Kereta berhenti di stasiun tujuanku. Kulirik benda berbentuk bulat kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore.
Memang tepat lima jam perjalanan yang sudah kutempuh. Bisa kupastikan karena aku juga melakukan hal yang sama pada tangan kiriku sesaat setelah kereta bergerak, tepat jam dua belas teng.
Kubaca lagi alamat yang dikirimkan Ibu. Semenjak dia menjual rumah, nomor ponselnya berubah. Biasanya dia menghubungi lewat ponsel Dara. Seperti dugaanku, sebentar lagi uang hasil penjualan rumah akan segera habis sebelum tahun ajaran baru dimulai. Dan angan-angan Dara untuk kuliah hanya akan tinggal cerita saja.
Aku memanggil becak yang berderet-deret di di pintu luar stasiun. Kusebutkan alamat tersebut dan dengan cepat dia mengiyakan.
Jalan yang kulewati hanyalah jalan lintas yang di sepanjang jalan kiri dan kanan berbaris pohon-pohon sawit. Terdapat juga rumah-rumah berbentuk serupa. Pastilah itu mess bagi karyawan yang telah disediakan oleh pemiliknya.
Sepanjang perjalanan tak ada pembicaraan. Mungkin karena aku juga terlalu cuek dan hanya menatap layar ponsel. Tak lama, kendaraan roda tiga itu menepi dan berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Abang tukang becak pergi setelah aku memberikan upah yang kami sepakati tadi.
Masih ada tanda-tanda bahwa rumah ini baru saja ditimpa kemalangan. Meski sudah tak ramai orang, namun tenda dan kursi-kursi pelastik masih terpasang dan tersusun di halaman depan. Rumah ini tak terlalu besar. Namun jauh lebih bagus dari rumah-rumah di sekelilingnya.
Aku menaiki teras dan mengetuk pintu depan yang sudah terbuka.
"Assalamualaikum!" seruku dari depan pintu. Beberapa orang menoleh dan memberi isyarat agar aku segera masuk. Mungkin mereka pikir aku salah satu dari pelayat yang datang.
Aku masuk dan duduk di ambal yang terbentang memenuhi semua ruangan. Jenazah Kakek sudah tak lagi ada. Mungkin sudah dimakamkan pagi atau siang tadi. Ini dikarenakan Kakek sudah meninggal dari kemarin sore.
Aku masih duduk bersandar memperhatikan orang-orang yang masih berada di dalam rumah. Mungkin hanya tinggal beberapa kerabat yang juga datang dari jauh. Di sudut ruangan kulihat seorang wanita tua berjilbab coklat susu sedang membacakan ayat Alquran. Matanya sembab seperti habis menangis yang tiada henti. Itukah Nenekku?
Aku bahkan tidak tahu apakah wajah Ayah kandungku mirip dengannya atau tidak. Tapi dilihat dari sikapnya yang begitu merasa kehilangan, pastilah dia seorang istri yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya, Kakekku.
Perlahan aku mendekat. Dengan ragu aku duduk di sampingnya. Belum berani menegur karena dia masih terlihat khusu' sambil sesekali menarik ingusnya akibat menahan tangis.
Dia berhenti membaca setelah menyadari kehadiranku. Aku mengangguk, menyapanya tanpa berkata apa-apa. Entah harus kumulai dari mana semua ini.
"Siapa kau? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya," ucap wanita tua dengan banyak kerutan di wajahnya.
"Sarah. Sarah Nauli Siagian," kusebutkan nama lengkap beserta marga Ayahku.
"Ouh, boru Siagian juga rupanya. Mungkinlah kita bersaudara ," tuturnya seramah mungkin.
Memanglah sepengetahuanku, bagi suku Batak, jika bertemu dengan yang satu marga selalu dianggap saudara. Bahkan terkadang ada yang tidak diperbolehkan menikah, meskipun tidak ada ikatan darah diantara mereka.
"Tentu kita keluarga, Nek," jawabku harap-harap cemas. Entah kepercayaan diri dari mana sampai-sampai aku tak malu mengungkapkan jati diri.
"Oh, benarkah? Maaf, mungkin aku sudah terlalu tua. Tidak lagi dapat mengingat dengan baik. Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Siapa Ayahmu?"
"Komandan Siagian," jawabku tegas. Ya, itulah nama Ayah kandungku. Putra tertua dari Maruli Siagian, almarhum Kakekku yang baru saja meninggal.
Menurut cerita Ibu, Kakek memberikan nama itu karena berharap Ayahku menjadi seorang abdi negara. Sayang sekali, Ayah memiliki penyakit asma, sehingga gugur saat sedang mengikuti seleksi.
Mata tua itu kini memandang ke arahku dengan air mata yang sedang menggenang menunggu tumpah. Terlihat seperti dia menahannya, namun tak kuasa hingga dia mengalihkan pandangan membelakangiku. Bahunya berguncang, seketika suara tangis sesenggukan terdengar.
Aku memberanikan diri menyentuh bahu yang masih naik turun itu. Dia diam saja, tak berusaha untuk menepisnya. Apa itu artinya dia menerima keberadaanku sebagai cucunya?
"Sudah, Mak. Ikhlaskan Ayah. Ayah sudah tenang di sana," seorang wanita paruh baya dengan jilbab yang diikat tali belakang seperti mukena datang kemudian mengusap-usap bahu nya.
"Kau siapa?" wanita dengan usia berkisar empat puluhan itu bertanya padaku.
Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, Nenek memegang tangannya.
"Antarkan dia ke kuburan," perintah Nenek pelan. Wanita yang tadi memanggilnya Mamak itu pastilah salah satu adik perempuan Ayahku. Ibu juga bercerita kalau Ayah hanya memiliki dua adik perempuan, sehingga Ayahlah satu-satunya anak lelaki dari Kakek dan Nenek.
***********
Sepulang dari makam Kakek, yang tepat bersebelahan dengan makam Ayah, aku diajak kembali oleh Unde (Bibi) Tiwi. Begitu dia memintaku memanggilnya setelah kuberitahu percakapanku dengan Nenek.
Hari hampir magrib, para kerabat kembali menyusun kursi di halaman luar dan membersihkan karpet di bagian dalam. Malam kedua tahlilan almarhum Kakek akan diadakan setelah sholat.
Tak memakan waktu lama, acara pembacaan doa sudah selesai. Para pelayat sudah pulang, sementara keluarga besar Ayahku berkumpul di ruang tengah.
"Sini, Sarah," Unde Tiwi memberikan kode dengan kepalanya agar aku duduk di sampingnya.
Semua mata memandang kepadaku. Seorang wanita mirip Unde Tiwi, dua orang pria yang lebih tua dari mereka yang kuyakini adalah masing-masing suami mereka. Ada juga dua anak perempuan yang mulai beranjak remaja, serta dua orang anak laki-laki yang berbeda usia jauh. Mereka pastilah saudara-saudara sepupuku meski aku tak tahu dari indukan yang mana.
Ada satu orang lagi yang ikut bergabung dengan kami. Seorang pemuda yang usianya mungkin hanya beberapa tahun di atasku. Siapa dia? Setahuku Ayah hanya memiliki dua orang adik. Lantas kenapa dia bergabung dengan keluarga inti di rumah ini?
"Apa kau sudah menikah?" Nenek membuka percakapan. Kuyakin beliau pasti sudah bercerita tentang siapa aku kepada mereka.
"Belum, Nek. Sarah masih kuliah," jawabku.
Beberapa pasang mata itu kembali memandang ke arahku. Masing-masing mengernyit seperti keheranan.
"Memangnya sudah berapa usiamu? Seharusnya kau sudah lama lulus dan sudah menikah," tutur Nenek lagi.
Benar, usiaku kini sudah dua puluh empat tahun. Jika semua berjalan sesuai rencana, tentu apa yang Nenek katakan itu benar. Aku sudah lama mendapatkan gelar sarjana, bekerja, bahkan mungkin memikirkan masa depan. Tapi kenyataannya apa?
"Sarah harus bekerja dulu, Nek. Makanya terlambat mendaftar."
"Bekerja? Apa uang Ayahmu masih kurang, sehingga kau harus repot-repot bekerja?"
"Apa maksud Nenek? Uang Ayah tidak sebanyak itu."
"Kudengar Ibumu menikahi pria kaya di kota sana. Semasa pengantin baru dia berkeliling kampung ini untuk memamerkan suami barunya dengan mobil mewah. Kaupun ikut digendongnya waktu itu."
Ibu? Dia sampai melakukan itu? Jadi keluarga ini belum tahu apa yang sudah menimpa kami? Baiklah. Aku juga harus membuat mereka berpikir seperti itu. Atau mereka akan mengira aku datang hanya untuk mengemis dan meminta bagian dari harta warisan Kakek.
Kata tetangga yang tadi duduk di dapur bersamaku saat tahlil berlangsung, hampir separuh dari kebun sawit di perkampungan ini adalah milik keluarga Siagian. Juga pangkalan gas elpiji yang berada di ujung jalan. Semuanya milik Kakek.
Pantas saja begitu banyak yang datang untuk ikut membacakan doa pada malam ini. Rupanya keluarga Kakek adalah keluarga terpandang dan juga disegani. Kenapa Ibu tak pernah bercerita?
"Lihat Pamanmu itu. Waktu usianya dua puluh dua tahun, sudah mendapatkan gelar sarjana hukum. Sebentar lagi akan melanjutkan s2nya," ucap Nenek bangga. "Sudah tinggal menyusun skripsi kah kau?"
Aku menyengir sambil menggaruk rambutku. "Sarah baru semester empat, Nek."
**********Ternyata keluarga Ayah tidak seseram yang kubayangkan. Semuanya berbeda dari bayanganku. Tak ada teriakan, pengusiran, bahkan menyuruhku tes dna agar pengakuanku sebagai putri tunggal Ayah dapat dipertanggungjawabkan.
Juga tak ada pertikaian diantara mereka untuk memperbutkan warisan Kakek. Apa hal itu hanya ada di sinetron dan drama Korea saja?
"Dulu saat kau kecil, Unde pernah menggendong mu," ucap Unde Tiwi, adik bungsu perempuan Ayah. Eh tunggu, masih ada adik Ayah yang lebih muda.
"Apa setelah Ayah melahirkan, Nenek melahirkan lagi, Nde?" tanyaku penasaran. Unde tertawa.
"Maksudmu Harun?"
"Harun? Namanya Harun?"
"Hush, jangan sembarangan. Dia itu tetap Paman kau. Bertuturlah. Boleh kau panggil dia Paman ataupun Om seperti panggilan di kota-kota. Ayah mengambil dan merawatnya menjadi anak sendiri. Pun, Harun sudah mengetahui sejak awal. Bukan dari bayi dia kami asuh," Unde menerangkan.
Aku hanya mengangguk mendengar penuturan Unde Tiwi. Dulu, selepas malam ketujuh meninggalnya Ayahku, Ibu dan Nenek bertengkar hebat. Ibu memutuskan untuk pergi dan membawaku.
"Kakek sudah melarang kalian pergi, lalu membiarkan Ibumu untuk menetap agar kebutuhan kalian dapat terpenuhi. Meski Ibu dan Ayah kau kawin lari, tapi Mak dan Ayah tetap mau menerima karena ada kau."
Aku kembali tertegun. Memang tidak ada yang salah dengan keluarga Ayah, Ibulah yang terlalu egois dan penuh gengsi.
"Minggu depan, Harun mulai bekerja di kota tempat tinggalmu. Ada firma hukum yang menerimanya bekerja. Kau kembalilah saja bersama dia," usul Unde.
"Besok Sarah sudah harus kembali, Nde," tolakku secara halus.
"Bah, baru juga sehari. Tunggulah sampai nujuh hari. Bersedekah nasi berkat kita di sini."
"Sarah harus kembali, Nde. Ayah sedang sakit. Tidak tenang rasanya lama-lama meninggalkan Ayah sendiri."
"Kenapa bisa sendiri? Kemana Ibumu?" selidik Unde.
Aku yang keceplosan jadi gugup dibuatnya. Mereka tak harus tahu apa yang terjadi dengan keluargaku. Mereka akan semakin tidak menyukai Ibu. Namun aku tak menginginkan hal itu. Biarlah mereka tahu kami hidup bahagia,...dan kaya.
**********Aku berpamitan pagi-pagi sekali kepada seluruh keluarga. Aku sengaja mengambil keberangkatan pagi agar bisa cepat sampai di sana. Banyak hal yang aku tinggalkan secara mendadak. Termasuk Ayah.
Aku menyalami mereka satu persatu. Mereka terlihat baik dan ramah. Hanya Nenek yang masih duduk di sudut ruangan tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Tapi sesekali pandangan kami bertemu. Dia melirikku dari jauh.
"Sarah pamit ya, Nek," aku meraih dan mencium punggung tangan itu dengan takzim.
"Kalau hanya sehari, baiknya tak usah pala datang. Hanya melelahkan diri sendiri," gerutunya. Aku tersenyum.
"Apa itu artinya Sarah boleh main ke sini lagi?"
"Terserah kau saja. Menungguku mati pun boleh. Bukankah kau hanya datang saat ada kematian di rumah ini?"
.Kereta melaju dengan kencang. Melewati jalanan yang kulalui saat datang. Teringat saat Paman Harun mengantarku ke stasiun."Minggu depan bantulah aku mencari tempat tinggal. Daripada kamar kost, aku lebih suka sebuah rumah. Sesak nafas aku tinggal di kost-kostan selama kuliah," keluhnya.
Sesak nafas? Kau bahkan tidak tahu seperti apa rumah yang aku tinggali sekarang. Hanya sebuah bangunan yang menyemper dari rumah induk seseorang. Hanya terdapat sebuah kamar, dapur kecil, kamar mandi dan ruang tamu dua kali dua yang dipakai Ayah untuk tidur.
Miris. Kau dan keluarga Siagian yang lain tidak boleh tahu dengan keadaanku sekarang. Tetaplah menganggap kami sebagai orang kaya. Dengan begitu, tidak ada masalah uang diantara kita.
"Apa kau sangat menyayangi Ayah kau yang sekarang?" tanyanya lagi. Mataku menyipit. Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu.
"Kak Tiwi bilang kau lekas pulang karena beliau sakit. Kau pasti sangat mengkhawatirkannya."
"Tentu saja. Kasih sayang Ayah pertama kali kudapatkan darinya. Aku tak pernah menganggapnya sebagai Ayah tiri. Paman mungkin tidak mengerti, tapi perasaan ini... "
"Aku mengerti!" dia menyela ucapanku. "Aku mengerti sekali perasaan itu." kulihat bulir bening di pelupuk matanya.
Orang itu, dia bernasib sama sepertiku. Hidup dengan orang tua yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan kita. Namun merawat dan memberikan kasih sayang layaknya darah daging sendiri.
Apa karena dulu Kakek kehilangan Ayahku, sebagai satu-satunya anak lelaki? Sehingga dia merasa membutuhkan pengganti? Ataukah hanya rasa kasihan karena Paman Harun kini hidup sebatangkara setelah kepergian orang tuanya?
"Paman masih sedih atas kepergian Kakek?"
"Bagaimana perasaan kau terhadap Ayahmu kini, begitulah perasaanku sekarang. Hanya saja kau masih bisa pulang untuk segera melihatnya. Sedangkan aku?" suaranya mulai parau.
"Kalau mau menangis, menangis saja. Aku tak akan bilang pada siapapun."
Aku tahu dari kemarin dia berusaha menahan kesedihan. Lalu pada tengah malam, tanpa sengaja kudengar suara sesenggukan dari balik kamar. Kusingkap tirai pembatas itu, dia duduk tersudut dengan wajah dibenamkan ke lutut seperti anak kecil. Kenapa dia harus bersembunyi jika hanya ingin menangis?
"Aku hanya tak ingin terlihat lebih sedih dari mereka," ujarnya setelah menyeka sudut netranya.
"Karena Paman takut, dikatakan mirip seperti perempuan jika menangis?" aku berasumsi.
Dia sedikit menahan tawa. Lalu kembali mengemudikan mobil pick up untuk segera ke stasiun.
.
Aku sudah tiba kembali tepat tengah hari. Kuperiksa telepon genggam yang dari tadi bergetar. Rupanya notifikasi grup chat baru yang sudah dimasukkan oleh seseorang. Aku bahkan tidak mengenali nomornya. "Keluarga besar Siagian". Itu nama grupnya. Entah siapa yang membuat nya. Mungkin Alena atau Raya, kedua sepupuku yang mulai beranjak remaja.
Entah karena kepribadian ataukah kebiasaan masyarakat yang berbeda. Mereka yang tinggal di kampung lebih manusiawi dalam menilai suatu hubungan. Aku yang baru saja mereka temui, langsung diterima menjadi bagian dari keluarga.
Ayah, aku tak sendiri. Terima kasih karena sudah mengizinkanku mengenal mereka.
*******Ibu terus saja menghubungi sekembalinya aku dari kampung. Dia terus saja mendesak agar aku berkata jujur. Barulah kutahu apa maksud dan tujuannya menyuruhku ke sana. "Percuma saja kau kuliah. Kalau pikiranmu masih blo on juga," ketus Ibu saat ku angkat panggilannya."Sudahlah, Bu. Jangan serakah. Apa Ibu pikir Sarah tidak malu? Mereka menerima Sarah saja itu sudah cukup." Aku membela diri."Memang kau tidak berguna. Seharusnya kau bilang keadaan kau yang sebenarnya. Setidaknya mereka bisa memberikan kehidupan yang layak buat kau. Tak tahu kah bahwa Ibu juga memikirkan keadaan kau di sana?""Kalau Ibu memikirkan Sarah, seharusnya Ibu tidak pergi meninggalkan kami. Ibu sama sekali tidak pantas memperlakukan Ayah seperti itu.""Terserah kau sajalah. Kau sendiri yang merasakan kesusahan itu.".Aku kembali menghela nafas. Bersandar pada kursi kasir agar hilang penat tubuh dan pikiran. Kulihat pemuda tempo hari yang mengaku bernama Andar kembali masuk dan duduk di kursi pojok. Dia sama s
"Lebih tidak masuk akal kalau aku memanggilnya dengan sebutan Om. Dia bahkan lebih cocok jadi adikku.""Ha? Kok bisa?""Dia hanya lebih tua tiga tahun dariku. Tapi wajahnya jelas lebih muda dibandingkan aku. Bisa kau naikkan gajiku bulan ini? Aku butuh biaya untuk perawatan agar terlihat lebih muda.""Dasar tidak waras. Kenapa tidak sekalian kau memintaku untuk membelikanmu sabun mandi dan juga pasta gigi. Berhenti berhemat. Belum cukup juga tabungan untuk hadiah Ayahmu itu?""Kenapa membahasnya sekarang? Cepatlah, aku takut Paman terlalu lama menunggu.""Aku baru tahu kalau kau punya Paman. Apa dia tampan?" godanya. Aku memutar bola mata, malas. Lekas ku rebut kunci mobil yang masih menjuntai di tangannya."Terima kasih, Bos. Nanti aku jelaskan lagi.""Heh, aku potong gajimu kalau sampai malam tidak kembali, ya?" teriaknya saat aku bergegas keluar. Kulirik dari ekor mata, sesosok yang dari tadi duduk di kursi pojok itu, langsung memutar kepala mengikuti arah langkahku yang melewatin
"Dan kembali membuat Ibuku dibenci? Ayolah Han, walaupun begitu dia tetap Ibuku.""Terserah kau saja. Awas lecet mobilku. Seenaknya saja mengaku-ngaku," sinisnya. Begitulah Hana. Sedari dulu selalu bersikap judes dan suka marah-marah. Bukan hanya padaku, tapi juga pada semua orang termasuk para karyawannya. Tapi dibalik semua itu, dialah satu-satunya sahabat yang bisa menerimaku apa adanya. Kujemput Paman Harun di depan hotel. Dia langsung keluar begitu tahu aku datang. "Bagaimana tidurnya, Paman? Nyenyak, kan?" Aku berbasa-basi. "Aku pikir kau benar-benar akan mengantarku ke hotel." Dia terlihat kesal. Aku tertawa kecil. Merasa lucu karena aku membawanya ke hotel kelas melati. Hanya itu kemampuanku saat ini. "Paman kan sudah biasa tidur di kamar kost. Apa bedanya dengan hotel itu?""Kalau tahu begitu, aku cari hotel sendiri saja. Begini rupanya kalau mengharapkan sesuatu yang gratis," keluhnya. Aku kembali tertawa. Kali ini cukup keras begitu melihat wajahnya yang super kecew
"Bagaimana penampilan Sarah hari ini, Yah?" tanyaku yang kini berdiri dan bergaya di depan Ayah. "Memangnya mau kemana? Bukannya kau bilang hari ini tidak kuliah?" tanya Ayah heran."Sarah kerja dari pagi, Yah. Buat mengganti jam kerja yang kemarin Sarah pakai buat mengantar Paman Harun.""Lalu kenapa tiba-tiba mendadak mempermasalahkan soal penampilan? Pasti Hana protes karena cafenya sepi, sampai-sampai kau disuruh berdandan. Iya, kan?" tuding ayah."Bukan Hana, Yah. Tapi orang lain.""Siapa?"Aku menceritakan apa yang terjadi kemarin dengan pria bernama Andar. Namun Ayah malah tertawa mendengar celotehku. "Dia hanya ingin mencari perhatian kau saja. Kelihatannya kau juga menyukai pemuda itu. Siapa namanya?""Andar.""Nah, kau saja mengingat nama itu.""Tapi bukan berarti Sarah menyukainya, Yah.""Iya, kau tidak sedang menyukainya. Hanya berusaha terlihat cantik di depannya. Begitu kan?" ledek Ayah. "Terserah Ayah sajalah." Ayah tertawa keras melihatku yang sedang merajuk. "Baikl
Tapi nyatanya apa? Mengabdi? Dia bahkan bukan Paman kandungku. Apa sebelumnya dia itu selalu dimanja oleh keluargaku? Apa karena posisinya sebagai anak bungsu? Ah terserahlah."Setelah tukang ledeng pergi, Paman cari makan di luar saja. Aku masih ada urusan," bantahku.Dia diam saja. Sama sekali tak menjawab. Dia berlalu santai menuju kamar mandi begitu membayar malaikat yang menyelamatkan air di rumahnya. Kesempatan itu tentu saja kugunakan untuk kabur dan segera pergi meninggalkannya. Aku kembali ke halaman depan dan mendapatkan mobil Hana. Kurogoh saku celana guna mengambil kunci. Tak ada. Kuperiksa kembali tas mungilku yang hanya berisi sebuah dompet dengan hanya beberapa lembar uang di dalamnya. Hasilnya juga sama. Aku kembali ke dalam, mungkin tanpa sadar aku meletakkan asal di atas meja. Juga tak ada. Ada apa ini? Dimana kuletakkan kunci itu? Kalau begini, Paman bisa saja sudah selesai mandi dan kembali menerorku. Aku kembali ke mobil, siapa tahu kuncinya tertinggal di dala
Kupandangi wajah Ayah yang sedang berdiri membuka tutup ricecoocer. Mengambil piring yang tadi dia masukkan. Kubiarkan saja dia bersusah payah. Kalau kularang, dia pasti akan merasa membebani dan mengancam minta dimasukkan ke panti jompo. "Paman kau pasti kapok mengajak pergi-pergi lagi. Banyak sekali yang kau minta.""Sudah Sarah bilang, Sarah tidak pernah minta. Itu hanya upah karena Sarah sudah menemaninya.""Apa dia betah tinggal di sana?""Hem. Kelihatannya begitu. Dia rajin memposting ruangan demi ruangan di grup keluarga. Ayah mau melihatnya?"Ayah menggeleng. "Lebih baik Ayah bertemu dengannya secara langsung.".Aku berjalan kaki keluar rumah menuju cafe. Memikirkan apa yang tadi dikatakan Ayah. Bukannya aku malu atau tak ingin mengenalkan Paman Harun kepadanya. Aku hanya tak ingin keluarga Siagian tahu kalau keluargaku sekarang tak sesempurna itu. "Butuh tumpangan?" motor sport berwarna merah itu kembali memotong langkahku. "Menjauhlah. Aku tak ingin lagi bicara padamu."
Aku diam terpaku. Tak lagi bisa mengatakan sesuatu. Kenapa bisa orang ini ada di sini? Seseorang yang paling aku hindari, pada akhirnya akan bertemu denganku setiap hari. Kebetulan, ataukah takdir? "Kau tidak dengar?" Paman Harun menatapku curiga. Dia bukan lagi anak kecil yang bisa seenaknya aku permainkan. Tak mungkin lagi bagiku untuk mengelak."Maaf, Paman. Memang beginilah keadaanku." Aku menunduk malu. ."Kenapa kau harus berbohong seperti ini?" Dia bertanya setelah kuceritakan semua yang terjadi. "Aku terpaksa, Paman," jawabku lemah. "Siapa yang memaksamu?""Tidak ada.""Aku akan memberi tahu Nenek," ujarnya, sambil meraih ponsel dari atas meja kafe, tempat kami duduk saat ini. Namun dengan cepat aku mencegahnya. "Jangan, Paman. Jangan libatkan mereka. Mereka tidak harus tahu.""Mereka keluargamu. Mereka juga bertanggung jawab untuk hidupmu, termasuk aku." Dia sama sekali tak perduli dengan permintaanku. Dia bangkit dan berdiri. Menggeser layar ponsel seperti mencari seb
Aku berpisah dari Paman di ujung jalan. Dia berangkat ke kantor dengan kemeja lama Ayah. Sungguh pakaian itu pas sekali untuk dia pakai. Teringat kembali saat dulu Ayah mengenakan baju itu. Begitu gagah dan sangat berwibawa. Jabatan yang nyaris sempurna di perusahaan asing tempatnya bekerja, membuat Ibuku tak pernah melepaskan pandangan darinya. Selalu minta ikut jika ada hajatan atau acara dari kantor. "Risma tak mau kalau Abang digoda sama wanita lain. Bahkan anak sekolahanpun bisa naksir, kalau Abang segagah ini," rajuk Ibu. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Kini Ibu bahkan tak ingin melihat tubuh kurus Ayah lagi. .Sepulang kuliah aku pergi menuju konter di ujung jalan. Lagi-lagi aku harus kecewa karena ponsel ini mati total. Kecil kemungkinan akan bisa normal kembali seperti semula. Kalaupun hidup, ada beberapa hal yang tidak bisa berfungsi lagi. Dan itu artinya aku harus mengganti ponsel ini dengan yang baru. Mereknya bukan main-main. Harganya berkisar hingga lima sampai enam ju
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a