"Kau tidak lihat? Ada dua buah tindik di masing-masing telinganya. Apa kau tidak berpikir kalau dulunya dia itu wanita jadi-jadian?" "Hish... Paman bicara apa? Dia juga pernah muda dan mungkin salah dalam pergaulan. Yang penting kan sekarang sudah berubah." Aku mencoba membelanya. Seperti yang Andar katakan, dia pernah berada di titik terendah dalam hidupnya. Dia bahkan pernah mencoba ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Namun hal itu dia urungkan, karena tiba-tiba terbayang wajah Ibunya yang menangis dan menghiba memohon sesuatu."Kau percaya ceritanya begitu saja?" Lagi-lagi Paman mencoba mempengaruhiku. "Ah, sudahlah. Paman bicara apa? Aku hanya menyukainya, itu saja." Aku mempertegas ucapanku. Raut wajah Paman seketika berubah."Kita kembali saja ke ruang tamu!" Aku menyudahi pembicaraan sambil membawa nampan berisi teh manis dan sepiring bika Ambon yang kupesan saat Paman keluar tadi. "Mana Andar, Yah?" Kulihat Ayah sudah duduk seorang diri. Tatapannya kini terlihat kosong samb
Liburan semester telah tiba. Kali ini Paman melarangku bekerja fulltime di Kafe Hana."Jaga saja Ayahmu, nanti kutambahi lagi uang sakumu!" perintahnya yang dengan senang hati aku turuti. Satu bulan telah berlalu dari perpisahanku dengan seseorang yang menjadi cinta pertamaku. Selama itu pula aku sudah berusaha untuk melupakan semuanya. Aku bahkan tak pernah lagi menyebut namanya di depan Ayah, terlebih lagi Paman. "Bukankah sudah kukatakan, ha?" sindirnya merasa benar tentang penilaiannya terhadap Andar. ."Hei, jomblo! Sudah banyak duit kau sekarang, ya? Sampai-sampai tak mau lagi lembur di tempatku," protes Hana. Seperti dia pernah punya pacar saja memanggilku seperti itu. "Sori, Bos. Terpaksa!" elakku. "Kau tak mau kalau sampai Paman Harun mengusirku karena melawan perintahnya, kan?" Aku berusaha membela diri. "Sejak kapan kau jadi penurut, ha? Alasan saja.""Ayolah, Bos. Jangan marah. Ini kesempatanku punya banyak waktu untuk merawat Ayah." Aku merayu dengan memijat-mijat pu
Aku dan Paman masuk secara bersamaan untuk melihat siapa yang datang. Wajah Paman tampak gusar. Sepertinya dia sudah bisa menebak siapa-siapa saja pemilik alas kaki dari berbagai macam bentuk, warna dan ukuran tersebut.Mungkinpun aku juga sudah bisa menduganya. Keluarga mana lagi yang akan datang mengunjungi Paman selain..."Mak!" Paman segera mendekati dan mencium tangan orang tua yang sudah berdiri di ambang pintu melihat kami. "Kapan Mak sampai? Kenapa tak kasi kabar sama Harun?" Paman tampak bergelayut manja dengan Nenek. Nenek juga tak sungkan untuk memeluk pria yang kini menjadi anak bungsunya tersebut. Matanya mengintip dari balik badan Paman menatapku. Ditariknya ujung jari telunjuk dan digerakkan maju mundur, menandakan sebuah ajakan atau tepatnya sebuah perintah "kemari kau".Dengan langkah yang ragu dan masih belum bisa membaca situasi, aku mendekati mereka yang baru saja saling terlepas dari pelukan. Dengan mengikuti gerakan Paman tadi, aku bermaksud meraih tangan Nenek
"Tidak usah dicari!" Nenek seolah-olah tahu apa yang sedang ku takutkan. "Sudah kuusir dia."Aku dan Paman tersentak kaget. Tak terasa mataku kembali berkaca-kaca. Bayangan penolakan dari Nenek terpampang nyata dan kini benar-benar terjadi. Dengan wajah marah aku bangkit berdiri hingga mengagetkan kedua Undeku dan anak-anaknya. Paman berjalan mendekatiku, menyuruhku untuk tenang. Namun bagaimana mungkin aku bisa tenang dengan keadaan yang seperti ini? "Kenapa Nenek mengusir Ayah Sarah?" teriakku sambil terus menangis. Tak tahu lagi harus mengatur kata-kata seperti apa agar Nenek bisa mengerti."Kau diam saja!" perintah Paman. "Kenapa membentak orang tua?" Paman berusaha menenangkanku."Bagaimana aku bisa tenang, Paman? Kemana Ayah akan pergi? Bagaimana aku bisa mencarinya sedangkan Ayah tidak punya hape untuk dihubungi," aku semakin kesal dan berusaha mencari Ayah keluar dari rumah. Namun seketika itu pula Paman menghentikan aku dan memegangi lenganku."Tenang saja dulu," lagi-lagi
Tatapan matanya kosong, seperti tak mengerti bahwa aku benar-benar akan mengabaikan hubungan darah kami demi Ayahku yang saat ini entah bagaimana keadaannya."Ini sudah takdir, Nek. Sarah memang sudah terlahir sebagai anak Ayah. Bahkan Sarah tidak bisa mengingat bagaimana wajah anak Nenek," ucapku jujur. Dia terduduk lemas saat Unde Tiwi dan Unde Limah menangkapnya dan membopongnya menuju sofa. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan saat tubuh ini tak bisa berpindah karena ditahan oleh Paman. "Jadi kau lebih memilih pergi?" dia meyakinkan jawabanku tadi. "Maafkan Sarah, Nek."Aku menatap wajah Paman yang kini tengah berhadapan denganku tanpa jarak. Aku terus memohon tanpa kata-kata agar dia membiarkanku pergi. Paman terus menggeleng, seolah bisa mendengar isi hatiku. Dia terus saja berusaha agar aku tak beranjak pergi dari sisinya. Sesaat kudengar suara isak tangis dari balik punggung Paman. Suara itu, isakan itu, bukankah...Aku mengintip dari balik tubuhnya, yang diikuti Pam
"Paman, Paman masih marah padaku?" aku berteriak di telinganya saat motor melaju kencang. Dia masih diam tak menjawab. Sejak kemarin dia terus tak mau bicara padaku. "Aku hanya emosi Paman. Aku pikir Nenek benar-benar mengusir Ayah," lagi-lagi aku membujuknya. Dia terus tak menggubris ucapanku. "Nanti aku traktir es susu pisang kesukaan Paman, ya?" hening. "Kentang goreng juga.""Bagaimana kalau spageti? Mau tidak?""Hish.. " Dia masih saja bergeming. Kata Unde Paman memang suka merajuk seperti anak kecil. Terkadang juga Unde Tiwi dan Unde Limah juga didiamkan hanya karena mereka bilang Paman Harun sama sekali tidak mirip dengan Kakek dan Nenek. Maksudnya hanya ingin menggoda dan berseloroh dengannya. Namun Paman Harun yang saat itu sudah kelas tiga smp menanggapinya dengan serius dan memilih mendiamkan mereka yang sudah cukup dewasa itu. Hingga kini sikap perajuk itu masih melekat, ditambah lagi Paman menjadi anak bungsu yang selalu dimanja oleh orang tua dan kakak-kakaknya.Ka
Aku kembali menyandarkan diri di kursi kebanggaanku. Alih-Alih memberikanku jabatan yang layak, Hana lebih memilih memberikan kursi kasir setara kursi direktur di perusahaan-perusahaan besar. Setidaknya kursi ini sama persis dengan yang dia pakai di ruangannya. Teringat wajah kecewa Nenek, saat Ayah menolak untuk ikut pulang ke kampung bersama mereka. Pun Nenek tidak akan mempermasalahkan biaya, karena di kampung biasanya perobatan akan dibayar seikhlas hati. Tidak dipatokkan seperti biaya rumah sakit pada umumnya. Begitu juga dengan Om Juar. Tak pernah sekalipun dia memasang tarif jika ada pasien yang baru saja ditanganinya. Bahkan pernah ada yang hanya memberi sekarung beras sebagai upah, saking tidak adanya uang untuk ucapan terima kasih. Aku juga tak bisa memaksakan kehendaknya terhadap Ayah. Ayah hanya merasa tak ingin merepotkan dan juga meninggalkanku. "Nantilah sesekali aku dan Sarah berkunjung ke rumah Uwak," tutur Ayah dengan lembut. Mungkin takut Nenek tersinggung karen
"Sudah gilakah otakmu itu, ha? Punya malu lah sedikit saja.""Kau tidak melihat bagaimana Ibu bekerja membanting tulang di sana, Kak. Aku tak lagi betah tinggal di rumah Tante Retno.""Itu bukan urusanku. Pergi saja sebelum kusuruh sekuriti mengusirmu dari sini," aku semakin terbawa emosi kala dia mengeluh tentang Ibu. "Ayolah, Kak. Aku dan Ibu juga keluargamu. Tegakah kau melihat Ibu jadi pembantu di sana?""Lalu bagaimana dengan kalian yang sudah tega meninggalkan aku dan Ayah? Bahkan sampai hati menjual rumah dan mengusir kami dari sana. Kini kau datang dan mulai iri melihat kehidupanku?" Dara terdiam. Mungkin kecewa karena sikap manisnya tak berpengaruh kepadaku, meskipun dia membawa-bawa nama Ibu.Mungkin dara muncul saat hari Minggu kemarin. Aku dan Paman membeli beberapa ekor ikan nila dan juga ayam kampung untuk kami panggang di halaman depan. Memang saat itu kami seperti sedang berpesta dan bersenang-senang. Apalagi keluarga Nenek begitu cepat akrab dan tanpa jarak kepada a
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a