terima kasih sudah menjadi pembaca setia KUTUKAN LELUHUR Mohon doanya, pada saat ini saya sedang tidak enak badan. semoga hal itu tidak menghalangi saya untuk tetap menulis bab-bab terbaru vote dan ramaikan komentar di page depan ya.... supaya KUTUKAN LELUHUR terasa ramai oleh komen kalian terima kasih
Kabar tentang seseorang yang telah mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri pun akhirnya tersebar luas. Mereka mendapatkan info itu dari mulut ke mulut sehingga kabar tersebut sampai ke beberapa kampung yang berada di sekitar Kampung Parigi. Iceu, salah satu penari jaipong terkenal yang seringkali pentas dari panggung ke panggung pun dikabarkan meninggal dengan cara yang mengenaskan. Kabar itu tersebar dengan rumor-rumor buruk yang menyertainya, ada yang berkata bahwa dia tidak kuat karena suaminya menganggur dan akhirnya mengakhiri hidupnya, ada yang bilang bahwa dirinya stres karena suaminya tidak pulang-pulang dan butuh belaian, bahkan ada yang berkata bahwa ada pertengkaran hebat antara mereka berdua sehingga sang suami minggat dari rumahnya beberapa bulan dan akhirnya sang istri mengakhiri hidupnya. Rumor-rumor yang buruk atas Bagja dan istrinya yang meninggal terus menyebar dengan sangat cepat. Bahkan hal itu sampai ke Kampung Sepuh satu hari kemudian, yang dimana kini ham
“Iceu, Iceu, dimana kamu Iceu? ” Bagja yang tadinya ingin menutup pintu, tiba-tiba membuka pintunya lagi. Sesaat, ketika dia mendengar suara merdu istrinya yang memanggilnya bersamaan dengan bau harum bunga yang sering tercium olehnya ketika berada di rumah. Namun, hanya suara saja yang terdengar oleh Bagja. Suara itu seakan-akan menghilang kembali selepas Bagja membuka kembali pintunya. Bagja kembali menatap jalan setapak depan rumah kedua orang tuanya dalam keadaan yang lemas tidak berdaya. Secara tak sadar, dia tiba-tiba duduk dengan kedua tangannya yang menutupi wajahnya. Tetesan air mata terasa olehnya dan menetes ke arah lantai rumah orang tuanya pada malam itu. Pikirannya berkecamuk, hatinya gusar, susah dia melepas istrinya yang kini sudah tiada dan meninggalkannya sendirian. Bagja yang tadinya adalah preman sekolah, kini tampak murung. Tidak ada lagi keberanian baginya setelah istrinya meninggalkannya dengan cara yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Kepalanya tertun
Kabar tentang Iceu yang bergentayangan, menari sepanjang jalanan setapak, melalui rumah-rumah yang ada di Kampung Parigi pun tersebar luas. Bukan satu atau dua orang saja yang mengetahui hal itu, namun hampir sebagian warga Kampung Parigi yang mendengar suara gamelan yang muncul pada malam hari memastikan bahwa itu adalah jiwa Iceu yang masih berkeliaran karena jasadnya yang tidak diterima oleh bumi atas apa yang dia lakukan. Tok tok tok “Pak Mansur, Pak, Pak!!!” Terlihat, banyak sekali warga yang kini datang ke rumah orang tua Bagja. Bagja yang tertidur di atas kursi bersama bapaknya yang tidur beralaskan tikar di dekatnya, tiba-tiba bangun karena teriakan dari para warga yang datang kepadanya. Dengan mata yang masih mengantuk, Pak Mansur yang pada saat itu hanya memakai baju, jaket dan kain sarung pun langsung berjalan menuju pintu rumahnya untuk mengetahui kenapa warga kampung datang pagi-pagi ke rumahnya. Sambil menguap, Pak Mansur membukakan slot pengunci pintu, sambil meliha
Kabar akan teror dari Iceu yang gentayangan di Kampung Parigi, rupanya telah menyebar luas ke kampung-kampung di sekitar. Termasuk Kampung Sepuh sendiri, cerita tentang Iceu menjadi obrolan yang hangat bagi para ibu-ibu dan para warga yang berada di Kampung Sepuh kala itu. Mereka membicarakan tentang paniknya para warga Kampung Parigi ketika mendengar hal-hal yang diluar nalar, yang jarang sekali mereka temukan dalam hidupnya. “Eh emang bener si Iceu gentayangan?” Kata Mang Mumu kepada Mang Yayat yang terlihat duduk bersama Mas Parto, Asep juga para warga lainnya di depan warung sepulangnya mereka bekerja dari sawah dan ladang. “Iya bener Mang, sewaktu nganterin gula aren ke warung-warung di Kampung Parigi. Mereka bicarain itu, tiap malem mereka di terror ama suara-suara aneh yang sering kali terdengar mengelilingi rumah-rumah mereka Mang,” Kata Mang Yayat yang terlihat mengambil salah satu batang rokok punya Mas Parto yang tergeletak di depannya. “Minta ya Mas, hehe,” Katanya samb
