Keep safe dan tetap jaga kondisi ya satu keluarga tumbang semua, pada sakit termasuk saya.. semoga besok saya masih kuat menulis bab selanjutnya ya, agar bisa terus upload bab-bab terbaru terus support dan coment serta vote agar saya terus semangat menulis cerita yang selanjutnya terima kasih
Aku terdiam mendengar makhluk itu berbicara panjang lebar tentang apa yang terjadi di warung. Beberapa kali dia berkata bahwa Ki Wisesa melakukan perjanjian itu hanya untuk menjaga kampung, menjaga suatu hal yang mengerikan yang membuat sebagian warga kampung mengungsi dan menetap di Kampung Parigi yang aku kenal sekarang. Sesuatu, yang membuat hampir setiap hari ada kejadian orang yang meninggal sehingga Ki Wisesa harus melakukan sesuatu yang menurutnya salah, dan menyesal telah melakukan hal tersebut hingga akhir hayatnya. Sehingga, dia menuliskan sesuatu. Menuliskan sebuah pesan untuk anak cucunya sebelum mereka bertemu dengan makhluk itu sekali lagi, di belakang foto yang kini tersimpan di dalam kotak kecil yang ada di dalam kamarku. Namun, hingga saat ini keturunannya tidak bisa mencapai hal itu. Bahkan bapak yang sudah aku anggap keilmuannya mumpuni pun, tidak bisa menyelesaikan atas apa yang diinginkan oleh Ki Wisesa hingga akhir hayatnya. Hingga, perjanjian itu terus berla
Beberapa hari setelah kejadian itu, akhirnya warung mulai diperbaiki. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membetulkan warung tersebut, juga membetulkan rumah para warga seperti Mang Yayat yang pintunya hancur dan harus diganti dengan yang baru. Satu hari setelah kematian kedua orang tuaku, semuanya tampak sibuk. Pak Camat membawa gergaji mesin serta beberapa bahan baku seperti paku, palu, gergaji, serta alat-alat pertukangan lainnya untuk dipakai memperbaiki warung agar seperti sedia kala. Untuk kayu sendiri, para warga lebih memilih untuk menebang beberapa pohon hutan. Untuk dijadikan bahan baku. Awalnya, aku ragu akan hal itu, apalagi hutan yang dijaga oleh para makhluk yang diam di dalamnya, bisa saja tidak terima ketika kita para manusia menebang beberapa pohon hutan untuk keperluan rumah. Namun, beberapa warga yang sudah tahu tradisinya menyarankan aku untuk memotong seekor ayam yang bisa diambil dari Mang Mumu. Memeras darah ayam tersebut, lalu melumuri sekeliling pohon ya
“Bagja? ” Kata Rusdi dan Darman yang heran dengan orang yang ada di depannya. Orang tersebut tampak tersenyum ramah, dengan baju kaosnya yang terlihat baru bergambar superhero, juga celana jeans panjang berwarna biru tua. Serta kacamata hitam yang besar, membuat mereka berdua bertanya-tanya tentang orang yang kini berdiri di depan mereka berdua. “Bentar-bentar Bagja yang mana ya? ” Kata Rusdi heran. “Oh maaf, kayaknya kalau aku pake kacamata pasti susah buat ngenalinnya, ” Katanya sambil membuka kacamata besarnya. Terlihat, sebuah garis tipis bekas luka di bawah matanya. Dan ketika Darman melihat hal itu, dia langsung berdiri dari jongkoknya dan berbisik kepada Rusdi yang masih merokok disana. “Rus, Rus, itu teh si Bagja yang dulu preman di sekolah, yang tukang malak sewaktu kita masuk SMA, inget gak Rus, cuman gara-gara dia kalah kelahi sama si Amat, jadi kita semua gak kena palak dia,” Kata Darman yang tiba-tiba berbisik soal sosok orang itu ketika dia memperlihatkan dirinya tan
Bagja, yang awalnya hatinya senang karena akan memberikan kabar gembira kepada istrinya, yang sudah seminggu diterima kerja sebagai salah satu karyawan pabrik di kota, pekerjaan yang sudah dia idam-idamkan selama dua tahun pernikahannya dengan istrinya yang cantik jelita. Secara mengejutkan harus kandas, dan menerima keadaan istrinya yang menggantung dirinya dengan tali tambang bekas jemuran yang menggantung dengan leher yang mengikatnya dengan sangat erat. Bagja yang melihat hal itu pun langsung terkejut. Tidak disangka, seorang istri yang dia cintai, yang tidak pernah sekalipun marah atau mengeluh meskipun dirinya tidak mendapatkan pekerjaan. Kini terlihat tubuhnya menggantung di dapur dengan keadaan yang tidak bernyawa lagi. Matanya melotot dengan lidah yang menjulur ke arahnya, dengan baju penari jaipong yang selalu dia kenakan ketika pentas dari panggung ke panggung. Entah sudah berapa lama Iceu menggantung seperti ini, rumahnya yang berada di ujung kampung dan berbatasan langs
Kabar tentang seseorang yang telah mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri pun akhirnya tersebar luas. Mereka mendapatkan info itu dari mulut ke mulut sehingga kabar tersebut sampai ke beberapa kampung yang berada di sekitar Kampung Parigi. Iceu, salah satu penari jaipong terkenal yang seringkali pentas dari panggung ke panggung pun dikabarkan meninggal dengan cara yang mengenaskan. Kabar itu tersebar dengan rumor-rumor buruk yang menyertainya, ada yang berkata bahwa dia tidak kuat karena suaminya menganggur dan akhirnya mengakhiri hidupnya, ada yang bilang bahwa dirinya stres karena suaminya tidak pulang-pulang dan butuh belaian, bahkan ada yang berkata bahwa ada pertengkaran hebat antara mereka berdua sehingga sang suami minggat dari rumahnya beberapa bulan dan akhirnya sang istri mengakhiri hidupnya. Rumor-rumor yang buruk atas Bagja dan istrinya yang meninggal terus menyebar dengan sangat cepat. Bahkan hal itu sampai ke Kampung Sepuh satu hari kemudian, yang dimana kini ham
“Iceu, Iceu, dimana kamu Iceu? ” Bagja yang tadinya ingin menutup pintu, tiba-tiba membuka pintunya lagi. Sesaat, ketika dia mendengar suara merdu istrinya yang memanggilnya bersamaan dengan bau harum bunga yang sering tercium olehnya ketika berada di rumah. Namun, hanya suara saja yang terdengar oleh Bagja. Suara itu seakan-akan menghilang kembali selepas Bagja membuka kembali pintunya. Bagja kembali menatap jalan setapak depan rumah kedua orang tuanya dalam keadaan yang lemas tidak berdaya. Secara tak sadar, dia tiba-tiba duduk dengan kedua tangannya yang menutupi wajahnya. Tetesan air mata terasa olehnya dan menetes ke arah lantai rumah orang tuanya pada malam itu. Pikirannya berkecamuk, hatinya gusar, susah dia melepas istrinya yang kini sudah tiada dan meninggalkannya sendirian. Bagja yang tadinya adalah preman sekolah, kini tampak murung. Tidak ada lagi keberanian baginya setelah istrinya meninggalkannya dengan cara yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Kepalanya tertun
Kabar tentang Iceu yang bergentayangan, menari sepanjang jalanan setapak, melalui rumah-rumah yang ada di Kampung Parigi pun tersebar luas. Bukan satu atau dua orang saja yang mengetahui hal itu, namun hampir sebagian warga Kampung Parigi yang mendengar suara gamelan yang muncul pada malam hari memastikan bahwa itu adalah jiwa Iceu yang masih berkeliaran karena jasadnya yang tidak diterima oleh bumi atas apa yang dia lakukan. Tok tok tok “Pak Mansur, Pak, Pak!!!” Terlihat, banyak sekali warga yang kini datang ke rumah orang tua Bagja. Bagja yang tertidur di atas kursi bersama bapaknya yang tidur beralaskan tikar di dekatnya, tiba-tiba bangun karena teriakan dari para warga yang datang kepadanya. Dengan mata yang masih mengantuk, Pak Mansur yang pada saat itu hanya memakai baju, jaket dan kain sarung pun langsung berjalan menuju pintu rumahnya untuk mengetahui kenapa warga kampung datang pagi-pagi ke rumahnya. Sambil menguap, Pak Mansur membukakan slot pengunci pintu, sambil meliha
Kabar akan teror dari Iceu yang gentayangan di Kampung Parigi, rupanya telah menyebar luas ke kampung-kampung di sekitar. Termasuk Kampung Sepuh sendiri, cerita tentang Iceu menjadi obrolan yang hangat bagi para ibu-ibu dan para warga yang berada di Kampung Sepuh kala itu. Mereka membicarakan tentang paniknya para warga Kampung Parigi ketika mendengar hal-hal yang diluar nalar, yang jarang sekali mereka temukan dalam hidupnya. “Eh emang bener si Iceu gentayangan?” Kata Mang Mumu kepada Mang Yayat yang terlihat duduk bersama Mas Parto, Asep juga para warga lainnya di depan warung sepulangnya mereka bekerja dari sawah dan ladang. “Iya bener Mang, sewaktu nganterin gula aren ke warung-warung di Kampung Parigi. Mereka bicarain itu, tiap malem mereka di terror ama suara-suara aneh yang sering kali terdengar mengelilingi rumah-rumah mereka Mang,” Kata Mang Yayat yang terlihat mengambil salah satu batang rokok punya Mas Parto yang tergeletak di depannya. “Minta ya Mas, hehe,” Katanya samb
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men