Beranda / Romansa / LOVELY MAN / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab LOVELY MAN: Bab 1 - Bab 10

55 Bab

REUNI

Sepasang mata almond bergerak gelisah menyisir ballroom yang penuh dekorasi serba putih. Pria tinggi yang mengenakan kemeja putih gading itu mengusap bibirnya beberapa kali, ada sesuatu yang dicari oleh matanya. Tamu undangan berkerumun di tengah ballroom, menari sesuai irama yang menggema, terkecuali dirinya."Bhara?!"Sampai sebuah suara menyapa membuyarkan lamunan si pemilik nama. "Hm?" Spontan dia menggumam seraya berbalik badan.Sesosok pria bertubuh subur tersenyum begitu lebar. "Bhara! Ya ampun! Gue kira lu nggak datang!"Bhara memaksakan diri untuk tersenyum walau rasanya canggung sekali. Sejak dia berdiri di tempatnya sekarang, ini pertama kali ada seseorang yang mengenali dirinya."Lu keliatan beda banget, Bro. Sampe pangling gue, sempat nggak ngenalin lu! Eh, lu sendirian?" Pria tambun itu bertanya lagi."Nunggu, sih--" Bhara tak menyelesaikan kalimatnya. Sebetulnya dia mengajak
Baca selengkapnya

DIREKTUR

"Sekretaris?" ulang Maya setelah lamunannya terpecah. "Emang kamu kerja di mana sekarang, Bhara?" tanyanya lagi.Senyum Bhara mengembang tipis di wajah tampannya, dia keluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini kartu nama aku."Maya menerima kartu nama itu dengan muka sedikit melongo. Matanya bulat sempurna begitu dia baca pekerjaan dan posisi Bhara. "Di ... direktur?" lirihnya, sedikit memberi kesan udik. Tapi sungguh, siapa yang akan sangka Bhara berada di posisi ini sekarang?Teman-teman kampus yang lain segera melirik, memastikan apakah benar Bhara sekarang menjabat sebagai direktur. Suara bisik-bisik mereka langsung mengisi ballroom itu, bising seperti lebah bergerombol."Hah? Masa sih?""Liat, itu kan perusahaan gede.""Wah, keren ... Bhara pakai orang dalam kali ya?""Hush, jangan sembarangan lu, Bhara kan yatim.""Kali aja dia punya tante om jauh, gitu."Sebagian memuji kagum, sebagian sibuk meny
Baca selengkapnya

KUNJUNGAN TIBA-TIBA

Sejauh mata memandang, yang bisa dilihat Bhara hanya puncak-puncak gedung pencakar langit yang beberapa bahkan menyentuh awan. Di antara jari telunjuk dan tengahnya terapit sebatang rokok yang masih menyala, dari mulutnya keluar asap tipis-tipis. Perkataan Maya beberapa hari lalu dia ingat kembali, dulu sewaktu kuliah dia memang tak pernah menyentuh satu batang pun rokok.Semua berubah sejak berbagai masalah dan tumpukan pekerjaan menuntutnya untuk berpikir cepat, maka hanya rokok yang mampu membantunya mencairkan kepenatan di kepala. Berada di dalam ruangan mewah di puncak gedung tinggi seperti ini pun kadang tak membuatnya merasa cukup. Seperti ada lubang di hatinya yang masih menganga, ada sesuatu yang belum dia selesaikan.Suara pintu yang terbuka menarik perhatian Bhara. Si ceroboh Alisa masuk membawa tumpukan berkas. "Pak, saya letakkan di sini, ya. Semuanya perlu Bapak tanda tangani." Berkas-berkas itu diletakkannya di atas meja kerja Bhara."Hari ini ada
Baca selengkapnya

BELUM MOVE ON

Maya terbatuk sebentar, tidak dia kira Bhara akan bertanya tepat pada sasaran seperti ini, Bhara yang dulu dia kenal adalah sosok yang pendiam, tidak suka berterus-terang mengungkap apa yang ada dalam benaknya."Oya? Apa aku bersikap kayak gitu?" Maya memperbaiki posisi duduknya."Jangan bilang kamu udah lupa apa yang dulu kamu lakukan, cuma itu kurasa alasan kenapa kamu bisa sesantai ini, tanpa rasa bersalah." Bhara menahan emosinya sekuat tenaga.Samar-samar bayangan masa lalu mengusik pikirannya kembali. Tiap kali bayangan suram itu muncul, dadanya menjadi begitu sesak."Kamu tau aku memang pelupa, Bhara.""Sekalipun kamu pelupa dan ingatan manusia memang terbatas, kurasa bakal sulit juga buat melupakan kejahatan yang dulu pernah kamu lakukan." Intonasi Bhara tidak melunak sama sekali.Muka Maya memucat. Sungguh, aura Bhara begitu kuat, bisa dikatakan mengintimidasi. Dulu, laki-laki ini akan sangat mudah ditaklukkan dengan kata-kata manis
Baca selengkapnya

BERJALAN SUKSES

Saking fokusnya menyapukan lipstik di bibir ranumnya, Maya sampai tak sadar seseorang masuk ke dalam apartemennya. Pria berkulit sawo matang itu berdiri di ambang pintu kamar Maya, memperhatikan tunangannya yang sedang berada di depan meja kaca rias."Kenapa nggak angkat telepon aku?"Tangan kanan Maya yang kini telah berganti memegang kuas blush sejenak kehilangan keseimbangan. "Ya ampun, Dev! Kamu ngangetin aku! Aku kirain siapa, kamu kapan datang?" Maya melanjutkan kesibukannya yang sempat tertunda."Kamu belum jawab aku. Kenapa telepon aku nggak kamu angkat? Kamu mau ke mana? Ada jadwal syuting apa hari ini?" Dev mendekati meja rias."Nggak ada syuting, kok.""Terus? Mau ke mana? Ada janji ketemu teman kamu?"Maya langsung berbalik dengan muka sedikit masam. "Kenapa sih, Dev? Kamu kayak nggak senang banget kalau aku pergi dan ada kegiatan. Emang kamu mau ngapain? Kita kan nggak ada janji juga hari ini.""Karena
Baca selengkapnya

FIRASAT BURUK

"Kejutan ...!"Maya spontan mundur tiga kalah setelah terperanjat dengan seruan Dev. Alisnya meninggi sedetik, tapi raut wajahnya perlahan berubah semringah.Apartemen yang tadi dia tinggal dalam keadaan kurang rapi kini terlihat begitu indah dengan lilin-lilin yang menyala dan ditata sedemikian rupa di atas lantai, lampu tentu dipadamkan untuk membuat suasana menjadi kian romantis. Dan di atas meja makan sudah tersedia makanan lengkap bunga mawar merah dalam vas kaca."Apa ini, Dev?" tanya Maya masih takjub."Sebagai wujud permintaan maaf aku atas sikap aku tadi. Aku siapkan candle light diner untuk kita berdua." Dev meminta tangan Maya.Maya menggeleng sesaat tapi lekas menyambut uluran tangan Dev. "Tapi nggak perlu segininya juga kali," katanya pura-pura tak terkesan.Dev menuntun Maya dan mempersilakan tunangannya itu duduk. "Aku akui, tadi aku salah banget, Sayang. Harusnya aku ikut senang sama kemajuan kamu." Dev iku
Baca selengkapnya

HIDUNG BELANG

Bhara baru bisa menarik napas lega setelah sampai di rumah Husen dan Maya masih berada di sana, dalam keadaan baik-baik saja, justru raut wajahnya kebingungan tingkat tinggi."Bhara? Kamu beneran ke sini? Kenapa?" tanya Maya sambil bangkit berdiri.Bhara yang tadi berlari dari luar pagar mencoba menstabilkan napasnya yang masih agak goyah. "Batalkan aja kerja samanya, ayo balik." Tak ada penjelasan.Tentu tak akan semudah itu Maya menurut, impiannya sudah nyaris berada di depan hidung, mana mungkin kesempatan langka ini dia lepas begitu saja. "Kamu nggak lagi bercanda, kan? Aku susah payah bisa ketemu sama dia langsung, Bhar! Aku di sini buat nunggu dia balik. Ini portofolio aku!" Maya mengangkat sebuah dokumen di tangan."Ini nggak akan berjalan baik, Maya. Sekarang aku antar kamu pulang." Bhara mendekat untuk meraih tangan Maya."Apa alasannya?! Kenapa?!" Maya menepis tangan Bhara. Matanya mendelik nanar."Aku nggak bisa cerita sekarang, t
Baca selengkapnya

