nanti aku jelaskan lagi.""Heh, aku potong gajimu kalau sampai malam tidak kembali, ya?" teriaknya saat aku bergegas keluar. Kulirik dari ekor mata, sesosok yang dari tadi duduk di kursi pojok itu, langsung memutar kepala mengikuti arah langkahku yang melewatin
Read more

Part 6

"Dan kembali membuat Ibuku dibenci? Ayolah Han, walaupun begitu dia tetap Ibuku.""Terserah kau saja. Awas lecet mobilku. Seenaknya saja mengaku-ngaku," sinisnya. Begitulah Hana. Sedari dulu selalu bersikap judes dan suka marah-marah. Bukan hanya padaku, tapi juga pada semua orang termasuk para karyawannya. Tapi dibalik semua itu, dialah satu-satunya sahabat yang bisa menerimaku apa adanya. Kujemput Paman Harun di depan hotel. Dia langsung keluar begitu tahu aku datang. "Bagaimana tidurnya, Paman? Nyenyak, kan?" Aku berbasa-basi. "Aku pikir kau benar-benar akan mengantarku ke hotel." Dia terlihat kesal. Aku tertawa kecil. Merasa lucu karena aku membawanya ke hotel kelas melati. Hanya itu kemampuanku saat ini. "Paman kan sudah biasa tidur di kamar kost. Apa bedanya dengan hotel itu?""Kalau tahu begitu, aku cari hotel sendiri saja. Begini rupanya kalau mengharapkan sesuatu yang gratis," keluhnya. Aku kembali tertawa. Kali ini cukup keras begitu melihat wajahnya yang super kecew
Read more

Part 7

"Bagaimana penampilan Sarah hari ini, Yah?" tanyaku yang kini berdiri dan bergaya di depan Ayah. "Memangnya mau kemana? Bukannya kau bilang hari ini tidak kuliah?" tanya Ayah heran."Sarah kerja dari pagi, Yah. Buat mengganti jam kerja yang kemarin Sarah pakai buat mengantar Paman Harun.""Lalu kenapa tiba-tiba mendadak mempermasalahkan soal penampilan? Pasti Hana protes karena cafenya sepi, sampai-sampai kau disuruh berdandan. Iya, kan?" tuding ayah."Bukan Hana, Yah. Tapi orang lain.""Siapa?"Aku menceritakan apa yang terjadi kemarin dengan pria bernama Andar. Namun Ayah malah tertawa mendengar celotehku. "Dia hanya ingin mencari perhatian kau saja. Kelihatannya kau juga menyukai pemuda itu. Siapa namanya?""Andar.""Nah, kau saja mengingat nama itu.""Tapi bukan berarti Sarah menyukainya, Yah.""Iya, kau tidak sedang menyukainya. Hanya berusaha terlihat cantik di depannya. Begitu kan?" ledek Ayah. "Terserah Ayah sajalah." Ayah tertawa keras melihatku yang sedang merajuk. "Baikl
Read more

Part 8

Tapi nyatanya apa? Mengabdi? Dia bahkan bukan Paman kandungku. Apa sebelumnya dia itu selalu dimanja oleh keluargaku? Apa karena posisinya sebagai anak bungsu? Ah terserahlah."Setelah tukang ledeng pergi, Paman cari makan di luar saja. Aku masih ada urusan," bantahku.Dia diam saja. Sama sekali tak menjawab. Dia berlalu santai menuju kamar mandi begitu membayar malaikat yang menyelamatkan air di rumahnya. Kesempatan itu tentu saja kugunakan untuk kabur dan segera pergi meninggalkannya. Aku kembali ke halaman depan dan mendapatkan mobil Hana. Kurogoh saku celana guna mengambil kunci. Tak ada. Kuperiksa kembali tas mungilku yang hanya berisi sebuah dompet dengan hanya beberapa lembar uang di dalamnya. Hasilnya juga sama. Aku kembali ke dalam, mungkin tanpa sadar aku meletakkan asal di atas meja. Juga tak ada. Ada apa ini? Dimana kuletakkan kunci itu? Kalau begini, Paman bisa saja sudah selesai mandi dan kembali menerorku. Aku kembali ke mobil, siapa tahu kuncinya tertinggal di dala
Read more

Part 9

Kupandangi wajah Ayah yang sedang berdiri membuka tutup ricecoocer. Mengambil piring yang tadi dia masukkan. Kubiarkan saja dia bersusah payah. Kalau kularang, dia pasti akan merasa membebani dan mengancam minta dimasukkan ke panti jompo. "Paman kau pasti kapok mengajak pergi-pergi lagi. Banyak sekali yang kau minta.""Sudah Sarah bilang, Sarah tidak pernah minta. Itu hanya upah karena Sarah sudah menemaninya.""Apa dia betah tinggal di sana?""Hem. Kelihatannya begitu. Dia rajin memposting ruangan demi ruangan di grup keluarga. Ayah mau melihatnya?"Ayah menggeleng. "Lebih baik Ayah bertemu dengannya secara langsung.".Aku berjalan kaki keluar rumah menuju cafe. Memikirkan apa yang tadi dikatakan Ayah. Bukannya aku malu atau tak ingin mengenalkan Paman Harun kepadanya. Aku hanya tak ingin keluarga Siagian tahu kalau keluargaku sekarang tak sesempurna itu. "Butuh tumpangan?" motor sport berwarna merah itu kembali memotong langkahku. "Menjauhlah. Aku tak ingin lagi bicara padamu."
Read more

Part 10

Aku diam terpaku. Tak lagi bisa mengatakan sesuatu. Kenapa bisa orang ini ada di sini? Seseorang yang paling aku hindari, pada akhirnya akan bertemu denganku setiap hari. Kebetulan, ataukah takdir? "Kau tidak dengar?" Paman Harun menatapku curiga. Dia bukan lagi anak kecil yang bisa seenaknya aku permainkan. Tak mungkin lagi bagiku untuk mengelak."Maaf, Paman. Memang beginilah keadaanku." Aku menunduk malu. ."Kenapa kau harus berbohong seperti ini?" Dia bertanya setelah kuceritakan semua yang terjadi. "Aku terpaksa, Paman," jawabku lemah. "Siapa yang memaksamu?""Tidak ada.""Aku akan memberi tahu Nenek," ujarnya, sambil meraih ponsel dari atas meja kafe, tempat kami duduk saat ini. Namun dengan cepat aku mencegahnya. "Jangan, Paman. Jangan libatkan mereka. Mereka tidak harus tahu.""Mereka keluargamu. Mereka juga bertanggung jawab untuk hidupmu, termasuk aku." Dia sama sekali tak perduli dengan permintaanku. Dia bangkit dan berdiri. Menggeser layar ponsel seperti mencari seb
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status