Share

Part 34

Penulis: Manda Azzahra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Paman, Paman masih marah padaku?" aku berteriak di telinganya saat motor melaju kencang. Dia masih diam tak menjawab. Sejak kemarin dia terus tak mau bicara padaku.

"Aku hanya emosi Paman. Aku pikir Nenek benar-benar mengusir Ayah," lagi-lagi aku membujuknya. Dia terus tak menggubris ucapanku.

"Nanti aku traktir es susu pisang kesukaan Paman, ya?" hening.

"Kentang goreng juga."

"Bagaimana kalau spageti? Mau tidak?"

"Hish.. " Dia masih saja bergeming.

Kata Unde Paman memang suka merajuk seperti anak kecil. Terkadang juga Unde Tiwi dan Unde Limah juga didiamkan hanya karena mereka bilang Paman Harun sama sekali tidak mirip dengan Kakek dan Nenek.

Maksudnya hanya ingin menggoda dan berseloroh dengannya. Namun Paman Harun yang saat itu sudah kelas tiga smp menanggapinya dengan serius dan memilih mendiamkan mereka yang sudah cukup dewasa itu.

Hingga kini sikap perajuk itu masih melekat, ditambah lagi Paman menjadi anak bungsu yang selalu dimanja oleh orang tua dan kakak-kakaknya.

Ka
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
keren keren keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • DIA AYAHKU   Part 35

    Aku kembali menyandarkan diri di kursi kebanggaanku. Alih-Alih memberikanku jabatan yang layak, Hana lebih memilih memberikan kursi kasir setara kursi direktur di perusahaan-perusahaan besar. Setidaknya kursi ini sama persis dengan yang dia pakai di ruangannya. Teringat wajah kecewa Nenek, saat Ayah menolak untuk ikut pulang ke kampung bersama mereka. Pun Nenek tidak akan mempermasalahkan biaya, karena di kampung biasanya perobatan akan dibayar seikhlas hati. Tidak dipatokkan seperti biaya rumah sakit pada umumnya. Begitu juga dengan Om Juar. Tak pernah sekalipun dia memasang tarif jika ada pasien yang baru saja ditanganinya. Bahkan pernah ada yang hanya memberi sekarung beras sebagai upah, saking tidak adanya uang untuk ucapan terima kasih. Aku juga tak bisa memaksakan kehendaknya terhadap Ayah. Ayah hanya merasa tak ingin merepotkan dan juga meninggalkanku. "Nantilah sesekali aku dan Sarah berkunjung ke rumah Uwak," tutur Ayah dengan lembut. Mungkin takut Nenek tersinggung karen

  • DIA AYAHKU   Part 36

    "Sudah gilakah otakmu itu, ha? Punya malu lah sedikit saja.""Kau tidak melihat bagaimana Ibu bekerja membanting tulang di sana, Kak. Aku tak lagi betah tinggal di rumah Tante Retno.""Itu bukan urusanku. Pergi saja sebelum kusuruh sekuriti mengusirmu dari sini," aku semakin terbawa emosi kala dia mengeluh tentang Ibu. "Ayolah, Kak. Aku dan Ibu juga keluargamu. Tegakah kau melihat Ibu jadi pembantu di sana?""Lalu bagaimana dengan kalian yang sudah tega meninggalkan aku dan Ayah? Bahkan sampai hati menjual rumah dan mengusir kami dari sana. Kini kau datang dan mulai iri melihat kehidupanku?" Dara terdiam. Mungkin kecewa karena sikap manisnya tak berpengaruh kepadaku, meskipun dia membawa-bawa nama Ibu.Mungkin dara muncul saat hari Minggu kemarin. Aku dan Paman membeli beberapa ekor ikan nila dan juga ayam kampung untuk kami panggang di halaman depan. Memang saat itu kami seperti sedang berpesta dan bersenang-senang. Apalagi keluarga Nenek begitu cepat akrab dan tanpa jarak kepada a

  • DIA AYAHKU   Part 37

    Aku berbaring di ambal yang terbentang memenuhi ruang tivi setelah menyeduh teh dan menyuguhkan sepiring camilan untuk Ayah dan Paman. Suara tawa dan pembicaraan mereka disela-sela permainannya, membuatku merasa bahagia. Ayah kini tak pernah lagi terlihat sedih dan juga menangis. Bahkan tubuhnya kini terlihat lebih berisi dan sangat sehat. Setelah Paman mengisi kehidupan kami, aku dan Ayah merasa telah memiliki tujuan hidup. Ayahpun semakin rajin melatih kakinya meski hanya dari ujung halaman ke halaman yang lain. Aku memang tak pernah mengijinkannya keluar dari pagar untuk sekedar berjalan-jalan.Rasa trauma masih membekas diingatan saat mendengar kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan. Saat itu aku yang baru berusia sembilan belas tahun masih terlelap dalam nyamannya ranjang yang empuk berbantalkan boneka-boneka besar pemberian Ayah. Aku tersentak kaget saat Wak Sal, yang bekerja sebagai asisten rumah tangga membangunkanku dan mengatakan kalau Ibu sedang menuju rumah sakit. Aku da

  • DIA AYAHKU   Part 38

    "Kau sendiri? Apa kau sudah yakin padaku? Apa hanya karena aku cantik, kau langsung yakin, padahal kau sama sekali belum tahu latar belakang keluargaku." Aku meletakkan kedua telapak tangan di atas dagu agar terlihat imut di depannya. Sengaja kupertegas kata 'cantik' agar dia tahu bukan hanya dia yang menginginkan aku. Dia tertawa, hingga terlihat barisan giginya yang berjajar rapi. Dia menyandarkan tubuh pada kursi plastik yang memang diatur agar bisa bersantai. Dikeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya yang berwarna hitam itu. "Kau benar-benar berpikir bahwa aku tertarik karena kau cantik?" "Hish... "aku mendesis."Sejak pertama melihatmu aku sudah merasa yakin kalau kau pantas untuk diperjuangkan. Sudah kubilang wajahmu sungguh tidak asing, namun aku tak tahu itu dimana.""Dalam mimpi?""Entahlah, kau pernah merasa masuk dalam mimpiku?""Sama sekali tidak! Aku sangat lelah hingga tak punya waktu untuk bermimpi. Apalagi sampai berjalan ke mimpimu." Aku meraih korek api dan menco

  • DIA AYAHKU   Part 39

    Siang ini aku kembali menjemput pakaian dari laundri yang aku titipkan pagi tadi. Beberapa pakaian memang sengaja aku upahkan, agar tak terlalu repot untuk melipat dan menyetrikanya. Hanya pakaian sehari-hari saja yang aku masukkan ke mesin cuci milik Paman. "Paman belum kembali, Yah?" tanyaku saat Ayah sedang duduk mencabut rumput. Ayah memang sering mencari kesibukan di rumah. Aku dan Paman tak berani melarangnya. Takut kalau Ayah menganggap dirinya tidak lagi berguna. Pun Ayah juga sering melakukan pekerjaan rumah seperti menanak nasi dan mengangkat jemuran. "Belum. Memangnya dia bilang mau kemana?" sahut Ayah seraya bangkit dan membenarkan posisi tongkatnya. "Tidak tahu. Tadi, Paman cuma bilang ingin keluar sebentar." Aku masuk dan meletakkan pakaian yang sudah rapi tersebut dan meletakkannya di atas sofa. Tidak biasanya hari Minggu begini dia pergi pagi-pagi sekali. Biasanya dia lebih memilih tidur dan bermalas-malasan di rumah, sambil mengobrol dengan Ayah. Hari hampir te

  • DIA AYAHKU   Part 40

    "Sakit," rintihnya. "Kalu begitu Paman jujur saja," ucapku setengah berbisik. "Atau kutambahi lagi luka-luka ini," sengaja kurapatkan gigi agar dia merasa terintimidasi.Tak lama Ayah keluar dari kamar. Bilik yang tadinya adalah milik Paman Harun, memang memiliki kamar mandi tersendiri. Paman memberikan ruangan itu agar Ayah tak kesulitan jika tengah malam ingin keluar dan membuang hajatnya karena keterbatasan fisik. Ayah sudah terlihat lebih segar selepas mandi. Dia melirik ke arah Paman sebentar. Paman hanya tertunduk. Kemudian Ayah langsung keluar menuju pintu depan. Mungkinpun dia sudah mendengar suaraku tadi saat bertanya kepada Paman Harun. Aku menempelkan plaster menutupi luka di bagian pelipisnya. Lalu mengoles salap ke bagian pipi dan sudut bibirnya dengan katenbad. Dia terus saja merintih sambil sesekali mendesis dan membulatkan matanya ke arahku. "Kau berkelahi dengan siapa, Harun?" Tiba-tiba Ayah sudah muncul dari depan pintu."Aku hanya terjatuh, Bang," bantah Paman.

  • DIA AYAHKU   Part 41

    Selesai makan aku dan Ayah ngobrol di teras depan, sementara Paman beristirahat di dalam kamar. Aku tak habis pikir kenapa Paman sampai nekat mendatangi temannya itu, kemudian menghajarnya. Seharusnya dia tau, tempat yang dia datangi itu merupakan tempat kost-kostan khusus lelaki. Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam saat tahu teman satu wilayah mereka dipukul oleh orang yang tak dikenal, meskipun sebenarnya mereka berteman. Alhasil Paman dikeroyok dan dipukuli habis-habisan."Kalau satu lawan satu tentu aku sudah menang dari awal," jawab Paman dengan lantang saat makan siang tadi. Ayah bukannnya memarahi, malah memuji keberaniannya dalam membela harga diri. Wajah Paman yang tadinya murung tampak berseri mendengar penuturan Ayah. "Begitulah laki-laki sejati," ucap Ayah. Paman tertunduk menyembunyikan senyum sumringahnya. ***************"Bos, Minggu depan boleh pinjam mobil tidak? Aku dan Paman ingin membawa Ayah berendam di air panas," bujukku kepada

  • DIA AYAHKU   Part 42

    Saat itu Ayahku sudah terlanjur jatuh cinta dan sulit untuk diberi tahu. Sehingga dia abai dan memutuskan untuk diam-diam pergi dari rumah dan meninggalkan cita-cita yang sudah lama diimpikan oleh Kakekku. Ayah dan Ibu memilih kawin lari dan pergi merantau ke kota Medan. Di sinilah mereka tinggal dan hidup sederhana sampai diusia satu tahun pernikahan mereka, Dan Ibu mulai mengandung.Ayah memberanikan diri membawa Ibu pulang ke rumah orang tuanya. Berharap mereka mau menerima dan mengakui keberadaan istri dan juga calon anaknya. Sekejam-kejamnya orang tua, tak akan mungkin tega mengusir kembali buah hatinya. Akhirnya pernikahan Ibuku di pestakan secara adat dengan mengundang seluruh penduduk kampung. Untuk berapa waktu lamanya, mereka tinggal di rumah Kakek dan Nenek. Namun bukan Ibu namanya, jika tak bisa membuat orang lain naik darah. Dia terlibat perselisihan dengan Nenek dan kembali memutuskan untuk pindah dan kembali merantau ke kota. Dengan pilihan yang berat, lagi-lagi Ayah

Bab terbaru

  • DIA AYAHKU   Part 111 ( Ending )

    Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A

  • DIA AYAHKU   Part 110

    Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja

  • DIA AYAHKU   Part 109

    "Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?

  • DIA AYAHKU   Part 108

    Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b

  • DIA AYAHKU   Part 107

    Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h

  • DIA AYAHKU   Part 106

    Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me

  • DIA AYAHKU   Part 105

    "Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis

  • DIA AYAHKU   Part 104

    Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.

  • DIA AYAHKU   Part 103

    Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a

DMCA.com Protection Status