KESEPAKATAN GILA

Dalam hatinya, Bhara sebenarnya ingin meninju mukanya sendiri. Apa yang baru saja dia katakan? Tapi terlalu gengsi untuk menarik perkataannya sekarang, maka dia tunggu respons dari Maya.Mata kucing milik Maya menerawang seakan ada jawaban di udara, mendadak pikirannya kosong, hening. Sekalipun tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa pertanyaan seperti ini akan keluar dari mulut Bhara. Bhara yang dia kenal kutu buku dan tak suka macam-macam terhadap perempuan.Bukannya mundur, Maya malah merasa ini adalah sebuah tantangan. Dengan ego setinggi awan, dia lipat kedua tangan di depan dada. "Kalau aku setuju, kamu benar-benar bakal mastiin aku bisa jadi bintang film?"Seketika tenggorokan Bhara serasa kering, tak dia sangka Maya akan setuju dengan ide gila yang tadi dia ucapkan tanpa berpikir. Namun, keduanya sama saja, ego dan gengsi sudah telanjur naik."Apa pernah aku ingkar janji? Aku ini bisa dipercaya, kamu bisa pegang kata-kata aku."Sekujur tu
Baca selengkapnya

SATU KECUPAN

"Lu bawa cewek dari mana, sih?" omel Erik sehabis kelas akting yang dia ajar berakhir.Maya masih berada di dalam ruang latihan, sedang mengobrol bersama murid yang lain. Erik keluar untuk menjumpai Bhara yang baru saja tiba untuk mengecek situasi, dialah yang membawa Maya ke sini, kebetulan Erik adalah teman masa SMA-nya."Kenapa?" Alis Bhara mengerut sampai nyaris bertemu di tengah."Payah banget, nggak ada harapan." Kepala Erik menggeleng."Separah itu?""I-ya! Yang kayak gitu mau jadi pemain utama? Siap-siap aja dia disembur ama sutradara. Mukanya sih cantik, bodinya yahut, tapi kalau aktingnya kayak nenek-nenek diperkosa sih ...""Ngomong apaan sih lu?! Kasar banget," tegur Bhara."Emang dia siapa, sih? Ehem ... pacar lu, ya? Muke gile selera lu, kayak model. Nah, mungkin kalau jadi model bisalah diusahakan, tapi kalo akting ... ampun, bos! Lu mesti liat sendiri gimana. Gue jamin lu sependapat ama gue!"Bhara
Baca selengkapnya

BUKAN ALAT BALAS DENDAM

"Maaf soal yang tadi, ya." Bhara baru membuka suara sesudah mobilnya berhenti di depan rumah Alisa.Wajah Alisa masih setengah padam, dia buka sabuk pengaman tanpa berkomentar apa-apa."Lisa? Kamu nggak dengar apa yang saya bilang?" tanya Bhara lagi."Saya dengar kok, tapi saya harus komentar apa, Pak?" sahut Alisa, intonasinya tak seceria biasanya. Matanya bahkan enggan menatap lurus kepada Bhara."Ya. Bilang apa yang ada di pikiran kamu. Apa kamu marah sama saya?""Emang apa hak saya untuk marah? Sudah ya, Pak. Tugas saya udah selesai, saya mau turun." Alisa bersiap untuk meninggalkan mobil Bhara."Tunggu!" Bhara menarik tangan Alisa, akhirnya mata keduanya selurus bertemu. "Lisa, saya merasa bersalah, perbuatan saya tadi sangat kurang ajar. Saya melakukan itu bukan karena saya atasan kamu, saya nggak bermaksud semena-mena."Memang, peristiwa seperti ini bisa dibilang sangat langka. Bhara bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status