Home / Fantasi / An Unidentified Witch / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of An Unidentified Witch: Chapter 51 - Chapter 60

103 Chapters

50. Beban yang Ditanggung

Conrad melihat kalender yang terletak di pinggir mejanya. Jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan tempo tertentu sambil berusaha mengingat suatu tanggal penting. Setelah mengingatnya, Conrad membalik halaman kalender. Dia mengambil bolpen dan menandai satu tanggal di bulan Maret. Musim semi akan mulai di minggu itu. Conrad mengeluarkan dokumen yang dia ambil dari brankas tua. Dia menghela napasnya panjang. Menghitung perkiraan yang tepat dengan informasi yang tertulis di dokumen itu.“Jika yang tertulis di sini benar, kira-kira masih ada waktu setahun lebih untuk Karleen menguasai kekuatannya. Aku harap liontin batu merah itu tidak diketahui siapa pun.”Otak Conrad kembali bekerja keras. Dia seperti mengingat sesuatu yang diamanahkan oleh orang tuanya. Saat masih kecil, orang tuanya pernah menyuruhnya untuk mengambil suatu surat di panti asuhan tempat Karleen dititipkan saat Karleen sudah beranjak dewasa.“Sebentar lagi dia akan berumur 19 tahun. Kapan aku akan Kaufungen, ya?” C
Read more

51. Kepedulian Sang Sahabat

Mata Karleen sembab. Dia membasuh matanya sebelum masuk ke dalam kamarnya. Air dingin menyegarkan matanya. Dia mengeluarkan sapu tangan pemberian Warren dari kantung celananya. Sambil mengisi gayung dengan air dingin, Karleen mencoba kembali merangkai kata-kata untuk besok. Menggelengkan kepalanya dengan kuat dengan upaya membiarkan apa yang terjadi dengannya tadi bersama Warren.Karleen memegang gayung dengan tangan kanannya dan berjalan dengan sangat pelan menuju kamarnya. Dari jauh, dia bisa melihat Lisette yang sedang berdiri di depan pintunya. Lisette berjalan menghampiri Karleen dengan tatapan cemas.“Astaga, Karleen! Apa yang dilakukan Warren sampai membuat matamu seperti itu?” teriaknya marah.“Shh, bukan seperti itu Lisette. Kecilkan suaramu, ayo masuk ke kamarku dulu.” Lisette berjalan beriringan dengan Karleen seraya menebak-nebak apa yang baru saja terjadi dengan mereka berdua.Lisette langsung duduk di lantai menghadap ke arah Karleen yang duduk di meja belajarnya. Dia me
Read more

52. Pagi Hari yang Tidak Biasa

Lisette mengguncang tubuh Karleen pelan. Karleen bergumam pelan sambil merentangkan tangannya. Rambut panjangnya kusut tak beraturan. Lisette yang sudah bangun duluan memastikan Karleen sudah benar-benar bangun. Matanya berpendar mencari keperluan mandi milik Karleen. “Ayo kita membersihkan diri!” ajak Lisette yang kemudian menyodorkan barang-barang Karleen. Karleen yang sibuk mengucek mata, menguap seraya mengangguk. “Ayo Karleen, kumpulkan semangatmu. Hari ini sangat penting bagimu yang menjadi representatif. Aku tunggu di kamar mandi, ya? Aku ingin ke kamarku dulu mengambil perlengkapanku. Lisette mengacir pergi. Karleen keluar dari kamarnya. Dia tidak mengecek jamnya sebelum ke luar kamar. Perasaannya menjadi sangat tenang ketika melihat pemandangan dari atas. Benar-benar indah dan memanjakan mata. Karleen belum pernah melihat pemandangan dari jarak setinggi ini. Matahari belum terbit di ufuk timur. Karleen merasa menjadi anak yang rajin jika bangun di pagi buta seperti ini. D
Read more

53. Berlatih Pedang

Napas Karleen dan Lisette terengah-engah. Beradu dengan embun yang tampak mengawang di permukaan. Karleen tersenyum lebar melihat sosok yang sedang berlatih dengan pedangnya. Mata Karleen membesar, dia sangat takjub melihat Warren dan Gunther berlatih menggunakan pedangnya. Karleen tidak tahu mengapa dia sangat senang bisa melihat Warren dari jauh. Dia tersenyum melihat gerak-gerik Warren yang sangat lincah. Dari tempatnya duduk, Warren terlihat seperti seorang macan kumbang hitam. Sedangkan Gunther terlihat seperti tupai raksasa berwarna merah. Karleen dan Lisette sangat fokus saat Warren dan Gunther melakukan duel dengan pedangnya. Sepertinya Warren dan Gunther tidak menyadari akan kehadiran Karleen dan Lisette. Mereka terus saja mengayunkan dan menepis pedangnya. Klaaang Lisette melonjak kaget saat pedang Gunther terpelanting jauh akibat tepisan dari Warren. Tanpa disadari oleh Karleen, dia reflek bertepuk tangan dengan kerasnya. Warren dan Gunther sama-sama menoleh ke arah Karl
Read more

54. Pedang Kayu Berukir

“Perbaiki posturmu, Karleen! Jangan terlalu kaku!” perintah Warren. Karleen berlatih dengan pedang kayu. Pedang itu terasa sangat ringan bagi Karleen. Dia sangat penasaran dengan pedang sungguhan. “Warren, apakah aku boleh mencoba dengan pedang asli?” tanya Karleen. “Jangan dulu Karleen. Kau harus mahir dalam menggunakan pedang kayumu.” “Pedang kayuku? Maksudnya? Inikan pedang milik militer.” Karleen tidak mengerti dengan ucapan Warren. “Kau bisa melihat di ganggangnya.” “Huh? Leen? Ini ukiran namaku?” tanya Karleen dengan antusias. Dia mendekati Warren yang berdiri beberapa meter di depannya. “Iya, Leen. Apa kau menyukainya?” tanya Warren dengan tersenyum. “AKU SANGAT MENYUKAINYA!” jawab Karleen dengan sedikit berteriak. Dia sangat tidak menyangka Warren dengan sengaja mempersiapkan pedang untuknya. Karleen tersenyum sangat lebar.“Terima kasih banyak Warren! Aku sangat menyukainya!” ucap Karleen dengan senang. “Aku senang kau menyukainya. Kau tidak keberatan dengan ukiran na
Read more

55. Kecanggungan

Warren memperbaiki ekspresinya sebaik mungkin. Sejak Karleen kembali ke asrama meninggalkan dirinya bersama Gunther dan Lisette, mereka terus saja memerhatikan Warren.“Hmm, Kapten. Aku baru pertama kali melihatmu seperti tadi,” kata Gunther memecah keheningan.“Seperti tadi bagaimana?” tanya Warren yang tidak mengerti ucapan Gunther.“Mengajarkan Karleen berpedang, bahkan kau memberinya pedang kayu spesial dengan ukiran namanya. Pffft, aku tidak tahu bahwa kau seromantis itu,” goda Gunther sembari tertawa kencang. Bertahun-tahun menjadi orang kepercayaan Warren baru kali ini dia melihat kaptennya bergelagat aneh.“Mengapa? Kau keheranan dengan tingkahku?” balas Warren yang tidak suka digoda oleh Gunther.“Tidak heran saja Kapten, tapi aku sangat heran. Bagaimana bisa orang yang sangat dingin sedingin kutub utara, bisa seperti itu.”“Kau mengatakannya seperti kau pernah ke sana saja,” balas Warren malas.Lisette yang hanya duduk terdiam di pinggir menahan senyumnya. Seharusnya dia iku
Read more

56. Conrad dan Kenan

Kenan menguap dan merentangkan tangannya ke udara. Pagi-pagi buta seperti ini Conrad sudah mengajaknya untuk berlatih pedang dan mengajaknya duel. Tidak pernah dalam hidupnya Kenan melihat sepupunya itu bertingkah aneh seperti itu. Dia tampak memikirkan sesuatu yang sangat mengganggu hidupnya. “Conrad, kau sedang memikirkan apa? Wajahmu terlihat sangat kusut,” kata Kenan setelah Conrad ikut duduk di bangku sebelahnya. “Entahlah, aku bingung menjawabnya. Terlalu banyak yang kupikirkan sampai-sampai aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.” “Apakah itu masalah besar mengenai bisnis? Demon? Atau sihir?” tanya Kenan. “Semuanya,” jawab Conrad yang masih setia memandang lurus. “Haaa, aku mengerti. Sebagai seorang kepala di dua keluarga, itu memang tanggungan yang besar. Maafkan sepupumu ini yang tidak terlalu berguna,” kata Kenan diakhiri dengan kekehan yang dipaksakan. “Jangan berkata seperti itu. Semua manusia di dunia ini tidak ada yang tidak berguna. Kita sebagai manusia memiliki
Read more

57. Dua Kuda Berbeda Warna

Conrad merapikan dokumennya yang berserakan di meja kerjanya. Setelah memastikan semuanya rapi, dia menghampiri Kenan yang masih berada di dapur. Kenan bersama dengan Bibi Nadja menyiapkan banyak makanan dan minuman yang dimasukkan ke dalam keranjang. Bibi Nadja turut senang karena melihat Kenan senang. Conrad mengetuk pintu dapur dengan pelan. “Selamat pagi Tuan Buhler, semua perlengkapannya sudah selesai,” ucap Bibi Nadja. “Terima kasih atas kerja kerasmu. Bibi boleh istirahat saat kami pergi, kalau begit kami pamit,” kata Conrad. Dia tidak pernah memaksakan Bibi Nadja untuk bekerja dengan keras di kastil mereka. Bibi Nadja adalah satu orang dari beberapa banyak orang yang dipercaya oleh keluarga Buhler untuk menjadi asisten di kastil ini. “Terima kasih Bibi! Kami pergi dulu!” Kenan berteriak senang sambil menenteng dua keranjang. Dia berjalan cepat mengejar Conrad yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Mereka berjalan menuju kandang kuda milik keluarga mereka. Seperti bias
Read more

58. Sarapan di Kantin

Karleen bernapas lega setelah berganti pakaian. Dia tidak tahu harus memakai apa jika dia tidak membawa setelan berwarna hitam dan putih lebih. Matanya berpendar mencari Lisette yang Karleen pastikan sudah duduk di bangku kantin duluan. Bukan Lisette yang Karleen temukan, tetapi Edwyn. Karleen bingung ketika melihat Edwyn yang duduk dengan orang yang tidak Karleen kenali. Karleen mendekati bangku yang Edwyn duduki. Masih dalam keadaan yang bertanya-tanya, Karleen memberanikan diri untuk menyapa Edwyn. “Pagi Edwyn!” sapa Karleen yang sukses mencuri perhatian empat teman baru Edwyn. “Pagi,” jawab Edwyn singkat. Dia tidak terdengar ramah seperti biasanya. “Kenapa kau tidak bergabung dengan kami? Lisette pasti sudah menjaga tempat duduk untuk kita,” sambung Karleen. “Maaf Karleen, aku ingin sarapan bersama teman baruku saja. Lain kali saja aku bergabung dengan kalian,” balas Edwyn. Teman-teman baru Edwyn saling menyikut satu sama lain. Seperti mempertanyakan siapa diri Karleen. Beber
Read more

59. Sarapan di Kantin 2

Gunther menahan tawanya mendengar penjelasan Lisette yang membawa nama Warren. Warren tidak ambil pusing. Dia malah senang sahabat Karleen berpikir seperti itu mengenai dirinya dan Karleen. Berbanding terbalik, Karleen tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Dia pikir hubungan mereka tidak sejauh yang Lisette pikirkan. “Bisakah kami bergabung di sini?” tanya Gunther setelah dirinya tidak ada sugesti ingin tertawa. “Boleh Komandan,” jawab Lisette. Gunther berinisiatif duduk di sebelah Lisette. Warren melempar senyum kepada Gunther karena sudah tahu keadaan bahwa dirinya ingin duduk di sebelah Karleen. “Kalian belum mengambil makanan?” Gunther bertanya setelah melihat meja di depan Lisette dan Karleen kosong. “Ah, kami baru saja ingin mengambil sekarang.” Lisette menjawab pertanyaan Gunther. Karleen langsung berdiri dan memberi kode kepada Lisette untuk segera mengambil makanan mereka dengan cepat. “Kami permisi mengambil makanan dulu, Kapten dan Komandan!” kata Karleen yang kemu
Read more
PREV
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status