Karleen bangkit dari sandarannya. Dia melepas genggaman Edwyn. Edwyn terperanjat karena mendapat perlakuan tiba-tiba dari Karleen.
“Aku rasa kau salah paham Edwyn,”balas Karleen.
“Aku ingin menjadi prajurit bukan hanya karena alasan yang kusebutkan kepada kalian tadi. Ada hal besar yang menjadi tujuanku, dengan menjadi prajurit aku akan mendapat akses dan relasi untuk mengetahui misteri tentang orang tua kandungku.”
Bola mata Edwyn dan Lisette membasar. Mereka tidak menyangka Karleen tetap gigih untuk mencari tahu kebenaran atas kedua orangtua kandungnya.
“Karleen.”Badan Lisette berhambur ke dalam dekapan Karleen. Lisette menangis. Dia tidak tahu bahwa sahabatnya ini selalu menyimpan kegigihan untuk mencari kedua orangtuanya. Lisette mengira berjalannya waktu, Karleen akan menyerah dan memutuskan untuk tidak ingin meneruskan semangat masa kecilnya untuk mencari tahu kebenaran mengenai orangtuanya.
“Maafkan aku, Karleen. A-aku tidak menjadi sahabat yang baik untukmu. Seharusnya aku tidak menghakimimu tadi. Seharusnya aku-”
“Shhh! Lisette, jangan berkata begitu. Kau sahabatku yang terbaik. Aku hanya tidak ingin membebani kalian karena aku tetap bersikeras menjadi prajurit demi orangtuaku. Ini bukan berarti aku tidak membutuhkan kalian, bukan begitu. Kalian tahu pasti bahwa mencari informasi tentang orangtuaku sangat sulit jika aku berprofesi sebagai orang biasa. Jika aku menjadi prajurit, aku bisa menggunakan berbagai alasan untuk menyelidiki berbagai tempat.”
Edwyn dan Lisette mendengar penjelasan Karleen dengan seksama. Mereka telah paham dan merasa bersalah karena tidak memahami perasaan sahabat mereka. “Mungkin kami memang tidak bisa merasakan apa yang kau rasakan Karleen. Jika aku berada di posisimu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Maafkan aku karena tidak memahami perasaanmu. Seharusnya aku dari awal mendukung tindakanmu. Setelah aku pikir-pikir, aku akan ikut bersamamu Karleen. Tidak mungkin kau berjuang sendiri di militer. Salah satu dari kami harus berjuang bersamamu dan itu aku.”
Edwyn memberikan senyum terbaiknya kepada Karleen dengan tujuan untuk meyakinkan Karleen. “Aku juga ikut. Aku akan menjadi prajurit bersama kalian juga. Meskipun aku lemah, setidaknya dalam waktu enam bulan ini aku akan belajar dan berusaha untuk meningkatkan kekuatanku,” ujar Lisette semangat.
“K-kalian?! Bagaimana mungkin kalian juga ingin ikut menjadi prajurit? Jika kalian menjadi prajurit hanya karena aku. Aku tidak akan mengizinkan kalian. Aku sangat tahu cita-cita kalian sejak kecil. Kalian tidak boleh mengubur cita-cita kalian demi membantuku,” jelas Karleen. Penjelasannya terdengar seperti memohon.
“Karleen, semua masalah akan menjadi lebih mudah jika dilakukan bersama. Aku yakin itu, tolong jangan menyuruh kami untuk mundur. Lagi pula cita-cita kami bisa kami kejar jika kau sudah mendapatkan kebenaran dari misteri orangtuamu.” Ucapan Lisette ada benarnya. Karleen menarik dan menghembuskan napasnya.
“Jika itu benar-benar yang kalian mau. Tanpa ada keterpaksaan, aku setuju. Tapi dengan satu syarat.” Karleen dengan semangat mengacungkan jari telunjuknya ke udara.
“Kalian berdua jangan mengeluh ketika Latihan ataupun ketika sudah menjadi prajurit. Janji?”Karleen mengganti jari telunjuknya dengan jari kelingking, mengarahkan secara bergantian ke Edwyn dan Lisette.
“Janji!” Sorak Edwyn dan Lisette. Mereka bertiga tertawa.
“Baiklah, kalau begitu ayo kita kembali ke toko dan mendiskusikan mengenai Latihan intens yang akan dimulai pada besok hari!”ucap Karleen lantang.
Lisette sudah dapat merasakan otot jarinya berkedut. Memikirkan bagaimana lelahnya latian untuk besok hari, apalagi dipimpin oleh si Perempuan Terkuat, Karleen.
***
Peluh membanjiri kulit Edwyn dan Lisette. Mereka tidak menyangka hari pertama akan secapai ini. Mereka mengira di awal Latihan, Karleen hanya akan memberi dasar-dasar mengenai latian fisik. Rupanya salah besar. Karleen langsung ingin mengetahui seberapa kuat mereka untuk berlari mengitari lapangan bola.
Edwyn dan Lisette berbaring di atas rerumputan. Karleen masih kuat untuk melanjutkan sesi latihannya. Dia tampak bersemangat meskipun sudah berjam-jam bergerak. Karleen bergerak dengan luwes. Dia mempelajari beladiri dengan otodidak.
"Karleen semakin keren saja. Pantas saja banyak yang menyukainya sewaktu sekolah dulu." Lisette membuka pembicaraan.
"Hhmm," gumam Edywn.
"Anak sekelas kita dulu juga banyak yang menyukai Karleen. Mereka sering bertanya mengenai Karleen kepadaku. Mereka bilang Karleen adalah perempuan tangguh yang sangat bisa diandalkan. Selain itu, Karleen juga berjiwa sosial tinggi dan pastinya juga cantik."
"Oh, begitu ya," respon Edwyn tidak semangat.
"Kau terdengar tidak semangat merespon perkataanku, Edwyn. Apa kau tidak suka aku membahas kepopuleran Karleen? Atau kau cemburu, ya?" Lisette bertanya sambil terkekeh.
"Bukan begitu, hanya saja dia. Aah, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.”
"Ayo kita makan siang!" Teriak Karleen mengagetkan Edwyn dan Lisette.
Bermenit-menit mereka habiskan untuk sampai menuju kediaman Karleen. Karleen memanggil Edwyn dan Lisette untuk makan siang bersama. Saat mereka sampai di ruang makan, wajah Edwyn dan Lisette terlihat gembira.
“Ya ampun! Karleen! Bagaimana mungkin kau membuat masakan kesukaan kami. Sudah lama sekali kami tidak makan kartoffelpuffer. Kau malah membuatkannya untuk kami tanpa bertanya sekalipunh. Kau memang yang terbaik!” Lisette berkata sambil sedikit melompat. Setelah itu dia meraih kedua tangan Karleen dan menggenggamnya.
Edwyn hanya tersenyum lebar, dia menempatkan dirinya di seberang Karleen duduk. Mereka berdoa sebelum makan dan menyantap makan siang tanpa suara. Giliran Lisette yang bekerja membersihkan peralatan makanan. Edwyn membantu mengiringkan peralatan makan. Setelah selesai, mereka bertiga duduk lesehan di ruang tengah mendiskusikan Latihan selanjutnya. Karleen pamit sebentar untuk masuk ke kamarnya dan kembali dengan membawa tumpukan buku.
Edwyn membantu mengambil buku yang dibawa Karleen dan menumpuknya di atas meja. Lisette yang pertama kali mengambil beberapa buku dan membaca judulnya. “Kiat kuat beladiri, cara bertarung yang baik, bertahan hidup di tengah hutan, membaca gerak-gerik lawan, langkah memiliki tubuh yang atletis. Sedikit membosankan,”tukas Lisette. Karleen tertawa mendengarnya. Edwyn sedang membaca buku yang bersampul kecokelatan. Dia tampak serius membaca dari halaman pertama.
“Setidaknya mereka berguna untuk menambah pengetahuan kita dalam beladiri. Aku tidak akan memaksa kalian membaca semua buku ini. Bacalah yang ingin kalian baca, jangan merasa terbebani.”Senyuman tipis mengakhiri perkataan Karleen.
“Baiklah, akan aku baca dan pelajari buku-buku ini Karleen.”Lisette mulai memilah-milah buku.
“Kalian boleh membawanya pulang dan beristirahatlah. Maafkan aku terlalu memaksa kalian Latihan berat hari ini. Kalian sudah bekerja keras hari ini!”Karleen mengucapkannya dengan nada semangat.
“Kenapa minta maaf Kar, justeru kami yang minta maaf karena tidak bersungguh-sungguh. Dan kau Karleen, adalah guru yang paling hebat!” puji Lisette dengan memberikan kedua jempolnya kepada Karleen. Karleen tertawa geli.
“Terima kasih, Lisette. Ucapanmu selalu membuatku senang!”
“Edwyn, kau ingin langsung pulang atau bagaimana?” Edwyn mengalihkan pandangannya dari buku menuju Lisette.
“Sepertinya kau duluan saja Lissie. Aku akan membaca beberapa halaman dulu baru kembali.” Edwyn melanjutkan bacaannya.
“Kalau begitu, aku pulang duluan ya? Terima kasih untuk pelajaran dan makan siang yang nostalgik.”Lisette berlari memeluk Karleen. Mereka berpelukan sebentar. Edwyn menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua sahabat perempuannya.
“Baiklah, Karleen! Aku pulang, ya!” Karleen mengantar Lisette sampai ke pinggir jalan. Dari dalam rumah, Edwyn terdengar berteriak mengatakan hati-hati kepada Lisette.
Karleen kembali ke ruang tengah dan mendapati Edwyn yang sedang membaca buku. sambil berbaring “Edwyn, duduk! Kau bisa merusak matamu jika membaca seperti itu!” Edwyn tidak mendengarkan perkataan Karleen. Dia tidak bergerak. Karleen mendekati Edwyn dan berniat merampas buku yang dipegang dengan kedua tangan. Buku yang dipegang Edwyn terlalu kuat sehingga Karleen samasekali tidak bisa mengambil alih darinya. Mereka berdua sama-sama menahan buku dengan cukup lama.
“Dasar gadis keras kepala!” Edwyn menyerah dan melempar buku itu dengan tiba-tiba. Karleen terkejut saat pegangannya pada buku itu terlepas dan badannya terhempas ke atas badan Edwyn. Untung saja Karleen memiliki reflek yang cepat sehingga dia bisa menahan badannya dengan kedua tangannya di lantai. Rambut panjang Karleen jatuh menutupi sebagian wajahnya. Badan mereka berdua menyisakan jarak beberapa senti saja. Edwyn yang terbawa suasana meraih pipi kiri Karleen dan mengusapnya pelan.
“Karleen!” Suara Nyonya Becker menggema dari ruang sebelah. Mereka berdua kaget, Karleen bangkit dan Edwyn duduk. “Iya, Bu!” Karleen menghampiri ibunya ke ruang sebelah. Bisa mereka tebak Nyonya Becker membutuhkan bantuan Karleen di toko roti mereka. Meninggalkan Edwyn sendirian di ruang tengah yang menyadari perbuatan yang baru saja dia lakukan kepada sahabatnya. Meskipun hanya menyentuh pipi Karleen, Edwyn merasa bersalah. Tidak sepantasnya dia melakukan hal seperti itu. Di sisi lain, Edwyn sulit menahan perasaan yang dimilikinya selama ini. Akan tetapi, dia takut jika Karleen mengetahui perasaan Edwyn yang sebenarnya, Karleen akan menjauh dan tidak akan menganggap Edwyn sebagai sahabatnya.
Edwyn mengacak rambut cokelat tuanya. Dia memutuskan untuk melanjutkan bacaannya dengan posisi duduk. Setelah beberapa bab Edwyn membaca buku, Nyonya Becker yang membawa nampan bersama Karleen yang membawa keranjang, mereka masuk ke ruang tengah.
“Edwyn! Ayo diminum dulu!”Nyonya Becker menyodorkan secangkir teh gandum dan beberapa potong kue kepada Edwyn.
“Ibu kembali ke toko ya!”
“Kar-”
“Ed-”
Mereka berdua saling memandang dan tertawa kecil. “Kau saja duluan,”kata Karleen.
“Ah, baiklah. Terima kasih, tapi sepertinya kau saja duluan.” Edwyn malah melakukan hal sebaliknya yang dilakukan Karleen.
“Aku? Kalau begitu, aku duluan yang berbicara. Kapan kau akan pulang?”Karleen bertanya. “Hei...”Edwyn menandai dan menutup buku itu.
“Kau tidak senang aku berlama-lama di rumahmu?” Edwyn menatap Karleen penuh serius. Dia merasa Karleen tidak nyaman akibat peristiwa tadi.
“Bukan begitu, huh. Ini sudah sore dan kau bisa lihat bahwa langitnya sedang mendung. Lebih baik kau pulang sekarang daripada nanti kehujanan.” Karleen menjawab tanpa memandang Edwyn.
“Baiklah, bu guru. Saya ingin meminjam beberapa buku ini untuk dibaca dan dipelajari, ya Bu!”Edwyn menjawab dengan penuh canda.
“Tidak lucu, Edwyn.”
“Oh, maaf. Aku tahu kau merasa kurang nyaman atas kejadian tadi. Aku tidak bermaksud mengusap pipimu. Aku minta maaf, Karleen.”Edwyn menatap Karleen dengan sendu.
“Huh? Kenapa minta maaf, aku pikir seharusnya aku yang minta maaf. Terkadang tingkahku selalu seenaknya memerintah orang lain. Maafkan aku Edwyn!” Karleen tidak sanggup membalas tatapan Edwyn. Dia membuang pandangannya ke samping.
“Tapi kau melakukannya demi kebaikan kami. Aku tidak keberatan kau menyuruh kami ini dan itu. Asal kau hanya melakukannya kepada kami saja,”jawab Edwyn.
“Benarkah? Kalau begitu, jangan menyesali perkataanmu hari ini Edwyn. Hari ini tanggal 16 Juni 1850, pukul 15 lewat 20 Edwyn Keller telah menyatakan ketersediannya untuk selalu menerima suruhan dari Karleen Becker,” ucap Karleen yang diakhiri dengan tawa.
“Hahaha, dasar Karleen! Aku tidak berjanji, lho?”
“Terserah, tapi aku akan mengingat hal ini sampai kapanpun,” balas Karleen dengan nada mengejek.
Berbulan-bulan mereka lalui dengan berbagai latihan beragam yang dipimpin oleh Karleen. Karleen sangat senang melihat progres sahabatnya yang terus membaik. Edwyn yang awalnya tidak terlalu memiliki daya tahan tubuh yang bagus sekarang malah menjadi kuat dan bahkan di beberapa sesi latihan beladiri jarak dekat, Edwyn sudah bisa mengalahkan Karleen. Lisette juga menjadi lebih kuat dibanding sebelumnya. Dia lebih cekatan dalam berlari dan mendaki, meskipun untuk beladiri Lisette hanya menguasai yang dasarnya saja. Mereka bertiga duduk melingkar di bawah pohon sambil menyantap berbagai makanan yang mereka bawa. Tidak terasa minggu depan mereka akan mengikuti tes keprajuritan. Karleen memecah keheningan. “Edwyn, Lisette. Aku ingin mengatakan sesuatu,”ucap Karleen pelan. Wajahnya sangat serius. Edwyn dan Lisette yang mengetahui Karleen sedang serius, menanggapi Karleen dengan serius juga. “Apa itu, Karleen? Katakan kepada kami,” jawab Lisette. “Anu, itu. Arrghh! Aku tidak tahu bagaimana
“Sini, aku antarkan sampai ke depan rumahmu.” Karleen menatap Conrad tidak percaya. Sejujurnya Karleen mempunyai insting bahwa Conrad adalah orang yang baik. Namun, tingkahnya saat ini sedikit ganjil karena mereka baru saja bertemu. “Serius, kau tidak perlu melakukannya untukku. Rumahku pas di sebelah sana. Kau bisa melihatnya dari sini. Di sebelah rumahku ada toko roti keluarga kami.” Jari telunjuk Karleen mengarah ke sebuah rumah yang memiliki atap yang berbeda dari yang lain. “Kau juga bisa lihat di jalan ini tidak sesepi jalan yang lain, karena rumahku tidak berada di gang belakang.” Penjelasan Karleen membuat Conrad menganggukkan kepalanya. “Baiklah, Karleen. Maupun kau menolak tawaranku aku akan tetap mengikutimu,”kata Conrad melirik ke Karleen. “Kenapa? Tujuannya apa? Aku rasa kau tidak boleh bertingkah berlebihan seperti ini.” Tatapan Karleen berubah menjadi dingin. “Hei, jangan salah paham dulu. Aku ingin
Karleen membuang napasnya kasar. Raut wajahnya masih kesal. Conrad yang sedari tadi memerhatikan dari samping hanya tersenyum saja dan tidak mengatakan apapun. “Dasar laki-laki aneh,” tukas Karleen dengan suara kecil. Sayangnya, Conrad mendengar perkataan Karleen dan meresponnya. “Iya, aku aneh setelah bertemu denganmu.” Karleen menunduk mendengar jawaban Conrad. Semburat merah muncul di pipinya. “Ah, maafkan aku Conrad aku tidak bermaksud. T-tapi kau memang aneh.”Lagi-lagi Conrad tertawa mendengarnya. “Kau ingin mencari buku apa?” Pertanyaan Conrad membuat kepala Karleen mendongak. Karleen mendekati Conrad dan membisikkan sesuatu. “Kau tidak perlu berbisik sedekat itu,”tutur Conrad. Conrad berdiri dan menyurusuri rak terdekat. Kepalanya bergerak ke arah berbeda. Karleen hanya mengikuti dari belakang. Dia juga mencari sekali lagi. Conrad terhenti di pojok rak dan mengam
Karleen tampak takut-takut. Dengan bantuan Conrad dia mampu mengendalikan tali leher kuda. Mereka menunggangi dengan kecepatan konstan. Karleen tidak menyangka menunggang kuda itu tidak sesulit yang dia bayangkan. Meskipun dia sudah pernah menunggang kuda pertama kali saat tes militer, rasanya sangat berbeda jika menunggang kuda di tempat yang luas. Conrad sudah melepaskan tangannya dari genggaman tangan mereka. Sudah sepuluh menit mereka di perjalanan. Tinggal lima menit lagi mereka akan sampai di desa, Karleen yang tidak ingin melewatkan pelajaran pertamanya ini, sengaja memutar arah. “Karleen, kau hendak kemana?”protes Conrad. “Apa aku boleh mencari rute lain agar aku bisa belajar lebih lama?” suara Karleen terdengar memohon. Conrad yang tidak bisa melihat ekspresi Karleen sekarang, berpikir sebentar. “Baiklah, jika kau tidak keberatan mendengar suara perutmu yang terdengar seperti berantam.”Karleen berteriak senang. “Yuhu, Apsel. Kalau kau lelah bilang, ya?”Karleen melaju sedik
Edwyn dan Lisette telah kembali ke rumah. Setelah Conrad mengenalkan diri kepada mereka, Edwyn meminta maaf kepada Conrad dan Karleen. Kini tinggal mereka berdua. Apsel telah kenyang dan tampak berenergi lebih. Hari sudah menjelang sore. Karleen dan Conrad berdiri saling berdiam-diaman. Tidak ada yang berniat memulai percakapan. Sampai Conrad berpikir ini adalah saat yang tepat untuk berpamitan kepada Karleen. "Karleen," panggil Conrad dengan suara bassnya. "Ya?" jawab Karleen tanpa melihat ke arah Conrad. Karleen memainkan kakinya, menggesek sol sepatunya ke atas tumpukan salju yang masih tipis. "Aku ingin berpamitan sekarang." "Eh? Cepat sekali? Bukankah kau akan pergi besok?" Conrad tersenyum tipis. "Bukankah segala sesuatu itu lebih cepat lebih baik?” "Bagaimana kalau kita minum cokelat panas dulu sebelum kau kemba
“Bibi Eva! Apa kabarmu?” Karleen merenggangkan pelukannya.Bibi Eva yang menangis melangkah mundur. Dia mengelus kepala Karleen dengan lembut. “Seperti yang kau lihat sayang. Aku baik-baik saja, terlebih aku sangat senang bisa bertemu denganmu,” jawab Bibi Eva dengan suara yang sedikit bergetar. Karleen bisa merasakan kesenangan dan kesedihan dari suara Bibi Eva.“Bagaimana kabarmu sayang? Kau tumbuh dengan sangat cantik,”puji Bibi Eva. “Aku sangat baik, Bi. Terima kasih Bi!” Karleen memperlihatkan senyum terbaiknya kepada Bibi Eva. Edwyn dan Lisette berdiri canggung melihat Karleen dan Bibi Eva.“Ah, apakah mereka sahabatmu?”tanya Bibi Eva sambil menunjuk Edwyn dan Lisette yang berdiri tepat di depan kereta kuda.“Iya Bi. Mereka sahabatku sejak umur 7 tahun. Mereka juga teman pertamaku di lingkungan baru,” jawab Karleen de
Karleen dan Warren sama-sama terdiam. Mereka tidak melanjutkan pembicaraan tadi karena Karleen enggan bertanya duluan. Dia menunggu-menunggu untuk Warren mengajaknya berbicara lagi. Suasana semakin canggung saat perut Karleen meronta kelaparan. Kruuuk Karleen menutupi perutnya dengan kedua tangannya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan malu. Dari sudut matanya, dia dapat melihat Warren melirik ke arahnya sebentar. “Apa kau lapar?” Pertanyaan Warren hanya mendapat jawaban anggukan dari Karleen. “Kalau begitu ayo ikut aku. Jika Bibi Eva sedang kedatangan tamu, pasti dia akan masak besar.” Warren sudah berdiri duluan. “Kau mengenal Bibi Eva?” dalam keadaan masih duduk Karleen mendongakkan kepalanya menatap Warren yang tunjang. Melihat Warren seperti ini seakan mengingatkannya pada seseorang. Karleen tidak yakin dimana dia melihat seseorang seperti
Karleen ingin cepat sampai di rumah karena hari sudah mulai gelap. Dia berjalan melewati jalan pintas. Jalan pintas ini berada di pemukiman yang tidak dipenuhi oleh penduduk. Karleen berlari berharap agar dia sampai di rumah tepat waktu. Di tengah perjalanan, dia dihadang oleh seorang bapak.-bapak.“Tuan? Apakah anda baik-baik saja?” Karleen tampak sedikit khawatir dengan bapak itu yang wajahnya sangat pucat. Bapak itu mengangguk dengan perlahan.“Apakah anda membutuhkan sesuatu?” Karleen tampak kasihan dengan bapak itu. Bapak itu menggeleng dengan pelan. Gerakannya seperti patah-patah.“Kalau begitu, saya pergi dulu,” kata Karleen berusaha berjalan meninggalkan bapak itu. Belum sempat kaki Karleen melangkah sempurna, tangan Karleen dicengkram dengan kuat oleh bapak itu.“Astaga! Apa-apaan anda!” Karleen berusaha melepaskan cengkraman bapak itu. D
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja