"Bersabarlah. Hanya sembilan bulan maka kebebasanmu di depan mata." Kemudian ia melangkah keluar kamar tanpa menoleh ke arahku lagi.
Sakit. Aku salah lagi di matanya. Baru beberapa menit yang lalu, dia sangat perhatian padaku, tapi dalam hitungan sekejap, semuanya berubah kembali.
Setelah makan malam dengan menu bubur sebagai santapan malam, aku berlalu masuk ke kamar. Pak Arik sejak terakhir ia menemuiku, tidak terlihat atau memasuki kamarku lagi. Aku harap juga begitu. Tak perlu masuk ke kamarku dulu karena aku pun juga kesal dengannya.
***
Sejak bangun pagi, rasa mual membuatku beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi. Tidak seperti kemarin hanya rasa mualnya saja yang muncul, kali ini dengan isi di dalamnya yang ikut keluar.
Kutatap wajahku sehabis muntah di dep
Wanita yang mengaku mengenal Pak Arik, semakin meneliti wajah suamiku itu."Dokter Vivi, apa kabar." Suamiku menyapa balik wanita yang berdiri di depannya tersebut.Dokter Vivi? Jadi wanita ini dokter juga, tapi kenapa bisa kenal dengan suamiku, dan apa hubungan mereka? Teman atau ….Aku mengambil buku-ku yang terjatuh dari tangan Pak Arik yang disembunyikan di belakang badannya."Baik. Kamu ngapain di sini, Rik? Sama Alisa? Di mana?" Aku yang terlindung badan Pak Arik dan berada tepat di belakangnya, memilih duduk di kursi tunggu yang kosong--yang berada di sampingku. Mencoba menghindar dan berpura tidak mengenalnya.Gugup, aku harus ngapain? Tetap begini atau pergi? Aku tidak ingin tindakanku membuat masalah untuk Pak Arik."Ada janji sama te
Kami telah sampai ke rumah, dan aku masuk ke dalam lebih dulu karena Pak Arik harus memasukkan mobil kedalam garasi. Ia bilang akan tetap di sini sampai malam dan janji akan menginap. Besok subuh baru balik. Aku senang mendengarnya. Ia menunjukkan kepeduliannya."Bagaimana Nyonya hasilnya? Positif?" Neni yang menyambut membukakan pintu bertanya penasaran.Kubuat wajahku sendu. Aku ingin menjahilinya."Nggak apa Nyonya. Nanti coba lagi. Nyonya kan masih muda. Nikmati dulu berduaan dengan Bapak." Sambil mengelus pundakku, ia berkata mencoba menenangkan. Tak tahan melihat wajah seriusnya, aku pun tersenyum lebar. Neni mengernyit menatapku heran."Loh, Nyonya kok? Apa Nyonya ngerjain saya ya?" Neni mulai sadar dengan ekspresi wajahku."Maaf." Aku malah terkekeh.
Malam semakin larut dan aku masih terjaga. Tidak ada tanda-tanda laki-laki yang kutunggu kehadirannya bakal datang. Tidak ada juga kabar darinya. Pesan yang kukirim padanya dengan setengah keberanian tak kunjung dibalas. Terlihat centang dua biru di pesan chat aplikasi berwarna hijau tersebut. Artinya pesanku sudah dibaca, tapi sayang hanya dibaca saja. Sulitkah untuknya membalas pesan tersebut sekedar meredam kegelisahanku?"Nyonya butuh sesuatu? Biar saya ambilkan?" Aku yang baru keluar kamar terkejut ditegur Neni yang tetiba ada di hadapan."Astagfirullah." Mengelus dada seraya menghembuskan napas kasar."Eh, maaf mengagetkan Nyonya, ya?""Kamu ngagetin aja. Nggak, aku cuma ..., sudahlah. Nggak ada," jawabku dengan menggelengkan kepala menolak tawarannya."Terus Nyonya mau kemana?" tanyanya lagi.
"Mbak kenal Axel?"Axel?"Axel siapa?" Aku berpura tidak kenal."Please, Mbak. Jangan membohongi Varel lagi. Laki-laki itu datang ke sini mencari Mbak, dan dia mengaku sebagai calon suami Mbak.""Apa? Terus apa kata Ibu?" Kali ini aku memang terkejut, bukan pura-pura."Ibu tidak langsung percaya. Meski orang itu memperlihatkan banyak foto Mbak di ponselnya."Foto? Sejak kapan Axel memiliki fotoku?"Foto seperti apa Rel? Bukan foto yang aneh-aneh kan?" Aku jadi gugup, takut foto yang diperlihatkannya adalah foto senonoh, dan sebagainya. Walaupun kuakui tidak pernah melakukan pose seperti tu, tapi tetap saja muncul perasaan takut karena kecanggihan teknologi sekarang mampu mengedit dan merekayasa foto apapun sesuai dengan yang kita inginkan.
Rasa penasaran yang membuncah, membuatku segera menelpon balik Pak Arik tanpa membalas pesan yang dikirimkannya. Namun, panggilanku ditolak. Dua kali kuhubungi lagi, dua kali pula ditolaknya.Aneh? Ada apa dengan Pak Arik? Sebenarnya pesan itu untuk siapa? Siapa Bulan?Biarlah. Nanti kucoba menghubungi Pak Arik kembali. Dia masih berutang penjelasan padaku.Aku memutuskan tetap pergi dengan Neni. Dengan atau tanpa restunya.Aku berhasil membujuk Neni agar mau mengajakku pergi keluar dengannya. Awalnya dia menolak, tapi dengan mengancam kalau aku tidak mau makan, membuatnya luluh juga. Aku merajuk kayak anak kecil selalu mengancamnya begitu, tapi anehnya Neni menurut. Aku sampai mengucap maaf di dalam hati karena selalu mengatakan hal tersebut, sambil mengelus perutku yang mulai tampak sedikit cembung.
Hanya sebentar aku merajuk. Malu juga bertingkah kekanak-kanakan di hadapan Neni. Apalagi umurku tidak jauh beda darinya, tapi kuakui dia lebih dewasa dalam bersikap. Aku sebenarnya juga tahu kalau Neni hanya melakukan tugasnya sesuai dengan yang diperintahkan Alisa."Nen, ini pakai kartuku saja buat bayar semuanya." Sebuah kartu debit kusodorkan ke arahnya. Kami sedang mengantri di meja kasir. Ada dua orang lagi di depanku dan Neni."Tidak usah Nyonya. Uang belanja sudah masuk di uang bulanan yang sudah disiapkan Nyonya Alisa." Ditolaknya kartu debit yang masih mengambang di udara karena belum diraihnya."Oh begitu." Kumasukkan kembali kartu kecil seukuran kartu KTP tersebut ke dalam tas."Eh, tapi belanjaanku biar kubayar sendiri.""Tidak usah Nyonya. Biar masuk sini saja. Lagipula bar
"Sebentar." Aku berseru dan beranjak bangun dari tempat tidur. Suara ketukan dari arah pintu kamar, memaksaku melangkah cepat menghampiri."Iya Nen, ada apa--"Suaraku terjeda saat melihat Neni menyodorkan sebuah ponsel ke arahku."Dari Pak Arik," selanya dengan masih mengarahkan ponsel tersebut ke hadapan agar segera diambil.Sejenak berpikir, lalu aku menggeleng."Aku tidak mau." Aku menolak menerima panggilan dari lelaki yang telah mengabaikanku itu dengan berbalik arah dan melangkahkan kaki menuju tempat tidur."Tapi Nyonya, ini dari Pak Arik," ulangnya lagi membujukku menerimanya.Sayup terdengar suara laki-laki yang kurindukan bicara dari ponsel yang dipegang Neni.
"Nyonya, hari mulai gelap, sebentar lagi Maghrib. Ada baiknya Nyonya masuk."Aku diam bergeming mengabaikan perkataan Neni."Maaf Nyonya, katanya tidak baik duduk di alam terbuka begini di luar rumah menjelang Maghrib. Apalagi saat ini Nyonya sedang mengandung." Tidak menyerah, Neni masih membujukku masuk ke dalam."Iya, aku akan masuk. Biarkan aku di sini sebentar lagi." Aku ingin meredakan sakit di hati setelah melihat foto tersebut.Setelahnya, tidak terdengar lagi suara Neni, yang ada derap langkah kaki berjalan semakin menjauh.Kupandangi langit yang berwarna kelabu dengan mendongak ke atas.***"Luna, Varel, ayo masuk! Jangan di luar. Sudah mau Maghrib. Ayo bersiap sholat Maghrib." Aku jadi teringat Ibu. Beliau