Selesai makan aku dan Ayah ngobrol di teras depan, sementara Paman beristirahat di dalam kamar. Aku tak habis pikir kenapa Paman sampai nekat mendatangi temannya itu, kemudian menghajarnya. Seharusnya dia tau, tempat yang dia datangi itu merupakan tempat kost-kostan khusus lelaki. Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam saat tahu teman satu wilayah mereka dipukul oleh orang yang tak dikenal, meskipun sebenarnya mereka berteman. Alhasil Paman dikeroyok dan dipukuli habis-habisan."Kalau satu lawan satu tentu aku sudah menang dari awal," jawab Paman dengan lantang saat makan siang tadi. Ayah bukannnya memarahi, malah memuji keberaniannya dalam membela harga diri. Wajah Paman yang tadinya murung tampak berseri mendengar penuturan Ayah. "Begitulah laki-laki sejati," ucap Ayah. Paman tertunduk menyembunyikan senyum sumringahnya. ***************"Bos, Minggu depan boleh pinjam mobil tidak? Aku dan Paman ingin membawa Ayah berendam di air panas," bujukku kepada
Saat itu Ayahku sudah terlanjur jatuh cinta dan sulit untuk diberi tahu. Sehingga dia abai dan memutuskan untuk diam-diam pergi dari rumah dan meninggalkan cita-cita yang sudah lama diimpikan oleh Kakekku. Ayah dan Ibu memilih kawin lari dan pergi merantau ke kota Medan. Di sinilah mereka tinggal dan hidup sederhana sampai diusia satu tahun pernikahan mereka, Dan Ibu mulai mengandung.Ayah memberanikan diri membawa Ibu pulang ke rumah orang tuanya. Berharap mereka mau menerima dan mengakui keberadaan istri dan juga calon anaknya. Sekejam-kejamnya orang tua, tak akan mungkin tega mengusir kembali buah hatinya. Akhirnya pernikahan Ibuku di pestakan secara adat dengan mengundang seluruh penduduk kampung. Untuk berapa waktu lamanya, mereka tinggal di rumah Kakek dan Nenek. Namun bukan Ibu namanya, jika tak bisa membuat orang lain naik darah. Dia terlibat perselisihan dengan Nenek dan kembali memutuskan untuk pindah dan kembali merantau ke kota. Dengan pilihan yang berat, lagi-lagi Ayah
Aku berusaha untuk bersikap sewajarnya. Menetralkan segala rasa, yang dulu pernah singgah dan sempat menetap di dalam hati. Ayah dan orang itu sudah menyadari keberadaanku, sesaat setelah terdengar suara deru mesin kendaraan Paman. Sekuat tenaga aku mencoba menahan gejolak pertanyaan yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Bagaimana keadaannya, apakah dia baik-baik saja? Bagaimana pekerjaannya, kenapa tiba-tiba pergi dan menjauh? Pertanyaan itu sering sekali terukir di papan pesan whatsapp yang di atasnya masih tersimpan namanya. Namun kata demi kata itu selalu saja kuhapus kembali dan mengembalikannya ke posisi semula. Kini semua pertanyaan itu lenyap bersama air mata Ayah yang membanjiri pipi dan menyesakkan dadanya. Apakah posisi berlutut itu tidak terlalu berlebihan? Hanya karena dia meninggalkan Ayah, begitu tahu Ayah lumpuh dan jatuh miskin? Haruskah sampai sebegitunya dia menyesali diri. Ataukah ada hal lain yang membuatnya begitu merasa bersalah?Sebisa mungkin kuatur suar
"Kalau tidak ingin menjawab, pulang saja!" Lagi-lagi aku seperti orang yang berbicara pada diri sendiri karena tak ada jawaban dari mulut mereka. "Kau hanya akan mengganggu kesehatan Ayahku."Aku menarik tangan Ayah, mencoba membantunya lebih cepat berdiri. "Kita masuk saja, Yah," ucapku mencoba untuk tak terpengaruh dengan kediaman mereka. Namun tanpa diduga, tangan besar itu menyentuh dan meraih pergelangan tanganku. Aku membalikkan badan, kudapati dia yang kembali menatapku dengan tatapan intens dengan matanya yang kini telah memerah. Bisa kuartikan kalau dia memintaku untuk tidak pergi dan tetap dalam posisiku semula. "Ada apa lagi?" Aku membiarkan tangan itu kembali menyentuh kulitku seperti waktu itu. Seperti saat kami masih berpacaran dan dia menggenggam erat tanganku sepanjang jalan."Aku tak menyalahkanmu untuk semua keputusan itu. Kau punya hak untuk memilih yang terbaik. Jika aku bukanlah hal terbaik dalam hidupmu, kau berhak untuk pergi. Jadi pergi saja. Jangan sampai k
Gemuruh di dada kian menyesak. Bak tersambar petir telinga ini begitu mendengar pengakuannya. Dengan kekuatan seperti apa yang dia bawa hingga sanggup bersikap jujur dan berterus terang kepada kami? "Kau... yang sudah membuat Ayahku menjadi seperti ini?" Air mataku mengalir deras begitu saja. Kubiarkan tanpa berniat menahannya. Beraninya dia kembali datang dalam kehidupan kami lagi setelah melarikan diri begitu saja. "Maafkan aku. Aku tak bisa lagi hidup dalam rasa bersalah seperti ini." Dia kembali berlutut sambil memegangi kedua bahuku yang kini masih bergetar. Ayah tak dapat lagi berkata apa-apa. Hanya bisa menangis menyaksikan aku yang kini tengah hancur. Ada rasa nyeri yang menusuk di dalam hati. Bayangan masa lalu saat Ayah terbaring lemah menutup mata kembali hadir di ingatan. Kaki dan kepala Ayah yang terbungkus kain perban membuat ngeri semua orang yang melihatnya. Kupikir Ayahku akan segera mati mengingat begitu lamanya dia tak sadarkan diri. Hanya mukjizat saja yang me
"Kau tidak berangkat kerja?" Kepala Paman muncul dari balik pintu kamar. Aku kembali menarik selimut sampai ke kepala tanpa menjawab pertanyaannya. "Kau baik-baik saja?" dia menarik selimut yang menutupi wajahku. "Menurut Paman aku baik-baik saja?" aku duduk dan bersandar pada sandaran tempat tidur. Kurasakan mataku memberat dan agak kabur. Mungkin membengkak akibat menangis semalaman. "Temuilah Ayahmu. Kau tahu dia lebih terluka ketimbang kau. Tadi malam Andar bilang ingin melamarmu, dan dia ingin merawat Ayahmu serta menanggung hidup kalian selamanya," terang Paman. Wajahnya terlihat kecewa. Aku memandang wajahnya yang masih penuh dengan memar itu. Dia sudah terlihat rapi menggunakan kemeja kantornya dan bersiap-siap untuk berangkat. "Paman sudah sarapan?" "Nanti saja. Kau jangan mencemaskan apapun tentang aku.""Apa Ayah berada di kamarnya? Dia menangis?""Dia hanya memikirkan perasaan kau saja. Bagaimana kini kau bisa hidup dan mencintai laki-laki yang seharusnya paling kau
Aku kembali bersandar di kursi kasir. Mengamati para pelanggan yang hilir mudik keluar masuk untuk makan atau hanya sekedar minum dan bersantai.Suasana kafe dengan nuansa berwarna oranye itu terlihat lenggang. Tak seramai saat sore atau malam hari. Hana baru saja tiba dan langsung berdiri memandangiku dengan perasaan iba. Dipandanginya wajahku lamat-lamat, kemudian menghela nafas. "Ikutlah ke ruanganku!" perintahnya. Tanpa membantah aku langsung mengekor dari belakang. Sama sekali tak ada niatan menggodanya seperti yang hari-hari biasa kulakukan. "Kau baik-baik saja?" gadis berkacamata tebal itu meletakkan tas dengan merek bergambar simbol dari 'lelaki mata keranjang' yang tadi di jinjingnya di atas meja. Posisinya yang masih berdiri di hadapanku itu dia gunakan untuk memandangi sorot mataku. Dia sepertinya mengerti betul perasaanku saat ini, begitu tau tentang kejadian malam itu melalui sambungan udara. "Entahlah, Han. Aku hanya memikirkan Ayah saja. Bagaimana dia bisa tenang m
Pemuda dengan dahi tertutup perban itu terus saja berjalan melewati meja demi meja yang biasanya dia singgahi. Aku membuang pandangan begitu dia sampai di depan meja kasir menatapku dengan tatapan sendu. Dan memang tempat inilah satu-satunya tujuannya. "Kau baik-baik saja?" suara itu seperti tanpa merasa berdosa berucap kepadaku. Aku hanya bergeming tak menjawab. "Bisakah kita bicara dengan tenang sekarang?" lagi, kata-kata itu terdengar seperti memaksa di telingaku. Aku bangkit dan berdiri, melangkah untuk menghindari pertemuan kali ini dengannya. Namun belum sempat aku menjauh, seperti sudah terbiasa dia langsung menarik paksa tanganku agar tak lagi meninggalkannya. "Jangan pergi!" pintanya. "Kau yang pergi! Aku tak sudi lagi melihat wajahmu!" aku mencoba menepiskan pegangan itu. Seperti sudah membaca reaksiku, diapun mempersiapkan diri menguatkan pegangannya. "Lepaskan!" aku mulai memberontak. "Aku tidak ingin lagi melepaskanmu," genggamannya semakin terus mengencang saat ak
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a