Ditengah malam yang dingin menusuk kulit, dengan bintang-bintang yang berhamburan. Menggantikan awan hujan yang kemarin malam menumpahkan air hujannya dengan sangat deras. Terlihat salah satu sosok yang tiba-tiba muncul di kebun depan warung yang kini kondisinya hancur berantakan. Sesosok makhluk dengan wujud kakek-kakek yang sudah tampak tua, dia memakai baju putih panjang dan dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai ke bawah. Wajahnya tidak menyeramkan sama sekali, tubuhnya sedikit bercahaya dan tidak memancarkan aura yang mengancam sama sekali. Kakek itu tersenyum kepadaku, tepat ketika aku mengangkat kepalaku ketika aku merasakan angin malam yang berhembus secara pelan ke dari arah kebun pada malam itu. Aku bisa melihat kakek itu dengan jelas. Meskipun pada saat ini, di sekelilingku tidak ada sama sekali penerangan seperti lampu minyak yang biasanya tergantung di dinding warung ketika malam. Jujur, aku tidak membalas senyuman kakek-kakek itu, karena kejadian kemarin malam y
Aku terdiam mendengar makhluk itu berbicara panjang lebar tentang apa yang terjadi di warung. Beberapa kali dia berkata bahwa Ki Wisesa melakukan perjanjian itu hanya untuk menjaga kampung, menjaga suatu hal yang mengerikan yang membuat sebagian warga kampung mengungsi dan menetap di Kampung Parigi yang aku kenal sekarang. Sesuatu, yang membuat hampir setiap hari ada kejadian orang yang meninggal sehingga Ki Wisesa harus melakukan sesuatu yang menurutnya salah, dan menyesal telah melakukan hal tersebut hingga akhir hayatnya. Sehingga, dia menuliskan sesuatu. Menuliskan sebuah pesan untuk anak cucunya sebelum mereka bertemu dengan makhluk itu sekali lagi, di belakang foto yang kini tersimpan di dalam kotak kecil yang ada di dalam kamarku. Namun, hingga saat ini keturunannya tidak bisa mencapai hal itu. Bahkan bapak yang sudah aku anggap keilmuannya mumpuni pun, tidak bisa menyelesaikan atas apa yang diinginkan oleh Ki Wisesa hingga akhir hayatnya. Hingga, perjanjian itu terus berla
Beberapa hari setelah kejadian itu, akhirnya warung mulai diperbaiki. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membetulkan warung tersebut, juga membetulkan rumah para warga seperti Mang Yayat yang pintunya hancur dan harus diganti dengan yang baru. Satu hari setelah kematian kedua orang tuaku, semuanya tampak sibuk. Pak Camat membawa gergaji mesin serta beberapa bahan baku seperti paku, palu, gergaji, serta alat-alat pertukangan lainnya untuk dipakai memperbaiki warung agar seperti sedia kala. Untuk kayu sendiri, para warga lebih memilih untuk menebang beberapa pohon hutan. Untuk dijadikan bahan baku. Awalnya, aku ragu akan hal itu, apalagi hutan yang dijaga oleh para makhluk yang diam di dalamnya, bisa saja tidak terima ketika kita para manusia menebang beberapa pohon hutan untuk keperluan rumah. Namun, beberapa warga yang sudah tahu tradisinya menyarankan aku untuk memotong seekor ayam yang bisa diambil dari Mang Mumu. Memeras darah ayam tersebut, lalu melumuri sekeliling pohon ya
“Bagja? ” Kata Rusdi dan Darman yang heran dengan orang yang ada di depannya. Orang tersebut tampak tersenyum ramah, dengan baju kaosnya yang terlihat baru bergambar superhero, juga celana jeans panjang berwarna biru tua. Serta kacamata hitam yang besar, membuat mereka berdua bertanya-tanya tentang orang yang kini berdiri di depan mereka berdua. “Bentar-bentar Bagja yang mana ya? ” Kata Rusdi heran. “Oh maaf, kayaknya kalau aku pake kacamata pasti susah buat ngenalinnya, ” Katanya sambil membuka kacamata besarnya. Terlihat, sebuah garis tipis bekas luka di bawah matanya. Dan ketika Darman melihat hal itu, dia langsung berdiri dari jongkoknya dan berbisik kepada Rusdi yang masih merokok disana. “Rus, Rus, itu teh si Bagja yang dulu preman di sekolah, yang tukang malak sewaktu kita masuk SMA, inget gak Rus, cuman gara-gara dia kalah kelahi sama si Amat, jadi kita semua gak kena palak dia,” Kata Darman yang tiba-tiba berbisik soal sosok orang itu ketika dia memperlihatkan dirinya tan
Bagja, yang awalnya hatinya senang karena akan memberikan kabar gembira kepada istrinya, yang sudah seminggu diterima kerja sebagai salah satu karyawan pabrik di kota, pekerjaan yang sudah dia idam-idamkan selama dua tahun pernikahannya dengan istrinya yang cantik jelita. Secara mengejutkan harus kandas, dan menerima keadaan istrinya yang menggantung dirinya dengan tali tambang bekas jemuran yang menggantung dengan leher yang mengikatnya dengan sangat erat. Bagja yang melihat hal itu pun langsung terkejut. Tidak disangka, seorang istri yang dia cintai, yang tidak pernah sekalipun marah atau mengeluh meskipun dirinya tidak mendapatkan pekerjaan. Kini terlihat tubuhnya menggantung di dapur dengan keadaan yang tidak bernyawa lagi. Matanya melotot dengan lidah yang menjulur ke arahnya, dengan baju penari jaipong yang selalu dia kenakan ketika pentas dari panggung ke panggung. Entah sudah berapa lama Iceu menggantung seperti ini, rumahnya yang berada di ujung kampung dan berbatasan langs
Kabar tentang seseorang yang telah mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri pun akhirnya tersebar luas. Mereka mendapatkan info itu dari mulut ke mulut sehingga kabar tersebut sampai ke beberapa kampung yang berada di sekitar Kampung Parigi. Iceu, salah satu penari jaipong terkenal yang seringkali pentas dari panggung ke panggung pun dikabarkan meninggal dengan cara yang mengenaskan. Kabar itu tersebar dengan rumor-rumor buruk yang menyertainya, ada yang berkata bahwa dia tidak kuat karena suaminya menganggur dan akhirnya mengakhiri hidupnya, ada yang bilang bahwa dirinya stres karena suaminya tidak pulang-pulang dan butuh belaian, bahkan ada yang berkata bahwa ada pertengkaran hebat antara mereka berdua sehingga sang suami minggat dari rumahnya beberapa bulan dan akhirnya sang istri mengakhiri hidupnya. Rumor-rumor yang buruk atas Bagja dan istrinya yang meninggal terus menyebar dengan sangat cepat. Bahkan hal itu sampai ke Kampung Sepuh satu hari kemudian, yang dimana kini ham
“Iceu, Iceu, dimana kamu Iceu? ” Bagja yang tadinya ingin menutup pintu, tiba-tiba membuka pintunya lagi. Sesaat, ketika dia mendengar suara merdu istrinya yang memanggilnya bersamaan dengan bau harum bunga yang sering tercium olehnya ketika berada di rumah. Namun, hanya suara saja yang terdengar oleh Bagja. Suara itu seakan-akan menghilang kembali selepas Bagja membuka kembali pintunya. Bagja kembali menatap jalan setapak depan rumah kedua orang tuanya dalam keadaan yang lemas tidak berdaya. Secara tak sadar, dia tiba-tiba duduk dengan kedua tangannya yang menutupi wajahnya. Tetesan air mata terasa olehnya dan menetes ke arah lantai rumah orang tuanya pada malam itu. Pikirannya berkecamuk, hatinya gusar, susah dia melepas istrinya yang kini sudah tiada dan meninggalkannya sendirian. Bagja yang tadinya adalah preman sekolah, kini tampak murung. Tidak ada lagi keberanian baginya setelah istrinya meninggalkannya dengan cara yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Kepalanya tertun
Kabar tentang Iceu yang bergentayangan, menari sepanjang jalanan setapak, melalui rumah-rumah yang ada di Kampung Parigi pun tersebar luas. Bukan satu atau dua orang saja yang mengetahui hal itu, namun hampir sebagian warga Kampung Parigi yang mendengar suara gamelan yang muncul pada malam hari memastikan bahwa itu adalah jiwa Iceu yang masih berkeliaran karena jasadnya yang tidak diterima oleh bumi atas apa yang dia lakukan. Tok tok tok “Pak Mansur, Pak, Pak!!!” Terlihat, banyak sekali warga yang kini datang ke rumah orang tua Bagja. Bagja yang tertidur di atas kursi bersama bapaknya yang tidur beralaskan tikar di dekatnya, tiba-tiba bangun karena teriakan dari para warga yang datang kepadanya. Dengan mata yang masih mengantuk, Pak Mansur yang pada saat itu hanya memakai baju, jaket dan kain sarung pun langsung berjalan menuju pintu rumahnya untuk mengetahui kenapa warga kampung datang pagi-pagi ke rumahnya. Sambil menguap, Pak Mansur membukakan slot pengunci pintu, sambil meliha