“Bibi Eva! Apa kabarmu?” Karleen merenggangkan pelukannya.
Bibi Eva yang menangis melangkah mundur. Dia mengelus kepala Karleen dengan lembut. “Seperti yang kau lihat sayang. Aku baik-baik saja, terlebih aku sangat senang bisa bertemu denganmu,” jawab Bibi Eva dengan suara yang sedikit bergetar. Karleen bisa merasakan kesenangan dan kesedihan dari suara Bibi Eva.
“Bagaimana kabarmu sayang? Kau tumbuh dengan sangat cantik,”puji Bibi Eva. “Aku sangat baik, Bi. Terima kasih Bi!” Karleen memperlihatkan senyum terbaiknya kepada Bibi Eva. Edwyn dan Lisette berdiri canggung melihat Karleen dan Bibi Eva.
“Ah, apakah mereka sahabatmu?”tanya Bibi Eva sambil menunjuk Edwyn dan Lisette yang berdiri tepat di depan kereta kuda.
“Iya Bi. Mereka sahabatku sejak umur 7 tahun. Mereka juga teman pertamaku di lingkungan baru,” jawab Karleen de
Karleen dan Warren sama-sama terdiam. Mereka tidak melanjutkan pembicaraan tadi karena Karleen enggan bertanya duluan. Dia menunggu-menunggu untuk Warren mengajaknya berbicara lagi. Suasana semakin canggung saat perut Karleen meronta kelaparan. Kruuuk Karleen menutupi perutnya dengan kedua tangannya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan malu. Dari sudut matanya, dia dapat melihat Warren melirik ke arahnya sebentar. “Apa kau lapar?” Pertanyaan Warren hanya mendapat jawaban anggukan dari Karleen. “Kalau begitu ayo ikut aku. Jika Bibi Eva sedang kedatangan tamu, pasti dia akan masak besar.” Warren sudah berdiri duluan. “Kau mengenal Bibi Eva?” dalam keadaan masih duduk Karleen mendongakkan kepalanya menatap Warren yang tunjang. Melihat Warren seperti ini seakan mengingatkannya pada seseorang. Karleen tidak yakin dimana dia melihat seseorang seperti
Karleen ingin cepat sampai di rumah karena hari sudah mulai gelap. Dia berjalan melewati jalan pintas. Jalan pintas ini berada di pemukiman yang tidak dipenuhi oleh penduduk. Karleen berlari berharap agar dia sampai di rumah tepat waktu. Di tengah perjalanan, dia dihadang oleh seorang bapak.-bapak.“Tuan? Apakah anda baik-baik saja?” Karleen tampak sedikit khawatir dengan bapak itu yang wajahnya sangat pucat. Bapak itu mengangguk dengan perlahan.“Apakah anda membutuhkan sesuatu?” Karleen tampak kasihan dengan bapak itu. Bapak itu menggeleng dengan pelan. Gerakannya seperti patah-patah.“Kalau begitu, saya pergi dulu,” kata Karleen berusaha berjalan meninggalkan bapak itu. Belum sempat kaki Karleen melangkah sempurna, tangan Karleen dicengkram dengan kuat oleh bapak itu.“Astaga! Apa-apaan anda!” Karleen berusaha melepaskan cengkraman bapak itu. D
Karleen berjalan terseok-seok ke luar dari ruangan itu. Dia sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Lorong yang panjang dan bersih. Karleen tidak bisa berpikir sedang berada di mana dia. Tangan kiri Karleen menahan ke dinding dan dia berjalan dengan pelan. Dia menggerek kakinya perlahan.Warren dan Gunther tampak berdiri berhadapan di depan jendela besar. Warren melihat kedatangan Karleen. Dia berlari mendekati Karleen dengan ekspresi yang tidak bisa Karleen tebak.“Astaga! Maafkan aku, seharusnya aku menunggumu di depan ruangan itu.”“Ah! Kenapa kau minta maaf? Aku tidak apa-apa,” jawab Karleen ramah.“Sejak kapan kau berbicara dengan informal kepada Kapten?” Gunther memandang Karleen dengan tatapan misterius.“Hahahah, sejak tadi.” Karleen beralibi.“Kapten, bisa kau jelaskan ini? Bahkan untuk mendapatkan kepercayaanmu untuk berbicara tidak formal membutuhkan bertahun-tahun. Dia, perempuan yang baru kau kenal berbicara seperti itu apa kau tidak kesal?” Gunther terlihat sedik
“Lisette, apa boleh kau temani aku dulu di sini?”Karleen memohon dengan tatapan yang memelas. “Tenang Karleen. Aku akan selalu di sini sampai kau tertidur,” jawab Lisette. “Kau tahu Lisette, aku sangat takut semalam. Aku pikir aku akan mati.” “Karleen, kau tidak mungkin mati karena luka seperti itu. Mungkin kau pingsan karena terkejut ditabrak kuda. Aku yakin dalam dua hari kau akan benar-benar sembuh.” Karleen tersenyum riang mendengarnya. “Terima kasih, Lisette cantik!” “Hmm, Karleen.” “Iya, Lisette?” Jari telunjuk Lisette mengarah kepada jaket hitam yang digantung dengan hanger di depan lemarinya. “Apakah itu jaket orang yang di panti asuhan kemarin?” Karleen mengangguk. “Kenapa tidak langsung kau lipat saja?” Lisette bertanya setelah menujuk jaket milik Warren. “Ah, itu kemarin aku belum sempat melipatnya,” jawab Karleen dengan jujur. “Aku akan mengembalikannya saat kita akan pindah ke asrama militer.” “Kenapa begitu? Memangnya apa hubungan laki-laki itu dengan militer?”
Karleen terperanjat dari tidurnya. Dia memijat pelipisnya dengan pelan. Mimpi aneh yang masih tergambar jelas di ingatannya, membuat Karleen bergidik ngeri. “Alih-alih aku takut mendapatkan mimpi buruk karena telah diserang demon, aku malah bermimpi mengenai Warren. Ini pasti karena aku selalu terbayang-bayang olehnya. Ah, lukaku!” Karleen melihat lengan kanan dan kakinya secara bergantian. Luka itu telah hilang. Tidak ada satu pun goresan yang tersisa. Karleen yang mengira ini hanya halusinasi semakin berpikiran aneh. “Apa jangan-jangan luka itu hanya halusinasi saja? Atau sebenarnya demon itu tidak ada? Dan semalam itu aku hanya pingsan dan bermimpi buruk kemudian aku ditolong oleh Warren dan Gunther? Atau jangan-jangan aku sudah gila?” Karleen tertawa untuk menenangkan dirinya. Dia mengambil kotak obat di atas nakas kamarnya. Dia membalut kembali bagian terluka dengan perban yang bersih. Tidak mungkin Karleen memberi tahu hal yang tidak masuk akal ini kepada orang tuanya. Karle
Lisette menyadari perubahan air muka Karleen. Pipi Karleen bersemburat merah muda terlihat seperti buah persik. Karleen menggelengkan kepalanya dengan kencang. “Karleen, apa kau demam?” Lisette menaruh telapak tangannya di kening Karleen. “Meskipun kau tidak panas, ada baiknya kau melanjutkan istirahatmu. Kalau begitu aku pamit ya! Besok aku ke sini lagi.” Lisette mengusap kepala Karleen gemas. Dia tidak memiliki ide apa yang dirasakan Karleen barusan. “Baiklah, hati-hati! Sampai ketemu besok!” Karleen tersenyum melihat punggung Lisette yang hilang setelah pintu kamar Karleen. “Ah! Aku baru sadar bahwa minggu depan aku sudah harus berada di asrama.” Karleen berdiri dari baringnya dan membuka lemari. Dia berniat untuk memilah baju yang akan dibawanya nanti. Saat membongkar lemari, dia menemukan sebuah kotak. Karleen sudah sangat lama tidak membuka kotak tersebut. Isi kotak itu adalah kalung. Kalung berliontin batu rubi peninggalan orang tuanya. Sewaktu masih di panti asuhan, Karl
Karleen dan Conrad sudah berada di perpustakaan. Mereka mencari buku yang ingin mereka baca. Karleen terlihat sangat antusias mencari buku baru di rak depan. Sedangkan Conrad sedang berada di rak paling belakang, mencari buku biru yang pernah menarik perhatian Karleen. Dia berencana ingin menimbulkan kembali ketertarikan Karleen terhadap buku itu. Mantera Ajaib yang Mudah, Conrad sangat yakin sekali judul bukunya itu. Dia menyusuri semua rak di bagian belakang. Dengan sampul yang berwarna biru, seharusnya buku itu mudah ditemukan. Usaha Conrad sia-sia ketika beberapa menit telah berlalu dan Karleen datang menghampirinya. “Conrad? Kau belum menemukan buku yang ingin kau baca?” Karleen datang memeluk dua buku yang memiliki sampul yang mirip. Conrad sangat yakin jika buku itu novel bersambung. “Iya, Karleen. Aku kesulitan mencari buku itu.” Conrad menyandar di dinding. Dengan badannya yang tinggi, Conrad masih sibuk mencari-cari buku itu di rak teratas. Betapa senangnya Conrad ketika
Karleen membolak-balik halaman buku. Dia ingin melihat apakah ada sesuatu yang bisa memberikannya petunjuk. Setibanya di halaman paling belakang, Karleen kebingungan karena buku ini tidak pernah ada yang meminjamnya.“Kak, lihat ini! Buku ini tidak ada yang pernah meminjamnya.” Karleen memperlihatkan halaman paling terakhir itu kepada Conrad. Kartu peminjam buku ini yang ditempel pada halaman paling terakhir kosong.“Bagaimana kalau kau jadi yang pertama meminjam buku itu Karleen?”“Eh? Aku kan tidak bisa membacanya, percuma saja dong?”“Tenang, kau bisa belajar nanti. Kalau begitu ayo kita ke depan.” Conrad sudah berdiri, mengambil dua buku yang dibawa Karleen. Dari belakang Karleen hanya mengikuti langkah Conrad sambil memikirkan maksud dari Conrad yang terkesan sengaja menyuruhnya membaca buku itu.Setibanya di depan, mereka menyerahkan tiga buku kepada penjaga perpustakaan. Karleen menyerahkan kartu tanda peminjamnya kepada petugas itu. Saat petugas itu ingin menandai buku biru i
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja