Saat sampai di rumah, ternyata benar saja. Papa Gun sudah menunggu kami di teras rumah ditemani Aris dan supir pribadinya. Ia langsung berdiri saat melihat kami datang. "Loh, kenapa cucu Kakek, nangis?" tanya Papa Gun langsung berjongkok di depan Adi. "Biasalah, Pah. Anak-anak mah gini, suka tidak mau pulang kalau sudah main," jawab Adi pada papanya itu. "Maklumin, kamu juga dulu gitu. Main dari pagi, hampir maghrib baru pulang. Tapi, Saffa mah enggak boleh, ya? Harus pulang tepat waktu," ujar Papa Gun lagi seraya mengusap-usap pipi Saffa yang masih nempel di dada Adi. Aku membuka pintu, mempersilahkan Papa Gun masuk ke dalam rumah kami. Aku juga membuatkan teh manis kesukaan mertuaku itu, juga dua kopi hitam untuk dua supir pribadi yang tengah mengobrol di luar. "Makasih, Bu. Padahal, kopi mah di paviliun juga ada," ujar Aris. "Tidak apa-apa, Ris. Sekalian. Oh, iya kemarin saya beli banyak daging, kalau mau, saya ambilkan. Suka makan daging, kan?" "Boleh, Bu. Terserah Ibu saja
Baca selengkapnya