"Bagaimana penampilan Sarah hari ini, Yah?" tanyaku yang kini berdiri dan bergaya di depan Ayah.
"Memangnya mau kemana? Bukannya kau bilang hari ini tidak kuliah?" tanya Ayah heran.
"Sarah kerja dari pagi, Yah. Buat mengganti jam kerja yang kemarin Sarah pakai buat mengantar Paman Harun."
"Lalu kenapa tiba-tiba mendadak mempermasalahkan soal penampilan? Pasti Hana protes karena cafenya sepi, sampai-sampai kau disuruh berdandan. Iya, kan?" tuding ayah.
"Bukan Hana, Yah. Tapi orang lain."
"Siapa?"
Aku menceritakan apa yang terjadi kemarin dengan pria bernama Andar. Namun Ayah malah tertawa mendengar celotehku.
"Dia hanya ingin mencari perhatian kau saja. Kelihatannya kau juga menyukai pemuda itu. Siapa namanya?"
"Andar."
"Nah, kau saja mengingat nama itu."
"Tapi bukan berarti Sarah menyukainya, Yah."
"Iya, kau tidak sedang menyukainya. Hanya berusaha terlihat cantik di depannya. Begitu kan?" ledek Ayah.
"Terserah Ayah sajalah." Ayah tertawa keras melihatku yang sedang merajuk. "Baiklah, siapa yang perduli dengan penampilan hari ini!" protesku. Kemudian pamit pergi.
.
Beberapa karyawan sibuk membereskan meja dan kursi. Sementara aku sibuk mengobrol di ruangan Hana. kafe ini bukan seperti kafe sungguhan.
Tak ada struktur menejemen di dalamnya. Hanya ada Hana sebagai pemilik, dan kami sebagai karyawan. Tentu saja aku sebagai karyawan kepercayaan yang mengurus dan bertanggung jawab atas semuanya.
Seharusnya tugas seperti ini membuat gelarku menjadi naik. Setidaknya menjadi menejer.
"Cukup jadi kasir saja. Tunggu kau dapat gelar sarjana baru aku akan menaikkan pangkatmu," omel Hana saat dulu aku bilang Ibuku malu kalau anaknya hanya bekerja sebagai kasir.
"Kau pikir, kalau aku sudah dapat gelar sarjana, aku masih mau mengurus cafe ini lagi?" balasku tak mau kalah.
Hana memang lulus kuliah lebih cepat. Selepas sma dia langsung mendaftar ke universitas negeri dan lulus. Temanku yang satu ini memang sangat jenius. Bukan hanya dibidang pelajaran, tapi juga berbisnis.
Mulai dari jualan online kecil-kecilan, hingga kini bisa membuka kafe sendiri. Padahal dia sendiri tidak bisa memasak. Jangankan memasak, menghidupkan kompor saja mungkin tidak bisa.
.
Sepanjang hari aku mondar-mandir, seperti merasa kehilangan. Kemana si pria mesum itu? Kenapa belum muncul juga? Hari sudah sore, namun tak ada lagi tanda-tanda dia akan datang. Ah sudahlah, lagipula penampilanku hari ini bukan kutujukan untuk dia.
Tiba-tiba saja tubuhku bergetar, apa yang terjadi? Oh, ternyata ponsel yang ada di saku celanaku. Ada nama Paman Harun di sana. Dengan rasa was-was aku mengangkatnya.
"Iya, Paman. Ada apa?"
"Datanglah sekarang. Air di rumah ini mati," serunya.
"Kalau airnya mati kenapa memanggilku? Seharusnya panggil petugasnya," keluhku.
"Kau yang menyuruhku tinggal di rumah ini. Kau harus bertanggung jawab. Minggu depan teman-temanku sudah akan datang."
Dasar anak manja. Aku kan hanya menyarankan. Toh itu juga salah satu properti milik keluarga Hana. Kenapa dia tidak menghubungi pemiliknya saja?
Paman memang sengaja menyewa rumah yang cukup besar. Bangunan yang memiliki tiga buah kamar itu rencananya akan dihuni bersama oleh beberapa rekannya. Entah itu teman kuliah atau teman sekampungnya yang juga mengadu nasib di kota ini.
Lagi-lagi aku harus tutup telinga mendengar umpatan dari Hana.
"Dasar teman tidak punya akhlak.. " seperti tarzan dia berteriak dari pintu ruangannya hingga terdengar oleh semua karyawan.
Sontak mereka tertawa melihatku berlari sambil menenteng kunci mobil dengan gantungan bergambar doraemon itu. Namun tiba-tiba saja pria itu berdiri mematung dan...kami bertabrakan hingga dia terjatuh tepat di bawahku.
Seketika pandangan kami bertemu. Lalu senyum manis terukir indah di bibirnya. Cepat aku bangkit sambil menepuk-nepuk telapak tanganku.Sungguh pertemuan yang klise. Seperti film-film romantis di jaman sebelum aku dilahirkan. Tidak sengaja bertemu, bertabrakan, kemudian saling jatuh cinta. Astaga! Entah apa saja yang ada di pikiranku. Kutinggalkan pria yang masih dalam posisi terlentang dan jadi sorotan semua orang itu.
."Dasar sial. Lama kutunggu tak datang-datang. Begitu aku mau pergi, baru muncul!" gerutuku dalam hati. Kulajukan mobil dengan rasa dongkol yang teramat sangat.
Tak sampai setengah jam aku sampai di rumah Paman. Kulihat dia begitu gelisah dan mondar-mandir di teras rumah.
"Lama sekali, Sarah. Sudah gerah aku, tidak mandi dari malam tadi."
"Terus aku harus apa? Bukankah nomor tukang ledeng sudah kuberikan pada Paman?"
"Kau saja yang hubungi," ketusnya.
"Kenapa harus aku?"
"Kau yang bertanggung jawab dengan rumah ini."
"Terserahlah!"
."Aku lapar," keluhnya lagi.
"Terus?"
"Omak bilang kalau butuh apa-apa aku bisa meminta bantuanmu. Sudah seharusnya keponakan mengabdi kepada Pamannya. Kau bisa masakkan?"
"Paman, aku harus segera kembali bekerja. Jika tidak, aku bisa dipecat."
"Jangan berbohong. Dia melirik benda bulat besar yang menggantung di dinding ruangan. Ini sudah lewat jam kerja. Kau pikir aku secara sembarangan, mengganggu pekerjaanmu?"
Benar juga. Bukankah aku sendiri yang bilang, kalau aku ini kerja kantoran. Kupikir setelah semua ini, dia tidak akan punya waktu lagi menggangguku.
Tapi nyatanya apa? Mengabdi? Dia bahkan bukan Paman kandungku. Apa sebelumnya dia itu selalu dimanja oleh keluargaku? Apa karena posisinya sebagai anak bungsu? Ah terserahlah."Setelah tukang ledeng pergi, Paman cari makan di luar saja. Aku masih ada urusan," bantahku.Dia diam saja. Sama sekali tak menjawab. Dia berlalu santai menuju kamar mandi begitu membayar malaikat yang menyelamatkan air di rumahnya. Kesempatan itu tentu saja kugunakan untuk kabur dan segera pergi meninggalkannya. Aku kembali ke halaman depan dan mendapatkan mobil Hana. Kurogoh saku celana guna mengambil kunci. Tak ada. Kuperiksa kembali tas mungilku yang hanya berisi sebuah dompet dengan hanya beberapa lembar uang di dalamnya. Hasilnya juga sama. Aku kembali ke dalam, mungkin tanpa sadar aku meletakkan asal di atas meja. Juga tak ada. Ada apa ini? Dimana kuletakkan kunci itu? Kalau begini, Paman bisa saja sudah selesai mandi dan kembali menerorku. Aku kembali ke mobil, siapa tahu kuncinya tertinggal di dala
Kupandangi wajah Ayah yang sedang berdiri membuka tutup ricecoocer. Mengambil piring yang tadi dia masukkan. Kubiarkan saja dia bersusah payah. Kalau kularang, dia pasti akan merasa membebani dan mengancam minta dimasukkan ke panti jompo. "Paman kau pasti kapok mengajak pergi-pergi lagi. Banyak sekali yang kau minta.""Sudah Sarah bilang, Sarah tidak pernah minta. Itu hanya upah karena Sarah sudah menemaninya.""Apa dia betah tinggal di sana?""Hem. Kelihatannya begitu. Dia rajin memposting ruangan demi ruangan di grup keluarga. Ayah mau melihatnya?"Ayah menggeleng. "Lebih baik Ayah bertemu dengannya secara langsung.".Aku berjalan kaki keluar rumah menuju cafe. Memikirkan apa yang tadi dikatakan Ayah. Bukannya aku malu atau tak ingin mengenalkan Paman Harun kepadanya. Aku hanya tak ingin keluarga Siagian tahu kalau keluargaku sekarang tak sesempurna itu. "Butuh tumpangan?" motor sport berwarna merah itu kembali memotong langkahku. "Menjauhlah. Aku tak ingin lagi bicara padamu."
Aku diam terpaku. Tak lagi bisa mengatakan sesuatu. Kenapa bisa orang ini ada di sini? Seseorang yang paling aku hindari, pada akhirnya akan bertemu denganku setiap hari. Kebetulan, ataukah takdir? "Kau tidak dengar?" Paman Harun menatapku curiga. Dia bukan lagi anak kecil yang bisa seenaknya aku permainkan. Tak mungkin lagi bagiku untuk mengelak."Maaf, Paman. Memang beginilah keadaanku." Aku menunduk malu. ."Kenapa kau harus berbohong seperti ini?" Dia bertanya setelah kuceritakan semua yang terjadi. "Aku terpaksa, Paman," jawabku lemah. "Siapa yang memaksamu?""Tidak ada.""Aku akan memberi tahu Nenek," ujarnya, sambil meraih ponsel dari atas meja kafe, tempat kami duduk saat ini. Namun dengan cepat aku mencegahnya. "Jangan, Paman. Jangan libatkan mereka. Mereka tidak harus tahu.""Mereka keluargamu. Mereka juga bertanggung jawab untuk hidupmu, termasuk aku." Dia sama sekali tak perduli dengan permintaanku. Dia bangkit dan berdiri. Menggeser layar ponsel seperti mencari seb
Aku berpisah dari Paman di ujung jalan. Dia berangkat ke kantor dengan kemeja lama Ayah. Sungguh pakaian itu pas sekali untuk dia pakai. Teringat kembali saat dulu Ayah mengenakan baju itu. Begitu gagah dan sangat berwibawa. Jabatan yang nyaris sempurna di perusahaan asing tempatnya bekerja, membuat Ibuku tak pernah melepaskan pandangan darinya. Selalu minta ikut jika ada hajatan atau acara dari kantor. "Risma tak mau kalau Abang digoda sama wanita lain. Bahkan anak sekolahanpun bisa naksir, kalau Abang segagah ini," rajuk Ibu. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Kini Ibu bahkan tak ingin melihat tubuh kurus Ayah lagi. .Sepulang kuliah aku pergi menuju konter di ujung jalan. Lagi-lagi aku harus kecewa karena ponsel ini mati total. Kecil kemungkinan akan bisa normal kembali seperti semula. Kalaupun hidup, ada beberapa hal yang tidak bisa berfungsi lagi. Dan itu artinya aku harus mengganti ponsel ini dengan yang baru. Mereknya bukan main-main. Harganya berkisar hingga lima sampai enam ju
Aku membuang muka, tak menjawab. Apakah menggoda itu sama dengan bentuk merendahkan? Atau hanya aku saja yang terdengar sensitif? "Apa sekarang kita berteman?" Aku berharap. Dia mengernyitkan dahi. "Kau benar-benar sedang merayuku, agar aku meringankan tuntutan atas hapeku itu?""Apakah boleh? Bisakah aku seperti itu?""Kau ini wanita seperti apa?""Seperti apa maksudmu?""Kau sama sekali tak pandai dalam merayu. Kalau bukan aku, lelaki lain pasti tidak akan memperdulikanmu. Mereka bahkan tidak akan tertarik."Eh? Apa itu artinya dia tertarik? Aku berhasil? **********Minggu pagi. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Aku baru saja bangkit saat terdengar suara orang mengobrol. Ayah sedang sarapan bersama Paman Harun. Kapan dia datang? Ini bahkan masih terlalu pagi untuk ukuran hari libur. Dia kembali membawa banyak makanan untuk aku dan Ayah. Jumlahnya sama persis saat kubilang masih ada Ibu dan Dara di rumah."Sarapan, Sarah. Harun bawa banyak makanan."
