"Aku sudah lelah mengurus Abang. Tidakkah Abang kasihan melihatku dan anak-anak?" Kudengar keluhan Ibu dari ambang pintu.
"Maafkan Abang, Risma. Abang memang laki-laki yang tidak berguna." Ayah menjawab dengan lirih.
"Kalau Abang sadar, seharusnya Abang tahu diri dan tidak lagi menyusahkan kami."
Suara tangis Ibu terdengar bahkan sampai ke halaman depan. Tidakkah dia malu bila didengar tetangga yang jaraknya tidak sampai satu jengkal baik di sebelah kiri dan sebelah kanan?
Aku hanya tertunduk pilu mendengar keseharian Ibuku yang hanya bisa mengomel dan memarahi Ayah.
"Apa saja yang Abang lakukan seharian di rumah? Kenapa sampai masak nasi saja tidak sempat? Abang pikir kita masih sanggup membayar pembantu di rumah ini, ha?" Ibu kembali meninggikan suara.
"Maaf, Risma. Abang pikir tadi sudah dimasak sama Dara."
"Halah, alasan saja."
"Ya, sudah. Biar Abang masak sekarang."
Kulihat Ayah berusaha bangkit dari duduknya. Berjalan melangkah menuju dapur. Tak sampai lima langkah, kudengar sesuatu terpelanting dan terdengar rintihan dari mulut Ayah. Cepat aku masuk dan mendapatinya.
"Ayah duduk saja, biar Sarah yang memasak," ujarku.
Kubantu Ayah bangkit dan memposisikannya kembali ke kursi. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, seperti hendak melepaskan sebuah beban.
Kupungut tongkat kayu sebagai penopang kaki ayah yang tadi terjatuh, kemudian meletakkannya di samping kursi agar mudah bagi Ayah untuk menggapainya.
Ibu berjalan ke kamar sambil menghentakkan kakinya tanpa kata. Namun aku tahu, itu adalah bentuk kemarahan atas apa yang terjadi barusan. Tak lama terdengar suara pintu kamar dibanting.
"Ayah jangan pedulikan perkataan Ibu. Juga jangan terlalu menuruti keinginannya," ucapku sambil meletakkan tas di atas meja. Sebisa mungkin aku menghindari bertatapan dengannya. Aku tak mau kalau dia melihat mataku yang mulai menghangat dan kini tampak berkaca-kaca.
Aku bergegas ke dapur dan mencuci beras. Selesai menanak nasi menuju kamar untuk berganti pakaian.
Kulihat Dara, adik perempuanku yang sudah dua tahun lulus dari sma dan tidak punya kegiatan apa-apa sedang bersantai di ranjang sambil memainkan telepon genggamnya.
"Apa kau lupa caranya menanak nasi? Atau kau sengaja menungguku pulang? Tidak punya hatikah kau melihat Ibu memperlakukan Ayah? Kenapa diam saja dan tidak keluar saat Ibu meneriaki Ayah?" Kuberondongi dia dengan banyak pertanyaan bernada kesal.
" Tadi listrik mati. Aku tidak tahu kapan mulai hidup," sahutnya santai tanpa rasa bersalah.
"Apa seharian kau tidak keluar dari kamar ini, meski hanya untuk mengecek listrik yang mati?" Aku semakin menggeram mendengar jawabannya.
"Memangnya aku harus ke mana lagi? Apa aku punya tempat lain untuk bersembunyi selain di kamar pengap ini, ha?" Dia mulai meradang. "Kau masih enak, masih bisa kuliah. Sedangkan aku? Apa sanggup, Ayah membiayai kuliahku?"
"Kalau tidak bisa kuliah, kau bisa bekerja. Untuk apa kau mengurung diri di rumah layaknya tuan putri?" balasku, tak mau kalah.
"Bekerja? Dengan ijazah sma? Mau jadi apa? Menjadi kasir, seperti kau saat ini?" Dia mulai histeris dan melempar asal ponsel di ranjang. Lalu bergegas keluar dari kamar.
"Ini semua salah Ayah. Kenapa Ayah harus cacat dan menjadi miskin seperti ini. Dara bahkan belum pernah menginjakkan kaki di kampus favorit Dara. Ayah memang mau bikin malu Dara, kan? Ayah sudah puas karena teman-teman Dara sudah menjauhi Dara karena Ayah jatuh miskin? Memang itukan yang Ayah inginkan?" bentak Dara di hadapan Ayah.
Aku keluar dan langsung pasang badan melindungi Ayah yang matanya kini mulai menganak sungai tanpa perlawanan.
Bicaralah, Ayah. Jangan diam saja. Tunjukkan dirimu yang dulu. Bagaimanapun kau tetap kepala keluarga di rumah ini.
Ayah masih diam saja. Begitu besarkah rasa cintanya kepada kami hingga tak sanggup marah bahkan meski untuk membela diri?
"Berikan Dara uang, Yah. Dara mau kuliah. Dara mau kuliah seperti kak Sarah." Dara kembali mengamuk.
"Hentikan semua omong kosongmu, Dara. Menjauhlah dari Ayah!" perintahku.
"Dara benci sama Ayah. Ayah sungguh tidak berguna," pekiknya lagi.
Spontan telapak tangan ini mendarat keras di pipinya. Dara terdiam sambil mengarahkan pandangan yang tajam kepadaku.
"Hentikan kalian berdua!" Ibu sudah berdiri di ambang pintu kamarnya dengan memakai daster dan handuk di kepalanya. Dia baru selesai mandi saat tadi kami berada di kamar.
"Ibu lihat sendiri apa yang sudah berani diperbuatnya pada Dara kan, Bu?" Seperti anak kecil, Dara mengadu.
"Dia sudah hebat sekarang. Sudah bekerja dan mulai kuliah pula. Jangan lagi melawan padanya," sindir Ibu kepadaku, namun matanya tetap mengarah tajam kepada Ayah.
"Berhenti mengintimidasi aku dan Ayah, Bu. Jangan terus mengeluh seperti anak kecil. Apa sebelumnya Ibu tidak pernah hidup susah?" Aku terpaksa membalas ucapannya karena tak tahan lagi melihat Ayah yang terus sesenggukan.
Ayah yang dulu kukenal tidaklah selemah ini, hatinya. Dia bahkan tak pernah terlihat bersedih ataupun kecewa. Apa pun yang Ibu dan kami lakukan dia hanya tersenyum. Tersenyum dan terus tersenyum tanpa pernah marah atau berkata kasar.
"Ayo, Yah. Beristirahat saja dulu. Nanti Sarah antarkan nasi dan lauk untuk Ayah. Sebentar lagi nasinya akan matang."
Kubantu Ayah berdiri menuju ruang tengah yang menyatu dengan dapur. Ibu sudah meletakkan dipan yang dialasi tilam kapuk untuk Ayah tiduri siang dan malam. Ibu bahkan tidak memperbolehkan Ayah untuk tidur dengannya lagi di dalam kamar.
"Biar Ayah mudah kalau mau ke kamar mandi." Alasannya waktu itu.
Aku hanya bisa menghela napas mendengarnya. Tak ingin terus-terusan membantah dan menjadi anak durhaka. Ayah juga tak merasa keberatan. Dengan penuh senyuman, dia mendukung usulan Ibu.
"Ibumu benar. Memangnya kalau Ayah ngompol di tempat tidur, kau mau membersihkannya?" seloroh Ayah. Namun dibalik senyum itu, aku tahu kalau hatinya begitu perih.
Di rumah sederhana ini hanya ada dua kamar saja. Sangat berlawanan dengan rumah lama kami sebelum Ayah sakit dan sulit berjalan. Bahkan kini aku dan Dara harus berbagi kamar walau dengan tempat tidur terpisah.
Aku dan Ayah selalu bersikap sabar dan menerima ini sebagai takdir yang sudah ditetapkan. Kalau jalannya kami harus hidup seperti ini, kami harus menyalahkan siapa?
Berbeda dengan Ibu dan Dara. Mereka yang sudah terbiasa diberi kemewahan oleh Ayah, masih tampak syok dan belum bisa menerima keadaan ini. Padahal semua itu sudah terjadi lima tahun yang lalu.
********
Pagi ini seperti biasa aku membereskan rumah sebelum berangkat kuliah. Kuletakkan sarapan untuk Ayah dan Dara, karena Ibu sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali.
Ibu tidak pernah sarapan di rumah. Sebelum jam tujuh dia sudah berangkat ke rumah makan Padang di ujung gang, pinggir jalan. Ya, Ibu bekerja sebagai asisten untuk membantu pemiliknya untuk memasak dan mencuci piring.
Hanya setengah hari saja. Pukul satu setelah pekerjaan di dapur selesai, dia diperbolehkan pulang dengan membawa beberapa potong lauk dan sayur. Itulah yang kami makan pada siang hari. Lauk yang dibawa Ibu cukup banyak. Bisa untuk makan kami berempat.
Mungkin karena si pemilik kedai sudah cukup mengenal Ibu dan tahu bagaimana keadaan keluarga kami setelah Ayah sakit.
Kubiarkan Dara yang masih saja tidur meski sudah hampir pukul delapan. Aku berpamitan pada Ayah yang sedang duduk di teras depan. Dengan takzim kucium punggung tangannya yang sedikit bergetar itu.
"Sarah berangkat kuliah dulu ya, Yah. Sekalian dari kampus berangkat kerja. Soalnya ada mata kuliah tambahan," pamitku. "Jangan khawatir, nasi sudah sekalian Sarah masak yang banyak. Biar Ibu tidak ngomel-ngomel lagi." Sebisa mungkin kuulas senyum agar Ayah bisa kembali tenang. Dia harus tahu, aku tak pernah menyesal menjadi anaknya meski dengan keadaannya sekarang.
"Hati-hatilah di jalan. Maaf, karena Ayah, kalian harus bekerja keras seperti ini," ucapnya lirih.
Aku tak lagi menjawab ucapannya yang sudah setiap hari kudengar. Tak seharusnya dia merasa bersalah. Kecelakaan itu yang membuat nya jadi begini.
Seorang pemuda dibawah pengaruh alkohol menabraknya saat Ayah tengah bersepeda saat olah raga pagi. Keadaan Ayah cukup parah. Menurut beberapa orang saksi, Ayah terpelanting jauh dari lokasi kejadian. Kepalanya terbentur dan tulang kakinya patah.
Ayahku yang gagah harus dirawat untuk waktu yang lama di rumah sakit. Ibu menangis histeris sambil berteriak-teriak ingin memenjarakan si pelaku.
"Tolong, Bu. Tolong maafkan kesalahan anak kami. Kami akan segera membayar uang damai berapapun yang Ibu minta," pinta si Ibu pelaku.
"Uang damai? Kalian pikir kami ini orang miskin yang tidak punya uang?" sungut Ibu.
Sedikit pun dia tak ingin direndahkan oleh orang lain. Pemuda itu akhirnya disidang dan dijatuhi hukuman kurungan. Kemudian kami tak pernah lagi mendengar kabar mereka setelah kejadian itu. Mungkin bila bertemu pun, mereka akan tertawa melihat keadaan kami sekarang ini.
*******
Sepulang kuliah aku langsung menuju cafe milik temanku. Kami dulu bersekolah di SMA yang sama. Bahkan sekelas. Dialah sahabatku selama beberapa tahun ini. Tak pernah lari dan menjauh seperti yang lain, saat kami terpuruk dan jatuh miskin.
Perkataan Dara benar dalam hal ini. Bukan hanya kehilangan harta, kami bahkan kehilangan orang-orang yang dulu sempat akrab dan menganggap kami sahabat.
Begitu pula dengan keluarga Ayah, masing-masing dari mereka lepas tangan dan sebisa mungkin menghindari kami. Bahkan grup w******p keluarga tak pernah lagi aktif. Belakangan kami baru tahu, kalau salah satu dari mereka membuat grup baru, tanpa kami ikut serta di dalamnya.
"Bisakah kau menunggui kafe hari ini? Aku harus pergi dan malam baru kembali," pinta Hana sang pemilik.
"Pergilah, seperti aku akan kabur saat sore hari bila kau tidak ada," ledekku.
"Kau memang tukang kabur. Berapa kali kau mendadak pulang begitu mendengar Ayahmu bertengkar," balas Hana.
"Sori, Bos. Kali ini aku akan sampai malam berada di sini." Sikap angkuhku tadi tiba-tiba melunak karena apa yang dikatakan Hana memang benar.
Aku sengaja meminta tolong kepada Faris, anak tetanggaku yang sering kubawakan jajanan dari cafe untuk sesekali memperhatikan Ayahku dan melaporkan jika Ibuku memarahinya lagi.
Bocah kelas empat SD itu dengan senang hati mengemban tugas yang aku berikan. Tak jarang juga aku mengisikan paket datanya meski hanya dua giga saja.
"Lumayanlah, Kak. Bisa buat mabar nanti malam," celotehnya girang. Dan dia pun dengan senang hati memberikan semua informasi mengenai Ayahku saat aku tak di rumah.
Hari ini pengunjung kafe tak begitu ramai. Jadi aku bisa mengerjakan tugas dengan menggunakan laptop Hana. Dan dia juga tak pernah keberatan atas apapun yang kulakukan di kafe miliknya ini.
"Berapa semua pesanan di mejaku?" tanya seorang pria yang tanpa kusadari sudah berdiri di depanku.
"Meja berapa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari tugas kuliahku.
"Meja delapan, Kak," sahut Mita, salah seorang waittress yang mungkin tadi melayaninya.
Dengan cekatan aku mengotak-atik mesin kasir. Tak perlu waktu lama, sebuah lembaran kertas terjulur keluar.
"Seratus dua puluh lima ribu," jawabku sambil menyodorkan kertas bill kepadanya.
Dia menyambut pemberianku, kemudian merogoh dompet di saku celananya.
"Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" Kupikir dia mulai berbasa-basi.
"Entahlah, tapi rasanya kau orang kesekian yang menanyaiku dengan pertanyaan yang sama. Apa menurutmu wajahku ini pasaran?" balasku dengan nada mengejek.
Kupikir dia hanya mencari alasan untuk mengajaku ngobrol kemudian bertukar nomor w******p seperti yang biasa dilakukan para pengunjung yang lain.
"Apa kau pikir aku sedang menggodamu... Sarah?" matanya melirik nametag yang kupasang di saku kiriku.
"Kalau kau tidak memiliki niat seperti itu, kau bisa memanggil waittress jika hanya ingin mendapatkan bill. Kau tidak perlu repot-repot datang ke meja kasir," seruku penuh percaya diri.
"Baiklah, mungkin aku salah orang. Sepertinya gadis yang kumaksud memang bukan kau."
"Maaf, kalau membuatmu kecewa."
"Tapi sepertinya... kau lebih mirip Ibunya." Pria itu pun pergi meninggalkan kasir.
Kuperhatikan dia kembali menuju mejanya dan mengambil jaket serta sebuah kunci dari atas meja. Dia bergerak duluan menuju luar kafe, meninggalkan dua orang temannya yang masih menikmati kopi dan menghabiskan rokoknya.
Cih, dia bilang aku mirip ibu-ibu? Apakah kini wajahku setua itu?
*********
"Ceraikan aku, Bang. Aku akan pergi dari rumah ini."
Aku tersentak mendengar kembali teriakan Ibu. Aku bergegas bangun dan langsung keluar dari kamar. Hari ini hari Minggu. Selain libur kuliah, aku juga mendapatkan hak istimewa dari Hana, yaitu libur di hari Minggu.
Jadwal libur yang haram hukumnya bagi karyawan lain. Pelakunya bisa dihukum pemotongan gaji sampai seratus ribu bila kedapatan bolos tanpa alasan yang jelas dan masuk akal.
"Ada apalagi, Bu? Kenapa pagi-pagi sudah ribut?" Aku mendekati mereka.
"Ibu benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan kehidupan seperti ini."
"Kau mau pergi ke mana Risma? Bagaimana dengan anak-anak?" Ayah mulai angkat bicara.
"Anak-anak sudah besar. Mereka cukup tahu dengan siapa mereka akan bahagia."
"Iya, tapi kau mau ke mana?"
"Aku mau kemana itu urusanku. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Tapi aku tak sanggup lagi mengurus hidupmu."
"Kenapa Ibu tega berbicara seperti itu kepada Ayah?" ucapku lirih. Benar-benar tidak menyangka kalau Ibu akan berbuat sejauh ini.
"Tante Retno menawarkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan, dengan syarat Ibu bersedia tinggal di rumahnya," jawab Ibu dengan emosi yang mulai menurun.
"Ibu kan sudah punya pekerjaan yang enak, Bu. Kenapa harus pindah dan memilih menjadi pembantu? Apa Ibu tidak memikirkan bagaimana Ayah?"
"Sudahlah, Sarah," sela Ayah. "Biarkan Ibumu melakukan apa pun yang dia inginkan. Ayah tidak akan mengahalanginya. Dan Risma, kamu ingin bercerai? Baiklah, mulai saat ini... "
"Jangan Ayah, Sarah mohon jangan lakukan itu." Aku berlutut dan memohon di kaki Ayah. "Bu, cepatlah minta ampun kepada Ayah. Katakan kalau Ibu hanya khilaf dan asal bicara." Aku menangis sejadi-jadinya.
Ayah langsung membuang pandangan dariku. Aku tahu, dia hanya tak ingin melihatku menangis.
"Kenapa kau hentikan, Sarah? Ayahmu juga sudah menyetujuinya. Sekarang cepatlah bereskan pakaianmu dan Dara. Kita akan tinggal di rumah besar itu," perintah Ibu.
"Kenapa Ibu begitu tega melakukan semua ini, Bu? Tidak ingatkah Ibu dengan ketulusan dan kasih sayang dari Ayah?" Aku menangis dan menghiba kepadanya. Kulihat bahu ayah bergetar. Dia juga pasti sangat terpukul.
"Cepat bangunkan Dara dan kalian berdua ikut Ibu!" Ibu mulai berteriak.
"Tidak, Bu. Sarah dan Dara akan tetap di sini bersama Ayah."
"Siapa bilang?" Tiba-tiba Dara keluar dari kamar. "Dara akan ikut dengan Ibu."
Ayah memandang sendu kepada Dara. Darah daging yang teramat sangat di sayanginya. Kini berbalik arah dan tega ingin meninggalkankannya.
Namun lagi-lagi Ayah hanya diam. Mungkin lelah untuk melawan. Ibu dan Dara benar-benar sudah dikuasai oleh hawa dan nafsu terhadap kehidupan yang berlimpah.
"Kamu dengar itu kan, Sarah? Sekarang cepat bereskan semuanya. Ibu sudah bilang kepada Tante Retno kalau kalian akan ikut tinggal di sana."
"Maaf, Bu. Jika Ibu ingin pergi, pergilah. Selangkah pun Sarah tidak akan pernah meninggalkan Ayah," ucapku lirih.
Kini suara tangis Ayah pecah. Tak pernah kulihat dan kudengar dia menangis seperti ini. Apakah dia menangisi kepergian Dara? Bukankah seharusnya aku yang pergi dan Dara yang dia harapkan untuk tinggal?
"Maafkan Sarah, Yah. Sarah tidak bisa menahan mereka untuk Ayah," lirihku dengan wajah yang kini telah basah.
Ayah meraih tanganku kemudian mendekapku. Diusapnya rambutku berkali-kali. Sama seperti ketika aku masih kecil. Pelukannya begitu menenangkan.
"Sadarlah, Sarah. Kau tidak akan jadi apa-apa jika terus berada di sini." Ibu berusaha meyakinkanku.
"Tapi setidaknya Sarah bisa menjadi anak yang berbakti, Bu. Sarah tidak ingin menjadi anak durhaka yang tidak tahu diri," sindirku pedas sambil menantang mata Ibu.
"Anak durhaka? Kau lebih durhaka jika melawan Ibumu sendiri. Ingat Sarah, dia bukan Ayahmu!"
Ibu benar. Dia memang hanyalah seorang Ayah tiri. Tapi bagiku, dia adalah Malaikat dalam kehidupanku.
******
Seminggu sudah Ibu dan Dara pergi. Ayah kembali tak banyak bicara. Namun tak ada lagi rasa tangis dan sesal di hatinya. Mungkin asalkan mereka bahagia, itu sudah cukup baginya. Mengurus Ayah tidaklah sesulit yang Ibu katakan. Meski dengan bantuan tongkat yang dia apit di kedua belah ketiak, dia masih sanggup untuk berjalan. Tak perlu dibantu untuk hanya sekedar ke kamar mandi dan mengganti pakaian. Ayah masih sanggup melakukannya sendiri. Yang Ibu kesalkan hanya karena Ayah tak sanggup lagi bekerja dan menghasilkan uang. Selebihnya, Ayah masih bisa melakukan. Ibu memang sungguh tak tahu diri. Selepas kematian suami pertamanya_Ayah kandungku_kami terus hidup dalam kesusahan. Keluarga Ayah sama sekali tak ada yang ingin menolong, karena pernikahan mereka memang tanpa restu dari keluarga Ayah. Untunglah Ibu bertemu dengan Ayahku yang sekarang. Mereka kemudian menikah dan derajat kami mulai terangkat. Hidup kamipun mulai membaik. Serta kasih sayang Ayah begitu besar terhadap kami. Set
Kereta berhenti di stasiun tujuanku. Kulirik benda berbentuk bulat kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Memang tepat lima jam perjalanan yang sudah kutempuh. Bisa kupastikan karena aku juga melakukan hal yang sama pada tangan kiriku sesaat setelah kereta bergerak, tepat jam dua belas teng. Kubaca lagi alamat yang dikirimkan Ibu. Semenjak dia menjual rumah, nomor ponselnya berubah. Biasanya dia menghubungi lewat ponsel Dara. Seperti dugaanku, sebentar lagi uang hasil penjualan rumah akan segera habis sebelum tahun ajaran baru dimulai. Dan angan-angan Dara untuk kuliah hanya akan tinggal cerita saja. Aku memanggil becak yang berderet-deret di di pintu luar stasiun. Kusebutkan alamat tersebut dan dengan cepat dia mengiyakan. Jalan yang kulewati hanyalah jalan lintas yang di sepanjang jalan kiri dan kanan berbaris pohon-pohon sawit. Terdapat juga rumah-rumah berbentuk serupa. Pastilah itu mess bagi karyawan yang telah disediakan o
Ibu terus saja menghubungi sekembalinya aku dari kampung. Dia terus saja mendesak agar aku berkata jujur. Barulah kutahu apa maksud dan tujuannya menyuruhku ke sana. "Percuma saja kau kuliah. Kalau pikiranmu masih blo on juga," ketus Ibu saat ku angkat panggilannya."Sudahlah, Bu. Jangan serakah. Apa Ibu pikir Sarah tidak malu? Mereka menerima Sarah saja itu sudah cukup." Aku membela diri."Memang kau tidak berguna. Seharusnya kau bilang keadaan kau yang sebenarnya. Setidaknya mereka bisa memberikan kehidupan yang layak buat kau. Tak tahu kah bahwa Ibu juga memikirkan keadaan kau di sana?""Kalau Ibu memikirkan Sarah, seharusnya Ibu tidak pergi meninggalkan kami. Ibu sama sekali tidak pantas memperlakukan Ayah seperti itu.""Terserah kau sajalah. Kau sendiri yang merasakan kesusahan itu.".Aku kembali menghela nafas. Bersandar pada kursi kasir agar hilang penat tubuh dan pikiran. Kulihat pemuda tempo hari yang mengaku bernama Andar kembali masuk dan duduk di kursi pojok. Dia sama s
"Lebih tidak masuk akal kalau aku memanggilnya dengan sebutan Om. Dia bahkan lebih cocok jadi adikku.""Ha? Kok bisa?""Dia hanya lebih tua tiga tahun dariku. Tapi wajahnya jelas lebih muda dibandingkan aku. Bisa kau naikkan gajiku bulan ini? Aku butuh biaya untuk perawatan agar terlihat lebih muda.""Dasar tidak waras. Kenapa tidak sekalian kau memintaku untuk membelikanmu sabun mandi dan juga pasta gigi. Berhenti berhemat. Belum cukup juga tabungan untuk hadiah Ayahmu itu?""Kenapa membahasnya sekarang? Cepatlah, aku takut Paman terlalu lama menunggu.""Aku baru tahu kalau kau punya Paman. Apa dia tampan?" godanya. Aku memutar bola mata, malas. Lekas ku rebut kunci mobil yang masih menjuntai di tangannya."Terima kasih, Bos. Nanti aku jelaskan lagi.""Heh, aku potong gajimu kalau sampai malam tidak kembali, ya?" teriaknya saat aku bergegas keluar. Kulirik dari ekor mata, sesosok yang dari tadi duduk di kursi pojok itu, langsung memutar kepala mengikuti arah langkahku yang melewatin
"Dan kembali membuat Ibuku dibenci? Ayolah Han, walaupun begitu dia tetap Ibuku.""Terserah kau saja. Awas lecet mobilku. Seenaknya saja mengaku-ngaku," sinisnya. Begitulah Hana. Sedari dulu selalu bersikap judes dan suka marah-marah. Bukan hanya padaku, tapi juga pada semua orang termasuk para karyawannya. Tapi dibalik semua itu, dialah satu-satunya sahabat yang bisa menerimaku apa adanya. Kujemput Paman Harun di depan hotel. Dia langsung keluar begitu tahu aku datang. "Bagaimana tidurnya, Paman? Nyenyak, kan?" Aku berbasa-basi. "Aku pikir kau benar-benar akan mengantarku ke hotel." Dia terlihat kesal. Aku tertawa kecil. Merasa lucu karena aku membawanya ke hotel kelas melati. Hanya itu kemampuanku saat ini. "Paman kan sudah biasa tidur di kamar kost. Apa bedanya dengan hotel itu?""Kalau tahu begitu, aku cari hotel sendiri saja. Begini rupanya kalau mengharapkan sesuatu yang gratis," keluhnya. Aku kembali tertawa. Kali ini cukup keras begitu melihat wajahnya yang super kecew
"Bagaimana penampilan Sarah hari ini, Yah?" tanyaku yang kini berdiri dan bergaya di depan Ayah. "Memangnya mau kemana? Bukannya kau bilang hari ini tidak kuliah?" tanya Ayah heran."Sarah kerja dari pagi, Yah. Buat mengganti jam kerja yang kemarin Sarah pakai buat mengantar Paman Harun.""Lalu kenapa tiba-tiba mendadak mempermasalahkan soal penampilan? Pasti Hana protes karena cafenya sepi, sampai-sampai kau disuruh berdandan. Iya, kan?" tuding ayah."Bukan Hana, Yah. Tapi orang lain.""Siapa?"Aku menceritakan apa yang terjadi kemarin dengan pria bernama Andar. Namun Ayah malah tertawa mendengar celotehku. "Dia hanya ingin mencari perhatian kau saja. Kelihatannya kau juga menyukai pemuda itu. Siapa namanya?""Andar.""Nah, kau saja mengingat nama itu.""Tapi bukan berarti Sarah menyukainya, Yah.""Iya, kau tidak sedang menyukainya. Hanya berusaha terlihat cantik di depannya. Begitu kan?" ledek Ayah. "Terserah Ayah sajalah." Ayah tertawa keras melihatku yang sedang merajuk. "Baikl
Tapi nyatanya apa? Mengabdi? Dia bahkan bukan Paman kandungku. Apa sebelumnya dia itu selalu dimanja oleh keluargaku? Apa karena posisinya sebagai anak bungsu? Ah terserahlah."Setelah tukang ledeng pergi, Paman cari makan di luar saja. Aku masih ada urusan," bantahku.Dia diam saja. Sama sekali tak menjawab. Dia berlalu santai menuju kamar mandi begitu membayar malaikat yang menyelamatkan air di rumahnya. Kesempatan itu tentu saja kugunakan untuk kabur dan segera pergi meninggalkannya. Aku kembali ke halaman depan dan mendapatkan mobil Hana. Kurogoh saku celana guna mengambil kunci. Tak ada. Kuperiksa kembali tas mungilku yang hanya berisi sebuah dompet dengan hanya beberapa lembar uang di dalamnya. Hasilnya juga sama. Aku kembali ke dalam, mungkin tanpa sadar aku meletakkan asal di atas meja. Juga tak ada. Ada apa ini? Dimana kuletakkan kunci itu? Kalau begini, Paman bisa saja sudah selesai mandi dan kembali menerorku. Aku kembali ke mobil, siapa tahu kuncinya tertinggal di dala
Kupandangi wajah Ayah yang sedang berdiri membuka tutup ricecoocer. Mengambil piring yang tadi dia masukkan. Kubiarkan saja dia bersusah payah. Kalau kularang, dia pasti akan merasa membebani dan mengancam minta dimasukkan ke panti jompo. "Paman kau pasti kapok mengajak pergi-pergi lagi. Banyak sekali yang kau minta.""Sudah Sarah bilang, Sarah tidak pernah minta. Itu hanya upah karena Sarah sudah menemaninya.""Apa dia betah tinggal di sana?""Hem. Kelihatannya begitu. Dia rajin memposting ruangan demi ruangan di grup keluarga. Ayah mau melihatnya?"Ayah menggeleng. "Lebih baik Ayah bertemu dengannya secara langsung.".Aku berjalan kaki keluar rumah menuju cafe. Memikirkan apa yang tadi dikatakan Ayah. Bukannya aku malu atau tak ingin mengenalkan Paman Harun kepadanya. Aku hanya tak ingin keluarga Siagian tahu kalau keluargaku sekarang tak sesempurna itu. "Butuh tumpangan?" motor sport berwarna merah itu kembali memotong langkahku. "Menjauhlah. Aku tak ingin lagi bicara padamu."
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a