Warren memperbaiki ekspresinya sebaik mungkin. Sejak Karleen kembali ke asrama meninggalkan dirinya bersama Gunther dan Lisette, mereka terus saja memerhatikan Warren.“Hmm, Kapten. Aku baru pertama kali melihatmu seperti tadi,” kata Gunther memecah keheningan.“Seperti tadi bagaimana?” tanya Warren yang tidak mengerti ucapan Gunther.“Mengajarkan Karleen berpedang, bahkan kau memberinya pedang kayu spesial dengan ukiran namanya. Pffft, aku tidak tahu bahwa kau seromantis itu,” goda Gunther sembari tertawa kencang. Bertahun-tahun menjadi orang kepercayaan Warren baru kali ini dia melihat kaptennya bergelagat aneh.“Mengapa? Kau keheranan dengan tingkahku?” balas Warren yang tidak suka digoda oleh Gunther.“Tidak heran saja Kapten, tapi aku sangat heran. Bagaimana bisa orang yang sangat dingin sedingin kutub utara, bisa seperti itu.”“Kau mengatakannya seperti kau pernah ke sana saja,” balas Warren malas.Lisette yang hanya duduk terdiam di pinggir menahan senyumnya. Seharusnya dia iku
Kenan menguap dan merentangkan tangannya ke udara. Pagi-pagi buta seperti ini Conrad sudah mengajaknya untuk berlatih pedang dan mengajaknya duel. Tidak pernah dalam hidupnya Kenan melihat sepupunya itu bertingkah aneh seperti itu. Dia tampak memikirkan sesuatu yang sangat mengganggu hidupnya. “Conrad, kau sedang memikirkan apa? Wajahmu terlihat sangat kusut,” kata Kenan setelah Conrad ikut duduk di bangku sebelahnya. “Entahlah, aku bingung menjawabnya. Terlalu banyak yang kupikirkan sampai-sampai aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.” “Apakah itu masalah besar mengenai bisnis? Demon? Atau sihir?” tanya Kenan. “Semuanya,” jawab Conrad yang masih setia memandang lurus. “Haaa, aku mengerti. Sebagai seorang kepala di dua keluarga, itu memang tanggungan yang besar. Maafkan sepupumu ini yang tidak terlalu berguna,” kata Kenan diakhiri dengan kekehan yang dipaksakan. “Jangan berkata seperti itu. Semua manusia di dunia ini tidak ada yang tidak berguna. Kita sebagai manusia memiliki
Conrad merapikan dokumennya yang berserakan di meja kerjanya. Setelah memastikan semuanya rapi, dia menghampiri Kenan yang masih berada di dapur. Kenan bersama dengan Bibi Nadja menyiapkan banyak makanan dan minuman yang dimasukkan ke dalam keranjang. Bibi Nadja turut senang karena melihat Kenan senang. Conrad mengetuk pintu dapur dengan pelan. “Selamat pagi Tuan Buhler, semua perlengkapannya sudah selesai,” ucap Bibi Nadja. “Terima kasih atas kerja kerasmu. Bibi boleh istirahat saat kami pergi, kalau begit kami pamit,” kata Conrad. Dia tidak pernah memaksakan Bibi Nadja untuk bekerja dengan keras di kastil mereka. Bibi Nadja adalah satu orang dari beberapa banyak orang yang dipercaya oleh keluarga Buhler untuk menjadi asisten di kastil ini. “Terima kasih Bibi! Kami pergi dulu!” Kenan berteriak senang sambil menenteng dua keranjang. Dia berjalan cepat mengejar Conrad yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Mereka berjalan menuju kandang kuda milik keluarga mereka. Seperti bias
Karleen bernapas lega setelah berganti pakaian. Dia tidak tahu harus memakai apa jika dia tidak membawa setelan berwarna hitam dan putih lebih. Matanya berpendar mencari Lisette yang Karleen pastikan sudah duduk di bangku kantin duluan. Bukan Lisette yang Karleen temukan, tetapi Edwyn. Karleen bingung ketika melihat Edwyn yang duduk dengan orang yang tidak Karleen kenali. Karleen mendekati bangku yang Edwyn duduki. Masih dalam keadaan yang bertanya-tanya, Karleen memberanikan diri untuk menyapa Edwyn. “Pagi Edwyn!” sapa Karleen yang sukses mencuri perhatian empat teman baru Edwyn. “Pagi,” jawab Edwyn singkat. Dia tidak terdengar ramah seperti biasanya. “Kenapa kau tidak bergabung dengan kami? Lisette pasti sudah menjaga tempat duduk untuk kita,” sambung Karleen. “Maaf Karleen, aku ingin sarapan bersama teman baruku saja. Lain kali saja aku bergabung dengan kalian,” balas Edwyn. Teman-teman baru Edwyn saling menyikut satu sama lain. Seperti mempertanyakan siapa diri Karleen. Beber
