“Kak, aku minta maaf!” ucap Rissa sambil menyatukan kedua tangannya memohon di depanku.
”Tadi Ryan mengajakku ke rumahnya karena orang tuanya ingin bertemu denganku. Jadi aku tidak bisa wawancara kerja hari ini. Aku mohon kak, bantu aku,” lanjut Rissa.“Apa?” ucapku kaget. “Rissa, kau tidak bisa tiba-tiba begitu. Bukannya kamu yang memohon waktu itu agar bisa wawancara hari ini? Aku bahkan sudah memohon kepada atasanku agar dokumenmu bisa lulus persyaratan administrasi. Padahal seharusnya itu tidak bisa karena kamu tidak lulus kuliah,” jelasku kepada Rissa.Raut wajah Rissa berubah menjadi sedih. Matanya mulai berkaca-kaca dan ucapannya bergetar. “Jadi … maksud kakak aku harus bersyukur … hanya karena sudah lulus syarat administrasi?”“Bukan begitu Rissa,” ucapku dengan nada selembut mungkin agar Rissa tidak menangis. “Padahal kakak tahu sekalipun aku ikut wawancara, tidak ada jaminan ‘kan kalau aku akan diterima bekerja di sana?” ucap Rissa.“Rissa, aku yakin kau—” “Aku tahu,” potong Rissa, “Kakak tidak mau memasukkan aku di perusahaan itu ‘kan? Padahal seharusnya Kakak bisa lebih memohon pada atasan kakak. Kakak ‘kan Manajer di perusahaan itu. Sementara itu, Orang Tua Ryan sudah mengajak aku bertemu. Kalau akhirnya aku menikah dengan Ryan dan menjadi keluarganya, aku kan tidak perlu bekerja, dan kakak tidak perlu membiayai aku seperti ini. Siapa lagi pria yang lebih baik dari Ryan? Bagaimana jika Ryan membenciku gara-gara Kakak?!” ucap Rissa dengan nada membentak. Rissa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mulai menangis keras. Aku pun mendekat pada Rissa dan memeluknya sambil mengelus kepalanya dengan lembut, “Rissa, kau yang paling tahu kalau aku tidak bermaksud begitu. Sekalipun aku memiliki posisi di perusahaan, tapi aku tidak bisa menyalahgunakannya. Sewaktu aku memohon kepada atasanku agar kau ikut wawancara, itu adalah hal terakhir yang bisa ku lakukan untukmu.”Rissa menepis tanganku dan mendorongku agar ia terlepas dari pelukanku. Ia menatapku dengan tatapan benci. “Bohong!” teriak Rissa, “Kakak sebenarnya iri ‘kan? Ryan ‘kan mantan pacar kakak. Tapi akhirnya mau menikah denganku. Pasti kakak masih mencintainya kan, jadi kakak tidak mau aku menemui orang tua Ryan hari ini.”Aku terkejut mendengar perkataan Rissa. Jika orang lain yang mengatakannya, aku akan langsung marah Tapi yang mengatakannya malah Rissa. Aku pun mengalah dan tidak mau memperpanjang topik ini. Setelah menghela napas, aku berkata, “Baiklah Rissa, terserah kamu mau kemana hari ini.”Rissa membalikkan badannya dan pergi sambil bergumam, “Aku akan pergi dengan Ryan hari ini.”Aku kembali menghela napas untuk melepaskan rasa sesak di dadaku karena melihat tingkah Rissa. Saat aku melihat jam di tanganku, aku terkejut karena sudah banyak waktu berlalu akibat pembicaraan barusan. Aku tidak membuang-buang waktuku lagi dan langsung berangkat ke kantor.Rissa memanggilku kakak, tapi sebenarnya kami adalah anak kembar yang mana aku lahir beberapa menit lebih dulu sebelum Rissa. Walaupun kembar, kepribadianku dan Rissa sangat berbeda. Rissa anak yang periang dan bisa dengan mudah mengekspresikan perasaannya. Sejak kecil, Rissa lebih mudah mendapat kasih sayang dari orang tuaku karena dia bisa bertingkah imut. Di sekolah, dia juga punya banyak teman. Postur tubuh Rissa yang mungil juga memperlengkapi kepribadiannya itu sehingga ia disebut sebagai peri sekolah. Sementara itu, aku adalah kebalikannya Rissa. Kepribadianku yang dingin dan tegas membuatku dijadikan sebagai ketua OSIS. Namun, anak-anak di sekolah memanggilku dengan sebutan ratu es. Badanku yang lebih tinggi daripada wanita pada umumnya juga membuat penampilanku tidak imut sama sekali. Sewaktu kami sedang kuliah, kedua orang tua kami kecelakaan dan meninggal. Rissa sangat terpuruk dan sempat hampir depresi. Ia juga tidak melanjutkan kuliahnya dan hanya mengurung diri di kamar. Untuk bisa menyelesaikan kuliahku dan mengurus Rissa, aku melakukan kerja sambilan dimana-mana.Akhirnya kerja kerasku terbayar dan aku mendapat pekerjaan di perusahaan yang bagus. Sekarang, posisiku sudah stabil sebagai Manajer Produksi. Semua masalah bisa aku atasi, kecuali perasaanku pada Ryan. Seperti yang dikatakan Rissa, aku punya perasaan pada Ryan, dulu dan juga sekarang. Sewaktu masih di bangku SMA, aku sempat berpacaran dengan Ryan. Namun, karena kesibukanku sebagai ketua OSIS, kami tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama. Di saat itulah Ryan memintaku putus dan akhirnya pacaran dengan Rissa. Aku tidak terlalu memikirkan hal itu karena kesibukanku. Tapi, ternyata aku menyukainya lebih dari yang aku pikir. Bahkan hingga sekarang, aku masih punya rasa untuknya. Jika sampai Ryan dan Rissa menikah, aku tidak yakin bagaimana wajahku bisa menunjukkan rasa bahagia yang tulus saat melihat mereka bersama.Tanpa terasa, sekarang langit sudah gelap. Hari ini aku lebih lelah dari biasanya karena menghadapi direktur untuk menjelaskan alasan Rissa tidak bisa datang untuk wawancara. Direktur memang tidak marah padaku, tapi Beliau memasukkan nama Rissa ke dalam Black List agar Rissa tidak masuk perusahaan untuk posisi apa pun lagi.Berbeda dengan perusahaan lainnya, tempatku bekerja sangat disiplin dalam menaati peraturan. Oleh karena itu, aku sudah cukup kesulitan saat memohon agar Rissa dimasukkan dalam daftar pelamar yang akan diwawancara. Tapi syukurlah satu hari ini akhirnya bisa aku lewati dengan baik. Saat dalam perjalanan pulang, aku melihat Rissa duduk sendirian di bangku taman di pinggir kota. Aku menghentikan mobilku dan mengahampiri Rissa. “Rissa, apa yang sedang kau lakukan disini? Ayo masuk ke mobil, kita pulang,” ucapku.Saat aku ingin menggapai tangan Rissa, ia berdiri dari tempat duduknya dan menatapku sinis. “Ini semua salah Kakak!” cetusnya. Kemudian ia melangkah pergi. Aku terdiam di tempatku seolah waktu sedang berhenti. Rasa perih sangat terasa di dadaku sewaktu mendengar ucapan Rissa. Namun, suara mobil yang berisik membawaku kembali kepada kenyataan. Kulihat Rissa sudah berjalan cukup jauh. Aku mengabaikan air mataku yang mulai jatuh dan berlari menyusul Rissa. Saat jarak kami semakin dekat, aku langsung mengulurkan tanganku dan berupaya agar tanganku bisa menggapai lengannya. Sewaktu tanganku hampir menyentuh lengannya, Rissa menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. “Jangan mengejarku!” cetus Rissa masih dengan tatapan membenci.“Rissa…aku mohon jangan begini,” pintaku, “Tolong jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi agar aku bisa mengerti.” Saat aku berbicara, air mataku terus mengalir.“Kenapa kamu yang menangis? Akulah yang sedang terluka disini,” ucap Rissa.Aku ingin memegang tangan Rissa. Namun, saat aku mengulurkan tanganku, Rissa memundurkan dirinya satu langkah menjauh untuk mencegahku menyentuhnya.“Taukah kamu Kak? Wahai Malissa?” tandas Rissa. “Aku selalu membencimu sejak kecil. Kamu lahir memiliki semuanya. Kenapa hanya kamu yang mewarisi kepintaran dan mendapat pujian dari semua orang karena prestasimu? Kenapa bukan aku? Aku menyesal berada dalam satu rahim denganmu karena kau mengambil semuanya.” jerit Rissa hingga menarik perhatian orang-orang di sekitar kami.Aku tidak bisa membalas perkataannya karena terkejut. Otakku berhenti berfungsi karena hal tidak masuk akal ini. Tidak bisakah Rissa melihat hal-hal dalam dirinya? Kenapa dia iri padaku padahal dia juga memiliki cukup banyak hal? Pikiran yang tidak baik terus berkecamuk dalam pikiranku. Angin malam yang berhembus mengibaskan rambutku dan membuat air mataku kering. Dinginnya suasana di antara aku dan Rissa tidak lagi sanggup mengatasi panas di hatiku. Rissa berlari ke arah jalan dan aku tidak lagi mengejarnya. Aku masih tenggelam dalam pikiranku sampai terdengar suara klakson yang keras. Aku mengalihkan pandanganku dan melihat Rissa sudah berada di tengah jalan dan sebuah truk besar sedang melaju ke arahnya. Truk itu terus membunyikan klaksonnya secara beruntun.Entah apa yang dipikirkan Rissa, ia tidak menyadari sekelilingnya dan terus berjalan lurus menyeberangi jalan. Aku mengerahkan seluruh tenaga di kakiku dan berlari secepat mungkin ke arah Rissa. Truk semakin dekat. Suara klakson semakin keras. Namun, tanganku tidak sempat menggapai Rissa. Terdengar jeritan orang-orang, “Awas … !”
Karena cahaya lampu truk yang semakin terang, Rissa akhirnya menoleh dan melihat truk sudah berada dekat ke arahnya. Begitu menyadari bahwa tidak ada peluang untuk selamat. Aku menutup erat mataku dan mengatupkan gigiku sebagai persiapan untuk merasakan rasa sakit. Dalam waktu yang singkat sewaktu berada di ambang kematian, terlintas kisah bahagia saat kedua orang tua kami masih hidup serta aku dan Rissa bermain dengan sangat akrab. Aku ingin sekali kembali ke masa-masa itu. Beberapa detik berlalu, aku masih belum merasakan apa-apa. Debaran jantungku terasa sangat kuat sampai ujung kakiku juga bisa merasakan iramanya yang cepat. Aku masih menutup mataku dan bertanya-tanya dalam hati, “Apakah memang akan terasa selama ini kalau mau mati?” “Kak … Lissa?”Aku mendengar suara lirih yang sangat ku kenal yang adalah suara Rissa. Aku pun langsung membuka mataku. Lissa duduk tidak jauh dariku dengan posisi seperti habis
Tok, tok, tok! Terdengar ada yang mengetuk pintu.“Nona, bolehkah saya masuk?” ucap seorang wanita dari balik pintu.Karena aku tidak memberi tanggapan, wanita itu membuka pintunya dan masuk. Ia memakai pakaian seperti seorang pelayan. Ia masuk dengan membawa pakaian dan banyak makanan.“Halo Nona, saya yang akan menjadi pelayan Nona mulai sekarang,” ucapnya sambil membungkukkan badannya.Ia melanjutkan, “Saya membawa pakaian untuk nona pakai. Saya harap ukurannya sesuai untuk Nona. Silakan ganti baju, Nona.”Aku menerima pakaian yang diberikan pelayan itu dan langsung menggantinya di tempatku berdiri.Begitu aku mulai membuka kancing atas kemejaku, pelayan itu tampak terkejut dan menutup wajah dengan kedua tangannya. “No—Nona, Nona bisa mengganti pakaian dalam ruangan itu,” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah ruangan kecil yang ad
Ketika aku berjalan mendekat, orang itu tahu kalau aku meyadari kehadirannya.Aku menghentikan langkahku ketika ia menyelipkan tangannya dan memegang ujung pintu. Tangan itu kemudian mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Sepasang kaki melangkah masuk dan aku terkejut saat orang itu menunjukkan diriya. Ia adalah kesatria berambut biru yang aku lihat dari jendela tadi.Ia memberi salam dengan menyilangkan tangan kanannya ke dada kirinya. “Saya adalah kepala Kesatria yang bertugas melindungi Anda, Lady.”Aku hanya diam dengan wajah datar dan tidak membalas perkataannya sama sekali.Awalnya jantungku berdetak dengan keras karena rasa khawatir. Namun, matanya yang menatap langsung ke bola mataku memberi perasaan yang menenangkan. Mungkin itu karena aku melihat warna matanya yang kebiruan seperti langit yang luas, seolah-olah memberikanku kebebasan.“Saya akan pergi Nona, s
Aku mengalihkan pikiranku dari pikiran yang tidak menyenangkan itu dan melihat buku yang satu lagi. Buku itu berjudul Bahasa Saintess dan Gambar Sihirnya. Saat aku membuka isinya, aku terkejut karena tulisannya memakai Bahasa Inggris. “Apakah ini yang dimaksud Bahasa Saintess? Jadi ketika mengucapkan mantra ini dan menggambar sihirnya, maka akan bisa melakukan penyembuhan?” tanyaku dalam hati.“Hahahahahaha …,” tawaku langsung lepas begitu membaca isi buku itu. Aku bahkan tertawa sampai air mataku keluar.Saat aku mengusap air mataku, sudut mataku melihat bayangan pria. Aku pun langsung menghentikan tawaku dan menoleh untuk memperhatikan bayangan itu lebih jelas. Ternyata, kesatria berambut biru sudah berdiri melihatku dari depan pintu. Aku pun langsung terkejut dan spontan menutup mulutku.Kesatria itu memberikan sapu tangannya. Mungkin agar aku menggunakannya untuk mengusap air mataku.
Wajah Karl memerah dan ia langsung melepaskan tangannya. Aku bisa melihat Karl yang salah tingkah. Ia mengacak-acak rambutnya dan menutup mulutnya secara bergantian. “Polos sekali,” ucapku dalam hati. Sepertinya budaya di dunia ini membuat sentuhan tidak biasa digunakan. Karl memperhatikan sekitar. Begitu memastikan tidak ada yang sadar kalau aku baru saja menjerit, ia bernapas lega. “Lady harus berhati-hati,” ucapnya. Wajahnya kembali datar dan serius. Akan tetapi, aku salah fokus ke telinganya yang masih memerah. Spontan aku menutup mulutku dan tertawa kecil. Setelah aku sudah mulai tenang, barulah aku bisa kembali bicara dengan Karl. “Jadi, kapan aku akan pergi ke Istana?” tanyaku “Sekarang, Lady,” jawab Karl. “Saya akan memanggil pelayan untuk membantu Lady bersiap-siap.” “Baiklah,” jawabku. Kemudian, Karl melangkah pergi. Aku memperhatikan kembali amplop undangan itu. Di luarnya
Perkataan Raja Edgar membuatku tersentak karena beberapa alasan. Alasan pertama, karena aku takut kebohonganku terbongkar oleh Raja Tiran ini. Berbeda dengan orang lain, sepertinya Raja lebih pintar dan lebih sensitif. Satu tindakan yang salah dariku bisa membuat kepalaku melayang saat itu juga. Alasan yang kedua, ketika menanyakan aku yang tidak bisa berbicara, Raja Edgar ada mengucapkan kata ‘juga’. Itu artinya, selain aku, ada juga orang yang tidak bisa bicara. Orang itu tidak lain adalah Rissa, karena hanya aku dan Rissa yang dipanggil menghadap Raja sekarang. Aku mengendalikan ekspresiku. Aku memang ketakutan karena auranya yang tidak biasa, tetapi aku menekan rasa takutku dan berusaha terlihat percaya diri agar tidak ketahuan berbohong. Sambil menatap mata Raja Edgar, aku menjawabnya dengan mengangguk. Raja Edgar kembali menatap mataku dengan lama, seolah-olah ingin memeriksa apakah respon yang aku berikan adalah kebenaran atau tidak. Aku me
Perkataan Karl itu sungguh mengejutkan. Selama ini banyak orang yang mengagumi perawakan Rissa. Jika kami dua dibandingkan, banyak yang akan merasa bahwa Rissa lebih cantik daripada aku.Namun, Karl mengatakan rambut hitamku lebih baik? Aku tidak tahu kata ‘baik’ yang dimaksud Karl itu adalah cantik. Namun, apa pun artinya, aku merasa senang karena ia berpihak padaku.Tanpa terasa, kami sudah tiba di rumah. Aku lebih suka menyebut rumah ini sebagai rumah tahanan, karena disinilah aku diawasi dan dilatih. Setelah waktu itu, Karl lebih sering menunjukkan dirinya. Ia juga selalu menemaniku walaupun aku hanya berada di dalam kamar. Tidak ada hal khusus yang kami lakukan, namun ia tetap datang walau kami hanya mengobrol ringan dan meminum teh bersama.*****Hari ini adalah hari pelajaran dengan Steein. Biasanya, Karl sudah pergi entah kemana. Namun, hari ini berbeda. Sejak bangun di pagi hari, Karl sudah menunggu di
Setelah itu, aku kembali berfokus untuk melanjutkan gambarku. Tanpa terasa, matahari sudah mulai terbenam. Karena merasa sangat lelah, aku merebahkan badanku di lapangan itu. “Sial! Hanya untuk menggambar saja sudah menghabiskan waktu seharian. Sekarang aku harus melakukan apa lagi?” batinku kesal.“Lady bisa mencoba membacakan mantranya,” ucap Steein yang sekarang sudah berdiri di sebelahku.Ketika aku hendak mengerahkan tenagaku yang tersisa untuk berdiri, aku melihat Steein mengulurkan tangannya. Aku sempat menatapnya sebentar karena kebaikannya yang tidak biasa itu. Ini adalah hal yang paling luar biasa yang pernah aku terima dari Steein. Jadi, aku tidak menyia-nyiakan hal itu dan membiarkannya membantuku kembali berdiri.Aku berdiri dalam diam sambil memandang gambar mantra sihir yang berada di depanku. Tawa datar yang keluar dari mulutku tidak bisa kucegah, karena rasanya sungguh aneh kalau gambar seperti ini b
SRAK! Tak, tak, tak! Suara hentakan kaki yang besar sedang membentur tanah dengan kuat dan tangan yang berotot sedang membentang melawan aliran udara. Benda yang besar itu sedang bergerak menuju tempat kedua anakku sedang bermain. “Halo putriku…! Ayah datang!!” seru Raja Edgar yang berlari girang untuk menghampiri Zanna sambil mengenakan jubah resminya, karena ia baru saja tiba dari perjalanan panjang sepulang dari Kerajaan tetangga. “Tidak, pergi!! Jangan sentuh adikku dan jangan ganggu waktu kami! Pakaian Ayah tidak cocok untuk ikut bermain. Pergilah dulu ke sana untuk ganti baju!” teriak Eden untuk mengusir Raja Edgar. “Kalau begitu, jika Ayah sudah berganti baju, bolehkah Ayah bergabung untuk bermain dengan kalian?” tanya Raja Edgar lagi yang pantang menyerah dengan tatapan penuh harap. “Tidak!” jawab Eden tanpa berbelas kasihan. “Eden! Ayah tidak menanyakan hal ini padamu!” balas Raja Edgar kepada Eden dengan nada marah. K
“Apakah kamu sudah memaafkan aku, Sayang?” tanya Raja Edgar yang menolehkan kepalanya ke belakang dari pojokan dengan matanya yang berbinar.Namun, tidak semudah itu untuk meluluhkanku atas kesalahannya yang serius. Jadi, aku berkata, “Tidak, aku masih belum memaafkanmu. Aku hanya memberikan kamu kesempatan untuk ikut campur dalam memberikan nama bagi putrimu nanti. Namun, jika kamu tidak mau, ya sudah, tidak apa-apa.”“Tidak! Tidak! Aku mau! Aku sudah memikirkannya!” seru Raja Edgar sambil dengan cepat beranjak dari pojokan itu dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arahku.“Ia sudah memikirkannya? Dalam waktu yang singkat itu selama ia berada di pojokan sana? Memang bakatnya luar biasa. Bahkan, bakatnya dalam memberikan nama yang bagus dalam waktu singkat itu, ia turunkan dengan baik kepada Eden,” batinku.“Aku sudah memikirkan namanya, yaitu Rani, artinya seorang bangsawan yang merupakan putri. Itu coc
Tap, tap, tap.Dengan mataku yang tertutup, aku bisa mendengar suara langkah kaki kecil Eden yang mendekat ke arahku.“Minggir sebentar, Yang Mulia Raja, aku harus melakukan sesuatu,” ucap Eden begitu ia sampai di tempatku.Aku tidak tahu reaksi apa yang diberikan oleh Raja Edgar setelah itu karena aku masih menutup mata. Namun beberapa sat setelahnya, aku bisa merasakan ada sesuatu yang hangat di tanganku. Eden sudah dewasa dan pintar, ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan di situasi ini. Alasan di awal aku mencegahnya untuk menggunakan kekuatan Saintess agar ia tidak salah bertindak dan menyalurkan kekuatan penyembuhannya di daerah perutku, di mana janinku sedang bertumbuh dan berkembang sekarang. Jadi sekarang, karena Eden sudah tahu bahwa aku sedang hamil, ia bisa menanganinya dengan tepat dan menyalurkan kekuatan Saintess untuk memberikan kekuatan dan tenaga dengan menggenggam tanganku.Ketika ia sudah menyalurkan kekuatannya setelah be
“Apa?! Adik? Eden … itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Lagi pula, jika kamu menginginkan adik, usia kalian terpaut terlalu jauh untuk dijadikan sebagai teman bermain,” balasku.“Hanya delapan tahun jika dihitung Sembilan bulan Ibu akan melahirkan. Tidak apa, Ibu. Aku senang untuk menjaga dan menjadi teman bermain dengannya. Sama seperti Ibu dan kembaran Ibu di masa lalu. Aku tahu maksud Ibu membicarakan hal ini. Ibu pasti baru mendengarkan sesuatu dari Paman Steein, ‘kan?” tanya Eden.Untungnya, Eden menggunakan sapaan tidak formal untuk menyebut Steein. Pasti karena Lissa ada di hadapannya. Jika ia bersama dengan orang-orang, ia tetap memanggil Steein dengan sebutan Tuan Duke Kesar.“Oh ya? Kenapa kamu bilang seperti itu?” tanya Lissa dengan senyuman sambil meremas jari-jarinya yang saling bertautan untuk berpura-pura bersikap tenang.Eden sepertinya tahu kalau aku sedang berbohong karena mata merah
Tap, tap, tap!Kembali lagi, aku berlari dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa henti. Sekarang giliran aku menghampiri Eden untuk menepati janjiku padanya.“Yang Mulia Ratu!! Kenapa Yang Mulia berlari-lari? Bagaimana jika Yang Mulia terjatuh?” tanya Eden dengan tergesa-gesa menghampiriku.Aku tidak menyangka kalau aku akan mendapatkan nasihat dari anak kecil perihal berlari dan terjatuh. Padahal seharusnya nasihat itu aku berikan kepadanya sebagai nasihat dari seorang Ibu untuk anak. Jika aku ingat-ingat, Eden juga tidak pernah terjatuh atau bertindak ceroboh sejak kecil. Walau aku dan Raja Edgar selalu sibuk, ia tidak menuntut apa pun dan mengurus tanggung jawabnya sendiri.Untuk menghilangkan sikap formalitas Eden yang kaku, aku pun mengelus-elus kepalanya dengan kasar sehingga rambutnya yang rapi jadi berantakan.“Yang Mulia! Apa yang telah Yang Mulia lakukan?! Setelah ini aku ada pertemuan Tuan Count dari Utara, jadi aku
Tap, tap, tap!!Aku sangat sibuk. Baru saja aku pergi ke Sekolah Akademi untuk memberikan kata-kata penyambutan kepada para siswa baru, sekarang aku harus cepat menemui Steein sebelum menepati janji temu yang aku buat dengan Eden.Jika aku membuang-buang waktu sedikit saja, aku tidak bisa menemui Steein terlebih dahulu, atau aku jadi terlambat untuk menepati janjiku dengan Eden.“Hahhh … Haahhh….” Napasku terengah-engah dan dadaku naik turun karena kekurangan oksigen. Jika zaman ini sudah semakin maju, aku akan membayar mahal siapa pun yang berhasil menciptakan kantung oksigen di dunia ini untuk bisa membantuku bernapas dengan baik setiap kali aku kekurangan stamina seperti ini.“Lissa, kamu tidak apa-apa? Mau aku bantu?” tanya Steein yang dengan sigap menghampiriku.Namun, untuk mencegah kontak fisik yang berlebihan, aku segera berdiri tegak dan menyesuaikan napasku. Karena aku memiliki banyak tanggung jawab,
"Sayang ... Ayo beristirahat hari ini, aku sangat lelah,” ucap Raja Edgar dengan manja sambil mempererat pelukannya yang melingkar di perutku.Aku tidak tahu sejak kapan, tetapi dengan semakin romantisnya hubungan kami, banyak hal baru yang lebih menggelikan yang kami lakukan. Sekarang Raja Edgar sudah menyebutku dengan sebutan Sayang ketika kami sedang berdua saja. Namun, sebenarnya tidak hanya ketika sedang berdua saja, ketika di depan umum pun, Raja Edgar beberapa kali menunjukkan rasa sayangnya padaku. Untung saja para bangsawan tidak lagi keberatan dan memaklumi kepribadian mengejutkan dari Raja Edgar yang terkenal kejam.“Edgar … ini sudah pagi. Ada banyak pekerjaan yang harus kita kerjakan hari ini,” ucapku sambil mencengkeram lengan Raja Edgar dan menariknya agar terlepas.“Egghhh … kenapa tanganmu kuat sekali? Apa-apaan otot-otot ini?! Lepaskan sekarang, Edgar. Waktu sangat berharga di tengah kesibukan kita,”
“Kami datang untuk membawa Yang Mulia bermain. Apakah Yang Mulia berkenan jika saya menggendong Yang Mulia?” tanya Steein sambil menatap mata Eden seolah-olah sedang berbicara dengannya, setelah berhasil mengendalikan tawanya.“Saya juga ingin melakukan hal yang sama, Yang Mulia Pangeran Eden. Yang Mulia Pangeran tidak perlu khawatir. Saya sudah mencari kiat dan berlatih kepada para ahli tentang cara menggendong bayi yang baik. Saya akan membuat Yang Mulia nyaman,” imbuh Karl.Sebenarnya Steein dan Karl sedang mengikuti permainanku sambil berpura-pura menjawab pertanyaan Eden yang aku tanyakan kepada mereka dengan suara tiruan. Akan tetapi, meskipun mereka melemparkan pertanyaan kepada Eden, aku tidak akan lagi mengubah suaraku dan berpura-pura menjadi Eden karena rasanya cukup memalukan.“Tidak boleh!” tiba-tiba Raja Edgar yang memberikan jawaban kepada mereka.“Astaga … sayang sekali … karena Ayah
Begitu Eden sampai di tanganku, tiba-tiba tangisan Eden langsung berhenti. “Apa?! Apa ini?! Kenapa ia langsung diam padahal kamu belum melakukan apa pun?” protes Raja Edgar. Aku bisa mengerti alasan Raja Edgar melayangkan protes. Itu karena segala perjuangan nyang sudah ia tunjukkan, tetapi Eden tidak mau bekerja sama dengannya dan terus menangis. Sementara denganku, Eden langsung diam tanpa aku perlu melakukan apa pun. Aku membalas tatapan mata merah sayu yang memandangku itu. Ketika kami saling memandang setelah sekian detik, Eden tersenyum kecil dengan bibir merahnya. “Hei! Ia baru saja tersenyum! Apa kamu melihatnya?!” seruku girang kepada Raja Edgar karena baru saja melihat sesuatu yang membawa berkah. Aku pikir reaksiku sudah berlebihan karena terlalu heboh untuk hal seperti ini, tetapi raut wajah Raja Edgar memberikan reaksi yang lebih jauh daripada aku. Ia termangu di tempatnya sambil menatap ke arah Eden. Dengan ucapan yang lirih kare