"Wow. Adegan seperti apa ini? Kau sekarang punya pacar, Kak?" suara Dara membuatku dan Andar menoleh bersamaan. Gegas ku hempaskan genggamannya yang masih melekat saat dia mulai lengah. Kuusap pergelangan tanganku yang mulai memerah. Dia bahkan tak menyadari sudah menyakiti fisikku seperti ini. "Kau siapa?" wajah Andar terlihat tidak suka. "Aku adiknya. Apa kalian berpacaran? Dia bahkan tak mengenalkan kau padaku," sahut Dara sambil melengkungkan rambutnya ke dalam dengan telapak tangannya. "Aku juga tidak ingin mengenalmu," sikap Andar terlihat sinis. Ayah pasti telah bercerita sampai sedetil-detilnya tentang permasalahan keluarga kami hingga dia turut merasakan kebencian terhadap adikku. "Sombong sekali. Memangnya kau siapa? Berani berkata seperti itu.""Kau mau apa ke sini?" tanyaku menyela pembicaraan mereka."Berikan aku uang, Kak. Kau lihat wajahku sedang mengering." Dibukanya masker yang tadi menutupi separuh wajahnya. "Sudah sebulan lebih aku tak memakai perawatan," renge
"Untuk mempertanggungjawabkan semuanya. Namun Kakakmu menolak. Kau bisa membujuknya? Gadis mata duitan sepertimu pasti akan melakukan berbagai cara jika aku memberimu upah, kan?"Apa? Apa yang sedang dibicarakannya? "Benar kau datang untuk bertanggung jawab? Kenapa Kak Sarah sampai menolak? Berapa yang kau tawarkan padanya?""Aku akan menikahinya, dan Ayahnya sudah setuju.""Bicara apa kalian? Kau bermaksud menyembunyikan semua ini pada aku dan Ibu, Kak? Kau ingin menikmati hidup enak hanya berdua dengan Ayah?" Dara balik menoleh ke arahku."Kau bicara apa? kau pikir aku mau?" aku mengelak. "Kau salah orang, Bung," lagi, Dara kembali menoleh ke arahnya. "Jika kau ingin bertanggung jawab, maka hanya kepadaku kau wajib melakukannya," Dara kembali mengoceh. "Kau harus mengganti semua yang telah hilang dari kami. Uang, rumah, mobil. Kembalikan itu semua baru kami akan memaafkanmu.""Dara!" bentakku. Gadis ini semakin tak punya harga diri saja. Dia hanya akan membuat Andar semakin meman
Aku berjalan gontai memasuki pagar rumah menuju halaman depan. Belum ada Ayah yang selalu setia menungguku pulang kerja setiap sore. Hana mengijinkanku pulang lebih awal agar bisa menenangkan diri. Aku berjalan pelan memasuki rumah dengan tembok cat berwarna putih bersih itu. Kutelusuri halaman yang beberapa bagian berpaving blok, sementara bagian yang lain masih ditumbuhi rumput jepang sebagai penghijau mata yang memandang. Ku ketuk pintu perlahan agar Ayah tahu aku pulang. Sengaja tak kugunakan kunci cadangan, karena pasti kunci depan masih menggantung dan tak bisa dibuka. Wajah Ayah heran melihatku pulang lebih cepat. Dia terlihat khawatir melihat mataku yang kini sembab. Tak dapat lagi kutahan rasa sesak ini. Segera kuterkam tubuh Ayah sesaat setelah pintu terbuka sebelum sempat masuk ke rumah. Ayah terdiam membelai lembut rambut lurusku yang kini terurai melewati pundak. Bahuku bergetar tanpa sanggup tuk berkata apa-apa. Ayah membiarkanku menangis tanpa bertanya. Mungkinpun A
Usai mandi dan berbenah diri aku keluar dari kamar. Kulihat Ayah melipati pakaian yang mungkin tadi baru diangkatnya dari jemuran. Pakaian itu hanya pakaian sehari-hari yang jarang aku setrika. Selain untuk menghemat listrik di rumah Paman, baju-baju kaos dan juga celana dengan bahan ringan milik kami juga tak terlalu kusut karena kujemur dengan menggunakan gantungan baju. Aku menuju dapur dan melihat makanan apa yang tersisa. Ternyata selera makan Ayah kembali berkurang. Bisa kulihat dari sedikitnya berkurang makanan yang tadi pagi aku masak. Sikap yang Ayah tunjukkan tadi hanyalah sebuah kebohongan. Hatinya pasti masih merasakan perih, hingga mengganggu selera makannya yang akhir-akhir ini sudah stabil. Kurasakan panci sup masih terasa hangat. Mungkin baru saja dipanaskan oleh Ayah. Jikapun mungkin kompor ini diletakkan di bawah, Ayah akan memasak untuk aku dan Paman.Tapi saat ini dia sama sekali tak bisa melakukan hal itu. Kaki Ayah tak dapat bertumpu jika tangan kanannya terl
