Semua Bab Dibayar Satu Miliar: Bab 21 - Bab 30

93 Bab

21

"calon adik iparmu, Mas." Celetukan Axel membuatku membelalakkan mata. Begitu juga raut wajah Pak Arik ikut berubah. Dia menatapku tajam seolah meminta penjelasan lewat sorot matanya.  "Alisa!" Panggilan seseorang yang melambaikan tangan ke arah kami memaksaku dan lainnya ikut menoleh ke arah tersebut.   "Ibu." Alisa dengan riang membalasnya dengan lambaian tangan.  "Mas, dipanggil Ibu, kita ke sana," ajak Alisa pada Pak Arik dengan senyum merekah.   Pak Arik yang sudah membuka mulutnya tak jadi bicara karena ditatap Alisa.    "Duduklah di sini, jangan kemana-mana, kami ke sana sebentar," pesannya padaku sebelum beranjak pergi.  Syukurlah, panggilan ibunya Alisa mengalihkan perhatian mereka dariku. Aku tak perlu menjelaskan apapun pada lelaki dingin itu.
Baca selengkapnya

22

"Aku duduk di sini ya." Seorang lelaki muda mengenakan setelan jas formal bertanya ke arahku.    Aku menggelengkan kepala. "Maaf, ada orangnya, sebentar lagi juga datang," jawabku bohong menatap ke kursi kosong di sebelahku.  Laki-laki tersebut bukannya menjauh malah menjatuhkan bokongnya duduk di kursi tersebut. Aku beringsut menggeser kursi menjauh darinya.  "Maaf, Anda tidak dengar dengan yang barusan saya katakan kalau--"   "Kalau kursi ini sebenarnya tidak ada pemiliknya. Dari tadi kuperhatikan kursi ini masih kosong, dan tidak ada satu pun ada orang yang duduk di sini. Kamu pasti berbohong."   Astaga, dia tahu. Apa dia memperhatikanku?  "Maaf, aku hanya ingin duduk sendiri," sahutku jujur.    "Maaf
Baca selengkapnya

23

Aku duduk tepat menghadap kedua orang tua Pak Arik yang merupakan mertuaku. Ada rasa gugup menjalar membuat kedua telapak tangan basah dan dingin. Tanganku saling bertaut berusaha meredamkan rasa yang menimbulkan degupan kencang. Hawanya jadi terasa panas meski AC sentral telah menyejukkan ruangan ini. Di sampingku sebelah kiri, duduk Axel dan sebelah kanan ada Pak Arik. aku duduk diapit dua kakak-beradik yang menyebalkan. Sedang Alisa memilih duduk di samping ibu mertua dan menatapku dengan awas.   "Siapa namamu tadi?" Ibu mertua kembali bertanya. Ia tidak berhenti menatapku. Entah kenapa, aku merasa tatapan yang diberikannya adalah tatapan tidak suka. Masih kuingat jelas bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar Axel mengenalkanku sebagai calon istrinya.    ***  "Ini Luna, calon istriku."   Semua menata
Baca selengkapnya

24

 "Benarkah? Lebih baik perkenalan keluarga dulu, baru memantapkan ke jenjang selanjutnya. Santai saja, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Anggap saja sekarang ini kamu sedang membawa teman dekatmu dan memperkenalkannya ke kita. Kita tidak pernah tahu apakah masih wanita ini yang akan kamu bawa ke hadapan kita lagi atau malah wanita lainnya?" tandas Pak Arik seraya menepuk bahunya Axel dari arah belakang melewati badanku yang duduk di tengah mereka.  "Mas, aku serius." Axel membantah dan mengulangi ucapannya dengan penekanan kata.  "Axel, Masmu benar. Kita sudah diperkenalkan dengan calon istrimu ini. Kurasa itu cukup. Untuk pembicaraan serius, nanti saja di rumah. Lagipula kami, terutama Ayah dan Ibu harus tahu lebih dalam siapa calonmu ini." Alisa angkat bicara. Ibu mertua menganggukkan kepala mengiyakan."  Aku masih diam bingung harus mengatakan apa. Mereka silih bergan
Baca selengkapnya

25

Badanku terasa melayang, dan hm … aroma ini? wangi sekali. Aku seperti pernah menciumnya…. Kucoba keras membuka kedua mata.   "Mas Arik …," lirihku setelah berhasil membuka kelopak mata yang berat dan yang terlihat adalah wajahnya yang begitu dekat.   "Kamu sudah sadar?" tanyanya terkejut.    Sadar? Maksudnya? Aku tidak mengerti, tapi aku mengeratkan rangkulan tanganku di lehernya setelah menyadari telah berada dalam gendongannya. Dengan mata terpejam kuhirup tajam aroma maskulin yang menguar dari badannya.   Jadi, wangi yang kucium tadi, dari sini? Pantas baunya familiar.  Gerak langkahnya semakin cepat hingga akhirnya kurasakan badanku direbahkan dengan sangat pelan di atas tempat tidur.  "Syukurlah sudah sadar. Kamu membuatku
Baca selengkapnya

26

Suara ponsel berdering mengusikku. Ini pasti punya Pak Arik. Dari tadi berbunyi terus, pasti telepon penting atau itu dari Alisa? "Mas, ponselmu berbunyi terus. turunkan saja aku, dan angkat telepon Mas dulu. Takut penting. Lagipula aku malu dilihat banyak orang yang berpapasan dengan kita," pintaku. Jujur aku memang malu dibopongnya sepanjang jalan dari lorong kamar hotel. Entah apa pendapat mereka tentang kami. Ditambah napasnya tersengal-sengal saat berjalan karena membawa beban berat tubuhku.    "Sudah terlanjur. Ini sudah di lobi." Aku pasrah mendengar penolakannya.  ***  Kembali ponsel Pak Arik berdering lagi. Aku ingat betul itu nada panggilan telepon, Ia meliriknya sekilas, lalu mengabaikan tanpa diangkat.  "Kenapa tidak diangkat?" tanyaku penasaran. Kami sudah berada di dalam mobil. Ponsel diletakkannya begitu saja di atas
Baca selengkapnya

27

"Iya. Ini lagi di jalan mau pulang."  Akhirnya Pak Arik mengangkat telepon yang sedari tadi terus berdering dari ponselnya.   Itu pasti Alisa. Bisa ditebak dari cara Pak Arik menjawabnya.   Aku diam menyimak.  "Iya, dia baik-baik saja." Pak Arik melirikku, dan kutatap balik juga. "Lemas mungkin karena telat makan," sambungnya.   Pasti ngomongin aku.   Kupejamkan mata berpura tidur agar dikira tidak menguping pembicaraannya dengan Alisa.  "Mungkin …, Iya."  "Belum, dia menolak, tapi sudah kubelikan makanan."   "Bukan begitu. Memang sepertinya yang dibutuhkannya itu makan. Nanti pas sampai rumah, aku akan panggil dokter lagi buat memastikan keadaannya."
Baca selengkapnya

28

Aku keluar kamar mandi diliputi hati bimbang. Masih bingung menebak kebenaran kehamilanku. Apakah aku beneran hamil atau tidak? Namun gejala yang kualami itu mirip seperti orang yang sedang hamil. Merasa mual, pusing dan ingin muntah.  Neni mendekat.  "Bagaimana Nyonya?" tanyanya tampak tak sabar.  "Kuberikan dua benda yang masih di tanganku itu kepadanya. Aku berjalan gontai menuju tempat tidur dan duduk di atasnya.  "Alhamdulillah ..., Nyonya hamil," jerit Neni dengan senyum lebar. Ia merangsek memelukku dan mengucapkan selamat.  "M--maaf Nyonya. Saya malah meluk Nyonya tanpa izin," ucapnya menjauh dan sedikit menundukkan kepala.  "Jadi benar ini artinya hamil?" tanyaku memastikan dan tidak menggubris kelacangannya memelukku. Semua orang bisa saja spontan karena terkejut dan kuras
Baca selengkapnya

29

 "Bersabarlah. Hanya sembilan bulan maka kebebasanmu di depan mata." Kemudian ia melangkah keluar kamar tanpa menoleh ke arahku lagi.  Sakit. Aku salah lagi di matanya. Baru beberapa menit yang lalu, dia sangat perhatian padaku, tapi dalam hitungan sekejap, semuanya berubah kembali.   Setelah makan malam dengan menu bubur sebagai santapan malam, aku berlalu masuk ke kamar. Pak Arik sejak terakhir ia menemuiku, tidak terlihat atau memasuki kamarku lagi. Aku harap juga begitu. Tak perlu masuk ke kamarku dulu karena aku pun juga kesal dengannya.  ***   Sejak bangun pagi, rasa mual membuatku beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi. Tidak seperti kemarin hanya rasa mualnya saja yang muncul, kali ini dengan isi di dalamnya yang ikut keluar.    Kutatap wajahku sehabis muntah di dep
Baca selengkapnya

30

Wanita yang mengaku mengenal Pak Arik, semakin meneliti wajah suamiku itu.   "Dokter Vivi, apa kabar." Suamiku menyapa balik wanita yang berdiri di depannya tersebut.  Dokter Vivi? Jadi wanita ini dokter juga, tapi kenapa bisa kenal dengan suamiku, dan apa hubungan mereka? Teman atau ….  Aku mengambil buku-ku yang terjatuh dari tangan Pak Arik yang disembunyikan di belakang badannya.    "Baik. Kamu ngapain di sini, Rik? Sama Alisa? Di mana?" Aku yang terlindung badan Pak Arik dan berada tepat di belakangnya, memilih duduk di kursi tunggu yang kosong--yang berada di sampingku. Mencoba menghindar dan berpura tidak mengenalnya.  Gugup, aku harus ngapain? Tetap begini atau pergi? Aku tidak ingin tindakanku membuat masalah untuk Pak Arik.  "Ada janji sama te
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status