Home / Romansa / Dibayar Satu Miliar / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Dibayar Satu Miliar: Chapter 31 - Chapter 40

93 Chapters

31

Kami telah sampai ke rumah, dan aku masuk ke dalam lebih dulu karena Pak Arik harus memasukkan mobil kedalam garasi. Ia bilang akan tetap di sini sampai malam dan janji akan menginap. Besok subuh baru balik. Aku senang mendengarnya. Ia menunjukkan kepeduliannya.  "Bagaimana Nyonya hasilnya? Positif?" Neni yang menyambut membukakan pintu bertanya penasaran.  Kubuat wajahku sendu. Aku ingin menjahilinya.   "Nggak apa Nyonya. Nanti coba lagi. Nyonya kan masih muda. Nikmati dulu berduaan dengan Bapak." Sambil mengelus pundakku, ia berkata mencoba menenangkan. Tak tahan melihat wajah seriusnya, aku pun tersenyum lebar. Neni mengernyit menatapku heran.    "Loh, Nyonya kok? Apa Nyonya ngerjain saya ya?" Neni mulai sadar dengan ekspresi wajahku.   "Maaf." Aku malah terkekeh.  
Read more

32

 Malam semakin larut dan aku masih terjaga. Tidak ada tanda-tanda laki-laki yang kutunggu kehadirannya bakal datang. Tidak ada juga kabar darinya. Pesan yang kukirim padanya dengan setengah keberanian tak kunjung dibalas. Terlihat centang dua biru di pesan chat aplikasi berwarna hijau tersebut. Artinya pesanku sudah dibaca, tapi sayang hanya dibaca saja. Sulitkah untuknya membalas pesan tersebut sekedar meredam kegelisahanku?  "Nyonya butuh sesuatu? Biar saya ambilkan?" Aku yang baru keluar kamar terkejut ditegur Neni yang tetiba ada di hadapan.  "Astagfirullah." Mengelus dada seraya menghembuskan napas kasar.  "Eh, maaf mengagetkan Nyonya, ya?"  "Kamu ngagetin aja. Nggak, aku cuma ..., sudahlah. Nggak ada," jawabku dengan menggelengkan kepala menolak tawarannya.  "Terus Nyonya mau kemana?" tanyanya lagi.
Read more

33

"Mbak kenal Axel?"  Axel?  "Axel siapa?" Aku berpura tidak kenal.  "Please, Mbak. Jangan membohongi Varel lagi. Laki-laki itu datang ke sini mencari Mbak, dan dia mengaku sebagai calon suami Mbak."  "Apa? Terus apa kata Ibu?" Kali ini aku memang terkejut, bukan pura-pura.  "Ibu tidak langsung percaya. Meski orang itu memperlihatkan banyak foto Mbak di ponselnya."  Foto? Sejak kapan Axel memiliki fotoku?  "Foto seperti apa Rel? Bukan foto yang aneh-aneh kan?" Aku jadi gugup, takut foto yang diperlihatkannya adalah foto senonoh, dan sebagainya. Walaupun kuakui tidak pernah melakukan pose seperti tu, tapi tetap saja muncul perasaan takut karena kecanggihan teknologi sekarang mampu mengedit dan merekayasa foto apapun sesuai dengan yang kita inginkan.
Read more

34

 Rasa penasaran yang membuncah, membuatku segera menelpon balik Pak Arik tanpa membalas pesan yang dikirimkannya. Namun, panggilanku ditolak. Dua kali kuhubungi lagi, dua kali pula ditolaknya.   Aneh? Ada apa dengan Pak Arik? Sebenarnya pesan itu untuk siapa? Siapa Bulan?   Biarlah. Nanti kucoba menghubungi Pak Arik kembali. Dia masih berutang penjelasan padaku.   Aku memutuskan tetap pergi dengan Neni. Dengan atau tanpa restunya.  Aku berhasil membujuk Neni agar mau mengajakku pergi keluar dengannya. Awalnya dia menolak, tapi dengan mengancam kalau aku tidak mau makan, membuatnya luluh juga. Aku merajuk kayak anak kecil selalu mengancamnya begitu, tapi anehnya Neni menurut. Aku sampai mengucap maaf di dalam hati karena selalu mengatakan hal tersebut, sambil mengelus perutku yang mulai tampak sedikit cembung.  
Read more

35

 Hanya sebentar aku merajuk. Malu juga bertingkah kekanak-kanakan di hadapan Neni. Apalagi umurku tidak jauh beda darinya, tapi kuakui dia lebih dewasa dalam bersikap. Aku sebenarnya juga tahu kalau Neni hanya melakukan tugasnya sesuai dengan yang diperintahkan Alisa.   "Nen, ini pakai kartuku saja buat bayar semuanya." Sebuah kartu debit kusodorkan ke arahnya. Kami sedang mengantri di meja kasir. Ada dua orang lagi di depanku dan Neni.  "Tidak usah Nyonya. Uang belanja sudah masuk di uang bulanan yang sudah disiapkan Nyonya Alisa." Ditolaknya kartu debit yang masih mengambang di udara karena belum diraihnya.  "Oh begitu." Kumasukkan kembali kartu kecil seukuran kartu KTP tersebut ke dalam tas.   "Eh, tapi belanjaanku biar kubayar sendiri."   "Tidak usah Nyonya. Biar masuk sini saja. Lagipula bar
Read more

36

 "Sebentar." Aku berseru dan beranjak bangun dari tempat tidur. Suara ketukan dari arah pintu kamar, memaksaku melangkah cepat menghampiri.   "Iya Nen, ada apa--"  Suaraku terjeda saat melihat Neni menyodorkan sebuah ponsel ke arahku.  "Dari Pak Arik," selanya dengan masih mengarahkan ponsel tersebut ke hadapan agar segera diambil.   Sejenak berpikir, lalu aku menggeleng.  "Aku tidak mau." Aku menolak menerima panggilan dari lelaki yang telah mengabaikanku itu dengan berbalik arah dan melangkahkan kaki menuju tempat tidur.   "Tapi Nyonya, ini dari Pak Arik," ulangnya lagi membujukku menerimanya.   Sayup terdengar suara laki-laki yang kurindukan bicara dari ponsel yang dipegang Neni. 
Read more

37

 "Nyonya, hari mulai gelap, sebentar lagi Maghrib. Ada baiknya Nyonya masuk."  Aku diam bergeming mengabaikan perkataan Neni.  "Maaf Nyonya, katanya tidak baik duduk di alam terbuka begini di luar rumah menjelang Maghrib. Apalagi saat ini Nyonya sedang mengandung." Tidak menyerah, Neni masih membujukku masuk ke dalam.   "Iya, aku akan masuk. Biarkan aku di sini sebentar lagi." Aku ingin meredakan sakit di hati setelah melihat foto tersebut.  Setelahnya, tidak terdengar lagi suara Neni, yang ada derap langkah kaki berjalan semakin menjauh.  Kupandangi langit yang berwarna kelabu dengan mendongak ke atas.   ***  "Luna, Varel, ayo masuk! Jangan di luar. Sudah mau Maghrib. Ayo bersiap sholat Maghrib." Aku jadi teringat Ibu. Beliau
Read more

38

 Bulan?  Aku dan Pak Arik saling tatap.  "Kenapa diterima?" Nada suara Pak Arik terdengar keras.  "E .. anu Pak, kata Budi alamatnya benar di sini, terus dia juga menyebut nama Bapak, dan belum sempat dikonfirmasi ke Bapak, orang yang mengantar paket itu sudah pergi." Neni menjelaskan dengan terbata.   "Ya, paketnya jangan diambil dulu. Bagaimana kalau ini isinya narkoba? Siapa yang mau tanggung jawab? Kamu?" Neni terdiam tertunduk tidak berani menatap laki-laki yang berdiri di sebelahku. Suamiku ini, kalau lagi bicara serius atau marah memang menakutkan.   "Maaf, Pak. Saya minta maaf." Hanya kata itu yang terucap terus-menerus keluar dari bibir Neni.  "Mas, sudah. Ini sudah malam. Besok saja kita lanjutkan nanyanya. Biarkan Neni istirahat." Aku mencoba menengahi.
Read more

39

"Aku merebut Mas darinya, dan …." Lagi aku terjeda tak bisa bicara.   "Lupakan. Maaf kalau aku berlebihan dan lupa akan tugasku sebenarnya. Seharusnya aku bersikap profesional dan tidak menggunakan hati, tapi sejak kebersamaan kita selama ini membuatku--"   "Aku apa?" selanya tidak sabar karena aku suka menjeda kalimatku.  "Tidak ada. Sudah lupakan. Aku mau tidur." Kutarik selimut sampai atas kepala dan menutupi seluruh tubuhku.   "Hei, tunggu dulu. Buka!" Ditariknya selimut yang kupegang erat, kutahan jangan sampai terbuka. Namun tenaganya yang jauh lebih kuat tentu mampu menyibak selimut tersebut.   "Sudah lupakan yang kukatakan barusan. Anggap aku ngigau dan sudah lupa mau bilang apa." Wajahku kuhadapkan berlawanan arah darinya. Aku malu karena hampir saj
Read more

40

 "Luna atau Bulan. Benar?" Wanita di depanku tersenyum seringai sambil membenarkan letak kacamatanya.   "Maaf, Anda siapa?" Kutanyakan juga karena merasa pernah melihatnya. Wajah di depanku ini seperti tidak asing.   "Mungkin kamu lupa, tapi kita pernah ketemu. Coba kamu ingat-ingat."   Aduh, dia tidak langsung jawab malah mengajakku berpikir. Bagaimana bisa aku memikirkannya, sedang yang di bagian bawah ini saja sudah tidak sanggup lagi menahan rasa ingin ke toilet.   "Maaf, s--saya ke toilet dulu, permisi." Dengan setengah berlari aku pergi meninggalkannya begitu saja. Meski penasaran, tapi aku tidak sanggup menunggunya lagi.    Lega setelah hajatku berhasil dikeluarkan. Aku tidak tahu kenapa suka sekali buang air kencing akhir-akhir ini, a
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status