Semua Bab An Unidentified Witch: Bab 1 - Bab 10

103 Bab

Prolog

Gadis kecil itu berlari mendekati dua sahabatnya yang sibuk menghitung batu kerikil yang dipungut mereka dari pinggir sungai. Dia berteriak memanggil kedua sahabatnya sambil melompat ringan. “Lisette! Edwyn! Ayo kita main pacu lari!” Kedua bocah itu lantas mengabaikan batu kerikil yang berwarna-warni. Mereka berdiri dan menepuk celana mereka dari debu halus yang menempel. Bocah laki-laki bernama Edwyn itu mendekati gadis kecil itu sambil memberikan tatapan tidak mau kalah. “Ayo kita mulai Karleen, akan kupastikan kau kalah hari ini!” Lisette tertawa mendengar perkataan Edwyn. Pasalnya dari awal mereka bermain apapun pasti pemenangnya adalah Karleen. Entah itu lari-larian, mengumpulkan kayu, bermain petak umpet, dan permainan lain yang melibatkan fisik. “Bagaimana jika pemenang hari ini akan mendapatkan roti cokelat gratis dari toko ibuku!” “Setuju! Sebagai tambahan yang lain, pemenangnya boleh meminta roti varian yang lain, hehehe,” pinta Edwyn. “Baiklah, jika itu maumu. Apapun
Baca selengkapnya

1. Awal Mula

Karleen sibuk membantu ibunya mengaduk adonan roti. Mereka tidak butuh karyawan lain untuk menjalani bisnis turun temurun keluarga Becker. Karleen yang sekarang memiliki banyak waktu luang karena dia baru saja lulus dari sekolah akhir, banyak membantu ibunya. Ayahnya baru saja kembali setelah mengantarkan pesanan dari blok sebelah. Karleen yang menunggu roti matang dari pembakaran duduk bergabung dengan ibu dan ayahnya. Dia ingin berdiskusi mengenai masa depannya serta bertanya mengenai sesuatu yang tidak pernah diajari di sekolahnya, demon. Makhluk yang diyakini sebagai perusak di muka bumi. Karleen selalu mendengar perkataan kakek Weber yang bilang bahwa demon adalah musuh manusia. Mereka berusaha memusnahkan umat manusia dan menguasai dunia. “Ibu, ayah! Aku ingin mendiskusikan sesuatu,” ucap Karleen lembut. “Kau ingin mendiskusikan apa sayang?”tanya Nyonya Becker tampak membersihkan celemeknya dari tepung yang menempel. “Anu, Yah-Bu tahun depan aku
Baca selengkapnya

2. Kesalahpahaman

Karleen bangkit dari sandarannya. Dia melepas genggaman Edwyn. Edwyn terperanjat karena mendapat perlakuan tiba-tiba dari Karleen. “Aku rasa kau salah paham Edwyn,”balas Karleen. “Aku ingin menjadi prajurit bukan hanya karena alasan yang kusebutkan kepada kalian tadi. Ada hal besar yang menjadi tujuanku, dengan menjadi prajurit aku akan mendapat akses dan relasi untuk mengetahui misteri tentang orang tua kandungku.” Bola mata Edwyn dan Lisette membasar. Mereka tidak menyangka Karleen tetap gigih untuk mencari tahu kebenaran atas kedua orangtua kandungnya. “Karleen.”Badan Lisette berhambur ke dalam dekapan Karleen. Lisette menangis. Dia tidak tahu bahwa sahabatnya ini selalu menyimpan kegigihan untuk mencari kedua orangtuanya. Lisette mengira berjalannya waktu, Karleen akan menyerah dan memutuskan untuk tidak ingin meneruskan semangat masa kecilnya untuk mencari tah
Baca selengkapnya

3. Keyakinan dalam Hati

Berbulan-bulan mereka lalui dengan berbagai latihan beragam yang dipimpin oleh Karleen. Karleen sangat senang melihat progres sahabatnya yang terus membaik. Edwyn yang awalnya tidak terlalu memiliki daya tahan tubuh yang bagus sekarang malah menjadi kuat dan bahkan di beberapa sesi latihan beladiri jarak dekat, Edwyn sudah bisa mengalahkan Karleen. Lisette juga menjadi lebih kuat dibanding sebelumnya. Dia lebih cekatan dalam berlari dan mendaki, meskipun untuk beladiri Lisette hanya menguasai yang dasarnya saja. Mereka bertiga duduk melingkar di bawah pohon sambil menyantap berbagai makanan yang mereka bawa. Tidak terasa minggu depan mereka akan mengikuti tes keprajuritan. Karleen memecah keheningan. “Edwyn, Lisette. Aku ingin mengatakan sesuatu,”ucap Karleen pelan. Wajahnya sangat serius. Edwyn dan Lisette yang mengetahui Karleen sedang serius, menanggapi Karleen dengan serius juga. “Apa itu, Karleen? Katakan kepada kami,” jawab Lisette. “Anu, itu. Arrghh! Aku tidak tahu bagaimana
Baca selengkapnya

4. Lelaki Misterius

“Sini, aku antarkan sampai ke depan rumahmu.” Karleen menatap Conrad tidak percaya. Sejujurnya Karleen mempunyai insting bahwa Conrad adalah orang yang baik. Namun, tingkahnya saat ini sedikit ganjil karena mereka baru saja bertemu.   “Serius, kau tidak perlu melakukannya untukku. Rumahku pas di sebelah sana. Kau bisa melihatnya dari sini. Di sebelah rumahku ada toko roti keluarga kami.” Jari telunjuk Karleen mengarah ke sebuah rumah yang memiliki atap yang berbeda dari yang lain. “Kau juga bisa lihat di jalan ini tidak sesepi jalan yang lain, karena rumahku tidak berada di gang belakang.” Penjelasan Karleen membuat Conrad menganggukkan kepalanya.   “Baiklah, Karleen. Maupun kau menolak tawaranku aku akan tetap mengikutimu,”kata Conrad melirik ke Karleen. “Kenapa? Tujuannya apa? Aku rasa kau tidak boleh bertingkah berlebihan seperti ini.” Tatapan Karleen berubah menjadi dingin.   “Hei, jangan salah paham dulu. Aku ingin
Baca selengkapnya

5. Buku Demon

Karleen membuang napasnya kasar. Raut wajahnya masih kesal. Conrad yang sedari tadi memerhatikan dari samping hanya tersenyum saja dan tidak mengatakan apapun.   “Dasar laki-laki aneh,” tukas Karleen dengan suara kecil. Sayangnya, Conrad mendengar perkataan Karleen dan meresponnya.   “Iya, aku aneh setelah bertemu denganmu.” Karleen menunduk mendengar jawaban Conrad. Semburat merah muncul di pipinya.   “Ah, maafkan aku Conrad aku tidak bermaksud. T-tapi kau memang aneh.”Lagi-lagi Conrad tertawa mendengarnya.   “Kau ingin mencari buku apa?” Pertanyaan Conrad membuat kepala Karleen mendongak. Karleen mendekati Conrad dan membisikkan sesuatu.   “Kau tidak perlu berbisik sedekat itu,”tutur Conrad. Conrad berdiri dan menyurusuri rak terdekat. Kepalanya bergerak ke arah berbeda. Karleen hanya mengikuti dari belakang. Dia juga mencari sekali lagi. Conrad terhenti di pojok rak dan mengam
Baca selengkapnya

6. Kebohongan Kecil

Karleen tampak takut-takut. Dengan bantuan Conrad dia mampu mengendalikan tali leher kuda. Mereka menunggangi dengan kecepatan konstan. Karleen tidak menyangka menunggang kuda itu tidak sesulit yang dia bayangkan. Meskipun dia sudah pernah menunggang kuda pertama kali saat tes militer, rasanya sangat berbeda jika menunggang kuda di tempat yang luas. Conrad sudah melepaskan tangannya dari genggaman tangan mereka. Sudah sepuluh menit mereka di perjalanan. Tinggal lima menit lagi mereka akan sampai di desa, Karleen yang tidak ingin melewatkan pelajaran pertamanya ini, sengaja memutar arah. “Karleen, kau hendak kemana?”protes Conrad. “Apa aku boleh mencari rute lain agar aku bisa belajar lebih lama?” suara Karleen terdengar memohon. Conrad yang tidak bisa melihat ekspresi Karleen sekarang, berpikir sebentar. “Baiklah, jika kau tidak keberatan mendengar suara perutmu yang terdengar seperti berantam.”Karleen berteriak senang. “Yuhu, Apsel. Kalau kau lelah bilang, ya?”Karleen melaju sedik
Baca selengkapnya

7. Perpisahan Sementara

Edwyn dan Lisette telah kembali ke rumah. Setelah Conrad mengenalkan diri kepada mereka, Edwyn meminta maaf kepada Conrad dan Karleen. Kini tinggal mereka berdua. Apsel telah kenyang dan tampak berenergi lebih.   Hari sudah menjelang sore. Karleen dan Conrad berdiri saling berdiam-diaman. Tidak ada yang berniat memulai percakapan. Sampai Conrad berpikir ini adalah saat yang tepat untuk berpamitan kepada Karleen.   "Karleen," panggil Conrad dengan suara bassnya.   "Ya?" jawab Karleen tanpa melihat ke arah Conrad. Karleen memainkan kakinya, menggesek sol sepatunya ke atas tumpukan salju yang masih tipis.   "Aku ingin berpamitan sekarang."   "Eh? Cepat sekali? Bukankah kau akan pergi besok?"    Conrad tersenyum tipis. "Bukankah segala sesuatu itu lebih cepat lebih baik?”   "Bagaimana kalau kita minum cokelat panas dulu sebelum kau kemba
Baca selengkapnya

8. Informasi Kecil

“Bibi Eva! Apa kabarmu?” Karleen merenggangkan pelukannya. Bibi Eva yang menangis melangkah mundur. Dia mengelus kepala Karleen dengan lembut. “Seperti yang kau lihat sayang. Aku baik-baik saja, terlebih aku sangat senang bisa bertemu denganmu,” jawab Bibi Eva dengan suara yang sedikit bergetar. Karleen bisa merasakan kesenangan dan kesedihan dari suara Bibi Eva. “Bagaimana kabarmu sayang? Kau tumbuh dengan sangat cantik,”puji Bibi Eva. “Aku sangat baik, Bi. Terima kasih Bi!” Karleen memperlihatkan senyum terbaiknya kepada Bibi Eva. Edwyn dan Lisette berdiri canggung melihat Karleen dan Bibi Eva. “Ah, apakah  mereka sahabatmu?”tanya Bibi Eva sambil menunjuk Edwyn dan Lisette yang berdiri tepat di depan kereta kuda. “Iya Bi. Mereka sahabatku sejak umur 7 tahun. Mereka juga teman pertamaku di lingkungan baru,” jawab Karleen de
Baca selengkapnya

9. Istirahat Sebentar

Karleen dan Warren sama-sama terdiam. Mereka tidak melanjutkan pembicaraan tadi karena Karleen enggan bertanya duluan. Dia menunggu-menunggu untuk Warren mengajaknya berbicara lagi. Suasana semakin canggung saat perut Karleen meronta kelaparan.   Kruuuk   Karleen menutupi perutnya dengan kedua tangannya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan malu. Dari sudut matanya, dia dapat melihat Warren melirik ke arahnya sebentar.   “Apa kau lapar?” Pertanyaan Warren hanya mendapat jawaban anggukan dari Karleen.   “Kalau begitu ayo ikut aku. Jika Bibi Eva sedang kedatangan  tamu, pasti dia akan masak besar.” Warren sudah berdiri duluan.   “Kau mengenal Bibi Eva?” dalam keadaan masih duduk Karleen mendongakkan kepalanya menatap Warren yang tunjang. Melihat Warren seperti ini seakan mengingatkannya pada seseorang. Karleen tidak yakin dimana dia melihat seseorang seperti
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status