"Paman tidak lihat aku sudah mandi?""Aku bukan anak kecil yang bisa kau suruh-suruh seperti ini.""Sudah, menurut saja!" Kami sampai di dalam dan aku melepaskan tanganku dari lengannya. Wajahnya kembali memerah. Selalu saja dia bersikap begitu saat aku menyentuhnya. Dia tak harus marah jika hanya masalah sepele seperti ini. Lagipula apa yang kulakukan, tak akan mungkin sampai menyakiti kulit putih yang mungkin jauh lebih mulus dari kulitku itu. "Aku baru akan bercerita pada Ayahmu soal adikmu... ""Itulah yang ingin aku katakan pada Paman," selaku. "Jangan katakan apapun pada Ayah.""Kau tidak ingin dia tahu?""Lupakan saja dulu masalah itu. Ayah masih ingin pergi berlibur.""Benarkah?""Hemm..." aku mengangguk. **********'Ibu ada di seberang jalan.' Kulihat ada nomor baru masuk dan mengirim pesan singkat melalui pulsa.Gegas aku yang tadi tidur-tiduran di kamar segera keluar. Kulirik Ayah dan Paman masih asik menonton acara liga dangdut di ruang tivi. Per
Aku kembali melepaskan pelukan Ibu. Kemudian menatapnya. "Bukan itu, Bu. Sarah merasa sakit karena dia mengatakan kalau Sarah bukanlah anak Ayah.".Aku masuk setelah melihat Ibu menjauh dibawa seseorang dengan berjaket dan helm hijau. Kuselipkan selembar sisa-sisa uang yang kupunya untuk membayar jasanya. Aku kembali berjalan sembari mengunci pagar dengan gembok. Langkah demi langkah kupijakkan sampai akhirnya kulihat Paman duduk di lantai teras dengan kedua tangan bertumpu di kedua lututnya. Aku terkejut bukan main. Entah sudah berapa lama dia di sini menungguku. Sadarkah dia jika tadi aku keluar secara diam-diam? Lalu bagaimana dengan Ayah? "Paman sedang apa?" tanyaku ragu-ragu. "kenapa kau masih saja menemuinya?" suaranya terdengar datar. Eh? Paman melihat Ibuku datang? "Aku..., itu... ""Kau bilang sudah melupakannya," nada bicaranya sedikit meninggi. "Benar. Tapi aku tidak bisa, Paman. Hubungan kami tidak mungkin bisa terputus begitu saja.""Tapi kau sudah berjanji.""It
Aku dan Paman sampai di ruko sebelum pukul delapan. Seperti biasa, karena aku sampai sebelum jam operasional kafe dimulai, aku hanya bisa menunggu di depan ruko, tanpa berniat membangunkan penghuni-penghuni yang tinggal di lantai atas hanya untuk membukakan pintu untukku. Paman sudah masuk ke kantornya. Aku duduk di pinggiran teras sembari mengubah setelan paket data menjadi wifi di ponselku. Kumainkan layar dengan berselancar di dunia maya. Tanpa menduga orang itu sudah berdiri dan menarik tanganku hingga terbangkit dan berdiri. Aku mengikutinya berjalan menjauh dari kafe. Sengaja aku tak menampik pegangan tangannya karena tahu dia pasti tidak akan melepaskanku begitu saja. Kami sampai di ruko ujung, yang agak jauh dari kafe dan juga kantor Paman. Dia menghentikan langkah dan mulailah aku melepaskan tangan besar itu. Dia pun tak lagi menahannya. "Kau lagi," ucapku datar. "Mau apa?""Kau sudah tahu aku pasti tidak akan menyerah, bukan?" sahutnya penuh harapan. "Jangan datang lagi
"Tentu saja, sayang. Pria manapun pasti akan tertarik padamu. Dan aku tidak suka itu." Dia mengembalikan tangannya seperti semula. Mengerti bahwa aku menolak sentuhannya. "Apa hatimu sakit?""Benar-benar sakit."Hatiku tertawa bahagia. Orang ini masih merasakan cemburu dan juga rasa sakit. Artinya aku benar-benar masih berada dalam hatinya. Kini tanganku yang mulai mengudara. Kusentuh sedikit rambut depannya yang hampir menutupi mata, andai tak di sisir rapi ke arah samping. Namun sesering apapun rambut lurus itu disisir kebelakang, tetap saja kembali dan menjuntai kembali ke tempatnya semula. Kusingkap sedikit rambut berwarna hitam pekat itu, demi melihat luka yang tadinya ditutupi perban. Kini sudah mulai membaik dan hanya ditempel plaster berwarna coklat saja. Apakah lukanya sudah mengering? Kuusap perlahan bekas pukulan yang kubuat kemarin. Membelai lembut hingga menyentuh plasternya dengan ibu jariku. Dia memejamkan mata perlahan, mencoba menikmati belaian yang mungkin selama
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a