"Kejutan ...!"
Maya spontan mundur tiga kalah setelah terperanjat dengan seruan Dev. Alisnya meninggi sedetik, tapi raut wajahnya perlahan berubah semringah.
Apartemen yang tadi dia tinggal dalam keadaan kurang rapi kini terlihat begitu indah dengan lilin-lilin yang menyala dan ditata sedemikian rupa di atas lantai, lampu tentu dipadamkan untuk membuat suasana menjadi kian romantis. Dan di atas meja makan sudah tersedia makanan lengkap bunga mawar merah dalam vas kaca.
"Apa ini, Dev?" tanya Maya masih takjub.
"Sebagai wujud permintaan maaf aku atas sikap aku tadi. Aku siapkan candle light diner untuk kita berdua." Dev meminta tangan Maya.
Maya menggeleng sesaat tapi lekas menyambut uluran tangan Dev. "Tapi nggak perlu segininya juga kali," katanya pura-pura tak terkesan.
Dev menuntun Maya dan mempersilakan tunangannya itu duduk. "Aku akui, tadi aku salah banget, Sayang. Harusnya aku ikut senang sama kemajuan kamu." Dev ikut duduk pula di hadapan Maya, diraihnya tangan Maya lalu dia kecup punggung tangannya.
"Maaf juga ya, Sayang ... tadi aku bersikap kasar sama kamu. Aku juga nggak ngertiin posisi kamu. Bukannya ngejelasin, aku malah pergi gitu aja." Maya ikut memajukan bibirnya manja, meminta dimaafkan.
Dev mengelus pipi Maya dengan lembut. "Ayo kita makan, jangan lagi kita ungkit soal yang tadi."
Maya mengangguk mengiyakan. Di atas meja, pasta sudah menanti mereka untuk siap disantap.
"Jadi gimana? Lancar pertemuannya?" Dev bertanya sambil menuang anggur merah ke dalam gelas anggur di samping piring Maya.
Maya mengangguk lagi tapi kali ini anggukannya lebih kuat. "Lancar banget! Luar biasa, Dev! Dia minta aku kirim portofolio, dia bakal secepatnya ngasih aku peran!"
Sesungguhnya bukan kabar ini yang ingin didengar oleh Dev, tapi tentu bukan pertengkaran juga yang dia inginkan. "Aku ikut bahagia untuk kamu, Sayang. Maaf aku sering kekanakan dan terkesan menghalangi mimpi kamu. Mulai sekarang, aku akan berdoa yang terbaik untuk kamu. Dan maaf, aku selama ini nggak bisa membantu kamu meraih cita-cita kamu."
"Nggak perlu minta maaf, Dev. Asal kamu mendukung aku aja udah aku hargai banget, kok. Itu udah lebih dari cukup."
Ponsel pintar Maya bergetar tiba-tiba, masuk sebuah pesan. Buru-buru dia buka pesan itu karena berasal dari Husen.
"Maya ... kamu janji kita nggak akan cek hape kalau kita lagi di atas meja makan." Dev mengingatkan Maya tentang peraturan yang mereka sepakati.
"Sebentar aja, Sayang. Ini penting."
Lagi-lagi Dev harus menahan dongkol di dada. Pesan itu menciptakan senyum lebar di wajah Maya, bagaimana tidak? Isinya terasa bafai mimpi: Tolong datang besok bawa portofolio kamu, jam tujuh malam, selesai jadwal syuting aku. Ini alamatnya ....
"Itu pesan dari siapa? Kayak senang banget," tanya Dev penasaran.
Maya langsung menutup ponsel pintarnya. "Dari Mama," bohongnya, "biasa deh, Mama bilang dia mau beliin aku salah satu koleksi busana musim panas terbaru, jadi dia kirim fotonya."
"Betul? Belum pernah aku liat muka kamu secerah ini cuma persoal baju baru," selidik Dev.
"Kamu kali yang nggak kenal aku. Masa seorang Maya nggak antusias sama baju baru?! Atau kamu nggak percaya aku?"
"Oke oke ... maaf, aku nggak mau kita salah paham lagi. Aku nggak akan tanya lagi, oke? Sekarang kita habiskan dulu makan malam kita."
Senyum di wajah Maya akhirnya mengembang lagi, dua gelas anggur bertabrakan pelan di atas meja lalu kompak mereka habiskan dalam satu teguk.
***
Walau sempat ragu-ragu entah karena malu atau canggung, Maya menekan juga akhirnya bel rumah Husen. Seorang pembantu paruh baya yang membukakan pintu.
"Silakan duduk, Non. Pak Husen sebentar lagi balik."
"Makasih, Mbok." Maya duduk di ruang tamu sambil mengagumi desain interior rumah Husen yang serba minimalis tapi memikat.
Setelah menyajikan teh dan camilan kepada Maya, pembantu itu undur diri. "Non tunggu aja ya Bapak balik, saya udah harus pulang sekarang."
Maya agak tercekat, bagaimana bisa dia ditinggal sendiri di rumah milik orang lain?
"Loh, Mbok nggak tinggal di sini?"
"Nggak, Non. Jam kerja saya cuma sampe jam tujuh aja. Tapi udah biasa kok teman Pak Husen nunggu di rumah. Tadi Pak Husen juga bilang bakal ada tamu cewek."
Mendadak hati Maya sedikit gundah, tapi dia menepis rasa takutnya. Tak mungkinlah sutrada sekelas Husen akan ingkar pada janjinya atau berniat buruk.
"Baik, Mbok. Makasih ya tehnya."
"Saya tinggal ya, Non. Mari ...."
Maya tak menyahut, kedua tangannya teremas gugup di atas rok pendeknya. Tenang, Maya ... ini bukan casting kan? Kenapa lu harus gugup? Jangan berlagak bego! Dia mengomeli diri sendiri dengan niat memberi semangat.
***
Alisa sedang memasukkan barang-barang serta alat tulis ke dalam tas kerjanya ketika Bhara keluar dari ruang kerja.
"Bapak mau langsung balik?" tanya Alisa begitu sadar ada Bhara di sampingnya.
"Ya. Mau apa lagi? Kita lembur hari ini, harusnya jam lima udah balik tadi." Bhara agak komplain sembari mengecek jam tangan mahal di pergelangan tangan kirinya.
"Sekali-sekali, Pak ..." Alisa nyengir.
"Iya, lain kali kamu sendirian saya suruh lembur sampe jam sepuluh!"
"Jangan dong, Pak ..." Alisa merengut. "Tapi, Pak. Anak-anak divisi keuangan rencananya mau makan malam bareng, kami mau makan di restoran jepang. Bapak nggak mau ikut?"
"Nggak." Bhara langsung melangkah hendak berlalu, tapi urung sebelum dia masuk ke dalam lift. "Oya, pakai kartu kredit perusahaan aja, nanti saya yang tanggung."
Senyum Alisa langsung mengembang lebar. "Makasih, Pak! Makasih!" teriaknya gembira.
"Jangan sampai mabuk, kamu harus tepat waktu besok!"
"Siap, Pak Bos!" Alisa memberi hormat.
Bhara tak mengindahkan pujian Alisa, sementara mata Alisa terus mengawasi sampai Bhara benar-benar menghilang di balik pintu lift.
***
Di dalam mobilnya, hati Bhara tak kunjung tenang. Satu-satunya yang menggelayuti pikirannya adalah Maya dan Husen. Entah mengapa ada dorongan yang mendesak dia untuk menghubungi Maya saat ini juga.
Bhara memukul setirnya frustrasi lalu mengambil ponsel pintarnya.
"Halo? Bhara, kan?" sapa Maya dari ujung panggilan usai mengangkat panggilan.
Bhara terdiam, ragu mau menyahut.
"Halo? Ini kamu kan, Bhar? Ada apa?"
Bhara menggaruk pipinya yang tak gatal sembari berkata, "Ya. Ini aku. Aku cuma mau nanya, gimana kerja sama kamu sama Husen? Lancar?"
"Hah? Aku nggak salah dengar kan? Tumben kamu peduli soal gituan, Bhara. Aneh, kayak bukan kamu aja."
"Aku cuma mau mastiin kamu nggak bikin dia kecewa, kan aku yang ngenalin kamu sama dia. Ini menyangkut kepercayaan dia sama aku." Bhara mengarang segala alasan.
"Iya ... iya ... santai aja, dong. Kan aku bercanda doang. Ini aku lagi di rumah dia."
"Hah?!" Bhara setengah berseru.
"Kenapa kaget, Pak Direktur? Dia minta aku bawa portofolio ke rumahnya. Jadi ya, aku nunggu dia balik sekarang."
Napas Bhara seketika tak stabil. Firasatnya makin kuat dan tak bisa dia abaikan lagi. "Kamu tunggu di sana, jangan ke mana-mana!"
Bhara baru bisa menarik napas lega setelah sampai di rumah Husen dan Maya masih berada di sana, dalam keadaan baik-baik saja, justru raut wajahnya kebingungan tingkat tinggi."Bhara? Kamu beneran ke sini? Kenapa?" tanya Maya sambil bangkit berdiri.Bhara yang tadi berlari dari luar pagar mencoba menstabilkan napasnya yang masih agak goyah. "Batalkan aja kerja samanya, ayo balik." Tak ada penjelasan.Tentu tak akan semudah itu Maya menurut, impiannya sudah nyaris berada di depan hidung, mana mungkin kesempatan langka ini dia lepas begitu saja. "Kamu nggak lagi bercanda, kan? Aku susah payah bisa ketemu sama dia langsung, Bhar! Aku di sini buat nunggu dia balik. Ini portofolio aku!" Maya mengangkat sebuah dokumen di tangan."Ini nggak akan berjalan baik, Maya. Sekarang aku antar kamu pulang." Bhara mendekat untuk meraih tangan Maya."Apa alasannya?! Kenapa?!" Maya menepis tangan Bhara. Matanya mendelik nanar."Aku nggak bisa cerita sekarang, t
Dalam hatinya, Bhara sebenarnya ingin meninju mukanya sendiri. Apa yang baru saja dia katakan? Tapi terlalu gengsi untuk menarik perkataannya sekarang, maka dia tunggu respons dari Maya.Mata kucing milik Maya menerawang seakan ada jawaban di udara, mendadak pikirannya kosong, hening. Sekalipun tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa pertanyaan seperti ini akan keluar dari mulut Bhara. Bhara yang dia kenal kutu buku dan tak suka macam-macam terhadap perempuan.Bukannya mundur, Maya malah merasa ini adalah sebuah tantangan. Dengan ego setinggi awan, dia lipat kedua tangan di depan dada. "Kalau aku setuju, kamu benar-benar bakal mastiin aku bisa jadi bintang film?"Seketika tenggorokan Bhara serasa kering, tak dia sangka Maya akan setuju dengan ide gila yang tadi dia ucapkan tanpa berpikir. Namun, keduanya sama saja, ego dan gengsi sudah telanjur naik."Apa pernah aku ingkar janji? Aku ini bisa dipercaya, kamu bisa pegang kata-kata aku."Sekujur tu
"Lu bawa cewek dari mana, sih?" omel Erik sehabis kelas akting yang dia ajar berakhir.Maya masih berada di dalam ruang latihan, sedang mengobrol bersama murid yang lain. Erik keluar untuk menjumpai Bhara yang baru saja tiba untuk mengecek situasi, dialah yang membawa Maya ke sini, kebetulan Erik adalah teman masa SMA-nya."Kenapa?" Alis Bhara mengerut sampai nyaris bertemu di tengah."Payah banget, nggak ada harapan." Kepala Erik menggeleng."Separah itu?""I-ya! Yang kayak gitu mau jadi pemain utama? Siap-siap aja dia disembur ama sutradara. Mukanya sih cantik, bodinyayahut, tapi kalau aktingnya kayak nenek-nenek diperkosa sih ...""Ngomong apaan sih lu?! Kasar banget," tegur Bhara."Emang dia siapa, sih? Ehem ... pacar lu, ya? Muke gile selera lu, kayak model. Nah, mungkin kalau jadi model bisalah diusahakan, tapi kalo akting ... ampun, bos! Lu mesti liat sendiri gimana. Gue jamin lu sependapat ama gue!"Bhara
"Maaf soal yang tadi, ya." Bhara baru membuka suara sesudah mobilnya berhenti di depan rumah Alisa.Wajah Alisa masih setengah padam, dia buka sabuk pengaman tanpa berkomentar apa-apa."Lisa? Kamu nggak dengar apa yang saya bilang?" tanya Bhara lagi."Saya dengar kok, tapi saya harus komentar apa, Pak?" sahut Alisa, intonasinya tak seceria biasanya. Matanya bahkan enggan menatap lurus kepada Bhara."Ya. Bilang apa yang ada di pikiran kamu. Apa kamu marah sama saya?""Emang apa hak saya untuk marah? Sudah ya, Pak. Tugas saya udah selesai, saya mau turun." Alisa bersiap untuk meninggalkan mobil Bhara."Tunggu!" Bhara menarik tangan Alisa, akhirnya mata keduanya selurus bertemu. "Lisa, saya merasa bersalah, perbuatan saya tadi sangat kurang ajar. Saya melakukan itu bukan karena saya atasan kamu, saya nggak bermaksud semena-mena."Memang, peristiwa seperti ini bisa dibilang sangat langka. Bhara bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf
"Maya! Maya!" panggil Bhara sambil tetap mengekor.Maya bergeming, diangkatnya rok gaun malamnya tinggi-tinggi agar langkahnya lebih cepat."Maya! Kamu nggak bisa pura-pura nggak dengar aku terus, Maya! Aku lagi ngomong sama kamu! Maya!" Bhara mulai kehabisan kesabaran. "Maya, dengar aku!" Dengan agak kasar, diraihnya tangan Maya lalu dia balikkan tubuh gadis itu.Wajah Maya sudah basah dengan air mata yang mengalir sampai dagu, dia tutupi setengah muka dengan tangan kanan. "Ngapain kamu?! Kamu mau ledekin aku?! Hiks, kamu senang kan sekarang, Bhar?!" amuk Maya sambil sesenggukan hebat. "Kamu pasti senang liat aku kayak gini! Kamu pasti ketawa dalam hati kamu! O ... kamu hebat, kamu sekarang direktur! Di-rek-tur! Sedangkan aku? Ha ha!" Polah Maya mulai aneh, akal sehatnya sedikit terguncang. "Kamu liat aku! Siapa aku ini, Bhara?! Artis gagal! Aku emang nggak berbakat, aku ini tolol! Aku nggak punya talenta apa pun!! Hancur semua, hancur! Silakan, Bhara ... silak
Sejenak Maya tertegun menerima pertanyaan seperti itu dari Bhara. Namun sedetik kemudian bibirnya mengumbar senyum tipis, "Kamu mau tau jawabannya? Aku bakal kasih tau nanti, setelah janji yang kita buat selesai." Suaranya begitu rendah, halus, seperti embusan angin malam yang menerpa pipi Bhara saat ini.Sebetulnya Bhara ingin memaksa, dia ingin tahu jawabannya saat ini, tapi menyimpan sebuah rahasia untuk waktu yang belum diketahui barangkali akan menyenangkan, pikirnya. Seperti teka-teki seru yang akan ada masanya untuk dipecahkan. Butuh waktu, tapi mungkin sepadan."Oke, aku akan tunggu hari itu datang," balas Bhara bersikap setawar mungkin, menyembunyikan rasa penasaran dalam hati terdalam.***Saat pintu lift terbuka, Alisa segera berdiri untuk menyapa Bhara yang baru tiba. "Selamat pagi, Pak!" sapanya agak canggung mengingat apa yang terjadi di acara premier film tempo hari."Pagi." Bhara cuma membalas sekenanya."Pak, ada yang mau sa
Aku mau ketemu kamu ...Hanya membaca satu pesan singkat berisi empat kosa kata yang dikirim oleh Maya sudah mampu menciptakan getar hebat di dada Bhara. Dua minggu sudah berlalu, film yang dibintangi Maya sudah turun layar dengan pendapatan nyaris minus, tapi Bhara tidak menyesal sama sekali, dia kini sudah dekat dengan tujuannya. Sesi promosi dan tetek bengek lainnya selesai sudah, Maya kini kembali seperti semula, tidak banyak jadwal dan siap menjumpai Bhara untuk menuntaskan urusan mereka.Bhara menutup ponsel pintarnya, pesan itu belum dia balas. Sebentar dia teguk air mineral untuk menstabilkan degup jantung yang mendadak tidak menentu. Setelah agak tenang, barulah dia kirim pesan balik kepada Maya:Ketemu di rumah aku aja, aku kirim alamatnya ...***"Kamu mau ke mana?"Wajah Maya seketika terperangah tatkala dia buka pintu dan ternyata Dev sudah berada di depan pintunya, berniat untuk menekan bel, sebelum didahului ol
Wajah Maya langsung pucat pasi. "Itu siapa? Kamu ada janji ketemu orang lain?" tanyanya sambil celingak celinguk untuk mencari tempat persembunyian."Kenapa kamu harus panik? Kamu bisa diam aja di sini, biar aku liat siapa yang datang, aku sih nggak ada janji sama siapa-siapa selain kamu." Bhara menyahut singkat."Kalau ada orang liat aku di rumah kamu ...." Maya mendesis cemas."Jangan berlebihan, artis baru. Udah tenang aja di sini, aku keluar sebentar."Maya menurut, dia menanti dengan tenang di dalam kamar Bhara, sedang Bhara mengecek monitor untuk melihat siapa yang datang.Tak ada siapa-siapa di monitor. Bhara hendak kembali ke kamar tapi bel berbunyi lagi. "Sial! Mau main-main, ya?!" gerutunya sembari berjalan cepat ke pagar untuk melihat langsung siapa yang sedang mengerjai dirinya.Begitu pagar tinggi dia buka, sebuah pukulan telak menghantam pipi Bhara sampai dia terjungkal ke belakang. "Brengsek!" pekiknya yang bahkan belum siap s
Dengan agak kesusahan, Alisa menarik koper besarnya keluar dari kamar. Di luar rumah, taksi yang akan membawa dia ke stasiun kereta sudah siap menunggu. Tepat saat kopernya baru sampai di anak tangga pertama, Damar masuk dengan derap langkah kaki yang cepat, pintu mobil bahkan dibantingnya tadi.
"Sayang ...!!"Jantung Bhara nyaris mau copot rasanya ketika suara nyaring Maya tiba-tiba memekakkan telinga, perempuan cantik itu masuk ke dalam ruang kerja Bhara membawa serantang makanan, menggunakan gaunsummerberwarna putih bermotif bunga seroja."Ngapain kamu di sini?" tanya Bhara bingung."Kunjungan mendadak ~" jawab Maya manja seraya mendekat lalu duduk di atas pangkuan Bhara. "Aku juga buatin makan sing, loh. Kamu belum makan, kan?""May, nggak usah berlebihan, deh. Ini tuh kantor, minggir sana. Atau turun tuh, temui Tommy aja di bawah, liat kerjaannya," ujar Bhara pura-pura seb
Kedua tangan Alisa memegang hasil pemeriksaan USG kehamilan yang baru tadi siang dia lakukan. Dipegangnya perut yang mulai membesar. Genap kandungannya memasuki usia enam bulan, dan menurut tes USG, jenis kelamin janin yang dia kandung adalah laki-laki. Lantas hasil pemeriksaan USG itu dia letakkan di atas meja lampu, di samping sebuah undangan pernikahan yang juga baru saja dia baca.
Pria di hadapan Bhara masih membolak-balik foto-foto yang tadi diserahkan kepadanya. Bhara sendiri sembari menyesap kopinya pelan-pelan terus mengawasi.
"Mana Bang Bhara? Kak Maya?" tanya Tommy ketika dia temukan hanya ada Luna di rumah.Luna yang tengah asyik membaca novel di ruang tengah cuma melirik sinis sesaat lalu menjawab datar, "Di rumah sakit.""Eh? Siapa yang sakit?" tanyanya lagi.Novel di tangan ditutup Luna dengan kasar, dia mulai tak senang dengan gempuran pertanyaan dari Tommy, terlebih rasanya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi cuma untuk mendekatkan diri dengannya."Kalau mau tau, tanya aja sendiri." Luna bangkit berdiri.Sebelum gadis remaja itu menaiki anak tangga, Tommy kembali membuka mulutnya, "Heh, B
Tulilit Tulilit ...
Lebih dari dua menit sudah Alisa mondar-mandir di depan TV, jam dinding klasik sudah berdentang tanda sudah lewat tengah malam. Bukan baru kali ini saja dia menunggu kepulangan Damar dengan hati resah, malah bisa dikatakan malam-malamnya hanya diisi dengan resah dan gelisah saja sejak hari pernikahan mereka. Padahal dokter kerap kali meminta dia untuk menghindari stres, tapi bagaimana bisa dia menghindari stres jika dia dihadapkan dengan situasi seperti ini setiap hari.Tepat saat Alisa baru meletakkan pantat di atas sofa, didengarnya suara pintu gerbang terbuka. Sesegera mungkin dia berlari untuk membukakan pintu. Dan tepat seperti dugaannya, Damar baru pulang, dengan kemeja agak acakadut dan berbagai aroma yang menguar dari tubuhnya."Aku mulai capek sama tingkah kamu, Mas," kritik
Maya terbangun dari tidur singkatnya di sofa usai telinganya menangkap suara pintu terbuka. Bhara akhirnya pulang setelah jarum pendek jam menunjuk angka 2. Sudah lewat pukul dua dini hari.
Senyum tipis tersungging di wajah tampan Bhara setelah dilihatnya kehadiran Alisa kembali di belakang meja kerjanya. Gadis itu berdiri tegak lalu menyapa dengan wajah berseri-seri, "Selamat pagi, Pak! Baru balik bulan madu dari Bali, ya?!" tanyanya bermaksud berkelakar.