Waktu terus berlalu, kelelawar-kelelawar yang biasanya tampak berkumpul dan keluar sarangnya ketika sore tiba, kini tidak terlihat dari arah Gunung Sepuh. Yang ada hanyalah sinar matahari yang perlahan-lahan redup dan menghilang, digantikan oleh bintang dan bulan yang menerangi kampung dengan sinarnya yang kini tertutup awan hitam yang menutupi langit. Kampung Parigi sudah beberapa malam ini seperti kampung mati, tidak ada satu manusiapun yang terlihat keluar rumah dan beraktivitas pada malam itu. Orang-orang yang biasanya mencari nafkah dengan ngadamar (mencari belut pada malam hari di sawah) lebih memilih untuk berdiam diri di rumah dan mengunci pintu rumahnya dengan sangat rapat. Suasana kampung menjadi sangat hening, warung-warung dan toko grosir yang biasanya masih buka hingga jam sepuluh malam. Kini tampak menutup toko dan warungnya lebih dini, mereka semua takut akan teror Iceu yang masih bergentayangan di kampung mereka, mereka hanya bisa berdoa agar jiwa Iceu sudah bisa dimu
BrukkBeberapa kali Caca terjatuh, lampu minyak dan barang-barang yang akan dipakai ritual oleh Abah Ido dia tinggalkan begitu saja di jalan. Caca tidak peduli apabila jalanan yang dia lewati itu gelap dan sunyi. Yang pasti, dia harus segera pulang kerumah dan menenangkan dirinya disana.“Kenapa sih si Bapak nyuruh aku buat ikut?” Pikir Caca.DakAwwwwwwKaki Caca tersandung bebatuan di jalanan setapak yang sebenar lagi masuk ke perkampungan. Caca menjerit kesakitan dan melihat kaki kelingkingnya berdarah karena tak sengaja menabrak batu yang menjorok ke jalan.Namun, dia seperti tidak memperlambat larinya, dia terus-menerus lari tunggang-langgang karena apa yang dilihatnya di rumah Bagja.Caca tidak menyangka, dia bertemu lagi dengan Iceu. Sesaat ketika mereka semua melintasi dapur yang gelap dengan posisi Caca yang berjalan paling belakang. Bodohnya, Caca melihat ke arah dapur, tempat Iceu pertama kali ditemukan dalam keadaan gantung diri.Seperti ada sesuatu yang menariknya sehingg
Tengah malam sebentar lagi tiba, Kampung Parigi yang biasanya pada jam segini akan terdengar orang-orang yang bermain gitar di pos ronda, mendengar suara ketukan kohkol (pentungan) yang dipukul oleh anak-anak Karang Taruna ketika berkeliling untuk meronda, kini tidak terdengar lagi.Mereka lebih memilih untuk berdiam dirumah, beristirahat dan menjaga keluarga mereka atas teror yang sedang mereka hadapi beberapa hari ini. Sehingga, hanya kegelapan yang terlihat. Tidak ada satupun orang-orang yang berani keluar rumah untuk beraktivitas ketika malam tiba.Kecuali Bagja, dia kini sedang duduk diluar rumah. Kakinya beberapa kaki dihentakan ke tanah secara perlahan, kedua tangannya dia dekatkan ke arah mulut dengan tatapan kedua matanya yang terus-menerus menatap ke arah gang yang nantinya tembus ke rumahnya.Hatinya gelisah, dia merasa cemas karena dia tidak diperbolehkan ikut dengan bapaknya sendiri untuk memurnikan jiwa Iceu malam itu.Sehingga, dia hanya bisa menunggu, menunggu kabar ba
Malam kini sudah berada di puncaknya, rasa dingin pegunungan mulai terasa oleh seluruh warga Kampung Parigi pada malam itu, sebagian warga sudah terlelap tidur. Tidur dengan perasaan takut yang menyelimuti mereka semua, ada pula yang masih terbangun, dengan asap rokok dan kopi hitam yang menemani mereka berjaga. Menjaga keluarganya yang terlelap tidur di dekat mereka, meskipun mereka juga merasakan ketakutan yang sama, tapi mereka terpaksa harus terjaga sepanjang malam. Semua mereka lakukan hanya demi keluarga, demi orang tersayang, dan demi anak-anak mereka.Begitu pula dengan Bagja, rasanya dia tidak bisa duduk manis menunggu hasil dari apa yang dilakukan Abah Ido pada malam tersebut. Apalagi setelah melihat Caca yang tunggang-langgang lari ke rumahnya dengan raut wajah yang sangat ketakutan.Sehingga dia berinisiatif untuk menyusul mereka semua, melewati jalanan setapak di kegelapan malam ke arah rumahnya. Rumah kecil di tengah-tengah kebun yang mereka bangun dengan cinta dan kasih