Maya terbatuk sebentar, tidak dia kira Bhara akan bertanya tepat pada sasaran seperti ini, Bhara yang dulu dia kenal adalah sosok yang pendiam, tidak suka berterus-terang mengungkap apa yang ada dalam benaknya.
"Oya? Apa aku bersikap kayak gitu?" Maya memperbaiki posisi duduknya.
"Jangan bilang kamu udah lupa apa yang dulu kamu lakukan, cuma itu kurasa alasan kenapa kamu bisa sesantai ini, tanpa rasa bersalah." Bhara menahan emosinya sekuat tenaga.
Samar-samar bayangan masa lalu mengusik pikirannya kembali. Tiap kali bayangan suram itu muncul, dadanya menjadi begitu sesak.
"Kamu tau aku memang pelupa, Bhara."
"Sekalipun kamu pelupa dan ingatan manusia memang terbatas, kurasa bakal sulit juga buat melupakan kejahatan yang dulu pernah kamu lakukan." Intonasi Bhara tidak melunak sama sekali.
Muka Maya memucat. Sungguh, aura Bhara begitu kuat, bisa dikatakan mengintimidasi. Dulu, laki-laki ini akan sangat mudah ditaklukkan dengan kata-kata manis, tapi sekarang sepertinya mulut semanis madu pun tak akan mempan baginya.
"Bhara ... aku rasa kamu salah paham--"
"Salah paham? Maksud kamu?" sela Bhara. "Kamu merasa waktu itu, kamu nggak mutusin aku gitu aja? Setelah kamu memanfaatkan aku mengerjakan skripsi kamu? