Karleen sibuk membantu ibunya mengaduk adonan roti. Mereka tidak butuh karyawan lain untuk menjalani bisnis turun temurun keluarga Becker. Karleen yang sekarang memiliki banyak waktu luang karena dia baru saja lulus dari sekolah akhir, banyak membantu ibunya. Ayahnya baru saja kembali setelah mengantarkan pesanan dari blok sebelah.
Karleen yang menunggu roti matang dari pembakaran duduk bergabung dengan ibu dan ayahnya. Dia ingin berdiskusi mengenai masa depannya serta bertanya mengenai sesuatu yang tidak pernah diajari di sekolahnya, demon. Makhluk yang diyakini sebagai perusak di muka bumi. Karleen selalu mendengar perkataan kakek Weber yang bilang bahwa demon adalah musuh manusia. Mereka berusaha memusnahkan umat manusia dan menguasai dunia.
“Ibu, ayah! Aku ingin mendiskusikan sesuatu,” ucap Karleen lembut.
“Kau ingin mendiskusikan apa sayang?”tanya Nyonya Becker tampak membersihkan celemeknya dari tepung yang menempel.
“Anu, Yah-Bu tahun depan aku ingin bergabung menjadi prajurit.”
Tuan dan Nyonya Becker melempar pandangan dan bingung. Mereka paham di usia Karleen sekarang adalah waktu yang tepat untuk berdiskusi mengenai profesi yang akan ditekuni remaja yang sedang mengalami masa peralihan menuju dewasa seperti Karleen.
“Kau tidak salah sayang? Kau bilang ingin menjadi prajurit?”Tuan Becker bertanya.
“Iya Yah, aku yakin. Aku sangat ingin menjadi prajurit.”
“Dari sekian banyak profesi, kenapa kau ingin memilih menjadi prajurit?” Giliran Nyonya Becker yang bertanya kepada Karleen.
“A-aku, ingin menegakkan keadilan dan menciptakan kedamaian, Bu.”Karleen sedikit gugup. Dia tidak ingin salah memberi jawaban kepada orang tua angkatnya.
“Alasan yang mulia. Tetapi mengapa? Desa kita sudah sangat aman dan damai. Jika kau menjadi prajurit kau tidak akan tinggal bersama kami lagi, Ibu mencemaskan itu.”Nyonya Becker menggenggam tangan Karleen erat. Karleen membalas genggaman ibunya dan tersenyum.
“Tidak usah khawatir Bu, aku akan selalu mengirim surat dan mengunjungi kalian. Lagi pula aku belum diterima sebagai prajurit. Ada banyak langkah yang harus aku lalui terlebih dahulu. Makanya dari sekarang aku meminta izin dan berlatih untuk tes di akhir tahun.”
Nyonya dan Tuan Becker tersenyum. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Kami akan mendukungmu,” respon Tuan Becker.
Nyonya Becker mendekati Karleen dan memeluknya. Karleen tidak menyangka akan semudah ini mendapatkan izin dari kedua orangtuanya.
“Ayah? Aku ingin bertanya sesuatu,”ucap Karleen hati-hati. Dia takut akan mendapatkan jawaban yang tidak sesuai karena yang ingin dia tanyakan mengenai hal yang sensitive.
“Apa itu, Kar?”
“Apa Ayah tahu mengenai demon, penyihir, atau makhluk mitologi yang nyata? Maksudku benaran ada di bumi.”
Tuan Becker tertawa pelan. Beberapa detik kemudian tawanya memudar dan berganti dengan kening yang berkerut. “Apakah kau membaca buku tentang makhluk mitologi, Kar?”
Karleen menggeleng. “Aku mendengar cerita dari kakek Weber. Dia berkata saat dia masih menjadi prajurit, mereka pernah melawan demon di daerah pesisir. Dan mereka menang. Kakek Weber juga pernah bilang, bahwa di suatu daerah di negara kita terdapat tempat rahasia yang menjadi sarang demon. Tempat itu sudah disegel berates-ratus tahun lamanya. Tetapi di beberapa celah terkadang ada yang rusak sehingga demon-demon kecil dapat keluar dan menyerang manusia. Bagaimana jika mereka masih ada dan menyerang kita? Kakek Weber bilang demon itu adalah musuh manusia dan mereka memiliki tujuan untuk menguasai dunia dengan menghancurkan peradaban manusia. Kakek We-”
Ucapan Karleen terpotong. “Itu hanya dongeng Karleen. Kenapa kau mempercayai omongan kakek Weber?”
“T-tapi Yah, kakek Weber tidak berbohong. Aku sangat yakin bahwa yang diceritakan kakek Weber adalah kebenaran.”
“Sayang, kakek Weber itu sudah sangat tua. Mungkin itu hanya dongeng turun-temurun dari para leluhurnya. Jika memang itu nyata, mengapa di buku sejarah kita tidak tertulis?”Nyonya Becker menimpali.
“Hhmm, baiklah. Itu artinya aku mempercayai dongeng. Berarti demon dan makhluk-makhluk mitologi seperti itu tidak ada di bumi, kan?”
“Tidak ada, itu hanya dongeng saja,”jelas Tuan Weber singkat. “Jika tidak ada yang ingin didiskusikan lagi Ayah akan melanjutkan pekerjaan.”
Tuan Becker pamit kepada Nyonya Becker dan Karleen. Karleen termenung memikirkan perkataan kaker Weber. Meskipun dia sudah sangat tua, Karleen percaya bahwa yang dikatakan kakek Weber bukan omongan belaka. Itu kenyataan yang tidak semua orang tahu kebenarannya. Karleen sudah terlalu lama penasaran dengan apa yang dikatakan kakek Weber. Jika itu benar, salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan Karleen menjadi prajurit.
Di tengah kesibukan Karleen dengan pikirannya, dia baru ingat sedang memanggang roti. “Astaga!”Karleen sontak berlari ke pemanggangan dan mengecek keadaan roti. Untung saja rotinya tidak hangus. Dia mengeluarkan roti yang baru masak dan mendinginkannya pada Loyang berjaring.
Karleen dan ibunya sibuk menyusun roti di etalase. Dia masih penasaran dan ingin bertanya lebih lanjut dengan ibunya mengenai masalah demon tadi. Tidak hanya demon saja, dia ingat dengan jelas bahwa kakek Weber menceritakan manusia keturunan penyihir yang hidup berdampingan dengan kita.
“Ibu, apakah penyihir itu beneran ada?”
Nyonya Becker yang sedang menyusun roti begel mengalihkan pandangannya kepada Karleen. Dia tampak sedikit menimbang-nimbang menjawab pertanyaan Karleen.
“Soal itu, kakekmu pernah menceritakan kepada Ibu. Hanya saja Ibu menganggap itu semua cuma dongeng.”
“Memangnya kakek bercerita tentang apa, Bu?”Karleen mendekati ibunya dan memerhatikan Nyonya Becker dengan serius.
“Dahulu kala, di negara kita. Ada sekumpulan penyihir yang hidup berdampingan dengan manusia. Mereka sama seperti kita, mereka makan, minum, bekerja, memiliki keturunan, dan melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Akan tetapi, suatu ketika ada seorang saksi mata yang melihat seorang penyihir menggunakan kekuatannya untuk membunuh manusia. Sejak saat itu, mereka tidak mempercayai lagi penyihir dan membakar penyihir hidup-hidup agar mereka tidak memiliki keturunan dan tidak bisa mengatur kehidupan manusia dengan kekuatan mereka.
Meski begitu, beberapa saksi mengetahui kekuatan apa saja yang dimiliki oleh penyihir. Salah satunya adalah kehidupan abadi. Mereka memiliki banyak kekuatan yang tidak banyak diketahui oleh manusia karena tidak ada yang membahas hal itu hingga sekarang. Jika kau ingin membaca mengenai mereka, kau bisa membaca buku dongeng tentang penyihir.”
Nyonya Becker tersenyum dan mengelus rambut Karleen yang panjang. “Hhmm, aku pikir itu hanya dongeng saja. Kenapa Ibu tidak pernah menceritakan itu kepadaku dulu?”
“Karleen, kau tahu sendiri bahwa kau tidak suka dibacakan dongeng sebelum tidur, kan? Kau lebih suka membaca sendiri buku-bukumu yang lebih banyak mengenai aksi dan laga.”
Nyonya Becker tertawa kecil. “Ya, memang benar sih, Bu.”
Kling!
Pintu toko terbuka lebar. Terdapat dua sosok yang tidak asing bagi mereka berdiri berdampingan sambil tersenyum. Laki-laki dan perempuan sebaya Karleen berdiri sejajar dan berjalan menghampiri Nyonya Becker dan Karleen.
“Nyonya, apa kabarmu?” tanya perempuan bersurai cokelat.
“Nyonya tambah cantik saja. Padahal terakhir aku bertemu denganmu beberapa hari yang lalu,” puji laki-laki berambut cokelat tua.
“Lisette! Edwyn! Ibu baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya dan terima kasih pujiannya, Edwyn. Kalian ingin bermain dengan Karleen?”
Lisette dan Edwyn tersenyum lebar. “Tidak, Nyonya. Kami ingin membantu anda hari ini.”
“Oh Ya ampun! Kalian berdua. Hari ini kebetulan tidak banyak pesanan dan Karleen juga banyak membantu hari ini. Ayo duduk dan minum teh serta makan roti cokelat hangat. Temani saja Karleen untuk menjaga toko. Ibu akan ke belakang setelah ini membereskan beberapa hal.”
Nyoya Becker terlihat menyiapkan satu teko teh yang baru saja diseduh. Tanpa segan dan malu Lisette dan Edwyn membantu membawa cangkir dan piring ke salah satu meja di mana Karleen duduk. Dia sedang membaca buku yang tampaknya novel romansa. Nyonya Becker membawa teko teh ke atas meja dan mengambil berbagai macam roti cokelat ke atas piring lebar yang datar.
“Ibu ke belakang dulu, ya?”Karleen menoleh ke arah ibunya. “Baiklah, Bu!”
“Selamat menikmati!”
“Terima kasih Nyonya!” ucap Lisette dan Edwyn serempak.
“Terima kasih, Ibu!”Karleen menutup bukunya dan meletaknya di ujung meja.
“Apa ada kalian kemari? Tumben?”tanya Karleen membuka pembicaraan.
“Memangnya kami tidak boleh kemari?”Edwyn bertanya kembali.
“Bukan begitu maksudku. Hanya saja akhir-akhir ini kita jarang berkumpul. Tiba-tiba kalian datang ke sini aku menjadi senang. Kebetulan ada yang ingin aku bicarakan kepada kalian.”
Lisette yang asik mengunyah roti cokelat terdiam. Edwyn memandang Karleen dengan tatapan bingung.
“Bicarakan hal apa?”Edwyn bertanya dengan was-was.
Karleen tampak membuang napasnya dengan pelan. Dia tidak bisa menebak bagaimana respon sahabatnya setelah mendengar ucapan dirinya.
“Akhir tahun nanti aku akan tes menjadi prajurit.”
Mulut Edwyn dan Lisette kompak menganga. “Hei, jangan kaget seperti itu dong!”ujar Karleen memegang kedua tangan sahabatnya.
“Karleen, kau serius?” tanya Edwyn memastikan.
“Aku sangat serius. Aku bahkan sudah mendiskusikan kepada orangtuaku. Aku bilang ini sebagai bentuk izin mungkin? Karena besok aku akan fokus latihan. Ke depannya aku akan jarang bermain dengan kalian,”jelas Karleen sedih.
Mereka bertiga sama-sama diam. Edwyn dan Lisette tampaknya masih sibuk mencerna ucapan Karleen.
“Karleen, kenapa kau ingin jadi prajurit? Bukannya hal itu hanya membuang waktumu saja mengabdi pada negara dan bahkan kau hanya mendekatkan dirimu dengan ajal. Maksudku banyak prajurit yang meninggal saat melakukan tugasnya, kan?”Giliran Lisette angkat bicara.
“Kau ingin mati dengan cara keren begitu? Dengan menjadi prajurit kau bisa mati dengan alasan yang luar biasa. Dan kau bisa memakai seragam kebanggaan prajurit dan menyombongkan dirimu menjadi prajurit Wanita muda, begitu?” tanya Edwyn dengan sarkas.
“Maksud kalian? Aku tidak paham dengan apa yang kalian bilang.”
“Lalu apa tujuanmu menjadi prajurit?”tanya Edwyn lagi.
“Aku ingin menegakkan keadilan dan menciptakan kedamaian.”
“Alasan klasik,”timpal Edwyn. Edwyn tampak sangat tidak suka dengan keputusan Karleen.
“Edwyn, apa masalahmu? Mengapa kau marah mendengar keputusanku ingin menjadi prajurit?”Karleen menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan duduk tegap menghadap Edwyn. Edwyn takut-takut membalas pandangan Karleen.
“Pokoknya kau tidak boleh menjadi prajurit. Jika kau bersikeras ingin menjadi prajurit kami tidak akan menjadi sahabatmu lagi,”jelas Edwyn dengan suara yang sedikit bergetar.
“Omong kosong apa itu, Edwyn?” Karleen sontak menaikkan suaranya.
“Karleen, tenang dulu. Kau tahu bukan risiko menjadi prajurit tidak semudah yang kau bayangkan. Menjadi prajurit sama saja dengan kau menyerahkan kehidupan amanmu dan menjadi budak bersenjata. Kau tidak bisa hidup tenang menikmati hidupmu dan bahkan kau tidak bisa-”
Penjelasan Lisette dipotong oleh ucapan Karleen. “Tidak bisa apa? Menikah? Aku sudah memikirkan matang-matang risiko ini jauh sebelum aku berpikir ingin menjadi prajurit. Lalu apa enaknya menikah? Punya pasangan lalu memiliki keturunan dan mengurus mereka. Itu tidak adil buatku. Sedangkan aku, orang tua kandungku tidak tahu mereka kemana dan malah membuangku ke panti asuhan. Hanya meninggalkanku kalung merah tak berguna ini. Tanpa penjelasan apa-apa, bahkan pihak panti asuhan tidak tahu orang tuaku siapa.”
Napas Karleen berderu tidak karuan. “Maksudku bukan begitu, Karleen,”ujar Lisette yang merasa bersalah.
“Karleen, apa kau tidak ingin hidup tenang dan menikah nanti? Setidaknya kau harus memiliki keturunan untuk orangtuamu. Mereka pasti ingin memiliki cucu yang-”
Lagi-lagi Karleen memotong pembicaraan sahabatnya. Kali ini pembicaraan Edwynlah yang Karleen potong.
“Anak-anak yang memiliki orang tua kandung seperti kalian mana mengerti perasaan anak yang diadopsi sepertiku.” Karleen berdiri dan meninggalkan toko. Dia berlari sekuat tenaga menuju bukit di ujung desa.
“Aaah.” Edwyn mengacak rambutnya kesal.“Sekarang bagaimana?”Edwyn bertanya kepada Lisette. Lisette diam sejenak memikirkan jawaban.
“Berikan Karleen waktu sendiri untuk menenangkan diri, Edwyn. Mungkin kita harus menghargai keputusan Karleen. Karena itu keputusan yang dia pilih. Kita tidak boleh semena-mena menentangnya. Bahkan orangtuanya sudah memberikan Karleen izin. Hal yang seharusnya kita lakukan adalah mendukungnya, bukan mengintervasinya.”
Edwyn mengangguk mendengar penjelasan Lisette. Penjelasan Lisette membuka pikiran Edwyn. Sebagai sahabat Karleen, seharusnya dia tidak berkata seperti itu kepada Karleen.
“Aku pikir, apa yang sudah kita katakan kepada Karleen sudah keterlaluan, Edwyn. Kita tunggu sekitar 30 menit untuk Karleen menenangkan diri dan setelah itu kita susul Karleen.”
Edwyn menunduk mendengarkan perkataan Lisette. “Baiklah, Lisette. Seperti biasa hanya kau yang bisa berpikir jernih di saat keadaan rumit.”Senyum paksa terukir di bibir Edwyn. Dia sadar apa yang telah dikatakannya kepada Karleen adalah sebuah kesalahan. Seharusnya mereka tidak harus memvonis keputusan Karleen yang ingin menjadi prajurit.
Edwyn dan Lisette sama-sama duduk terdiam menunggu waktu 30 menit. Selama menunggu Nyonya Becker masih sibuk bekerja di belakang dan tidak ada pelanggan yang ke toko roti. Kelihatannya Nyonya Becker sangat sibuk mengerjakan pekerjaannya sehingga tidak mendengar keributan yang barusan terjadi.
Edwyn dan Lisette pamit kepada Nyonya Becker. Kemudian mereka berdua berlari menuju bukit. Dari kejauhan mereka dapat melihat Karleen yang sedang menyandar di pohon. Karleen terlihat menutup matanya dan mengatur napasnya. Saat mereka berdua berjalan dengan tidak menimbulkan suara, Karleen membuka matanya. Dia tidak mengatakan apapun setelah melihat kedua sahabatnya menghampirinya dan duduk bersebelahan dengan Karleen.
“Karleen,”panggil Edwyn dengan pelan. Edwyn berniat menggapai tangan kanan Karleen. Karleen tidak menolak saat Edwyn berhasil menggenggam tangannya. Sorot matanya lurus, seakan tidak peduli dengan panggilan Edwyn.
“Hei, Karleen,”panggil Edwyn sekali lagi. Edwyn semakin erat menggenggam tangan Karleen. “Maafkan kami. Maafkan aku karena telah berbicara sesukaku. Aku sadar apa yang telah kukatakan menyakiti hatimu. Aku hanya tidak ingin kau tersiksa menjadi prajurit. Aku hanya ingin melihatmu bahagia dan menikmati hidupmu tanpa beban. Melakukan hal yang kau suka tanpa mengorbankan dirimu untuk orang lain, terlebih lagi orang lain yang tidak kau kenal, Karleen.”
Karleen mencerna kata-kata Edwyn. Mata Karleen yang awalnya tampak sedih menjadi berbinar, meski hanya sebentar. Tak lama kemudian sorot mata Karleen berubah menjadi menyala, seakan dia tidak menerima perkataan Edwyn semuanya.
Karleen bangkit dari sandarannya. Dia melepas genggaman Edwyn. Edwyn terperanjat karena mendapat perlakuan tiba-tiba dari Karleen.“Aku rasa kau salah paham Edwyn,”balas Karleen.“Aku ingin menjadi prajurit bukan hanya karena alasan yang kusebutkan kepada kalian tadi. Ada hal besar yang menjadi tujuanku, dengan menjadi prajurit aku akan mendapat akses dan relasi untuk mengetahui misteri tentang orang tua kandungku.”Bola mata Edwyn dan Lisette membasar. Mereka tidak menyangka Karleen tetap gigih untuk mencari tahu kebenaran atas kedua orangtua kandungnya.“Karleen.”Badan Lisette berhambur ke dalam dekapan Karleen. Lisette menangis. Dia tidak tahu bahwa sahabatnya ini selalu menyimpan kegigihan untuk mencari kedua orangtuanya. Lisette mengira berjalannya waktu, Karleen akan menyerah dan memutuskan untuk tidak ingin meneruskan semangat masa kecilnya untuk mencari tah
Berbulan-bulan mereka lalui dengan berbagai latihan beragam yang dipimpin oleh Karleen. Karleen sangat senang melihat progres sahabatnya yang terus membaik. Edwyn yang awalnya tidak terlalu memiliki daya tahan tubuh yang bagus sekarang malah menjadi kuat dan bahkan di beberapa sesi latihan beladiri jarak dekat, Edwyn sudah bisa mengalahkan Karleen. Lisette juga menjadi lebih kuat dibanding sebelumnya. Dia lebih cekatan dalam berlari dan mendaki, meskipun untuk beladiri Lisette hanya menguasai yang dasarnya saja. Mereka bertiga duduk melingkar di bawah pohon sambil menyantap berbagai makanan yang mereka bawa. Tidak terasa minggu depan mereka akan mengikuti tes keprajuritan. Karleen memecah keheningan. “Edwyn, Lisette. Aku ingin mengatakan sesuatu,”ucap Karleen pelan. Wajahnya sangat serius. Edwyn dan Lisette yang mengetahui Karleen sedang serius, menanggapi Karleen dengan serius juga. “Apa itu, Karleen? Katakan kepada kami,” jawab Lisette. “Anu, itu. Arrghh! Aku tidak tahu bagaimana
“Sini, aku antarkan sampai ke depan rumahmu.” Karleen menatap Conrad tidak percaya. Sejujurnya Karleen mempunyai insting bahwa Conrad adalah orang yang baik. Namun, tingkahnya saat ini sedikit ganjil karena mereka baru saja bertemu. “Serius, kau tidak perlu melakukannya untukku. Rumahku pas di sebelah sana. Kau bisa melihatnya dari sini. Di sebelah rumahku ada toko roti keluarga kami.” Jari telunjuk Karleen mengarah ke sebuah rumah yang memiliki atap yang berbeda dari yang lain. “Kau juga bisa lihat di jalan ini tidak sesepi jalan yang lain, karena rumahku tidak berada di gang belakang.” Penjelasan Karleen membuat Conrad menganggukkan kepalanya. “Baiklah, Karleen. Maupun kau menolak tawaranku aku akan tetap mengikutimu,”kata Conrad melirik ke Karleen. “Kenapa? Tujuannya apa? Aku rasa kau tidak boleh bertingkah berlebihan seperti ini.” Tatapan Karleen berubah menjadi dingin. “Hei, jangan salah paham dulu. Aku ingin
Karleen membuang napasnya kasar. Raut wajahnya masih kesal. Conrad yang sedari tadi memerhatikan dari samping hanya tersenyum saja dan tidak mengatakan apapun. “Dasar laki-laki aneh,” tukas Karleen dengan suara kecil. Sayangnya, Conrad mendengar perkataan Karleen dan meresponnya. “Iya, aku aneh setelah bertemu denganmu.” Karleen menunduk mendengar jawaban Conrad. Semburat merah muncul di pipinya. “Ah, maafkan aku Conrad aku tidak bermaksud. T-tapi kau memang aneh.”Lagi-lagi Conrad tertawa mendengarnya. “Kau ingin mencari buku apa?” Pertanyaan Conrad membuat kepala Karleen mendongak. Karleen mendekati Conrad dan membisikkan sesuatu. “Kau tidak perlu berbisik sedekat itu,”tutur Conrad. Conrad berdiri dan menyurusuri rak terdekat. Kepalanya bergerak ke arah berbeda. Karleen hanya mengikuti dari belakang. Dia juga mencari sekali lagi. Conrad terhenti di pojok rak dan mengam
Karleen tampak takut-takut. Dengan bantuan Conrad dia mampu mengendalikan tali leher kuda. Mereka menunggangi dengan kecepatan konstan. Karleen tidak menyangka menunggang kuda itu tidak sesulit yang dia bayangkan. Meskipun dia sudah pernah menunggang kuda pertama kali saat tes militer, rasanya sangat berbeda jika menunggang kuda di tempat yang luas. Conrad sudah melepaskan tangannya dari genggaman tangan mereka. Sudah sepuluh menit mereka di perjalanan. Tinggal lima menit lagi mereka akan sampai di desa, Karleen yang tidak ingin melewatkan pelajaran pertamanya ini, sengaja memutar arah. “Karleen, kau hendak kemana?”protes Conrad. “Apa aku boleh mencari rute lain agar aku bisa belajar lebih lama?” suara Karleen terdengar memohon. Conrad yang tidak bisa melihat ekspresi Karleen sekarang, berpikir sebentar. “Baiklah, jika kau tidak keberatan mendengar suara perutmu yang terdengar seperti berantam.”Karleen berteriak senang. “Yuhu, Apsel. Kalau kau lelah bilang, ya?”Karleen melaju sedik
Edwyn dan Lisette telah kembali ke rumah. Setelah Conrad mengenalkan diri kepada mereka, Edwyn meminta maaf kepada Conrad dan Karleen. Kini tinggal mereka berdua. Apsel telah kenyang dan tampak berenergi lebih. Hari sudah menjelang sore. Karleen dan Conrad berdiri saling berdiam-diaman. Tidak ada yang berniat memulai percakapan. Sampai Conrad berpikir ini adalah saat yang tepat untuk berpamitan kepada Karleen. "Karleen," panggil Conrad dengan suara bassnya. "Ya?" jawab Karleen tanpa melihat ke arah Conrad. Karleen memainkan kakinya, menggesek sol sepatunya ke atas tumpukan salju yang masih tipis. "Aku ingin berpamitan sekarang." "Eh? Cepat sekali? Bukankah kau akan pergi besok?" Conrad tersenyum tipis. "Bukankah segala sesuatu itu lebih cepat lebih baik?” "Bagaimana kalau kita minum cokelat panas dulu sebelum kau kemba
“Bibi Eva! Apa kabarmu?” Karleen merenggangkan pelukannya.Bibi Eva yang menangis melangkah mundur. Dia mengelus kepala Karleen dengan lembut. “Seperti yang kau lihat sayang. Aku baik-baik saja, terlebih aku sangat senang bisa bertemu denganmu,” jawab Bibi Eva dengan suara yang sedikit bergetar. Karleen bisa merasakan kesenangan dan kesedihan dari suara Bibi Eva.“Bagaimana kabarmu sayang? Kau tumbuh dengan sangat cantik,”puji Bibi Eva. “Aku sangat baik, Bi. Terima kasih Bi!” Karleen memperlihatkan senyum terbaiknya kepada Bibi Eva. Edwyn dan Lisette berdiri canggung melihat Karleen dan Bibi Eva.“Ah, apakah mereka sahabatmu?”tanya Bibi Eva sambil menunjuk Edwyn dan Lisette yang berdiri tepat di depan kereta kuda.“Iya Bi. Mereka sahabatku sejak umur 7 tahun. Mereka juga teman pertamaku di lingkungan baru,” jawab Karleen de
Karleen dan Warren sama-sama terdiam. Mereka tidak melanjutkan pembicaraan tadi karena Karleen enggan bertanya duluan. Dia menunggu-menunggu untuk Warren mengajaknya berbicara lagi. Suasana semakin canggung saat perut Karleen meronta kelaparan. Kruuuk Karleen menutupi perutnya dengan kedua tangannya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan malu. Dari sudut matanya, dia dapat melihat Warren melirik ke arahnya sebentar. “Apa kau lapar?” Pertanyaan Warren hanya mendapat jawaban anggukan dari Karleen. “Kalau begitu ayo ikut aku. Jika Bibi Eva sedang kedatangan tamu, pasti dia akan masak besar.” Warren sudah berdiri duluan. “Kau mengenal Bibi Eva?” dalam keadaan masih duduk Karleen mendongakkan kepalanya menatap Warren yang tunjang. Melihat Warren seperti ini seakan mengingatkannya pada seseorang. Karleen tidak yakin dimana dia melihat seseorang seperti
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja