Semua Bab MENJADI SAINTESS TERHEBAT: Bab 1 - Bab 10

189 Bab

Bab 1. Kebencian Tersembunyi

“Kak, aku minta maaf!” ucap Rissa sambil menyatukan kedua tangannya memohon di depanku. ”Tadi Ryan mengajakku ke rumahnya karena orang tuanya ingin bertemu denganku. Jadi aku tidak bisa wawancara kerja hari ini. Aku mohon kak, bantu aku,” lanjut Rissa. “Apa?” ucapku kaget.  “Rissa, kau tidak bisa tiba-tiba begitu. Bukannya kamu yang memohon waktu itu agar bisa wawancara hari ini? Aku bahkan sudah memohon kepada atasanku agar dokumenmu bisa lulus persyaratan administrasi. Padahal seharusnya itu tidak bisa karena kamu tidak lulus kuliah,” jelasku kepada Rissa. Raut wajah Rissa berubah menjadi sedih. Matanya mulai berkaca-kaca dan ucapannya bergetar.  “Jadi … maksud kakak aku harus bersyukur … hanya karena sudah lulus syarat administrasi?” “Bukan begitu Rissa,” ucapku dengan nada selembut mungkin agar Rissa tidak menangis.  “Padahal kakak tahu sekalipun aku ikut wawancara, tidak ada jaminan ‘kan kala
Baca selengkapnya

Bab 2. Selamat dari Maut

Karena cahaya lampu truk yang semakin terang, Rissa akhirnya menoleh dan melihat truk sudah berada dekat ke arahnya.  Begitu menyadari bahwa tidak ada peluang untuk selamat. Aku menutup erat mataku dan mengatupkan gigiku sebagai persiapan untuk merasakan rasa sakit. Dalam waktu yang singkat sewaktu berada di ambang kematian, terlintas kisah bahagia saat kedua orang tua kami masih hidup serta aku dan Rissa bermain dengan sangat akrab. Aku ingin sekali kembali ke masa-masa itu.  Beberapa detik berlalu, aku masih belum merasakan apa-apa. Debaran jantungku terasa sangat kuat sampai ujung kakiku juga bisa merasakan iramanya yang cepat. Aku masih menutup mataku dan bertanya-tanya dalam hati, “Apakah memang akan terasa selama ini kalau mau mati?” “Kak … Lissa?”Aku mendengar suara lirih yang sangat ku kenal yang adalah suara Rissa. Aku pun langsung membuka mataku.  Lissa duduk tidak jauh dariku dengan posisi  seperti habis
Baca selengkapnya

Bab 3. Budaya yang Aneh

Tok, tok, tok! Terdengar ada yang mengetuk pintu. “Nona, bolehkah saya masuk?” ucap seorang wanita dari balik pintu.Karena aku tidak memberi tanggapan, wanita itu membuka pintunya dan masuk. Ia memakai pakaian seperti seorang pelayan. Ia masuk dengan membawa pakaian dan banyak makanan. “Halo Nona, saya yang akan menjadi pelayan Nona mulai sekarang,” ucapnya sambil membungkukkan badannya.Ia melanjutkan, “Saya membawa pakaian untuk nona pakai. Saya harap ukurannya sesuai untuk Nona. Silakan ganti baju, Nona.” Aku menerima pakaian yang diberikan pelayan itu dan langsung menggantinya di tempatku berdiri. Begitu aku mulai membuka kancing atas kemejaku, pelayan itu tampak terkejut dan menutup wajah dengan kedua tangannya. “No—Nona, Nona bisa mengganti pakaian dalam ruangan itu,” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah ruangan kecil yang ad
Baca selengkapnya

Bab 4. Sejarah Kerajaan Heroit dan Saintessnya

Ketika aku berjalan mendekat, orang itu tahu kalau aku meyadari kehadirannya. Aku menghentikan langkahku ketika ia menyelipkan tangannya dan memegang ujung pintu. Tangan itu kemudian mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Sepasang kaki melangkah masuk dan aku terkejut saat orang itu menunjukkan diriya. Ia adalah kesatria berambut biru yang aku lihat dari jendela tadi. Ia memberi salam dengan menyilangkan tangan kanannya ke dada kirinya. “Saya adalah kepala Kesatria yang bertugas melindungi Anda, Lady.” Aku hanya diam dengan wajah datar dan tidak membalas perkataannya sama sekali. Awalnya jantungku berdetak dengan keras karena rasa khawatir. Namun, matanya yang menatap langsung ke bola mataku memberi perasaan yang menenangkan. Mungkin itu karena aku melihat warna matanya yang kebiruan seperti langit yang luas, seolah-olah memberikanku kebebasan. “Saya akan pergi Nona, s
Baca selengkapnya

Bab 5. Undangan Menghadap Raja

Aku mengalihkan pikiranku dari pikiran yang tidak menyenangkan itu dan melihat buku yang satu lagi. Buku itu berjudul Bahasa Saintess dan Gambar Sihirnya. Saat aku membuka isinya, aku terkejut karena tulisannya memakai Bahasa Inggris. “Apakah ini yang dimaksud Bahasa Saintess? Jadi ketika mengucapkan mantra ini dan menggambar sihirnya, maka akan bisa melakukan penyembuhan?” tanyaku dalam hati. “Hahahahahaha …,” tawaku langsung lepas begitu membaca isi buku itu. Aku bahkan tertawa sampai air mataku keluar. Saat aku mengusap air mataku, sudut mataku melihat bayangan pria. Aku pun langsung menghentikan tawaku dan menoleh untuk memperhatikan bayangan itu lebih jelas. Ternyata, kesatria berambut biru sudah berdiri melihatku dari depan pintu. Aku pun langsung terkejut dan spontan menutup mulutku. Kesatria itu memberikan sapu tangannya. Mungkin agar aku menggunakannya untuk mengusap air mataku. 
Baca selengkapnya

Bab 6. Perjalanan Menuju Kandang Singa

Wajah Karl memerah dan ia langsung melepaskan tangannya. Aku bisa melihat Karl yang salah tingkah. Ia mengacak-acak rambutnya dan menutup mulutnya secara bergantian.  “Polos sekali,” ucapku dalam hati. Sepertinya budaya di dunia ini membuat sentuhan tidak biasa digunakan.  Karl memperhatikan sekitar. Begitu memastikan tidak ada yang sadar kalau aku baru saja menjerit, ia  bernapas lega.  “Lady harus berhati-hati,” ucapnya.  Wajahnya kembali datar dan serius. Akan tetapi, aku salah fokus ke telinganya yang masih memerah. Spontan aku menutup mulutku dan tertawa kecil. Setelah aku sudah mulai tenang, barulah aku bisa kembali bicara dengan Karl. “Jadi, kapan aku akan pergi ke Istana?” tanyaku “Sekarang, Lady,” jawab Karl. “Saya akan memanggil pelayan untuk membantu Lady  bersiap-siap.” “Baiklah,” jawabku. Kemudian, Karl melangkah pergi. Aku memperhatikan kembali amplop undangan itu. Di luarnya
Baca selengkapnya

Bab 7. Dugaan Raja

Perkataan Raja Edgar membuatku tersentak karena beberapa alasan. Alasan pertama, karena aku takut kebohonganku terbongkar oleh Raja Tiran ini. Berbeda dengan orang lain, sepertinya Raja lebih pintar dan lebih sensitif. Satu tindakan yang salah dariku bisa membuat kepalaku melayang saat itu juga. Alasan yang kedua, ketika menanyakan aku yang tidak bisa berbicara, Raja Edgar ada mengucapkan kata ‘juga’. Itu artinya, selain aku, ada juga orang yang tidak bisa bicara. Orang itu tidak lain adalah Rissa, karena hanya aku dan Rissa yang dipanggil menghadap Raja sekarang.  Aku mengendalikan ekspresiku. Aku memang ketakutan karena auranya yang tidak biasa, tetapi aku menekan rasa takutku dan berusaha terlihat percaya diri agar tidak ketahuan berbohong. Sambil menatap mata Raja Edgar, aku menjawabnya dengan mengangguk. Raja Edgar kembali menatap mataku dengan lama, seolah-olah ingin memeriksa apakah respon yang aku berikan adalah kebenaran atau tidak.  Aku me
Baca selengkapnya

Bab 8. Menggambar Mantra

Perkataan Karl itu sungguh mengejutkan. Selama ini banyak orang yang mengagumi perawakan Rissa. Jika kami dua dibandingkan, banyak yang akan merasa bahwa Rissa lebih cantik daripada aku. Namun, Karl mengatakan rambut hitamku lebih baik? Aku tidak tahu kata ‘baik’ yang dimaksud Karl itu adalah cantik. Namun, apa pun artinya, aku merasa senang karena ia berpihak padaku. Tanpa terasa, kami sudah tiba di rumah. Aku lebih suka menyebut rumah ini sebagai rumah tahanan, karena disinilah aku diawasi dan dilatih.  Setelah waktu itu, Karl lebih sering menunjukkan dirinya. Ia juga selalu menemaniku walaupun aku hanya berada di dalam kamar. Tidak ada hal khusus yang kami lakukan, namun ia tetap datang walau kami hanya mengobrol ringan dan meminum teh bersama. *****Hari ini adalah hari pelajaran dengan Steein. Biasanya, Karl sudah pergi entah kemana. Namun, hari ini berbeda. Sejak bangun di pagi hari, Karl sudah menunggu di
Baca selengkapnya

Bab 9. Praktek Sihir yang Gagal

Setelah itu, aku kembali berfokus untuk melanjutkan gambarku. Tanpa terasa, matahari sudah mulai terbenam. Karena merasa sangat lelah, aku merebahkan badanku di lapangan itu. “Sial! Hanya untuk menggambar saja sudah menghabiskan waktu seharian. Sekarang aku harus melakukan apa lagi?” batinku kesal. “Lady bisa mencoba membacakan mantranya,” ucap Steein yang sekarang sudah berdiri di sebelahku. Ketika aku hendak mengerahkan tenagaku yang tersisa untuk berdiri, aku melihat Steein mengulurkan tangannya. Aku sempat menatapnya sebentar karena kebaikannya yang tidak biasa itu. Ini adalah hal yang paling luar biasa yang pernah aku terima dari Steein. Jadi, aku tidak menyia-nyiakan hal itu dan membiarkannya membantuku kembali berdiri. Aku berdiri dalam diam sambil memandang gambar mantra sihir yang berada di depanku. Tawa datar yang keluar dari mulutku tidak bisa kucegah, karena rasanya sungguh aneh kalau gambar seperti ini b
Baca selengkapnya

Bab 10. Peristiwa di Perpustakaan

Aku menelan ludah, dan menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan Raja Edgar. “Siapa yang memberimu hak untuk masuk ke perpustakaan ini?” tanya Raja Edgarlagi. Kali ini, aku merasakan tanganku yang gemetar ketika aku mengangkatnya untuk menunjukkan lencana yang diberikan Steein. Setelah melihat lencana milik Steein, Raja berkata, “Ternyata kamu cukup disayangi oleh pria kaku itu. Aku sudah selesai. Masuklah.” Aku langsung bisa merasa lega karena akan segera berpisah dengan Raja Edgar. Akan tetapi, begitu aku menghembuskan napas lega, napasku kembali tercekat saat Raja Edgar bertanya lagi, “Kenapa pakaianmu seperti itu?” Pikiranku kosong. Tidak ada alasan yang bisa terdengar masuk akal terlintas di kepalaku.  Melihatku yang terdiam lama dengan wajah yang semakin pucat, Karl memutuskan untuk berbicara. “Lady baru saja menyelesaikan latihan menggunakan sihir Yang Mulia. Ia menggunakan celana, agar ia bisa latihan dengan lebih n
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
19
DMCA.com Protection Status