Dan itu yang membuat Adri kemudian berlutut di tepi ranjang, menangkup kedua telapak tangan, menundukkan kepala. Berdoa. Sebuah doa yang walau dilakukan dalam hening, di kedalaman hati sebetulnya ia berteriak. Menjerit dan berharap untuk datangnya sebuah mujizat agar gadis yang terbaring di depannya disembuhkan. Ia percaya mujizat masihlah ada. Itu membangkitkan kekuatan dalam dirinya untuk semakin khusyuk berdoa. Sampai kemudian ia merasa sebuah sentuhan halus di kepalanya. Sebuah sentuhan tangan karena ia merasakan gerak jari-jari. Matanya membuka. Sempat tergoda untuk mulai menyapa, ia lantas tersadar sesuatu. Adri kembali menutup mata demi melanjut doa yang sempat terhenti. “Thank you, Lord,” cetusnya nyaris tanpa suara. “Terima kasih mau mendengar doa ini.” Satu kata terakhir tak sempat Adri ucapkan karena keburu didahului suara seorang lain. Suara seorang gadis, suara sopran yang amat ia kenal. “Amin.” Dan perlahan Adri pun bangkit. Belum, ia belum bangkit dari berlututnya.
Read more