Pria di hadapan Bhara masih membolak-balik foto-foto yang tadi diserahkan kepadanya. Bhara sendiri sembari menyesap kopinya pelan-pelan terus mengawasi.
Kedua tangan Alisa memegang hasil pemeriksaan USG kehamilan yang baru tadi siang dia lakukan. Dipegangnya perut yang mulai membesar. Genap kandungannya memasuki usia enam bulan, dan menurut tes USG, jenis kelamin janin yang dia kandung adalah laki-laki. Lantas hasil pemeriksaan USG itu dia letakkan di atas meja lampu, di samping sebuah undangan pernikahan yang juga baru saja dia baca.
"Sayang ...!!"Jantung Bhara nyaris mau copot rasanya ketika suara nyaring Maya tiba-tiba memekakkan telinga, perempuan cantik itu masuk ke dalam ruang kerja Bhara membawa serantang makanan, menggunakan gaunsummerberwarna putih bermotif bunga seroja."Ngapain kamu di sini?" tanya Bhara bingung."Kunjungan mendadak ~" jawab Maya manja seraya mendekat lalu duduk di atas pangkuan Bhara. "Aku juga buatin makan sing, loh. Kamu belum makan, kan?""May, nggak usah berlebihan, deh. Ini tuh kantor, minggir sana. Atau turun tuh, temui Tommy aja di bawah, liat kerjaannya," ujar Bhara pura-pura seb
Dengan agak kesusahan, Alisa menarik koper besarnya keluar dari kamar. Di luar rumah, taksi yang akan membawa dia ke stasiun kereta sudah siap menunggu. Tepat saat kopernya baru sampai di anak tangga pertama, Damar masuk dengan derap langkah kaki yang cepat, pintu mobil bahkan dibantingnya tadi.
Sepasang mata almond bergerak gelisah menyisirballroomyang penuh dekorasi serba putih. Pria tinggi yang mengenakan kemeja putih gading itu mengusap bibirnya beberapa kali, ada sesuatu yang dicari oleh matanya. Tamu undangan berkerumun di tengahballroom,menari sesuai irama yang menggema, terkecuali dirinya."Bhara?!"Sampai sebuah suara menyapa membuyarkan lamunan si pemilik nama. "Hm?" Spontan dia menggumam seraya berbalik badan.Sesosok pria bertubuh subur tersenyum begitu lebar. "Bhara! Ya ampun! Gue kira lu nggak datang!"Bhara memaksakan diri untuk tersenyum walau rasanya canggung sekali. Sejak dia berdiri di tempatnya sekarang, ini pertama kali ada seseorang yang mengenali dirinya."Lu keliatan beda banget,Bro. Sampe pangling gue, sempat nggak ngenalin lu! Eh, lu sendirian?" Pria tambun itu bertanya lagi."Nunggu, sih--" Bhara tak menyelesaikan kalimatnya. Sebetulnya dia mengajak
"Sekretaris?" ulang Maya setelah lamunannya terpecah. "Emang kamu kerja di mana sekarang, Bhara?" tanyanya lagi.Senyum Bhara mengembang tipis di wajah tampannya, dia keluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini kartu nama aku."Maya menerima kartu nama itu dengan muka sedikit melongo. Matanya bulat sempurna begitu dia baca pekerjaan dan posisi Bhara. "Di ... direktur?" lirihnya, sedikit memberi kesan udik. Tapi sungguh, siapa yang akan sangka Bhara berada di posisi ini sekarang?Teman-teman kampus yang lain segera melirik, memastikan apakah benar Bhara sekarang menjabat sebagai direktur. Suara bisik-bisik mereka langsung mengisiballroomitu, bising seperti lebah bergerombol."Hah? Masa sih?""Liat, itu kan perusahaan gede.""Wah, keren ... Bhara pakai orang dalam kali ya?""Hush, jangan sembarangan lu, Bhara kan yatim.""Kali aja dia punya tante om jauh, gitu."Sebagian memuji kagum, sebagian sibuk meny
Sejauh mata memandang, yang bisa dilihat Bhara hanya puncak-puncak gedung pencakar langit yang beberapa bahkan menyentuh awan. Di antara jari telunjuk dan tengahnya terapit sebatang rokok yang masih menyala, dari mulutnya keluar asap tipis-tipis. Perkataan Maya beberapa hari lalu dia ingat kembali, dulu sewaktu kuliah dia memang tak pernah menyentuh satu batang pun rokok.Semua berubah sejak berbagai masalah dan tumpukan pekerjaan menuntutnya untuk berpikir cepat, maka hanya rokok yang mampu membantunya mencairkan kepenatan di kepala. Berada di dalam ruangan mewah di puncak gedung tinggi seperti ini pun kadang tak membuatnya merasa cukup. Seperti ada lubang di hatinya yang masih menganga, ada sesuatu yang belum dia selesaikan.Suara pintu yang terbuka menarik perhatian Bhara. Si ceroboh Alisa masuk membawa tumpukan berkas. "Pak, saya letakkan di sini, ya. Semuanya perlu Bapak tanda tangani." Berkas-berkas itu diletakkannya di atas meja kerja Bhara."Hari ini ada
Maya terbatuk sebentar, tidak dia kira Bhara akan bertanya tepat pada sasaran seperti ini, Bhara yang dulu dia kenal adalah sosok yang pendiam, tidak suka berterus-terang mengungkap apa yang ada dalam benaknya."Oya? Apa aku bersikap kayak gitu?" Maya memperbaiki posisi duduknya."Jangan bilang kamu udah lupa apa yang dulu kamu lakukan, cuma itu kurasa alasan kenapa kamu bisa sesantai ini, tanpa rasa bersalah." Bhara menahan emosinya sekuat tenaga.Samar-samar bayangan masa lalu mengusik pikirannya kembali. Tiap kali bayangan suram itu muncul, dadanya menjadi begitu sesak."Kamu tau aku memang pelupa, Bhara.""Sekalipun kamu pelupa dan ingatan manusia memang terbatas, kurasa bakal sulit juga buat melupakan kejahatan yang dulu pernah kamu lakukan." Intonasi Bhara tidak melunak sama sekali.Muka Maya memucat. Sungguh, aura Bhara begitu kuat, bisa dikatakan mengintimidasi. Dulu, laki-laki ini akan sangat mudah ditaklukkan dengan kata-kata manis
Saking fokusnya menyapukan lipstik di bibir ranumnya, Maya sampai tak sadar seseorang masuk ke dalam apartemennya. Pria berkulit sawo matang itu berdiri di ambang pintu kamar Maya, memperhatikan tunangannya yang sedang berada di depan meja kaca rias."Kenapa nggak angkat telepon aku?"Tangan kanan Maya yang kini telah berganti memegang kuasblushsejenak kehilangan keseimbangan. "Ya ampun, Dev! Kamu ngangetin aku! Aku kirain siapa, kamu kapan datang?" Maya melanjutkan kesibukannya yang sempat tertunda."Kamu belum jawab aku. Kenapa telepon aku nggak kamu angkat? Kamu mau ke mana? Ada jadwal syuting apa hari ini?" Dev mendekati meja rias."Nggak ada syuting, kok.""Terus? Mau ke mana? Ada janji ketemu teman kamu?"Maya langsung berbalik dengan muka sedikit masam. "Kenapa sih, Dev? Kamu kayak nggak senang banget kalau aku pergi dan ada kegiatan. Emang kamu mau ngapain? Kita kan nggak ada janji juga hari ini.""Karena
Dengan agak kesusahan, Alisa menarik koper besarnya keluar dari kamar. Di luar rumah, taksi yang akan membawa dia ke stasiun kereta sudah siap menunggu. Tepat saat kopernya baru sampai di anak tangga pertama, Damar masuk dengan derap langkah kaki yang cepat, pintu mobil bahkan dibantingnya tadi.
"Sayang ...!!"Jantung Bhara nyaris mau copot rasanya ketika suara nyaring Maya tiba-tiba memekakkan telinga, perempuan cantik itu masuk ke dalam ruang kerja Bhara membawa serantang makanan, menggunakan gaunsummerberwarna putih bermotif bunga seroja."Ngapain kamu di sini?" tanya Bhara bingung."Kunjungan mendadak ~" jawab Maya manja seraya mendekat lalu duduk di atas pangkuan Bhara. "Aku juga buatin makan sing, loh. Kamu belum makan, kan?""May, nggak usah berlebihan, deh. Ini tuh kantor, minggir sana. Atau turun tuh, temui Tommy aja di bawah, liat kerjaannya," ujar Bhara pura-pura seb
Kedua tangan Alisa memegang hasil pemeriksaan USG kehamilan yang baru tadi siang dia lakukan. Dipegangnya perut yang mulai membesar. Genap kandungannya memasuki usia enam bulan, dan menurut tes USG, jenis kelamin janin yang dia kandung adalah laki-laki. Lantas hasil pemeriksaan USG itu dia letakkan di atas meja lampu, di samping sebuah undangan pernikahan yang juga baru saja dia baca.
Pria di hadapan Bhara masih membolak-balik foto-foto yang tadi diserahkan kepadanya. Bhara sendiri sembari menyesap kopinya pelan-pelan terus mengawasi.
"Mana Bang Bhara? Kak Maya?" tanya Tommy ketika dia temukan hanya ada Luna di rumah.Luna yang tengah asyik membaca novel di ruang tengah cuma melirik sinis sesaat lalu menjawab datar, "Di rumah sakit.""Eh? Siapa yang sakit?" tanyanya lagi.Novel di tangan ditutup Luna dengan kasar, dia mulai tak senang dengan gempuran pertanyaan dari Tommy, terlebih rasanya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi cuma untuk mendekatkan diri dengannya."Kalau mau tau, tanya aja sendiri." Luna bangkit berdiri.Sebelum gadis remaja itu menaiki anak tangga, Tommy kembali membuka mulutnya, "Heh, B
Tulilit Tulilit ...
Lebih dari dua menit sudah Alisa mondar-mandir di depan TV, jam dinding klasik sudah berdentang tanda sudah lewat tengah malam. Bukan baru kali ini saja dia menunggu kepulangan Damar dengan hati resah, malah bisa dikatakan malam-malamnya hanya diisi dengan resah dan gelisah saja sejak hari pernikahan mereka. Padahal dokter kerap kali meminta dia untuk menghindari stres, tapi bagaimana bisa dia menghindari stres jika dia dihadapkan dengan situasi seperti ini setiap hari.Tepat saat Alisa baru meletakkan pantat di atas sofa, didengarnya suara pintu gerbang terbuka. Sesegera mungkin dia berlari untuk membukakan pintu. Dan tepat seperti dugaannya, Damar baru pulang, dengan kemeja agak acakadut dan berbagai aroma yang menguar dari tubuhnya."Aku mulai capek sama tingkah kamu, Mas," kritik
Maya terbangun dari tidur singkatnya di sofa usai telinganya menangkap suara pintu terbuka. Bhara akhirnya pulang setelah jarum pendek jam menunjuk angka 2. Sudah lewat pukul dua dini hari.
Senyum tipis tersungging di wajah tampan Bhara setelah dilihatnya kehadiran Alisa kembali di belakang meja kerjanya. Gadis itu berdiri tegak lalu menyapa dengan wajah berseri-seri, "Selamat pagi, Pak! Baru balik bulan madu dari Bali, ya?!" tanyanya bermaksud berkelakar.