Beranda / Horor / Kafan Hitam / Bab 121 - Bab 130

Semua Bab Kafan Hitam: Bab 121 - Bab 130

198 Bab

109

Rojali segera masuk ke mobil. Tatapannya tertuju pada dua anggota Kalong Hideung yang rebah di tanah. Ia dapat bernapas lega sekarang. “Nuhun, Man,” ucapnya.Lukman segera memutar arah mobil, melajukan kendaraan dengan cepat. “Sudah kewajiban kita untuk saling membantu. Sebaiknya kita segera pergi ke tempat para santri yang lain.”Rojali mengangguk meski sejujurnya ia masih mengkhawatirkan kondisi Kiai sekarang. Namun, saat mengingat bila beliau bersama Ustaz Ahmad, ia bisa agak tenang.Lelah setelah pertarungan, membuat Rojali diserang kantuk. Pemuda itu melepas beberapa kancing pakaian untuk mengusir panas.  Ia mulai terpejam, dan tanpa sadar baju kokonya terlepas hingga dada bidangnya terekspos.Melihat Rojali yang sudah menutup mata, Lukman mempercepat laju mobil. Pria itu menyeka keringat yang menumpuk di dahi dengan punggung tangan. Ia mengembus napas panjang seraya melirik Rojali. Alisnya mendadak menukik begit
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-14
Baca selengkapnya

110

Cahaya rembulan menerobos celah-celah rerimbunan pohon di Legok Kiara. Di puncak bukit, tepatnya di dekat bangunan tua berada, Kalong Hideung bersiap untuk melancarkan misi. Tampak Ki Jalu dan Badru tengah berdiri di depan hampir semua anggota.“Persiapannya sudah selesai, Kos?” tanya Ki Jalu seraya menatap Engkos yang tengah berjongkok paling depan.“Sudah, Ki,” jawab Engkos, “kita hanya tinggal menunggu Ujang.”Sesudah Engkos berbicara, pandangan semua orang seketika teralih pada seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Ujang yang baru saja tiba segera berjalan ke arah Ki Jalu, kemudian memberikan sebuah kain pada kakek tua itu. Setelahnya, Ujang mundur dan berjongkok di samping Engkos.Ki Jalu tak serta merta langsung bahagia saat membuka benda yang diselimuti kain itu. Selama beberapa detik lamanya, ia mengamati kunci berkepala naga itu untuk memastikan keasliannya. Begitu menyadari benda itu memanglah be
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-15
Baca selengkapnya

111

Semua anggota Kalong Hideung terpana saat melihat hal itu terjadi. Tak sedikit yang menelan ludah, bahkan melebarkan matanya bulat-bulat, tak terkecuali Badru yang notabenenya sudah dekat hal seperti ini semenjak kecil. Namun, hal sehebat ini baru saja ia saksikan sekarang. Kubah merah itu perlahan menghilang, tetapi guntur dan kilat masih terdengar dan tampak di langit malam. Saat bibir kembali terkatup, Ki Jalu mulai membuka mata. Kakek tua berikat kepala merah tua itu kemudian berdiri, kemudian membentangkan kedua tangan lebar-lebar. Tongkatnya yang bersinar kembali ke keadaan semula.Guntur kembali bersahutan, membawa angin yang lebih kencang dibanding semula. Di sisi lain, awan hitam kian bengis menutupi cahaya rembulan. Siapa pun akan mengira bila hujan sebentar lagi tiba, dan memang kenyataan itulah yang terjadi selanjutnya. Akan tetapi, bukan hujan air yang akan turun dari langit seperti dugaan, melainkan hujan pocong berkafan hitam yang siap menjamur ke
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-15
Baca selengkapnya

112

Angin kencang tiba-tiba berembus dari arah Ciboeh, membuat hamparan tanaman padi yang berada di sisi kiri dan kanan meliuk-liuk bak tengah menari. Alira udara itu dengan nakal menjatuhkan peci hitam Ustaz Ahmad, menyebabkan ia harus berhenti untuk mengambilnya.Ustaz Ahmad secara tiba-tiba membeku di tempat saat mendengar suara teriakan di mana-mana. Bulu kuduknya mendadak meremang seiring dengan jantungnya yang berdegup berkali-kali lebih cepat. Akan tetapi, saat memindai sekeliling,  ia sama sekali tak menemukan siapa pun. Keadaan masih normal seperti tadi.“Astagfirullah,” ucap Kiai yang ikut berhenti. Matanya membulat saat melihat pemandangan di depannya, menyebabkan jemarinya berhenti menggulir tasbih untuk sesaat.“Aya naon¸ Pak?” tanya Ustaz Ahmad sembari memakai kembali pecinya. Ia dengan jelas bisa melihat keterkejutan sang bapak.  Tak mendapat jawaban, pria itu lantas ikut mengarahkan pandangan ke arah y
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-15
Baca selengkapnya

113

Pak Dede memukul-mukul kemudi seiring mobil membelah jalanan desa. Sekujur tubuhnya gemetar dengan keringat dingin yang sudah membanjiri badan. Di sisi lain, wajahnya yang pucat tampak frustrasi karena sudah hampir setengah jam ia mengendarai mobil, tetapi kendaraan masih berada di jalan Cigeutih. Setiap kali mobil melewati gerbang desa, entah mengapa kendaraan akan kembali ke jembatan perbatasan antara Cimenyan dan Cigeutih.Pak Dede melirik Reza yang terbaring di kursi belakang. Raut cemasnya sangat kentara saat melihat putranya itu hanya bisa menatap kosong langit-langit mobil. Tujuannya untuk keluar dari desa lebih awal nyatanya malah gagal total. Keduanya malah terjebak di situasi yang tak pernah sekalipun diterka.“Sabar, Za. Bapak pasti bawa kamu pergi dari desa,” ucap Pak Dede yang berusaha tenang.Pak Dede mengerem mendadak saat mendengar suara guntur yang tiba-tiba. Tubuhnya terdorong ke depan lumayan kencang. Saat menoleh ke belakang, Pak
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-15
Baca selengkapnya

114

Aep tengah berjalan menuruni perkebunan sayur dengan hati-hati. Perjalanannya hanya ditemani obor di tangan kiri, sedang tangan kanannya sesekali menyeka bulir keringat  dengan kain sarung yang tersampir di bahu.Wajahnya tampak penat sekaligus ketakutan di saat bersamaan. Saat memasuki perkebunan tadi, ia dikejutkan dengan amukan guntur yang tiba-tiba. Ia juga melihat bila listrik mendadak mati total, menyebabkan keadaan desa menjadi gelap gulita.“Siapa di sana?” tanya seseorang dari perkebunan bagian bawah.Mendengar hal itu, Aep mempercepat langkah meski tetap berhati-hati. “Aep, saya Aep,” sahutnya.Tak berselang lama, cahaya obor mulai bermunculan, memperlihatkan beberapa warga yang tengah berkumpul di dekat saung milik Rojali. Aep segera berlari saat melihat bapaknya tebaring di teras saung yang dikelilingi oleh para wanita dan juga anak-anak yang sebagian besar tengah menangis.“Bapak kamu teu nanaon
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-15
Baca selengkapnya

115

“Kalian semua yang salah karena sudah berbuat zalim sama Kang Rojali!”Ucapan Euis barusan nyatanya mampu membungkam perdebatan dan ketegangan yang terjadi di antara para warga. Untuk beberapa detik kemudian, keheningan mengambil alih dan berhasil memotong obrolan. Tak hanya itu, Euis mendadak menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di sekitar saung Rojali, termasuk anak-anak kecil yang tengah berusaha menahan kantuk dan ketakutan di waktu bersamaan.Euis sendiri langsung tertunduk begitu tatapan sinis tertuju padanya. Kedua tangannya mengerat kuat di ujung baju. Sekujur tubuhnya gemetar karena perasaan takut dan ledakan amarah.Mendengar perkataan mengejutkan itu, Pak Juju seketika mendekat, menarik pergelangan tangan putrinya dengan kencang, kemudian menarik Euis ke tengah-tengah para warga. Wajah pria paruh baya itu merah padam karena menahan emosi, pasalnya Euis menyebut nama Rojali, sosok yang sudah menjadi musuh bersama para warga. Jelas s
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-16
Baca selengkapnya

116

Semua pandangan seketika tertuju pada Aep. Pria itu dengan cepat menunduk, gugup. Ia menggaruk kepala yang sama sekali tak gatal. Sesekali Aep mengintip warga melalui ekor mata. Kedua tangannya terkepal ketika mendengar pertanyaan serupa dari warga.“Jawab, Ep!” pinta Pak Juju.“Aep!” panggil Ceu Ikoh.“Saya ... menemukan sesajen saat ... berada di sawah. Saya juga lihat beberapa anggota Kalong Hideung di sana,” ungkap Aep.“Itu saja?” Euis seolah menginterogasi. Ia memang dari awal curiga dengan Aep yang bisa tahu kalau ritual akan terjadi malam ini, padahal pria itu adalah salah orang yang paling zalim pada Rojali. Jadi, tidak mungkin Aep percaya pada keterangan ustaz muda itu. Pasti ada sesuatu, pikirnya.“Saya tahu dari ....” Aep segera menutup mulut. Hampir saja ia keceplosan menyebut nama Asep. Betapa berdosanya ia kalau sampai membawa Asep pada persoalan ini. Sudah pasti para warga
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-16
Baca selengkapnya

117

“Terus Bapak kumaha?” tanya Euis cemas.“Bapak akan pancing pocong-pocong itu untuk kejar Bapak. Setelah aman, kamu segera pergi,” perintah Pak Juju kemudian.“Tapi—”“Pergi!” Setelah mengatakan hal tersebut, tanpa menunggu persetujuan Euis, Pak Juju segera berlari menaiki jalan menuju perkampungan. Sesuai dugaan, pocong yang tersisa segera mengejarnya, termasuk yang mengintip di atap tadi.“Bapak,” gumam Euis dengan kondisi terisak. Tubuhnya berguncang kuat saat Pak Juju sudah tak tampak lagi dalam pandangannya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, di tengah cahaya temaram, Euis mengendap-endap keluar dari belakang saung. Ia sontak menutup mulut begitu bahunya dipegang seseorang.“Saya ... ikut, Is,” ucap seseorang dengan nada gemetar.Euis tak langsung menoleh. Gadis itu mengatur napas dan berusaha agar tak berteriak. Setelah agak tenang, dengan memberan
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-16
Baca selengkapnya

118

Baik Mbah Atim maupun Mbah Jaja sudah sampai di dua titik berbeda. Mbah Atim di sisi timur dan Mbah Jaja di bagian barat desa. Keduanya sengaja memutari kubah untuk sampai di tempat sekarang. Tak ingin membuang waktu, dua pria tua itu dengan cepat mengambil posisi bersemedi. Bersamaan dengan mata tertutup, mulut mereka mulai menggumamkan mantra.Teriakan dan tangisan terdengar dari dalam kubah. Bunyinya sangat nyaring, memekkikan telinga seakan menjadi penghalang agar Mbah Atim dan Mbah Jaja gagal berkonsentrasi. Tak hanya itu, pocong-pocong berkafan hitam mulai berjatuhan dari langit laksana tetes hujan, kemudian mengitari keduanya bak anak di depan api unggun.Keduanya tak gentar saat kedatangan tamu barusan. Baik Mbah Atim maupun Mbah Jaja malah kian larut dalam semedi, tenggelam dalam lantunan mantera. Hanya saja, saat derap langkah terdengar, adik dan kakak tersebut seketika membuka mata dan langsung bergerak menghindari serangan musuh.Memang busana mereka
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-16
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1112131415
...
20
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status