Gunther menahan tawanya mendengar penjelasan Lisette yang membawa nama Warren. Warren tidak ambil pusing. Dia malah senang sahabat Karleen berpikir seperti itu mengenai dirinya dan Karleen. Berbanding terbalik, Karleen tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Dia pikir hubungan mereka tidak sejauh yang Lisette pikirkan. “Bisakah kami bergabung di sini?” tanya Gunther setelah dirinya tidak ada sugesti ingin tertawa. “Boleh Komandan,” jawab Lisette. Gunther berinisiatif duduk di sebelah Lisette. Warren melempar senyum kepada Gunther karena sudah tahu keadaan bahwa dirinya ingin duduk di sebelah Karleen. “Kalian belum mengambil makanan?” Gunther bertanya setelah melihat meja di depan Lisette dan Karleen kosong. “Ah, kami baru saja ingin mengambil sekarang.” Lisette menjawab pertanyaan Gunther. Karleen langsung berdiri dan memberi kode kepada Lisette untuk segera mengambil makanan mereka dengan cepat. “Kami permisi mengambil makanan dulu, Kapten dan Komandan!” kata Karleen yang kemu
Conrad yang menunggang Apsel sudah sampai di desa Kaufungen. Dia menuruni Apsel dan menuntun Apsel untuk berjalan bersebelahan dengannya. Kepalanya berpendar memerhatikan desa tersebut. Seingat dirinya, Panti Asuhan Hoffnungen berada di sudut desa.Benar saja, setelah berjalan kurang lebih dua kilo meter dari tempatnya menuruni Apsel, Conrad menemukan sebuah panti asuhan yang terlihat sangat baik. Panti asuhan itu berupa gedung bertingkat yang dari jauh terlihat megah. Conrad mengikat Apsel di sebuah pohon di seberang panti asuhan. Karena berada di sudut desa, panti asuhan ini tidak berada di pemukiman penduduk.Conrad mendekati seorang ibu paruh baya yang sedang menyapu di halaman. “Selamat pagi bu, saya Conrad Buhler ingin bertemu dengan Bibi Eva.”Seketika itu, ibu paruh baya yang sedang menyapu menghentikan aktivitasnya. “Kebetulan saya sendiri Bibi Eva. Apa yang membawa Nak Conrad kemari?”“Saya walinya Karleen, ingin mengambil sebuah surat,” ucap Conrad. Bibi Eva terlihat sediki
Bibi Eva menuangkan teh ke dalam cangkir untuk Conrad dan dirinya. Conrad tersenyum setelah dipersilakan untuk minum. Matanya mengerjap-ngerjap, merasakan lezatnya teh buatan Bibi Eva.“Tehnya sangat lezat, Bi,” puji Conrad. Bibi Eva tersenyum.“Terima kasih, Bibi takut tehnya tidak sesuai dengan seleramu.” Conrad menyesap perlahan, tanpa disadari dia sudah menghabiskan setengah cangkir. Bibi Eva tersenyum melihat Conrad yang terlihat sangat menyukai teh buatan dirinya.“Nak Conrad, Bibi tahu tujuanmu ke sini apa.” Conrad tersenyum menatap Bibi Eva.“Bagaimana bisa Bibi masih mengingat hal itu meskipun sudah hampir 19 tahun lamanya?” tanya Conrad.“Itu karena ibu Bibi yang memberi amanah kepada Bibi. Tidak mungkin Bibi melupakannya karena itu sudah menjadi tugas Bibi di sini. Tunggu sebentar ya Nak Conrad, Bibi akan mengambil surat itu di kamar Bibi.”Conrad mengiyakan. Dia menghela napas. Keheningan membuatnya kembali berpikir, hal apa yang ditulis oleh Nyonya Freiberg di surat itu.
Karleen dan Lisette sudah berkumpul di auditorium. Upacara pembukaan yang awalnya direncanakan dilaksanakan di lapangan tidak jadi. Cuaca tiba-tiba menjadi tidak bersahabat. Karleen mencoba melafalkan pidato yang sudah dipersiapkannya malam tadi. Mulutnya komat-kamit mengulang hal-hal yang sudah dia tuliskan.Tidak lama setelah itu, beberapa senior yang tergabung dalam kumpulan para komandan menginstruksikan para calon prajurit untuk berbaris sesuai regunya. Karleen berpisah dari Lisette. Meskipun begitu, mereka berdua berbaris bersebelahan. Dari barisannya, Karleen melempar senyum kepada Gunther yang sedang berdiri rapi di sebelah kanan barisan terdepan.Mata Karleen berkeliling mencari Edwyn yang berada di regu sebelah. Edwyn berdiri di barisan tiga dari belakang. Karleen melambaikan tangannya saat pandangan Edwyn terkunci padanya. Edwyn hanya tersenyum tipis, kemudian mengalihkan pandangannya dari Karleen. Karleen teringat dengan percakap
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja