Karleen membuang napasnya kasar. Raut wajahnya masih kesal. Conrad yang sedari tadi memerhatikan dari samping hanya tersenyum saja dan tidak mengatakan apapun.
“Dasar laki-laki aneh,” tukas Karleen dengan suara kecil. Sayangnya, Conrad mendengar perkataan Karleen dan meresponnya.
“Iya, aku aneh setelah bertemu denganmu.” Karleen menunduk mendengar jawaban Conrad. Semburat merah muncul di pipinya.
“Ah, maafkan aku Conrad aku tidak bermaksud. T-tapi kau memang aneh.”Lagi-lagi Conrad tertawa mendengarnya.
“Kau ingin mencari buku apa?” Pertanyaan Conrad membuat kepala Karleen mendongak. Karleen mendekati Conrad dan membisikkan sesuatu.
“Kau tidak perlu berbisik sedekat itu,”tutur Conrad. Conrad berdiri dan menyurusuri rak terdekat. Kepalanya bergerak ke arah berbeda. Karleen hanya mengikuti dari belakang. Dia juga mencari sekali lagi. Conrad terhenti di pojok rak dan mengambil buku bersampul gelap dari rak paling atas.
Conrad kembali ke tempat duduk tadi bersama Karleen. Dia membuka perlahan buku yang tampak sedikit using. Dari penampakannya jelas buku ini sudah sangat tua. “Karleen, sini mendekat.” Conrad menginstruksikan dengan tangannya memberi perintah untuk Karleen mendekat.
Karleen mendengarkan perkataan Conrad. Dia mendekatkan dirinya, tulisan di buku ini tampak sudah sedikit tidak jelas. Di beberapa bagian bahkan terlihat luntur. “Kau ingin membaca bagian yang mana?” tawar Conrad.
“Entahlah, yang mana saja. Asal masih bisa terbaca.” Conrad menggeser buku itu tepat ke hadapan Karleen. Karleen memulai membacanya dengan cepat. Baru beberapa halaman dibacanya, Karleen merinding.
“Apakah ini betulan?”tanya Karleen pelan.
“Itu tergantung kepada pembacanya. Di halaman paling depan sudah ada instruksi untuk pembacanya. Buku ini dibuat bukan untuk dipercayai mentah-mentah tanpa adanya bukti atau dukungan buku yang lain.” Conrad menjelaskan.
Karleen mengangguk tanda mengerti. Dia sebenarnya takut untuk percaya. Sehingga apa yang sudah dia dapati dari buku ini mengenai asal-usul demon hanya dijadikan pengetahuan saja.
“Kenapa kau penasaran membaca buku ini, Karleen?” Conrad bertanya di sela-sela bacaan Karleen. Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku, Karleen menjawab pertanyan Conrad.
“Aku ingin mengetahui kebenaran,”jawabnya singkat. Conrad kurang paham dengan jawaban Karleen. Alis Conrad naik sedikit.
“Maksudmu, kau ingin mencari tahu apakah demon itu nyata?”
“Ya, seperti itulah. Aku tidak bisa percaya begitu saja bahwa demon hanya dongeng.”Karleen semakin fokus membaca halaman selanjutnya. Siapa pun yang menulis buku ini pasti nyalinya sangat kuat.
“Hhmm, aku menyarankanmu untuk tidak terlalu tertarik dengan demon-demonan.”
“Kenapa begitu, Conrad? Apakah salah jika aku penasaran dengan fakta yang ada?” Karleen mengalihkan pandangannya dari buku. Dia merasa sedikit tertanggu dengan saran Conrad.
“Itu bukan suatu yang seru untuk dicari tahu, Karleen. Makhluk mitologi seperti mereka sangat menyeramkan, apakah itu tidak membuatmu parno? Dari ekspresimu membaca buku ini saja kau sudah tidak nyaman. Padahal itu masih di halaman depannya saja, bagaimana reaksimu selanjutnya jika sudah selesai membaca buku ini? Apakah yakin kau masih bisa hidup tenang? Tidak merasa terngiang-ngiang dengan deskripsi yang ada di buku ini?”
Karleen terkesiap dengan perkataan Conrad. Dia tidak nyangka Conrad akan berbicara seperti itu. Dia tidak paham apakah Conrad begitu peduli kepadanya atau hanya sekadar menakut-nakutinya saja.
“Iya, aku akui aku merasa takut. Tapi aku ingin mengetahuinya.”
“Aku mohon Karleen, aku memintamu untuk tidak membaca buku-buku aneh seperti ini. Aku tidak akan menjamin apa yang akan kau alami selanjutnya jika kau mengetahui banyak hal mengenai demon,”jelas Conrad.
“Maksudmu aku akan celaka? Aku tidak mengerti Conrad. Kenapa kau melarangku? Aku bukan anak kecil. Lagipula ini bukan buku aneh yang menakut-nakuti pembacanya. Buku ini berisi pengetahuan meskipun aku meragukan keberanannya. Kau berkata seperti itu kepadaku seakan-akan kau mengetahui sesuatu.”Karleen merapatkan bibirnya setelah berbicara dengan nada yang sedikit tinggi. Dia mengamati Conrad dengan lekat.
“Aku hanya tidak ingin kau merasa takut. Siapa yang bisa menjamin kau masih bisa tidur dengan nyenyak setelah menamatkan buku ini?” jawab Conrad dengan nada sedikit dibuat-buat.
“Hah, baiklah. Apa yang tidak kau inginkan tidak akan terjadi. Aku akan tetap membaca buku ini, meskipun aku merasa takut.” Karleen mengatupkan rahangnya.
“Aku akan menemanimu membaca, jadi kau tidak perlu meminjam buku ini untuk dibaca pulang. Baca sebisamu di perpustakaan, berjanji kepadaku untuk tidak membaca buku ini sendirian.”
“Serius, kau sangat berlebihan dari awal pertemuan kita. Kalau begitu aku akan membaca bab yang menurutku menarik saja.”Karleen melihat daftar isi buku itu. Dia membaca bab deskripsi demon. Matanya menyipit setelah membaca satu halaman. Begitu menyeramkan. Karleen langsung membayangkan rupa demon yang sangat buruk. Imajinasinya melayang, Karleen menjadi melamun. Conrad yang menyadari tingkah Karleen menguncang bahu Karleen.
“Astaga! Jangan bilang kau membayangkan rupa demon yang jelek itu?” Conrad tampak cemas dengan tingkah Karleen yang terdiam. Karleen hanya mengangguk menjawab pertanyaan Conrad.
“Huh, dasar keras kepala!” Conrad mengambil paksa buku itu. Dia tidak mengembalikan buku itu rak asalnya. Conrad menuju meja resepsionis dan meminta petugas itu untuk tidak meletak buku semacam ini lagi di rak. Petugas yang sudah berumur itu awalnya bingung dengan permintaan Conrad, dia akhirnya mengerti ketika melihat buku itu.
Saat Conrad kembali Karleen masih melamun. Dia tidak tahu pasti apa yang dipikirkan Karleen. Yang pastinya wajah gadis itu tampak pucat. Semangat yang terlihat di wajahnya beberapa menit yang lalu tergantikan dengan rasa takut. Conrad mengerti apa yang dirasakan Karleen. Apalagi sepengamatan Conrad, Karleen adalah anak yang imajinatif. Sangat sulit bagi Karleen jika sudah membayangkan sesuatu dan melupakannya begitu saja.
“Hei, Karleen. Jangan terlalu dipikirkan, itu semua hanya fiktif saja. Tidak asli.” Conrad berusaha menenangkan Karleen. Karleen hanya mengangguk mendengarkan perkataan Conrad. Mereka berdua sama-sama diam sebelum Conrad memiliki ide untuk mengajak Karleen berjalan-jalan.
“Karleen, ayo ikut aku!”Conrad sudah terlebih dahulu berdiri. Dia mengulurkan tangan kanannya di hadapan Karleen. Karleen yang masih mencerna perkataan Conrad, dengan pelan menerima uluran tangan Conrad. Mereka keluar dari perpustakaan dengan berlari kecil.
Tangan mereka masih bertautan saat Conrad berhenti di sebuah jalan setapak. Di ujung jalan itu terdapat kuda berwarna cokelat yang diikat pada pohon yang berukuran sedang. Karleen menatap Conrad penuh tanda tanya. Dengan pelan Conrad melepaskan tangan mereka dan menghampiri kuda itu. Conrad melepaskan ikatan kuda itu dari pohon. Karleen kaget dengan tingkah Conrad.
“Hei, Conrad! Kau ingin apa? Kau mau mencuri kuda itu?” tanya Karleen dengan nada tinggi. Conrad melirik Karleen dan tertawa. Setelah sukses melepas tali, Conrad menuntun kuda itu untuk melangkah beberapa meter. Conrad pun naik ke atas pelana. Karleen menatap tidak percaya.
“Hei! Itu milik orang lain!”sahut Karleen. Lagi-lagi Conrad tertawa kecil.
“Ini milikku, ayo naik Karleen!” Conrad mengulurkan tangan kirinya. Masih dalam posisi yang tadi, Karleen takut-takut menerima uluran tangan Conrad. Karleen sedikit kesulitan memposisikan duduknya karena dia sedang memakai gaun. Untung saja dia memakai celana panjang sebagai dalamannya.
Baru pertama kali bagi Karleen naik kuda bersama orang yang baru ditemuinya dua kali. Tanpa persetujuan Karleen, Conrad memacu kuda dengan kecepatan tinggi. Karleen yang hampir terjungkang, reflek mengalungkan kedua lengannya pada pinggang Conrad. Conrad yang awalnya kaget dengan perlakuan Karleen yang tiba-tiba sekarang malah merasa nyaman. Dengan sengaja dia semakin menambah kecepatan. Karleen memeluk erat pingang Conrad.
“Hei! Sekarang sedang musim dingin, nanti kita bisa tergelincir jika laju-laju!”
Hanya butuh lima belas menit untuk mereka sampai di sebuah danau. Karleen hanya sekali ke mari saat masih kecil. Waktu itu dia dibawa orang tua angkatnya untuk berkeliling desa.
“Wah! Sangat menakjubkan!” Kagum Karleen melihat pemandangan sekitar. Rasa takut dan kalut selepas membaca buku tadi mendadak hilang. Dia bisa merasakan dirinya menjadi sangat tenang. Karleen merentangkan tangannya. Dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Meskipun pemandangannya berbeda dengan yang dia lihat sewaktu kecil, Karleen sangat senang. Dia belum pernah melihat danau beku seperti ini.
Karleen memerhatikan kuda yang mereka tunggangi tadi dengan khawatir. “Hhmm, Conrad. Apa kudamu tidak apa-apa?”
“Tenang, dia sudah sangat terlatih. Kau tidak perlu cemas,” balas Conrad. Mereka diam dalam pikiran masing-masing. Karleen tidak henti-hentinya mengagumi pemandangan ini. Dia bersenandung pelan. Conrad yang mendengarnya, mulai berbicara.
“Kau sangat mirip dengan adikku,” ucap Conrad yang berhasil menarik perhatian Karleen dari pemandangan.
“Benarkah? Apanya yang mirip? Kemarin kau berkata aku mirip dia dari belakang, huh?”
“Entahlah, dari segi fisiknya memang mirip. Tetapi untuk mental, adikku tidak sekuat dirimu.” Conrad mengakhiri ucapannya dengan nada yang sedih
“Hhmm, mungkin kelihatannya adikmu tidak sekuatku. Kelihatannya saja, padahal kau belum mengenalku dengan baik. Eh, sebentar. Darimana pula kau tahu kalau mentalku kuat?”pupil Karleen membesar.
“Hanya menebak saja, tetapi ternyata kau itu penakut dan parnoan.” Conrad tertawa kecil.
“Jangan mengejek, aku itu anaknya sangat imajinatif. Semua hal akan langsung kubayangi jika perlu. Makanya aku sangat senang membaca,”jelas Karleen. Conrad hanya mengangguk saja. Dia sudah mengenal Karleen meski baru bertemu dua hari saja. Dan dia juga sudah menganggap Karleen seperti adiknya.
“Omong-omong Conrad, kau tidak memakai jubahmu yang kemarin?” Karleen memerhatikan Conrad dari ujung kaki hingga kepala.
“Tidak, itu seragam kerjaku. Untuk apa aku memakai seragam seperti itu di hari libur.”Mulut Karleen membentuk huruf o.
“Jadi kau bekerja di mana? Aku belum pernah melihat orang yang berseragam seperti milikmu. Atau jangan-jangan kau ini bukan orang sini, ya?”tanya Karleen menyelidik.
“Memang bukan Karleen, aku ke sini hanya untuk mengunjungi saudara. Besok aku akan pergi.” Conrad berharap jawaban ini dapat mengalihkan Karleen dari pertanyaannya mengenai pekerjaan.
“Hah? Pergi?”alis Karleen naik. Dia tidak tahu mengapa rasanya ingin marah dan sedih.
“Jangan mengada-ada Conrad, kita baru dua hari bertemu masa kau harus pergi,” ujur Karleen terdengar kesal. Conrad menatap Karleen dengan lembut.
“Tempatku bukan di sini Karleen. Lagi pula seterusnya kita tidak akan bertemu. Bukankah kau akan senang jika tidak bertemu denganku?”
“B-bukan seperti itu, kemarin kita baru saja berjumpa dan kita sama-sama tidak mengenal satu sama lain. Dan sekarang, aku kira aku sudah mengenalmu dan ingin mengenalmu lebih jauh.” Karleen tidak tahu mengapa dia berkata seperti ini.
“Jangan salah paham, karena kau bilang aku mirip dengan adikmu aku jadi berpikiran ingin memiliki saudara juga.” Ucapan Karleen terdengar sedih. Pasti menyenangkan memiliki saudara yang keren dan pengertian seperti Conrad.
“Baiklah, adik.” Conrad mencoba menggoba Karleen.
“Eh? Apa yang kau bilang tadi?”
“Berbicara kepada orang yang lebih tua harus sopan. Kau harus memanggilku kakak!”perkataan Conrad terdengar seperti perintah bagi Karleen. Karleen yang mendengar itu merasakan hangat dalam tubuhnya. Dari dulu dia sangat iri kepada Lisette dan Edwyn yang sama-sama memiliki saudara yang lebih tua dari mereka.
“Jadi, apa boleh aku memanggilmu kakak?”tanya Karleen dengan nada lembut. Conrad menjawab dengan anggukannya.
“Apa adikmu tidak akan keberatan? Maksudku, adikmu pasti akan tersinggung jika ada orang lain yang memanggilmu kakak.” Karleen tidak ingin menyinggung adik Conrad meski tidak lagi berada di dunia.
“Tidak masalah. Aku yakin dia tidak akan keberatan. Dari dulu dia menginginkan teman dekat untuk menghabiskan waktu bersama dengannya. Hanya saja, sampai akhir waktunya dia tidak memiliki teman dekat untuk menemaninya.”
“Ah, maafkan aku. Kau tidak perlu meneruskan berbicara tentang hal itu. Tidak semua orang akan nyaman berbicara mengenai hal pribadi yang bersifat sensitif kepada orang lain,” ucap Karleen seraya memandang Conrad dari samping. Tubuh tunjang Conrad membuat Karleen harus mendongakkan kepalanya dengan ekstra. Senyum tipis terukir di sudut bibir Conrad. Karleen tidak bisa memahami arti senyuman itu.
“Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku, Karleen.” Conrad memutar kepalanya memandang Karleen.
“Tidak perlu berterima kasih. Terima kasih telah menceritakan sedikit tentang adikmu.”
“Sedikit?” Conrad memberi tatapan bingung kepada Karleen.
“Iya, sedikit. Kau berhutang menceritakan banyak hal kepadaku, Conrad!”tukas Karleen. Entah dari mana timbul keberanian untuk mengatakan hal seperti itu kepada Conrad.
“Baiklah, aku berjanji akan menceritakannya padamu. Tapi tidak untuk tahun ini. Ini sudah hampir akhir tahun, aku tidak akan menjamin akan menjumpaimu dalam waktu dekat.”
“Setidaknya kau sudah berjanji. Aku akan menagihnya kapan-kapan. Satu yang harus kau lakukan Conrad.” Manik mata mereka bertemu.
“Apa itu?”
“Jangan melupakanku,”jawab Karleen. Tanpa terasa pipinya memerah. Dia kemudian menundukkan kepalanya.
“Harusnya aku yang berkata seperti itu kepadamu. Mana mungkin aku akan melupakan Karleen si Penakut.”Perkataan Conrad diakhiri dengan tawa mengejek. Karleen yang kesal meninju lengan atas Conrad dengan keras.
“Au! Karleen sakit tahu!”rengek Conrad. Karleen menjulurkan lidahnya ke arah Conrad. Dia berjalan meninggalkan Karleen dengan langkah kaki yang dibuat-buat.
“Karleen kau marah kepadaku?” Conrad mengejar Karleen yang sudah berjalan menjauh. Saat sudah tiba di dekat Karleen, Conrad mengetahui dengan jelas Karleen kedinginan. Dia melepaskan jaketnya dan memakaikannya ke badan Karleen.
“Eh? Kau tidak perlu seperti ini!” protes Karleen yang hendak melepaskan jaket Conrad. Namun sebelum itu terjadi Conrad menahan jaket itu dengan memposisikan kedua tangannya ke bahu Karleen.
“Jangan dilepas atau tanganku akan menahannya di bahumu.” Kata-kata Conrad terdengar seperti ancaman. Karleen tertawa.
“Baiklah, Kak!” jawab Karleen senang. Jaket Conrad sangat kebesaran di badan Karleen yang lebih kecil dibandingkan Conrad. Badannya menjadi sangat hangat dan nyaman. Mereka berniat lebih lama di sana sebelum perut Karleen mengamuk kelaparan.
“Ayo kita kembali. Kali ini kau yang menunggang kudanya, ya!”Conrad mendekati kuda berwarna cokelat itu dan mengelus surainya.
“Wah, kau ingin mati muda, ya? Mana bisa aku membawa kuda itu,”tolak Karleen mentah-mentah.
“Bukan membawa, tapi menunggangi.”Conrad membenarkan ucapan Karleen. Karleen tampak berpikir dan mengiyakan perkataan Conrad.
“Oh, iya. Maksudku itulah.” Karleen tidak mau bertemu dengan tatapan Conrad. Conrad tanpa aba-aba sudah naik dan duduk ke atas pelana. Dia mengarahkan, Apsel, kudanya untuk memutari Karleen.
“Ayo naik kau di depan, akan kuajari untuk menunggangi kuda. Bukannya seorang prajurit harus pandai menunggangi kuda?”
“Darimana kau tahu aku ingin menjadi prajurit?”
“Ibumu yang menceritakannya kemarin. Dia terlihat sangat senang dan bangga. Sejujurnya aku kaget mendengarkan cerita ibumu mengenai dirimu.”
“Ceritaku tentang apa?” Karleen memberi tatapan menyelidik. Tidak mungkin ibunya menceritakan kenakalannya waktu kecil kepada Conrad.
“Berkelahi.”
Karleen menatap tumpukan salju yang berwarna putih. Dia merasa malu Conrad mengetahui sisi nakalnya sewaktu kecil. “Hei, ayo naik. Kasihan Apsel sudah tidak sabar untuk dibawa gadis sepertimu.”
“Oh, namanya Apsel? Berarti dia laki-laki?” Karleen terlihat bersemangat. Dia mengelus kepala Apsel yang dibalas dengan Apsel dengan menduselkan kepalanya pada badan Karleen.
“Sepertinya dia menyukaimu, Karleen. Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo naik!”
Karleen tampak takut-takut. Dengan bantuan Conrad dia mampu mengendalikan tali leher kuda. Mereka menunggangi dengan kecepatan konstan. Karleen tidak menyangka menunggang kuda itu tidak sesulit yang dia bayangkan. Meskipun dia sudah pernah menunggang kuda pertama kali saat tes militer, rasanya sangat berbeda jika menunggang kuda di tempat yang luas. Conrad sudah melepaskan tangannya dari genggaman tangan mereka. Sudah sepuluh menit mereka di perjalanan. Tinggal lima menit lagi mereka akan sampai di desa, Karleen yang tidak ingin melewatkan pelajaran pertamanya ini, sengaja memutar arah. “Karleen, kau hendak kemana?”protes Conrad. “Apa aku boleh mencari rute lain agar aku bisa belajar lebih lama?” suara Karleen terdengar memohon. Conrad yang tidak bisa melihat ekspresi Karleen sekarang, berpikir sebentar. “Baiklah, jika kau tidak keberatan mendengar suara perutmu yang terdengar seperti berantam.”Karleen berteriak senang. “Yuhu, Apsel. Kalau kau lelah bilang, ya?”Karleen melaju sedik
Edwyn dan Lisette telah kembali ke rumah. Setelah Conrad mengenalkan diri kepada mereka, Edwyn meminta maaf kepada Conrad dan Karleen. Kini tinggal mereka berdua. Apsel telah kenyang dan tampak berenergi lebih. Hari sudah menjelang sore. Karleen dan Conrad berdiri saling berdiam-diaman. Tidak ada yang berniat memulai percakapan. Sampai Conrad berpikir ini adalah saat yang tepat untuk berpamitan kepada Karleen. "Karleen," panggil Conrad dengan suara bassnya. "Ya?" jawab Karleen tanpa melihat ke arah Conrad. Karleen memainkan kakinya, menggesek sol sepatunya ke atas tumpukan salju yang masih tipis. "Aku ingin berpamitan sekarang." "Eh? Cepat sekali? Bukankah kau akan pergi besok?" Conrad tersenyum tipis. "Bukankah segala sesuatu itu lebih cepat lebih baik?” "Bagaimana kalau kita minum cokelat panas dulu sebelum kau kemba
“Bibi Eva! Apa kabarmu?” Karleen merenggangkan pelukannya.Bibi Eva yang menangis melangkah mundur. Dia mengelus kepala Karleen dengan lembut. “Seperti yang kau lihat sayang. Aku baik-baik saja, terlebih aku sangat senang bisa bertemu denganmu,” jawab Bibi Eva dengan suara yang sedikit bergetar. Karleen bisa merasakan kesenangan dan kesedihan dari suara Bibi Eva.“Bagaimana kabarmu sayang? Kau tumbuh dengan sangat cantik,”puji Bibi Eva. “Aku sangat baik, Bi. Terima kasih Bi!” Karleen memperlihatkan senyum terbaiknya kepada Bibi Eva. Edwyn dan Lisette berdiri canggung melihat Karleen dan Bibi Eva.“Ah, apakah mereka sahabatmu?”tanya Bibi Eva sambil menunjuk Edwyn dan Lisette yang berdiri tepat di depan kereta kuda.“Iya Bi. Mereka sahabatku sejak umur 7 tahun. Mereka juga teman pertamaku di lingkungan baru,” jawab Karleen de
Karleen dan Warren sama-sama terdiam. Mereka tidak melanjutkan pembicaraan tadi karena Karleen enggan bertanya duluan. Dia menunggu-menunggu untuk Warren mengajaknya berbicara lagi. Suasana semakin canggung saat perut Karleen meronta kelaparan. Kruuuk Karleen menutupi perutnya dengan kedua tangannya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan malu. Dari sudut matanya, dia dapat melihat Warren melirik ke arahnya sebentar. “Apa kau lapar?” Pertanyaan Warren hanya mendapat jawaban anggukan dari Karleen. “Kalau begitu ayo ikut aku. Jika Bibi Eva sedang kedatangan tamu, pasti dia akan masak besar.” Warren sudah berdiri duluan. “Kau mengenal Bibi Eva?” dalam keadaan masih duduk Karleen mendongakkan kepalanya menatap Warren yang tunjang. Melihat Warren seperti ini seakan mengingatkannya pada seseorang. Karleen tidak yakin dimana dia melihat seseorang seperti
Karleen ingin cepat sampai di rumah karena hari sudah mulai gelap. Dia berjalan melewati jalan pintas. Jalan pintas ini berada di pemukiman yang tidak dipenuhi oleh penduduk. Karleen berlari berharap agar dia sampai di rumah tepat waktu. Di tengah perjalanan, dia dihadang oleh seorang bapak.-bapak.“Tuan? Apakah anda baik-baik saja?” Karleen tampak sedikit khawatir dengan bapak itu yang wajahnya sangat pucat. Bapak itu mengangguk dengan perlahan.“Apakah anda membutuhkan sesuatu?” Karleen tampak kasihan dengan bapak itu. Bapak itu menggeleng dengan pelan. Gerakannya seperti patah-patah.“Kalau begitu, saya pergi dulu,” kata Karleen berusaha berjalan meninggalkan bapak itu. Belum sempat kaki Karleen melangkah sempurna, tangan Karleen dicengkram dengan kuat oleh bapak itu.“Astaga! Apa-apaan anda!” Karleen berusaha melepaskan cengkraman bapak itu. D
Karleen berjalan terseok-seok ke luar dari ruangan itu. Dia sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Lorong yang panjang dan bersih. Karleen tidak bisa berpikir sedang berada di mana dia. Tangan kiri Karleen menahan ke dinding dan dia berjalan dengan pelan. Dia menggerek kakinya perlahan.Warren dan Gunther tampak berdiri berhadapan di depan jendela besar. Warren melihat kedatangan Karleen. Dia berlari mendekati Karleen dengan ekspresi yang tidak bisa Karleen tebak.“Astaga! Maafkan aku, seharusnya aku menunggumu di depan ruangan itu.”“Ah! Kenapa kau minta maaf? Aku tidak apa-apa,” jawab Karleen ramah.“Sejak kapan kau berbicara dengan informal kepada Kapten?” Gunther memandang Karleen dengan tatapan misterius.“Hahahah, sejak tadi.” Karleen beralibi.“Kapten, bisa kau jelaskan ini? Bahkan untuk mendapatkan kepercayaanmu untuk berbicara tidak formal membutuhkan bertahun-tahun. Dia, perempuan yang baru kau kenal berbicara seperti itu apa kau tidak kesal?” Gunther terlihat sedik
“Lisette, apa boleh kau temani aku dulu di sini?”Karleen memohon dengan tatapan yang memelas. “Tenang Karleen. Aku akan selalu di sini sampai kau tertidur,” jawab Lisette. “Kau tahu Lisette, aku sangat takut semalam. Aku pikir aku akan mati.” “Karleen, kau tidak mungkin mati karena luka seperti itu. Mungkin kau pingsan karena terkejut ditabrak kuda. Aku yakin dalam dua hari kau akan benar-benar sembuh.” Karleen tersenyum riang mendengarnya. “Terima kasih, Lisette cantik!” “Hmm, Karleen.” “Iya, Lisette?” Jari telunjuk Lisette mengarah kepada jaket hitam yang digantung dengan hanger di depan lemarinya. “Apakah itu jaket orang yang di panti asuhan kemarin?” Karleen mengangguk. “Kenapa tidak langsung kau lipat saja?” Lisette bertanya setelah menujuk jaket milik Warren. “Ah, itu kemarin aku belum sempat melipatnya,” jawab Karleen dengan jujur. “Aku akan mengembalikannya saat kita akan pindah ke asrama militer.” “Kenapa begitu? Memangnya apa hubungan laki-laki itu dengan militer?”
Karleen terperanjat dari tidurnya. Dia memijat pelipisnya dengan pelan. Mimpi aneh yang masih tergambar jelas di ingatannya, membuat Karleen bergidik ngeri. “Alih-alih aku takut mendapatkan mimpi buruk karena telah diserang demon, aku malah bermimpi mengenai Warren. Ini pasti karena aku selalu terbayang-bayang olehnya. Ah, lukaku!” Karleen melihat lengan kanan dan kakinya secara bergantian. Luka itu telah hilang. Tidak ada satu pun goresan yang tersisa. Karleen yang mengira ini hanya halusinasi semakin berpikiran aneh. “Apa jangan-jangan luka itu hanya halusinasi saja? Atau sebenarnya demon itu tidak ada? Dan semalam itu aku hanya pingsan dan bermimpi buruk kemudian aku ditolong oleh Warren dan Gunther? Atau jangan-jangan aku sudah gila?” Karleen tertawa untuk menenangkan dirinya. Dia mengambil kotak obat di atas nakas kamarnya. Dia membalut kembali bagian terluka dengan perban yang bersih. Tidak mungkin Karleen memberi tahu hal yang tidak masuk akal ini kepada orang tuanya. Karle
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja