“Sini, aku antarkan sampai ke depan rumahmu.” Karleen menatap Conrad tidak percaya. Sejujurnya Karleen mempunyai insting bahwa Conrad adalah orang yang baik. Namun, tingkahnya saat ini sedikit ganjil karena mereka baru saja bertemu.
“Serius, kau tidak perlu melakukannya untukku. Rumahku pas di sebelah sana. Kau bisa melihatnya dari sini. Di sebelah rumahku ada toko roti keluarga kami.” Jari telunjuk Karleen mengarah ke sebuah rumah yang memiliki atap yang berbeda dari yang lain. “Kau juga bisa lihat di jalan ini tidak sesepi jalan yang lain, karena rumahku tidak berada di gang belakang.” Penjelasan Karleen membuat Conrad menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, Karleen. Maupun kau menolak tawaranku aku akan tetap mengikutimu,”kata Conrad melirik ke Karleen. “Kenapa? Tujuannya apa? Aku rasa kau tidak boleh bertingkah berlebihan seperti ini.” Tatapan Karleen berubah menjadi dingin.
“Hei, jangan salah paham dulu. Aku ingin ke toko roti keluargamu. Aku merasa sedikit lapar.” Conrad menepatkan tangan kanannya ke atas perutnya.
“Huh, baiklah. Ayo kita jalan.” Karleen melangkahkan kakinya terlebih dahulu. Saat tiba di depan pintu toko, Karleen mempersilahkan Conrad untuk masuk. Karleen tidak lupa menyapa ibunya. Setelah itu dirinya pamit masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri.
Setelah beberapa menit, Karleen selesai membersihkan diri. Dia masuk ke toko roti melalui pintu samping yang terhubung dari rumah ke toko. Dari ujung pintu dia bisa melihat Conrad berbincang-bincang dengan ibunya.
“Karleen, bagaimana tesnya?” Nyonya Becker bertanya seraya memberikan secangkir cokelat panas kepada genggaman Karleen. “Ah, terima kasih Ibu!”Karleen tersenyum dan menggenggam cangkirnya dengan erat. Rasa hangat menjalar dari telapak tangannya.
“Tidak sulit, Bu. Aku berhasil melalukannya sebelum ambang waktu yang diberikan. Kami semua tidak merasa kesulitan sama sekali,” jelas Karleen.
“Sepertinya sebentar lagi kita akan mendapatkan berita baik.”Karleen tersenyum lebar sampai matanya sedikit menyipit. Dia merasa senangg orangtua angkatnya sangat mendukung Karleen untuk menjadi seorang prajurit. “Semoga saja, Bu!”
Conrad yang duduk di seberang mereka hanya mendengarkan percakapan anak dan ibu itu tanpa berniat memberi komentar. Conrad sudah selesai menghabiskan keik cokelat dan teh melati. Dia juga telah membayar cemilan yang dia makan. Conrad beranjak dari duduknya.
“Eh, nak Conrad sudah mau pulang?”tanya Nyonya Becker. Karleen yang mendengar pertanyaan ibunya itu spontan menatap ibunya dan Conrad bergantian. Sejak kapan ibunya bisa dekat dengan orang baru secepat ini?
“Iya, nyonya. Lagi pula sebentar lagi malam,” jawab Conrad.
“Kalau tidak keberatan, nak Conrad ingin makan malam bersama?”Tawaran Nyonya Becker sukses membuat Karleen terkejut. Dia tersedak cokelat panas yang sudah menjadi hangat.
Conrad terlihat menimbang-nimbang tawaran Nyonya Becker. Dia tidak mungkin menolak kebaikan orang lain. “Baiklah Nyonya, terima kasih banyak.” Conrad duduk kembali.
“Kalau begitu, ibu masuk ke dalam ingin menyiapkan makan malam. Ayahmu akan pulang terlambat karena ada urusan di pabrik.” Karleen meletakkan cangkir kosong ke atas meja.
“Oh, begitu Bu. Kalau begitu aku akan membantu ibu memasak.” Karleen memang selalu membantu ibunya memasak, tetapi dia punya firasat bahwa dia akan ditinggalkan berdua dengan Conrad. Dia tidak mau nanti merasa canggung di hadapan Conrad.
“Tidak perlu Karleen. Kau sudah bekerja keras hari ini. Jadi santai saja, ya! Temani Conrad untuk berbincang,”ucap Nyonya Becker yang kemudian berjalan meninggalkan toko.
“Baiklah, ibu.”Karleen terlihat sebal. Dia menunduk dan mengembungkan kedua pipinya bergantian. Conrad yang sedari tadi memperhatikan Karleen tertawa kecil.
“Kenapa kau ketawa? Ada yang lucu, ya?”
“Iya, ada. Kau,” jawab Conrad dengan santainya. Karleen merasakan pipinya memanas.
“Huh, lucu apanya?”Karleen mengatur dirinya agar tidak malu.
“Pipimu tadi seperti tupai. Sangat menggemaskan.” Conrad menjawab dengan tertawa. Karleen tidak bisa menahan dirinya saat melihat Conrad tertawa. Dia tersenyum tipis.
“Aku tidak tahu itu sebuah pujian atau cibiran,”kata Karleen memandang Conrad yang sudah selesai tertawa. “Terserah kau ingin memandangnya seperti apa. Yang pasti kau itu lucu dilihat dari segi manapun,”goda Conrad. Karleen seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia menatap Conrad heran.
“Conrad, sejujurnya aku tidak mempercayaimu tadi. Aku mengira kau itu orang jahat. Karena gerak-gerikmu tadi sangat mencurigakan.” Perkataan Karleen membuat Conrad terkekeh.
“Aku akui tingkahku tadi memang bisa membuat semua orang curiga. Maafkan tingkah impulsifku, aku tiba-tiba teringat dengan adikku karena dari belakang kau sangat mirip dengannya,”respon Conrad dengan nada sedih. Karleen sedikit terkejut.
“Kalau kau berkenan menceritakannya kepadaku. Adikmu di mana? Kenapa kau teringat adikmu saat melihatku?” tanya Karleen dengan hati-hati.
“Adikku sudah pergi. Aku yakin dia sudah bahagia di sana.” Karleen membulatkan matanya.
“Ah, maafkan aku. Tidak seharusnya aku menanyakan hal itu.”
“Tidak masalah. Aku senang bisa menceritakannya padamu,” kata Conrad dengan tatapan yang sendu. Karleen bisa melihat rasa kehilangan dari bola mata Conrad.
“Jadi, kau mengawasiku diam-diam agar aku aman berjalan sampai rumah karena aku terlihat mirip adikmu dari belakang?”
“Iya, postur tubuhmu mirip dengannya. Bahkan cara berpakaian dan model rambutmu juga sama. Hanya saja kau, terlihat lebih can- maksudku lebih kuat darinya.” Karleen mengerti. Conrad melihat dirinya mirip dengan mendiang adiknya.
“Apa kau merindukannya?”tanya Karleen. Dia tidak menyangka akan bertanya seperti itu. “Sangat, aku sangat merindukannya.” Conrad menjawab dengan suara yang sedikit bergetar. Karleen cemas Conrad akan menangis, dia berinisiatif meraih tangan kanan kiri Conrad yang berada di atas meja. Dia menggenggam pelan. Tangannya sedikit dingin.
Tatapan Conrad yang awalnya mengarah ke bawah, berubah menjadi ke arah tangan mereka yang saling menyentuh. Dengan pelan Conrad menautkan jari-jarinya kepada tangan kanan Karleen. Karleen membesarkan matanya karena kaget dengan gerakan tiba-tiba Conrad. Namun, dia membalas tautan itu dan memberi senyum hangat kepada Conrad.
“Aku mungkin tidak bijak dalam memberi kata-kata yang bagus. Tapi aku bisa menilai bahwa kau adalah orang yang baik. Kau telah menjadi kakak yang baik untuk adikmu. Adikmu pasti bangga memiliki kakak sepertimu.”Ucapan Karleen membuat Conrad terlihat lebih hidup.
“Terima kasih banyak, Karleen.” Conrad melepaskan tautan tangannya karena dia sadar telah memegangnya cukup lama. Karleen dengan kikuk menyembunyikan tangan kanannya ke bawah meja. Tidak lama berselang, Nyonya Becker memanggil mereka berdua masuk ke dalam. Sebelum itu, Karleen tidak lupa untuk menutup tokonya sebentar. Dengan membalikkan papan di depan pintu menjadi tulisan tutup.
Nyonya Becker menyambut mereka dengan senyuman hangat. Conrad membalas senyuman ibunya Karleen dengan lebar. Sudah lama sekali dia tida makan bersama dengan keluarganya semenjak kepergian adiknya. Conrad dan Karleen duduk bersebelahan, sedangkan Nyonya Becker duduk di seberang mereka.
Mereka berdoa dan menyantap hidangan makan malam dalam keheningan. Tidak butuh waktu lama mereka bertiga berhasil menghabiskan eintopt dan sauerbraten. Nyonya Becker membersihkan meja dan kembali lagi ke dalam toko. Karleenlah yang membersihkan bekas peralatan makan yang mereka gunakan. Karena merasa tidak enak, Conrad membantu Karleen di dapur.
“Karleen,biar aku yang membilasnya.”Conrad mengambil piring yang dipenuhi dengan busa. Karleen tidak menjawab dan lanjut membersihkan semua bekas peralatan makan. Setelah semua selesai, Karleen dan Conrad kembali ke toko. Nyonya Becker tampak sibuk memasukkan beberapa roti ke dalam kantung kertas. Lalu menghampiri Karleen dan Conrad yang duduk.
“Nak Conrad, silakan dibawa pulang,”tawar Nyonya Becker. Conrad terkejut, dia tidak menyangka keluarga Becker sangat baik kepada orang yang baru mereka kenal.
“Wah! Terima kasih banyak Nyonya. Berkat anda, hari ini saya sangat kenyang dan senang,”kata Conrad sopan seraya mengalihkan pandangannya ke arah Karleen.
Karleen hanya diam memerhatikan ke luar. Jalanan tampak sepi dan hujan salju mulai turun lagi. “Nak Conrad jika kau pulang sekarang. Takutnya hujan salju semakin lebat. Hati-hati di jalan, ya!” Nyonya Becker berkata dengan nada yang sedikit cemas sambil melihat ke luar.
“Terima kasih banyak, Nyonya. Anda sangat baik kepada saya. Saya pamit dulu, semoga Nyonya senantiasa diberi kesehatan dan kebahagiaan.”Conrad berkata sambil sedikit menunduk. Dia memeluk kantung kertas berisi roti di depan perut.
“Kapan-kapan mampir ke sini lagi ya, Nak!”kata Nyonya Becker ramah. Conrad mengangguk dan beranjak dari kursi diikuti oleh Karleen. Dia mengantar ke luar pintu.
“Hhmm, Conrad. Rumahmu di mana?”tanya Karleen setelah mereka berdua ke luar dari toko.
“Jauh dari sini, aku pergi dulu ya?”Conrad melambaikan tangannya kea rah Karleen. Karleen membalas dengan berkata hati-hati. Saat Conrad sudah pergi meninggalkan gang rumahnya, Karleen berlari menyusul Conrad. Dengan napas terengah, dia memanggil Conrad.
“Conrad!”panggil Karleen. Conrad reflek berbalik dan tersenyum.
“Ada apa, Karleen? Kau sudah merindukanku?” goda Conrad yang melangkah mendekati Karleen. Karleen melotot membalas kekehan Conrad.
“Anu, apakah setelah ini kita bisa bertemu?” tanya Karleen. Dia merasa sedikit sedih. Entah mengapa dia merasakan hal ini. Insting Karleen berkata bahwa Conrad akan membantunya untuk menemukan apa yang ingin dia cari.
“Besok akan kupastikan kita akan bertemu. Kau tidak perlu cemaskan itu, masuklah kembali. Kau kelihatan sangat kedinginan.” Conrad mengisyaratkan Karleen untuk kembali ke rumah dengan menggerakkan tangannya.
“Kau berjanji?”Karleen ingin memastikan dia akan kembali bertemu Conrad.
“Janji. Sekarang kau kembali ke rumahmu, ayo sana!” Conrad kembali mengayunkan tangannya. “Baiklah, hati-hati Conrad! Sampai jumpa besok!”Karleen berlari dengan kencang. Dia merasa sedikit lega mendengar jawaban Conrad.
Mulut Conrad melengkung membentuk senyuman. Dia tidak menyangka pertemuan pertamanya dengan Karleen akan semulus ini. Dia mengharapkan ke depannya Conrad akan bisa mengawasi Karleen dari dekat maupun jauh. Conrad memastikan tidak ada orang di sekitarnya, kemudian dia menjentikkan jari dan seketika badan Conrad berpindah tempat menuju lokasi tujuannya.
***
Pagi-pagi sekali Karleen bangun dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Setelah membantu ibunya menyiapkan adonan, dia pamit untuk pergi ke perpustakaan di desa. Firasat Karleen tidak banyak informasi yang akan dia dapatkan jika mengharapkan perpustakan di desa. Karleen yang hari ini menggunakan gaun sederhananya tampak anggun. Dia menjalin rambut hitam legamnya menjadi dua jalur. Jarinya bertautan dengan buku-buku yang berjejer rapi di rak.
Karleen melenguh kesal. Setelah berjam-jam menyusuri rak-rak dia tidak menemukan buku yang ingin dia baca. Dia duduk di tepian perpustakaan dengan kepala menghadap ke langit-langit ruangan. Matanya memindai turun. Ada satu buku yang menarik perhatian Karleen. Buku berwarna biru muda yang sangat berbeda dengan buku lain. Jarang sekali Karleen melihat buku berwarna terang. Rasa penasarannya keluar. Dia harus sedikit melompat untuk mengambil buku itu karena buku itu berada di rak kedua dari atas.
Jarinya mengelus permukaan sampul buku. Bagian dari judul buku itu menimbul. Karleen menganga saat dia menyentuh judul buku karena mengeluarkan cahaya. Dia menengok ke sekelilingnya berharap tidak ada orang lain yang melihat cahaya itu. Karleen kesusahan saat ingin membuka buku itu. Seperti ada lem yang menempel pada setiap lembarnya. Dengan sekuat tenaga dia membuka buku itu. Namun, tidak kunjung berhasil. Karleen menyerah dan meletakkan buku itu agak jauh dari tempatnya duduk. Dia sedikit frustasi.
Karleen menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangannya. Dia memainkan kakinya. Masih dalam perasaan kesal akibat buku yang ingin dibacanya tidak ada dan buku yang mencuri perhatiannya malah tidak bisa dibuka, Karleen memutuskan untuk beristirahat sebentar. Dia berencana akan melanjutkan pencarian buku itu nanti. Buku yang menjelaskan tentang makhluk mitologi, demon. Padahal dia ingat betul bahwa kakek Weber pernah bilang dia bisa membaca lengkap asal usul demon dari buku yang ada di perpustakaan.
Dia juga berniat mencari buku yang membahasas tentang batuan. Karena liontin dari kalung peninggalan orang tua kandungnya adalah batu rubi. Karleen berharap setidaknya kalung itu memiliki arti yang bermakna. Tidak sekadar kalung biasa. Dalam tidurnya, Karleen tidak menyadari ada sosok yang mendekatinya.
Plop
Bunyi seperti air yang bergerak karena terkena benda kecil terdengar di samping Karleen. Karleen yang tidak benar-benar terlelap mendengar bunyi itu dan mencari sumber suaranya. Tidak ada apapun. Dia berpikir bahwa telinga salah mendengar saja. Namun, secara tiba-tiba buku berwarna biru yang mencuri perhatian Karleen berada tepat di wajahnya. Seperti ada yang menyodorkan buku itu dari belakangnya. Dengan hati-hati Karleen mengintip siapa yang menyodorkan buku itu.
“Conrad!” panggil Karleen senang. Conrad meletakkan buku itu ke atas meja dan duduk di samping.
“Kesulitan membuka buku ini, huh?” tanya Conrad dengan tawa kecil. Karleen tersenyum malu. Dia baru menyadari bahwa Conrad yang baru dia temui dua kali ini, adalah orang yang mudah tersenyum.
“Betul sekali. Daritadi aku mencoba membuka buku Mantera Ajaib yang Mudah ini dengan sekuat tenaga tidak kebuka-buka. Bagaimana caramu membuka buku ini?”Karleen penasaran dan mengambil buku ini. Tidak hanya sampulnya saja yang berwarna biru, di setiap halamannya terdapat garis indah berwarna biru. Karleen terkejut saat mencoba membaca halaman pertama.
“Hah? Tulisan apa ini?”Karleen kaget. Dia menyodorkan buku itu ke hadapannya Conrad. Conrad yang menengok ke halaman satu tidak kaget. Dia melihat dengan tatapan yang biasa.
“Mungkin itu tulisan kuno.”
“Ah, omong-omong kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Bagaimana caramu membuka buku ini?” Karleen menyerongkan badannya ke arah Conrad. Dan memberikan tatapan bingung.
“Ya, tinggal dibuka saja.” Conrad mengambil alih buku biru itu dari tangan Karleen. Menutupnya dan kemudian membuka.
“Semua orang tahu kalau buka buku yang seperti itu. Maksudku bagaimana bisa? Jelas-jelas tadi aku membuka dengan cara yang sama dan bahkan lebih kuat lagi.” Conrad tertawa melihat reaksi Karleen.
“Mungkin kau sedang lelah Karleen,”jawab Conrad dengan tatapan serius.
“Huh? Lelah bagaimana, jelas-jelas hari ini aku sangat bersemangat untuk mencari buku yang ingin kubaca. Hanya saja ya, aku tidak menemukannya meski sudah kucari berjam-jam.” Karleen memajukan bibirnya. Conrad tertawa melihat wajah Karleen yang kesal.
“Kenapa kau suka sekali tertawa sih, Conrad?”tanya Karleen penasaran.
“Itu hobi baruku,” jawab Conrad asal. Karleen menatap Conrad dengan tatapan aneh.
“Hobi yang aneh,”balas Karleen.
“Hobi baruku menertawakanmu, Karleen.”Alis Karleen bertautan mendengar perkataan Conrad.
“Hah? Memangnya aku pelawak?” tanya Karleen yang cemberut.
“Hahahaha.” Wajah Conrad terlihat sangat senang. Kemudian Conrad tersenyum simpul.
Karleen membuang napasnya kasar. Raut wajahnya masih kesal. Conrad yang sedari tadi memerhatikan dari samping hanya tersenyum saja dan tidak mengatakan apapun. “Dasar laki-laki aneh,” tukas Karleen dengan suara kecil. Sayangnya, Conrad mendengar perkataan Karleen dan meresponnya. “Iya, aku aneh setelah bertemu denganmu.” Karleen menunduk mendengar jawaban Conrad. Semburat merah muncul di pipinya. “Ah, maafkan aku Conrad aku tidak bermaksud. T-tapi kau memang aneh.”Lagi-lagi Conrad tertawa mendengarnya. “Kau ingin mencari buku apa?” Pertanyaan Conrad membuat kepala Karleen mendongak. Karleen mendekati Conrad dan membisikkan sesuatu. “Kau tidak perlu berbisik sedekat itu,”tutur Conrad. Conrad berdiri dan menyurusuri rak terdekat. Kepalanya bergerak ke arah berbeda. Karleen hanya mengikuti dari belakang. Dia juga mencari sekali lagi. Conrad terhenti di pojok rak dan mengam
Karleen tampak takut-takut. Dengan bantuan Conrad dia mampu mengendalikan tali leher kuda. Mereka menunggangi dengan kecepatan konstan. Karleen tidak menyangka menunggang kuda itu tidak sesulit yang dia bayangkan. Meskipun dia sudah pernah menunggang kuda pertama kali saat tes militer, rasanya sangat berbeda jika menunggang kuda di tempat yang luas. Conrad sudah melepaskan tangannya dari genggaman tangan mereka. Sudah sepuluh menit mereka di perjalanan. Tinggal lima menit lagi mereka akan sampai di desa, Karleen yang tidak ingin melewatkan pelajaran pertamanya ini, sengaja memutar arah. “Karleen, kau hendak kemana?”protes Conrad. “Apa aku boleh mencari rute lain agar aku bisa belajar lebih lama?” suara Karleen terdengar memohon. Conrad yang tidak bisa melihat ekspresi Karleen sekarang, berpikir sebentar. “Baiklah, jika kau tidak keberatan mendengar suara perutmu yang terdengar seperti berantam.”Karleen berteriak senang. “Yuhu, Apsel. Kalau kau lelah bilang, ya?”Karleen melaju sedik
Edwyn dan Lisette telah kembali ke rumah. Setelah Conrad mengenalkan diri kepada mereka, Edwyn meminta maaf kepada Conrad dan Karleen. Kini tinggal mereka berdua. Apsel telah kenyang dan tampak berenergi lebih. Hari sudah menjelang sore. Karleen dan Conrad berdiri saling berdiam-diaman. Tidak ada yang berniat memulai percakapan. Sampai Conrad berpikir ini adalah saat yang tepat untuk berpamitan kepada Karleen. "Karleen," panggil Conrad dengan suara bassnya. "Ya?" jawab Karleen tanpa melihat ke arah Conrad. Karleen memainkan kakinya, menggesek sol sepatunya ke atas tumpukan salju yang masih tipis. "Aku ingin berpamitan sekarang." "Eh? Cepat sekali? Bukankah kau akan pergi besok?" Conrad tersenyum tipis. "Bukankah segala sesuatu itu lebih cepat lebih baik?” "Bagaimana kalau kita minum cokelat panas dulu sebelum kau kemba
“Bibi Eva! Apa kabarmu?” Karleen merenggangkan pelukannya.Bibi Eva yang menangis melangkah mundur. Dia mengelus kepala Karleen dengan lembut. “Seperti yang kau lihat sayang. Aku baik-baik saja, terlebih aku sangat senang bisa bertemu denganmu,” jawab Bibi Eva dengan suara yang sedikit bergetar. Karleen bisa merasakan kesenangan dan kesedihan dari suara Bibi Eva.“Bagaimana kabarmu sayang? Kau tumbuh dengan sangat cantik,”puji Bibi Eva. “Aku sangat baik, Bi. Terima kasih Bi!” Karleen memperlihatkan senyum terbaiknya kepada Bibi Eva. Edwyn dan Lisette berdiri canggung melihat Karleen dan Bibi Eva.“Ah, apakah mereka sahabatmu?”tanya Bibi Eva sambil menunjuk Edwyn dan Lisette yang berdiri tepat di depan kereta kuda.“Iya Bi. Mereka sahabatku sejak umur 7 tahun. Mereka juga teman pertamaku di lingkungan baru,” jawab Karleen de
Karleen dan Warren sama-sama terdiam. Mereka tidak melanjutkan pembicaraan tadi karena Karleen enggan bertanya duluan. Dia menunggu-menunggu untuk Warren mengajaknya berbicara lagi. Suasana semakin canggung saat perut Karleen meronta kelaparan. Kruuuk Karleen menutupi perutnya dengan kedua tangannya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan malu. Dari sudut matanya, dia dapat melihat Warren melirik ke arahnya sebentar. “Apa kau lapar?” Pertanyaan Warren hanya mendapat jawaban anggukan dari Karleen. “Kalau begitu ayo ikut aku. Jika Bibi Eva sedang kedatangan tamu, pasti dia akan masak besar.” Warren sudah berdiri duluan. “Kau mengenal Bibi Eva?” dalam keadaan masih duduk Karleen mendongakkan kepalanya menatap Warren yang tunjang. Melihat Warren seperti ini seakan mengingatkannya pada seseorang. Karleen tidak yakin dimana dia melihat seseorang seperti
Karleen ingin cepat sampai di rumah karena hari sudah mulai gelap. Dia berjalan melewati jalan pintas. Jalan pintas ini berada di pemukiman yang tidak dipenuhi oleh penduduk. Karleen berlari berharap agar dia sampai di rumah tepat waktu. Di tengah perjalanan, dia dihadang oleh seorang bapak.-bapak.“Tuan? Apakah anda baik-baik saja?” Karleen tampak sedikit khawatir dengan bapak itu yang wajahnya sangat pucat. Bapak itu mengangguk dengan perlahan.“Apakah anda membutuhkan sesuatu?” Karleen tampak kasihan dengan bapak itu. Bapak itu menggeleng dengan pelan. Gerakannya seperti patah-patah.“Kalau begitu, saya pergi dulu,” kata Karleen berusaha berjalan meninggalkan bapak itu. Belum sempat kaki Karleen melangkah sempurna, tangan Karleen dicengkram dengan kuat oleh bapak itu.“Astaga! Apa-apaan anda!” Karleen berusaha melepaskan cengkraman bapak itu. D
Karleen berjalan terseok-seok ke luar dari ruangan itu. Dia sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Lorong yang panjang dan bersih. Karleen tidak bisa berpikir sedang berada di mana dia. Tangan kiri Karleen menahan ke dinding dan dia berjalan dengan pelan. Dia menggerek kakinya perlahan.Warren dan Gunther tampak berdiri berhadapan di depan jendela besar. Warren melihat kedatangan Karleen. Dia berlari mendekati Karleen dengan ekspresi yang tidak bisa Karleen tebak.“Astaga! Maafkan aku, seharusnya aku menunggumu di depan ruangan itu.”“Ah! Kenapa kau minta maaf? Aku tidak apa-apa,” jawab Karleen ramah.“Sejak kapan kau berbicara dengan informal kepada Kapten?” Gunther memandang Karleen dengan tatapan misterius.“Hahahah, sejak tadi.” Karleen beralibi.“Kapten, bisa kau jelaskan ini? Bahkan untuk mendapatkan kepercayaanmu untuk berbicara tidak formal membutuhkan bertahun-tahun. Dia, perempuan yang baru kau kenal berbicara seperti itu apa kau tidak kesal?” Gunther terlihat sedik
“Lisette, apa boleh kau temani aku dulu di sini?”Karleen memohon dengan tatapan yang memelas. “Tenang Karleen. Aku akan selalu di sini sampai kau tertidur,” jawab Lisette. “Kau tahu Lisette, aku sangat takut semalam. Aku pikir aku akan mati.” “Karleen, kau tidak mungkin mati karena luka seperti itu. Mungkin kau pingsan karena terkejut ditabrak kuda. Aku yakin dalam dua hari kau akan benar-benar sembuh.” Karleen tersenyum riang mendengarnya. “Terima kasih, Lisette cantik!” “Hmm, Karleen.” “Iya, Lisette?” Jari telunjuk Lisette mengarah kepada jaket hitam yang digantung dengan hanger di depan lemarinya. “Apakah itu jaket orang yang di panti asuhan kemarin?” Karleen mengangguk. “Kenapa tidak langsung kau lipat saja?” Lisette bertanya setelah menujuk jaket milik Warren. “Ah, itu kemarin aku belum sempat melipatnya,” jawab Karleen dengan jujur. “Aku akan mengembalikannya saat kita akan pindah ke asrama militer.” “Kenapa begitu? Memangnya apa hubungan laki-laki itu dengan militer?”
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja