Wanita yang mengaku mengenal Pak Arik, semakin meneliti wajah suamiku itu.
"Dokter Vivi, apa kabar." Suamiku menyapa balik wanita yang berdiri di depannya tersebut.
Dokter Vivi? Jadi wanita ini dokter juga, tapi kenapa bisa kenal dengan suamiku, dan apa hubungan mereka? Teman atau ….
Aku mengambil buku-ku yang terjatuh dari tangan Pak Arik yang disembunyikan di belakang badannya.
"Baik. Kamu ngapain di sini, Rik? Sama Alisa? Di mana?" Aku yang terlindung badan Pak Arik dan berada tepat di belakangnya, memilih duduk di kursi tunggu yang kosong--yang berada di sampingku. Mencoba menghindar dan berpura tidak mengenalnya.
Gugup, aku harus ngapain? Tetap begini atau pergi? Aku tidak ingin tindakanku membuat masalah untuk Pak Arik.
"Ada janji sama te
Kami telah sampai ke rumah, dan aku masuk ke dalam lebih dulu karena Pak Arik harus memasukkan mobil kedalam garasi. Ia bilang akan tetap di sini sampai malam dan janji akan menginap. Besok subuh baru balik. Aku senang mendengarnya. Ia menunjukkan kepeduliannya."Bagaimana Nyonya hasilnya? Positif?" Neni yang menyambut membukakan pintu bertanya penasaran.Kubuat wajahku sendu. Aku ingin menjahilinya."Nggak apa Nyonya. Nanti coba lagi. Nyonya kan masih muda. Nikmati dulu berduaan dengan Bapak." Sambil mengelus pundakku, ia berkata mencoba menenangkan. Tak tahan melihat wajah seriusnya, aku pun tersenyum lebar. Neni mengernyit menatapku heran."Loh, Nyonya kok? Apa Nyonya ngerjain saya ya?" Neni mulai sadar dengan ekspresi wajahku."Maaf." Aku malah terkekeh.
Malam semakin larut dan aku masih terjaga. Tidak ada tanda-tanda laki-laki yang kutunggu kehadirannya bakal datang. Tidak ada juga kabar darinya. Pesan yang kukirim padanya dengan setengah keberanian tak kunjung dibalas. Terlihat centang dua biru di pesan chat aplikasi berwarna hijau tersebut. Artinya pesanku sudah dibaca, tapi sayang hanya dibaca saja. Sulitkah untuknya membalas pesan tersebut sekedar meredam kegelisahanku?"Nyonya butuh sesuatu? Biar saya ambilkan?" Aku yang baru keluar kamar terkejut ditegur Neni yang tetiba ada di hadapan."Astagfirullah." Mengelus dada seraya menghembuskan napas kasar."Eh, maaf mengagetkan Nyonya, ya?""Kamu ngagetin aja. Nggak, aku cuma ..., sudahlah. Nggak ada," jawabku dengan menggelengkan kepala menolak tawarannya."Terus Nyonya mau kemana?" tanyanya lagi.
"Mbak kenal Axel?"Axel?"Axel siapa?" Aku berpura tidak kenal."Please, Mbak. Jangan membohongi Varel lagi. Laki-laki itu datang ke sini mencari Mbak, dan dia mengaku sebagai calon suami Mbak.""Apa? Terus apa kata Ibu?" Kali ini aku memang terkejut, bukan pura-pura."Ibu tidak langsung percaya. Meski orang itu memperlihatkan banyak foto Mbak di ponselnya."Foto? Sejak kapan Axel memiliki fotoku?"Foto seperti apa Rel? Bukan foto yang aneh-aneh kan?" Aku jadi gugup, takut foto yang diperlihatkannya adalah foto senonoh, dan sebagainya. Walaupun kuakui tidak pernah melakukan pose seperti tu, tapi tetap saja muncul perasaan takut karena kecanggihan teknologi sekarang mampu mengedit dan merekayasa foto apapun sesuai dengan yang kita inginkan.
Rasa penasaran yang membuncah, membuatku segera menelpon balik Pak Arik tanpa membalas pesan yang dikirimkannya. Namun, panggilanku ditolak. Dua kali kuhubungi lagi, dua kali pula ditolaknya.Aneh? Ada apa dengan Pak Arik? Sebenarnya pesan itu untuk siapa? Siapa Bulan?Biarlah. Nanti kucoba menghubungi Pak Arik kembali. Dia masih berutang penjelasan padaku.Aku memutuskan tetap pergi dengan Neni. Dengan atau tanpa restunya.Aku berhasil membujuk Neni agar mau mengajakku pergi keluar dengannya. Awalnya dia menolak, tapi dengan mengancam kalau aku tidak mau makan, membuatnya luluh juga. Aku merajuk kayak anak kecil selalu mengancamnya begitu, tapi anehnya Neni menurut. Aku sampai mengucap maaf di dalam hati karena selalu mengatakan hal tersebut, sambil mengelus perutku yang mulai tampak sedikit cembung.
Hanya sebentar aku merajuk. Malu juga bertingkah kekanak-kanakan di hadapan Neni. Apalagi umurku tidak jauh beda darinya, tapi kuakui dia lebih dewasa dalam bersikap. Aku sebenarnya juga tahu kalau Neni hanya melakukan tugasnya sesuai dengan yang diperintahkan Alisa."Nen, ini pakai kartuku saja buat bayar semuanya." Sebuah kartu debit kusodorkan ke arahnya. Kami sedang mengantri di meja kasir. Ada dua orang lagi di depanku dan Neni."Tidak usah Nyonya. Uang belanja sudah masuk di uang bulanan yang sudah disiapkan Nyonya Alisa." Ditolaknya kartu debit yang masih mengambang di udara karena belum diraihnya."Oh begitu." Kumasukkan kembali kartu kecil seukuran kartu KTP tersebut ke dalam tas."Eh, tapi belanjaanku biar kubayar sendiri.""Tidak usah Nyonya. Biar masuk sini saja. Lagipula bar
"Sebentar." Aku berseru dan beranjak bangun dari tempat tidur. Suara ketukan dari arah pintu kamar, memaksaku melangkah cepat menghampiri."Iya Nen, ada apa--"Suaraku terjeda saat melihat Neni menyodorkan sebuah ponsel ke arahku."Dari Pak Arik," selanya dengan masih mengarahkan ponsel tersebut ke hadapan agar segera diambil.Sejenak berpikir, lalu aku menggeleng."Aku tidak mau." Aku menolak menerima panggilan dari lelaki yang telah mengabaikanku itu dengan berbalik arah dan melangkahkan kaki menuju tempat tidur."Tapi Nyonya, ini dari Pak Arik," ulangnya lagi membujukku menerimanya.Sayup terdengar suara laki-laki yang kurindukan bicara dari ponsel yang dipegang Neni.
"Nyonya, hari mulai gelap, sebentar lagi Maghrib. Ada baiknya Nyonya masuk."Aku diam bergeming mengabaikan perkataan Neni."Maaf Nyonya, katanya tidak baik duduk di alam terbuka begini di luar rumah menjelang Maghrib. Apalagi saat ini Nyonya sedang mengandung." Tidak menyerah, Neni masih membujukku masuk ke dalam."Iya, aku akan masuk. Biarkan aku di sini sebentar lagi." Aku ingin meredakan sakit di hati setelah melihat foto tersebut.Setelahnya, tidak terdengar lagi suara Neni, yang ada derap langkah kaki berjalan semakin menjauh.Kupandangi langit yang berwarna kelabu dengan mendongak ke atas.***"Luna, Varel, ayo masuk! Jangan di luar. Sudah mau Maghrib. Ayo bersiap sholat Maghrib." Aku jadi teringat Ibu. Beliau
Bulan?Aku dan Pak Arik saling tatap."Kenapa diterima?" Nada suara Pak Arik terdengar keras."E .. anu Pak, kata Budi alamatnya benar di sini, terus dia juga menyebut nama Bapak, dan belum sempat dikonfirmasi ke Bapak, orang yang mengantar paket itu sudah pergi." Neni menjelaskan dengan terbata."Ya, paketnya jangan diambil dulu. Bagaimana kalau ini isinya narkoba? Siapa yang mau tanggung jawab? Kamu?" Neni terdiam tertunduk tidak berani menatap laki-laki yang berdiri di sebelahku. Suamiku ini, kalau lagi bicara serius atau marah memang menakutkan."Maaf, Pak. Saya minta maaf." Hanya kata itu yang terucap terus-menerus keluar dari bibir Neni."Mas, sudah. Ini sudah malam. Besok saja kita lanjutkan nanyanya. Biarkan Neni istirahat." Aku mencoba menengahi.
Kuajak Luna bicara. Dengan berderai air mata ia menceritakan kisah tragisnya hingga terdampar ke kota ini lagi. Kaget. Itu respon pertamaku saat mendengarnya. Ternyata anak yang diakui Kak Alisa sebagai anaknya adalah anaknya Luna. Wanita di depanku inilah ibu kandung dari Adnan. Aku mencoba mempercayainya meskipun sedikit ragu. Heran, perjanjian seperti apa yang ia jalani yang hasilnya hanyalah merugikan diri sendiri. Ia menceritakan semuanya tanpa ditutupi. Aku syok mendengarnya. Kenapa ia harus memilih jalan hidup seperti ini? Hal yang kusesali sejak awal adalah kenapa dia tidak datang dan minta tolong padaku saja, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.Akhirnya aku memilih mempercayai semua ceritanya. Jangan tanya kenapa, hatiku lah yang mengarahkannya ke sana. Aku tahu kalau Luna bicara jujur dari caranya bicara. Kujanjikan akan membantunya menyelesaikan masalahnya dengan keluargaku terutama dengan Tante Maya--ibunya Alisa. Setah
POV Axel."Mas Arik? Bukankah di kamar itu …?" Dengan langkah lebar dan terburu-buru kuhampiri Mas Arik dengan tangan mengepal kuat siap memuntahkan bogem mentah meluncur ke wajahnya."Axel! Kamu?!" Nampak keterkejutan di wajah kakak kandungku ini. Ia meringis sembari mengusap bekas hantaman keras buku tanganku yang berhasil mendarat di pipinya. Tampak kemerahan dan sudut bibirnya berdarah. Tidak cukup sekali, rasa panas terbakar dalam hatiku menyulut amarah yang semakin besar hingga ingin mengulangi kembali hantaman tersebut ke wajahnya lagi. Namun sayang dapat ditepisnya dan …."Aaargh!" Mas Arik berhasil menonjok pipiku. Perih rasanya, tapi tak seberapa dengan perih yang bersemi di dalam hatiku saat ini. Rasanya sakit sekali. Dengan brutal kucoba membalas hantaman tangannya, dan kami terlibat baku hantam. Beberapa kali berhasil memukulnya, begitupun d
POV Luna."Hentikan perang dinginmu dengan Arik, Lun. Kasihan dia tersiksa." Alisa yang masuk ke kamar kami--aku dan Adnan, langsung melontarkan ucapan tersebut secara tiba-tiba. Aku yang baru memandikan Adnan hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke bayi mungil berkulit putih kemerahan."Siapa yang sedang perang dingin, Kak. Kami baik-baik saja," sanggahku tanpa menoleh ke arahnya. Aku kembali memanggilnya Kakak. Hubungan kami membaik. Aku berusaha tidak membencinya karena aku paham yang dilakukan padaku itu atas dasar cemburu. Melihat kondisinya yang sering sekali sakit, membuatku tidak tega mendendam padanya.Apa aku terlalu baik jadi manusia? Aku juga ingin membalas perlakuannya, tapi tertahan karena rasa empati. Setiap melihatnya kesakitan, aku tahu rasa itu pasti sangat menyiksa. Di satu sisi, dia pasti ingin normal sehat seperti orang lainnya, bisa berint
"Pikirkanlah. Setelah ini, kamu akan berterima kasih padaku.""Apa syaratnya?" Bisa kutebak dari ucapannya, tersirat sesuatu yang akan dimintanya.Alisa tersenyum kecut. "Kamu mengenal baik aku, Rik. Sudah tahu, pasti ada syarat yang akan kuajukan. Baik, jadi gini, dimulai dari hubungan kita dulu, akhiri perang dingin ini, Rik. Aku lelah. Bersikaplah layaknya suamiku seperti dulu. Waktuku tidak banyak Rik. Bisa jadi besok aku pergi.""Hubungan kita seburuk apa jadi kau menganggap aku berubah?""Sangat buruk Rik. Kita tidak pernah bicara lama seperti dulu. Kamu juga tidak sehangat dulu, apalagi kalau kita cuma berduaan saja seperti ini. Malah terbalik. Saat di hadapan orang banyak, kamu sok perhatian, apalagi kalau ada Luna. Seolah kamu mesra denganku hanya untuk memanas-manasinya. Namun saat kita cuma berduaan begini,
POV ArikAku hanya mampu tertunduk saat sorot mata itu menatapku intens. Aku tahu tatapan yang ditunjukkannya adalah tatapan kebencian dan kemarahan. Aku malu untuk membalas tatapannya. Suami yang harusnya membelanya terpaksa diam ketika ada lelaki lain yang membersamainya datang ke rumah ini.Aku benci pada diriku sendiri tak mampu sebagai pelindungnya, dan malah membiarkannya memilih berlindung di balik punggung lelaki lain, meski lelaki itu adikku sendiri.***"Maaf, Rik. Maaf. Aku terpaksa melakukan itu semua. Aku takut kehilanganmu." Alisa tergugu menangis saat kumintai penjelasannya soal kebenaran tentang Luna yang diculik ibunya. Aku seperti lelaki bodoh yang gampang sekali terhasut oleh cerita palsu mereka."Apa aku meninggalkanmu, Lis? Tidak, bukan? Apa Aku memilih bersama Luna? Tidak juga kan? Semuanya tetap ka
Arik menatapku tajam. Aku tahu dia tak suka ucapanku barusan."Hussstttt! Aku nggak suka ucapanmu ini. Jangan pernah mengatakan hal tersebut." Arik mendekapku ke dada bidangnya. Aku tersenyum samar sambil melekatkan pelukannya. Usahaku sepertinya berhasil.Aku tak sanggup lagi mendengar ucapan keluarga dari pihak ibunya Arik. Mereka hanya di depanku saja baik, di belakang, suka menjelekkanku dengan kelemahan yang kupunya. Aku juga tidak ingin mereka mengalami masalah karena mengejekku. Ibu sering 'membereskan' mereka, orang yang dengan sengaja melukai hati anaknya. Mereka akan berakhir menyedihkan, dan aku tidak ingin Ibu menumpuk dosanya karena-ku.Akhirnya Arik bersedia menikahi Luna. Aku jujur padanya akan membayar Luna satu Miliar kalau dia berhasil hamil. Namun aku tidak menunjukkan isi poin perjanjian yang kami lakukan. Aku juga tidak cerita soal ancamanku pada Luna. Ar
POV AlisaAku memperhatikan seorang perempuan yang sedang bersusah payah mengambilkan balon karakter yang tersangkut di dahan pohon besar tidak jauh dari tempatku duduk, di taman kota.Perempuan muda itu tampak kepayahan dengan berani memanjat pohon tersebut untuk mengambilkannya. Ia berusaha sekali mengambilkan balon untuk anak kecil yang menunggunya di bawah dengan harap cemas. Mataku memicing heran melihatnya. Kenapa dia bersusah payah kalau tidak jauh darinya, masih ada penjual balon tersebut. Kalau aku jadi dia, tinggal belikan yang baru. Harganya pun tidak mahal, masih terjangkau."Mang, tolong belikan satu balon dan kasih ke anak itu," tunjukku ke arah anak kecil yang sedang menantikan balonnya diambilkan perempuan muda tersebut. Aku meminta Mang Diman--supirku yang datang menghampiri membawakan pesananku, dengan memberikannya selembar uang rupiah berwarna biru. 
Axel menemuiku dan mengatakan aku harus tinggal di rumah besar ini. Pertanyaan yang sama kutanyakan padanya. Aku diizinkan tinggal atas dasar apa? Sebagai pengasuh Adnan atau tetap sebagai istri kedua kakaknya.Axel tersenyum tipis. Ia bilang aku sendiri yang harus memilih mau sebagai apa, karena apapun yang kuminta akan mereka turuti. Kata Axel keputusan di rumah ini ada di tangan ayahnya, dan itulah kuputusan ayahnya. Ketidakadilan yang kudapat sebab perjanjian yang tidak manusiawi tersebut dibalas dengan menuruti inginku. Asal apa yang kuminta masih bisa ditolerir dan di batas kewajaran.***Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar Adnan. Memandangi wajah imut nan menggemaskan yang masih tertidur di dalam box tidurnya. Memandangnya membuatku enggan untuk pergi kemanapun, rasa lapar pun berganti kenyang. Saat ia terbangun, aku dengan sigap menggendongnya dan memberinya ASI. Ata
Seorang ibu akan berjuang membahagiakan anaknya, meskipun harus melepaskan kebahagiaannya.Aku bukannya lemah lalu menerimanya dengan pasrah. Namun, saat sosok mungil itu datang di hadapan, disitu hatiku luluh dan bertekuk lutut padanya."Maaf Nyonya, Bapak, permisi. Ini Nyonya Alisa, Adnan tidak berhenti menangis, saya sudah memberinya susu, tapi dia tidak mau. Dia tetap kejer menangis. Saya sudah periksa keadaannya, dia tidak lagi pup atau kencing karena baru saja saya ganti popoknya. Suhu badannya juga normal." Seorang perempuan muda dengan seragam putih datang ke ruangan ini dengan membawa seorang bayi yang sedang menangis. Saat ia menyebut nama Adnan, aku tahu itu adalah Adnan anakku. Perempuan itu tampak panik. Aku yakin dia pengasuhnya.Ibu mana yang tega membiarkan anaknya menangis? Tanpa izin dari mereka kurebut Adnan dari tangan pengasuhnya.