Share

27

Penulis: Syarlina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Iya. Ini lagi di jalan mau pulang."

Akhirnya Pak Arik mengangkat telepon yang sedari tadi terus berdering dari ponselnya. 

Itu pasti Alisa. Bisa ditebak dari cara Pak Arik menjawabnya. 

Aku diam menyimak.

"Iya, dia baik-baik saja." Pak Arik melirikku, dan kutatap balik juga. "Lemas mungkin karena telat makan," sambungnya. 

Pasti ngomongin aku. 

Kupejamkan mata berpura tidur agar dikira tidak menguping pembicaraannya dengan Alisa.

"Mungkin …, Iya."

"Belum, dia menolak, tapi sudah kubelikan makanan."

 "Bukan begitu. Memang sepertinya yang dibutuhkannya itu makan. Nanti pas sampai rumah, aku akan panggil dokter lagi buat memastikan keadaannya."

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Mom L_Dza
lanjut....
goodnovel comment avatar
Widya Nur Kartika Dewi
gimana kelanjutannya ya
goodnovel comment avatar
Widya Nur Kartika Dewi
kok nggak dbuka2 babnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dibayar Satu Miliar   28

    Aku keluar kamar mandi diliputi hati bimbang. Masih bingung menebak kebenaran kehamilanku. Apakah aku beneran hamil atau tidak? Namun gejala yang kualami itu mirip seperti orang yang sedang hamil. Merasa mual, pusing dan ingin muntah.Neni mendekat."Bagaimana Nyonya?" tanyanya tampak tak sabar."Kuberikan dua benda yang masih di tanganku itu kepadanya. Aku berjalan gontai menuju tempat tidur dan duduk di atasnya."Alhamdulillah ..., Nyonya hamil," jerit Neni dengan senyum lebar. Ia merangsek memelukku dan mengucapkan selamat."M--maaf Nyonya. Saya malah meluk Nyonya tanpa izin," ucapnya menjauh dan sedikit menundukkan kepala."Jadi benar ini artinya hamil?" tanyaku memastikan dan tidak menggubris kelacangannya memelukku. Semua orang bisa saja spontan karena terkejut dan kuras

  • Dibayar Satu Miliar   29

    "Bersabarlah. Hanya sembilan bulan maka kebebasanmu di depan mata." Kemudian ia melangkah keluar kamar tanpa menoleh ke arahku lagi.Sakit. Aku salah lagi di matanya. Baru beberapa menit yang lalu, dia sangat perhatian padaku, tapi dalam hitungan sekejap, semuanya berubah kembali.Setelah makan malam dengan menu bubur sebagai santapan malam, aku berlalu masuk ke kamar. Pak Arik sejak terakhir ia menemuiku, tidak terlihat atau memasuki kamarku lagi. Aku harap juga begitu. Tak perlu masuk ke kamarku dulu karena aku pun juga kesal dengannya.***Sejak bangun pagi, rasa mual membuatku beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi. Tidak seperti kemarin hanya rasa mualnya saja yang muncul, kali ini dengan isi di dalamnya yang ikut keluar.Kutatap wajahku sehabis muntah di dep

  • Dibayar Satu Miliar   30

    Wanita yang mengaku mengenal Pak Arik, semakin meneliti wajah suamiku itu."Dokter Vivi, apa kabar." Suamiku menyapa balik wanita yang berdiri di depannya tersebut.Dokter Vivi? Jadi wanita ini dokter juga, tapi kenapa bisa kenal dengan suamiku, dan apa hubungan mereka? Teman atau ….Aku mengambil buku-ku yang terjatuh dari tangan Pak Arik yang disembunyikan di belakang badannya."Baik. Kamu ngapain di sini, Rik? Sama Alisa? Di mana?" Aku yang terlindung badan Pak Arik dan berada tepat di belakangnya, memilih duduk di kursi tunggu yang kosong--yang berada di sampingku. Mencoba menghindar dan berpura tidak mengenalnya.Gugup, aku harus ngapain? Tetap begini atau pergi? Aku tidak ingin tindakanku membuat masalah untuk Pak Arik."Ada janji sama te

  • Dibayar Satu Miliar   31

    Kami telah sampai ke rumah, dan aku masuk ke dalam lebih dulu karena Pak Arik harus memasukkan mobil kedalam garasi. Ia bilang akan tetap di sini sampai malam dan janji akan menginap. Besok subuh baru balik. Aku senang mendengarnya. Ia menunjukkan kepeduliannya."Bagaimana Nyonya hasilnya? Positif?" Neni yang menyambut membukakan pintu bertanya penasaran.Kubuat wajahku sendu. Aku ingin menjahilinya."Nggak apa Nyonya. Nanti coba lagi. Nyonya kan masih muda. Nikmati dulu berduaan dengan Bapak." Sambil mengelus pundakku, ia berkata mencoba menenangkan. Tak tahan melihat wajah seriusnya, aku pun tersenyum lebar. Neni mengernyit menatapku heran."Loh, Nyonya kok? Apa Nyonya ngerjain saya ya?" Neni mulai sadar dengan ekspresi wajahku."Maaf." Aku malah terkekeh.

  • Dibayar Satu Miliar   32

    Malam semakin larut dan aku masih terjaga. Tidak ada tanda-tanda laki-laki yang kutunggu kehadirannya bakal datang. Tidak ada juga kabar darinya. Pesan yang kukirim padanya dengan setengah keberanian tak kunjung dibalas. Terlihat centang dua biru di pesan chat aplikasi berwarna hijau tersebut. Artinya pesanku sudah dibaca, tapi sayang hanya dibaca saja. Sulitkah untuknya membalas pesan tersebut sekedar meredam kegelisahanku?"Nyonya butuh sesuatu? Biar saya ambilkan?" Aku yang baru keluar kamar terkejut ditegur Neni yang tetiba ada di hadapan."Astagfirullah." Mengelus dada seraya menghembuskan napas kasar."Eh, maaf mengagetkan Nyonya, ya?""Kamu ngagetin aja. Nggak, aku cuma ..., sudahlah. Nggak ada," jawabku dengan menggelengkan kepala menolak tawarannya."Terus Nyonya mau kemana?" tanyanya lagi.

  • Dibayar Satu Miliar   33

    "Mbak kenal Axel?"Axel?"Axel siapa?" Aku berpura tidak kenal."Please, Mbak. Jangan membohongi Varel lagi. Laki-laki itu datang ke sini mencari Mbak, dan dia mengaku sebagai calon suami Mbak.""Apa? Terus apa kata Ibu?" Kali ini aku memang terkejut, bukan pura-pura."Ibu tidak langsung percaya. Meski orang itu memperlihatkan banyak foto Mbak di ponselnya."Foto? Sejak kapan Axel memiliki fotoku?"Foto seperti apa Rel? Bukan foto yang aneh-aneh kan?" Aku jadi gugup, takut foto yang diperlihatkannya adalah foto senonoh, dan sebagainya. Walaupun kuakui tidak pernah melakukan pose seperti tu, tapi tetap saja muncul perasaan takut karena kecanggihan teknologi sekarang mampu mengedit dan merekayasa foto apapun sesuai dengan yang kita inginkan.

  • Dibayar Satu Miliar   34

    Rasa penasaran yang membuncah, membuatku segera menelpon balik Pak Arik tanpa membalas pesan yang dikirimkannya. Namun, panggilanku ditolak. Dua kali kuhubungi lagi, dua kali pula ditolaknya.Aneh? Ada apa dengan Pak Arik? Sebenarnya pesan itu untuk siapa? Siapa Bulan?Biarlah. Nanti kucoba menghubungi Pak Arik kembali. Dia masih berutang penjelasan padaku.Aku memutuskan tetap pergi dengan Neni. Dengan atau tanpa restunya.Aku berhasil membujuk Neni agar mau mengajakku pergi keluar dengannya. Awalnya dia menolak, tapi dengan mengancam kalau aku tidak mau makan, membuatnya luluh juga. Aku merajuk kayak anak kecil selalu mengancamnya begitu, tapi anehnya Neni menurut. Aku sampai mengucap maaf di dalam hati karena selalu mengatakan hal tersebut, sambil mengelus perutku yang mulai tampak sedikit cembung.

  • Dibayar Satu Miliar   35

    Hanya sebentar aku merajuk. Malu juga bertingkah kekanak-kanakan di hadapan Neni. Apalagi umurku tidak jauh beda darinya, tapi kuakui dia lebih dewasa dalam bersikap. Aku sebenarnya juga tahu kalau Neni hanya melakukan tugasnya sesuai dengan yang diperintahkan Alisa."Nen, ini pakai kartuku saja buat bayar semuanya." Sebuah kartu debit kusodorkan ke arahnya. Kami sedang mengantri di meja kasir. Ada dua orang lagi di depanku dan Neni."Tidak usah Nyonya. Uang belanja sudah masuk di uang bulanan yang sudah disiapkan Nyonya Alisa." Ditolaknya kartu debit yang masih mengambang di udara karena belum diraihnya."Oh begitu." Kumasukkan kembali kartu kecil seukuran kartu KTP tersebut ke dalam tas."Eh, tapi belanjaanku biar kubayar sendiri.""Tidak usah Nyonya. Biar masuk sini saja. Lagipula bar

Bab terbaru

  • Dibayar Satu Miliar   94

    Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah

  • Dibayar Satu Miliar   93

    POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d

  • Dibayar Satu Miliar   91

    POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint

  • Dibayar Satu Miliar   90

    "Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,

  • Dibayar Satu Miliar   89

    POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka

  • Dibayar Satu Miliar   88

    Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar

  • Dibayar Satu Miliar   87

    POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 

  • Dibayar Satu Miliar   86

    Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata

  • Dibayar Satu Miliar   85

    Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.

DMCA.com Protection Status