Beranda / Romansa / DIA AYAHKU / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab DIA AYAHKU: Bab 21 - Bab 30

111 Bab

Part 21

Aku sampai di rumah tak sampai jam sepuluh malam. Itu karena kebijakan baru Hana agar cafe lebih cepat tutup. Kini pukul sembilan tepat, kami sudah harus selesai berbenah dan menutup pintu. "Kau sudah gilakah, Bos? Dalam waktu dua jam, mungkin kita masih bisa menghasilkan setidaknya dua juta lagi," protesku."Memangnya kau punya saham di sini?" Hana terlihat santai menanggapinya. "Ini bisnismu. Apa kau tidak sayang?""Tentu saja sayang. Tapi aku lebih sayang padamu, keponakanku." Dia memberikan kecupan di udara dengan memajukan bibirnya yang menjungkit karena kawat gigi, menuju ke arahku. Cih. Menjijikkan. Ini pasti ada hubungannya dengan Paman. Ada hubungan apa rupanya diantara mereka, sampai-sampai Hana mengabulkan keinginan Paman."Aku hanya tidak tega melihat Ayah kau tak tidur-tidur menantikan anak gadisnya pulang larut malam.""Benarkah? Kau tidak sedang terpengaruh dengan ucapan Paman Harun, kan?""Entahlah. Dia hanya bilang kalau aku tidur dibawah jam sepuluh malam, maka ak
Baca selengkapnya

Part 22

Hingga kini, keluarga kami harus hidup berantakan seperti ini. Akankah dia bisa hidup dengan tenang setelah melihat akibat dari perbuatannya waktu itu? "Sarah ingin memperkenalkan seseorang pada Ayah. Boleh?" Aku terpaksa mengalihkan pembicaraan. Rasa sesak menyelimuti ketika membicarakan orang itu. "Siapa? Andar?" Wajah Ayah terlihat ceria. "Ayah tidak keberatan?" Aku mencoba mengukir senyum. "Kau menyukai pemuda itu? Ini pertama kali kau mengenalkan seorang pria pada Ayah.""Itu karena Sarah belum menemukan pria yang lebih baik dari Ayah.""Bukannya aku yang pertama, Bang?" Paman tiba-tiba muncul dan menyela pembicaraan kami. Aku dan Ayah saling berpandangan. Kemudian menahan tawa melihat sikap Paman. "Pria, Paman. Pria!" tegasku. "Jadi kau pikir aku apa?" Dia berdiri menyandar di depan pintu sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya. "Seorang pria dikatakan pria tak hanya berdasarkan jenis kelamin dan penampakan, Paman. Tapi soal sikap dan kebiasaan. Benar kan, Ayah?" led
Baca selengkapnya

Part 23

Hari ini aku kembali ke rumah Tante Retno dengan mengendarai motor matic yang dibelikan Paman. Sengaja aku datang pagi-pagi sekali tanpa pemberitahuan, agar Dara tak bisa lagi mengelak dengan alasan pergi-pergi. Dia memandangi sepeda motor keluaran terbaru berwarna hitam yang kubawa. Entah rasa kagum ataukah heran. Matanya cukup berbinar dengan senyum mengembang di bibir tipisnya. "Wah, keren sekali. Boleh aku pinjam?" Dia menyentuh dan mengelus tunggangan yang bahkan belum kumasukkan ke halaman rumah Tante Retno. "Boleh, antar saja aku pulang. Ayah rindu padamu." Aku mencoba bernegosiasi.Wajahnya kembali murung, dia menarik kembali tangannya dari benda yang masih mulus dan belum ada lecetnya itu. Sesuatu yang dianggapnya sangat keren ketika masih SMP dan belum sempat Ayah belikan. "Aku tidak sudi datang ke rumah kumuh itu. Kau harus mengerti. Aku trauma dengan suasana kamar pengap seperti itu lagi, meski hanya sebentar," ucapnya dengan nada angkuh. Sombong sekali adik peremp
Baca selengkapnya

Part 24

Dara celingak-celinguk melihat tempat tinggal kami yang sekarang. Ada gurat kekaguman di wajahnya melihat rumah yang kami tempati. Rumah milik keluarga Hana ini tak kalah mewah dari rumah Tante Retno. Meski tak bertingkat, namun setiap ruangan memiliki ukuran yang luas, sehingga bangunan ini terlihat besar dan mewah. Ayah terus memperhatikan Dara dengan wajah yang sumringah, berharap gadis yang usianya belum lagi genap dua puluh tahun itu segera berhambur memeluknya.Ayah masih berdiri dengan memegangi kedua penyangganya, mengikuti dengan ekor mata arah langkah kaki Dara yang berjalan kesana-kemari. Aku memang tak bilang soal ancamanku pada Dara. Yang Ayah tahu, Dara datang atas keinginannya sendiri. "Kau punya banyak uang rupanya, bisa menyewa rumah sebagus ini," tuturnya tanpa menyapa Ayah. "Kami hanya menumpang!" sahutku. "Kau menyindirku?" Dara sedikitpun tak melirik Ayah. "Kau sehat-sehat saja, Dara?" Suara lirih Ayah terdengar menyapa. Dara berdecak, seolah-olah malas menya
Baca selengkapnya

Part 25

"Kau masak apa di rumah?" tanya Paman. "Masih yang tadi pagi saja. Masih cukup sampai makan malam. Ibu tak jadi datang, sementara Dara pulang cepat," sahutku."Pasti semua tak berjalan sesuai rencana," pekiknya. Aku mengangguk. "Bungkuskan aku camilan buat Ayahmu.""Ayah sedang tak enak hati. Percuma dibawakan.".Paman segera pulang setelah meneguk habis susu stroberi pesanannya. Andar masih penasaran melihat kami yang saling bersahut-sahutan dari tadi tanpa dia tahu apa yang sedang kami bahas. "Lama sekali menunggu sampai hari Minggu, aku sudah tidak sabar ingin mengenal keluargamu," pintanya sambil menyesap kopi espresso yang sangat pahit menurut lidahku. Aku kembali tertegun. Bayangan kalau Andar akan menjauh setelah tahu keadaan keluargaku semakin membuatku takut. Selama ini aku membiarkan dia mengantarku hanya sampai di depan pagar saja. Selain terlalu cepat mengenalkannya pada Ayah, aku juga harus menghormati Paman Harun selaku pemilik rumah. Dari luar, jelas terlihat rumah
Baca selengkapnya

Part 26

Hari hampir malam, saat kudengar bunyi ponsel berdering. Ada nama Dara di sana. Tumben sekali dia menghubungiku. Aku yang masih kesal malas meladeni dan memilih mengabaikannya. Tak lama bunyi notifikasi pesan whatsapp terdengar. [Ini Ibu]. tertulis di sana. Dara pasti sudah mengadukan apa yang terjadi. Dan Ibu pasti menghubungi hanya untuk memarahiku. Belum sempat kubalas pesannya, ponselku kembali menyala."Ada apa, Bu?" jawabku malas. "Dari mana kau mendapatkan uang untuk membeli motor baru dan tinggal di rumah mewah seperti itu?" desak Ibu tanpa berbasa-basi. "Menurut Ibu?""Jangan main-main, Sarah. Apa Ayahmu menjualmu?""Cukup, Bu. Berhenti ikut campur urusan keluarga kami!" Aku menutup percakapan dan meletakkan ponsel secara asal. Bagaimana mungkin Ibu sampai berpikiran seperti itu. Mungkin Dara hanya iri dan mengatakan yang tidak-tidak kepadanya. Tapi tetap saja dia tidak berhak mengatakan semua itu, setelah sebelumnya memutuskan untuk tak lagi menjadi anak Ayah. Benda pip
Baca selengkapnya

Part 27

Minggu pagi. Aku tersentak kala mendengar suara ribut-ribut dari luar kamar. Ramai suara gaduh yang bersahut-sahutan seperti masyarakat yang hendak memukuli maling. Suara itu sudah tak asing lagi di telinga, dan aku hafal betul nada dan gaya bicara mereka."Ada apalagi, Bu?" Aku mengucek mata dan merapikan sedikit rambutku. Ayah dan Paman seperti dua orang terdakwa yang tersudut karena serangan Ibu. "Siapa laki-laki ini, Sarah? Kenapa kalian bisa berada di sini?" Desak Ibu begitu melihatku. "Kau tidak berhak lagi mencampuri urusan kami, Risma. Segeralah kau angkat kaki dari rumah ini!" Ayah tak lagi terlihat lemah seperti biasanya. "Kenapa kau biarkan mereka masuk, Harun?" Paman Harun diam saja tak menjawab. Mungkin tak berani terlalu mencampuri urusan keluarga kami. "Abang tega menjual anakku, agar supaya bisa hidup enak? Laki-laki seperti apa Abang ini?" Lagi-lagi Ibu melawan. Dara masih memasang wajah angkuhnya, memperhatikan Paman dari atas sampai bawah. Mungkinpun mereka pi
Baca selengkapnya

Part 28

"Kenapa kau biarkan mereka lama-lama di rumah ini, Sarah? Harun tak akan pulang kalau mereka tak segera pergi. Kau tak ingin melihat Pamanmu itu marah, kan?" Ayah keluar dari kamar tempat persembunyiannya tadi, enggan berlama-lama melihat mereka.Paman memang pergi tak tahu kemana setelah kejadian tadi. Sepertinya dia juga menghindari sosok Ibu dan Dara yang sudah mengusir aku dan Ayah dari rumah kami dulu. Sejak awal, Paman memang marah dan ingin segera mengadu kepada Nenek, namun karena aku meminta sedikit waktu agar bisa memperbaiki semuanya, Paman mengalah dan memilih ikut merahasiakannya. .Aku menyiapkan makan malam untuk kami nikmati. Puluhan pesan dari Andar menghiasi ponselku memberitahukan bahwa dia sudah tak sabar ingin datang. Paman terus memasang wajah tak suka dari sore tadi. Padahal saat kemarin di kafe, dia yang mendatangi meja Andar. Walaupun hanya diam sembari memperhatikan apapun yang diperbuat laki-laki yang telah membuat keponakannya jatuh hati tersebut. "Pama
Baca selengkapnya

Part 29

"Kau tidak lihat? Ada dua buah tindik di masing-masing telinganya. Apa kau tidak berpikir kalau dulunya dia itu wanita jadi-jadian?" "Hish... Paman bicara apa? Dia juga pernah muda dan mungkin salah dalam pergaulan. Yang penting kan sekarang sudah berubah." Aku mencoba membelanya. Seperti yang Andar katakan, dia pernah berada di titik terendah dalam hidupnya. Dia bahkan pernah mencoba ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Namun hal itu dia urungkan, karena tiba-tiba terbayang wajah Ibunya yang menangis dan menghiba memohon sesuatu."Kau percaya ceritanya begitu saja?" Lagi-lagi Paman mencoba mempengaruhiku. "Ah, sudahlah. Paman bicara apa? Aku hanya menyukainya, itu saja." Aku mempertegas ucapanku. Raut wajah Paman seketika berubah."Kita kembali saja ke ruang tamu!" Aku menyudahi pembicaraan sambil membawa nampan berisi teh manis dan sepiring bika Ambon yang kupesan saat Paman keluar tadi. "Mana Andar, Yah?" Kulihat Ayah sudah duduk seorang diri. Tatapannya kini terlihat kosong samb
Baca selengkapnya

Part 30

Liburan semester telah tiba. Kali ini Paman melarangku bekerja fulltime di Kafe Hana."Jaga saja Ayahmu, nanti kutambahi lagi uang sakumu!" perintahnya yang dengan senang hati aku turuti. Satu bulan telah berlalu dari perpisahanku dengan seseorang yang menjadi cinta pertamaku. Selama itu pula aku sudah berusaha untuk melupakan semuanya. Aku bahkan tak pernah lagi menyebut namanya di depan Ayah, terlebih lagi Paman. "Bukankah sudah kukatakan, ha?" sindirnya merasa benar tentang penilaiannya terhadap Andar. ."Hei, jomblo! Sudah banyak duit kau sekarang, ya? Sampai-sampai tak mau lagi lembur di tempatku," protes Hana. Seperti dia pernah punya pacar saja memanggilku seperti itu. "Sori, Bos. Terpaksa!" elakku. "Kau tak mau kalau sampai Paman Harun mengusirku karena melawan perintahnya, kan?" Aku berusaha membela diri. "Sejak kapan kau jadi penurut, ha? Alasan saja.""Ayolah, Bos. Jangan marah. Ini kesempatanku punya banyak waktu untuk merawat Ayah." Aku merayu dengan memijat-mijat pu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status