Beranda / Thriller / KUTUKAN LELUHUR / Bab 101 - Bab 110

Semua Bab KUTUKAN LELUHUR: Bab 101 - Bab 110

279 Bab

BAB 101-MEMINTA MAAF

Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu rumah yang lumayan besar, terbuat dari kayu-kayu hutan yang dibelah menjadi beberapa bagian, dan ditumpuk menjadi dinding rumah. Atapnya masih beratapkan rumbia berwarna hitam, juga beberapa bagian masih memakai daun-daun besar yang sudah dikeringkan dan dianyam agar bisa menjadi atap rumah besar yang tepat berada di pinggir pohon tersebut. Aku kini berdiri di atas rerumputan, kakiku terasa sedang menginjak rerumputan yang masih basah karena sinar matahari belum menerangi sepenuhnya tempat yang aku pijak sekarang. “Dimana ini?” Pikirku sambil melihat ke sekeliling bukit tersebut. Aku sempat melihat kebawah, dan melihat hutan dengan pepohonan yang tinggi mengelilingi hamparan rerumputan hijau yang menjadi tempat aku berdiri sekarang, hutan yang sangat gelap dengan pepohonannya yang memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontra
Baca selengkapnya

BAB 102-KEMBALI KE KAMPUNG

Wuuush Angin segar dari arah pegunungan kini berhembus dengan sangat kencang ke arah kampung, angin yang membuat siapapun akan merasa nyaman akan hembusannya itu, angin terus-menerus berhembus ketika matahari terlihat sangat terik tanpa tertutup awan sama sekali di atas kampung. Namun, angin segar itu tampaknya tidak bisa menenangkan hati para warga kampung yang masih gelisah akan keadaan kampungnya. Mereka yang seharusnya pergi ke ladang dan ke sawah di hari itu, kini hanya duduk-duduk dan menunggu kepastian atas keluargaku yang sudah tiga jam lalu pergi meninggalkan kampung untuk diobati di kota besar. Mas Parto dan Asep yang tidak ikut ke dalam mobil, kini hanya duduk dan merokok dengan beberapa batang rokok yang ambil di etalase warung yang sudah tampak hancur dengan kacanya yang pecah. Mereka duduk-duduk di dekat rumah. Bersamaan dengan para warga lainnya yang masih menungguku kembali dan berkumpul kembali bersama dengan para warga lainnya di Kampung Sepuh. “Kenapa para makh
Baca selengkapnya

BAB 103-PEMAKAMAN

Tiang-tiang gapura yang terbuat dari bambu, dengan sebuah plang tulisan berwarna putih yang tampak baru kini telah aku lewati, bersama dengan rombongan warga yang mengantarkan ibu dan bapak melewati tiang gapura itu.Tiang gapura yang tertulis,PEMAKAMAN KAMPUNG SEPUHAdalah sebuah pintu masuk area pemakaman satu-satunya di Kampung Sepuh yang sudah ada seiring dengan adanya Kampung Sepuh beberapa puluh tahun yang lalu.Aku terus berjalan melewati gapura itu dan melihat tanah pemakaman yang membentang luas, di sana terlihat banyak makam dari beberapa generasi, terlihat dari jenis makamnya dari yang memakai batu sebagai nisan makam, hingga terlihat makam yang sudah terlalu tua, bahkan bebatuan yang menjadi nisan makam pun sudah berlumut dan ditumbuhi oleh rerumputan saking tuanya.Hari masih siang tapi suasananya sungguh berbeda, hawa sejuk yang kurasa ketika ku berjalan tadi perlahan menghilang, digantikan oleh perasaan yang dihiasi rasa takut di sekujur tubuh.Apalagi di tengah-tengah
Baca selengkapnya