Akhirnya kami sepakat. Aku dan Ayah akan pindah ke rumah Paman besok pagi. Tepat masanya habis kontrak untuk bulan ini. Entah Ayah merasa keberatan atau tidak, tapi inilah saatnya aku kembali mengangkat derajat Ayah. "Mau kemana?" tanya Ayah, saat aku sudah berdandan rapi. "Bayar hutang!" seruku. Ayah mengernyit. Akupun tertawa sambil memijat bahunya. "Sarah ingin menemani Hana, Yah.""Bukannya kau libur?""Kali ini sebagai teman. Hana minta ditemani jalan. Ayah tidak keberatan, kan?" rayuku, sambil terus memijat bahunya seperti yang dari dulu aku lakukan jika menginginkan sesuatu. "Kau tidak sedang berbohong, kan?" tuding Ayah. "Ayah tahu kapan kau jujur dan kapan juga kau berbohong. Katakan kau ingin pergi dengan siapa?" desak Ayah.Aku menghentikan gerakanku, kemudian duduk berlutut di depannya. Bukan, bukan karena aku ingin memohon sesuatu, tapi karena di rumah ini memang tidak ada kursi untuk aku memberikan kedudukan yang tinggi buat Ayah. Hanya dengan berlutut, tinggi kami
Andar sudah menungguku di ujung tiang listrik dekat parkiran. Tak ada ransel atau embel-embel alat-alat kerja yang sudah menjadi ciri khasnya. Menurutku. Dia melambaikan tangan, seolah aku tak tahu kalau dia di situ. Aku membalasnya dengan senyuman. Setidaknya senyumku ini bisa saja berharga lima sampai enam juta. "Sudah lama?" Aku berbasa-basi. Tentu saja dia menungguku lama. Bukankah aku harus menyanyikan lagu Indonesia raya dan Padamu Negeri dulu sebagai syarat dari Ayah? Sudah jutaan kali aku menyanyikan lagu itu setiap menginginkan sesuatu. Apa Ayah tidak ingin mendengar lagu-lagu lain? Lagu daerah misalnya. "Tidak apa. Itu hanya akan mengurangi poinmu," tukasnya, sambil menyodorkan helm bogo bergambar kartun kuda poni berwarna pink. "Punya siapa?" Aku menyambut benda berat itu. "Pakai saja!""Milik pacarmu, ya?" Aku mengendus bagian dalam pelindung kepala itu. Mencari aroma-aroma yang identik dengan wanita. "Kalau aku punya pacar, aku tidak akan mungkin memilih untuk jala
Aku dan Ayah mengamati satu persatu kamar kami. Paman bahkan menukar letak kamarnya di sebelah kamarku, sedangkan kamar utama di depan dia berikan pada Ayah. Ayah bilang tidak perlu sampai seperti itu. Tapi Paman Harun tetap bersikukuh bahwa itu adalah bentuk penghormatan bagi orang yang dituakan. "Jangan berpikir kalau aku melakukan ini karena ingin dekat dengan kau, ya?" Dia mengingatkan.Aku kembali menghela nafas. Sindrom apa yang Pamanku ini derita. Kenapa tingkat kepercayaan dirinya begitu tinggi. "Eh, Paman. Aku ini masih normal. Tidak mungkin aku menyukai sesama jenis," ledekku sinis."Sesama jenis?" Dahinya mengernyit. Aku yakin pasti kepercayaan dirinya berangsur hilang setelah kuberi gambaran bahwa dia terlalu manja seperti seorang gadis, sepertiku. "Jadi, kau itu laki-laki?"Haish...Dasar tidak peka. "Asal tau saja, ya!" Aku kembali mendelik. "Sekarang aku punya pacar. Jadi, jangan pernah lagi berpikir kalau aku tertarik pada Paman," ucapku setengah berbisik. "Seor
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a