BAB 104-KESEPAKATAN

Krik, Krik, Krik,Kroook, Kroook,Kuuuuk, Kuuuk,Suara-suara jangkrik malam, juga kodok sawah yang mulai mengeluarkan suaranya, dan burung hantu pun tak luput mengeluarkan iramanya sesekali, membuat suasana kampung kini terasa lebih sepi dari sebelumnya.Semua orang yang mengantarkan bapak dan ibu ke tempat tinggalnya yang terakhir. Kini hanya berdiam diri di rumah sepulangnya dari pemakaman Kampung Sepuh, tidak ada lagi warga yang tampak berlalu lalang di jalan.Semuanya tampak bersedih, dan berduka atas kepergian dua sosok yang mereka hormati selama hidupnya. Mereka hanya keluar ketika mereka membawa makanan untuk aku makan, mencoba menghiburku agar aku tidak bersedih lagi, dan menawarkan tempat tinggalnya untuk aku tempati beberapa hari, sebelum nantinya aku kembali ke rumah ketika warung dan rumah selesai diperbaiki atas bantuan Pak Camat.Namun, aku menolak semua kebaikan itu. ku lebih memilih bermalam di depan rumah, sambil menunggu warung yang kini sudah tampak tidak berbentuk
Baca selengkapnya

BAB 105-SOSOK CAHAYA PUTIH

Ditengah malam yang dingin menusuk kulit, dengan bintang-bintang yang berhamburan. Menggantikan awan hujan yang kemarin malam menumpahkan air hujannya dengan sangat deras. Terlihat salah satu sosok yang tiba-tiba muncul di kebun depan warung yang kini kondisinya hancur berantakan. Sesosok makhluk dengan wujud kakek-kakek yang sudah tampak tua, dia memakai baju putih panjang dan dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai ke bawah. Wajahnya tidak menyeramkan sama sekali, tubuhnya sedikit bercahaya dan tidak memancarkan aura yang mengancam sama sekali. Kakek itu tersenyum kepadaku, tepat ketika aku mengangkat kepalaku ketika aku merasakan angin malam yang berhembus secara pelan ke dari arah kebun pada malam itu. Aku bisa melihat kakek itu dengan jelas. Meskipun pada saat ini, di sekelilingku tidak ada sama sekali penerangan seperti lampu minyak yang biasanya tergantung di dinding warung ketika malam. Jujur, aku tidak membalas senyuman kakek-kakek itu, karena kejadian kemarin malam y
Baca selengkapnya

BAB 106-KALA

Aku terdiam mendengar makhluk itu berbicara panjang lebar tentang apa yang terjadi di warung. Beberapa kali dia berkata bahwa Ki Wisesa melakukan perjanjian itu hanya untuk menjaga kampung, menjaga suatu hal yang mengerikan yang membuat sebagian warga kampung mengungsi dan menetap di Kampung Parigi yang aku kenal sekarang. Sesuatu, yang membuat hampir setiap hari ada kejadian orang yang meninggal sehingga Ki Wisesa harus melakukan sesuatu yang menurutnya salah, dan menyesal telah melakukan hal tersebut hingga akhir hayatnya. Sehingga, dia menuliskan sesuatu. Menuliskan sebuah pesan untuk anak cucunya sebelum mereka bertemu dengan makhluk itu sekali lagi, di belakang foto yang kini tersimpan di dalam kotak kecil yang ada di dalam kamarku. Namun, hingga saat ini keturunannya tidak bisa mencapai hal itu. Bahkan bapak yang sudah aku anggap keilmuannya mumpuni pun, tidak bisa menyelesaikan atas apa yang diinginkan oleh Ki Wisesa hingga akhir hayatnya. Hingga, perjanjian itu terus berla
Baca selengkapnya

BAB 107-PULANG KE KAMPUNG

Beberapa hari setelah kejadian itu, akhirnya warung mulai diperbaiki. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membetulkan warung tersebut, juga membetulkan rumah para warga seperti Mang Yayat yang pintunya hancur dan harus diganti dengan yang baru. Satu hari setelah kematian kedua orang tuaku, semuanya tampak sibuk. Pak Camat membawa gergaji mesin serta beberapa bahan baku seperti paku, palu, gergaji, serta alat-alat pertukangan lainnya untuk dipakai memperbaiki warung agar seperti sedia kala. Untuk kayu sendiri, para warga lebih memilih untuk menebang beberapa pohon hutan. Untuk dijadikan bahan baku. Awalnya, aku ragu akan hal itu, apalagi hutan yang dijaga oleh para makhluk yang diam di dalamnya, bisa saja tidak terima ketika kita para manusia menebang beberapa pohon hutan untuk keperluan rumah. Namun, beberapa warga yang sudah tahu tradisinya menyarankan aku untuk memotong seekor ayam yang bisa diambil dari Mang Mumu. Memeras darah ayam tersebut, lalu melumuri sekeliling pohon ya
Baca selengkapnya

BAB 108-BAGJA

“Bagja? ” Kata Rusdi dan Darman yang heran dengan orang yang ada di depannya. Orang tersebut tampak tersenyum ramah, dengan baju kaosnya yang terlihat baru bergambar superhero, juga celana jeans panjang berwarna biru tua. Serta kacamata hitam yang besar, membuat mereka berdua bertanya-tanya tentang orang yang kini berdiri di depan mereka berdua. “Bentar-bentar Bagja yang mana ya? ” Kata Rusdi heran. “Oh maaf, kayaknya kalau aku pake kacamata pasti susah buat ngenalinnya, ” Katanya sambil membuka kacamata besarnya. Terlihat, sebuah garis tipis bekas luka di bawah matanya. Dan ketika Darman melihat hal itu, dia langsung berdiri dari jongkoknya dan berbisik kepada Rusdi yang masih merokok disana. “Rus, Rus, itu teh si Bagja yang dulu preman di sekolah, yang tukang malak sewaktu kita masuk SMA, inget gak Rus, cuman gara-gara dia kalah kelahi sama si Amat, jadi kita semua gak kena palak dia,” Kata Darman yang tiba-tiba berbisik soal sosok orang itu ketika dia memperlihatkan dirinya tan
Baca selengkapnya

BAB 109-ICEU

Bagja, yang awalnya hatinya senang karena akan memberikan kabar gembira kepada istrinya, yang sudah seminggu diterima kerja sebagai salah satu karyawan pabrik di kota, pekerjaan yang sudah dia idam-idamkan selama dua tahun pernikahannya dengan istrinya yang cantik jelita. Secara mengejutkan harus kandas, dan menerima keadaan istrinya yang menggantung dirinya dengan tali tambang bekas jemuran yang menggantung dengan leher yang mengikatnya dengan sangat erat. Bagja yang melihat hal itu pun langsung terkejut. Tidak disangka, seorang istri yang dia cintai, yang tidak pernah sekalipun marah atau mengeluh meskipun dirinya tidak mendapatkan pekerjaan. Kini terlihat tubuhnya menggantung di dapur dengan keadaan yang tidak bernyawa lagi. Matanya melotot dengan lidah yang menjulur ke arahnya, dengan baju penari jaipong yang selalu dia kenakan ketika pentas dari panggung ke panggung. Entah sudah berapa lama Iceu menggantung seperti ini, rumahnya yang berada di ujung kampung dan berbatasan langs
Baca selengkapnya

BAB 110-BAU HARUM

Kabar tentang seseorang yang telah mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri pun akhirnya tersebar luas. Mereka mendapatkan info itu dari mulut ke mulut sehingga kabar tersebut sampai ke beberapa kampung yang berada di sekitar Kampung Parigi. Iceu, salah satu penari jaipong terkenal yang seringkali pentas dari panggung ke panggung pun dikabarkan meninggal dengan cara yang mengenaskan. Kabar itu tersebar dengan rumor-rumor buruk yang menyertainya, ada yang berkata bahwa dia tidak kuat karena suaminya menganggur dan akhirnya mengakhiri hidupnya, ada yang bilang bahwa dirinya stres karena suaminya tidak pulang-pulang dan butuh belaian, bahkan ada yang berkata bahwa ada pertengkaran hebat antara mereka berdua sehingga sang suami minggat dari rumahnya beberapa bulan dan akhirnya sang istri mengakhiri hidupnya. Rumor-rumor yang buruk atas Bagja dan istrinya yang meninggal terus menyebar dengan sangat cepat. Bahkan hal itu sampai ke Kampung Sepuh satu hari kemudian, yang dimana kini ham
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
910111213
...
28
DMCA.com Protection Status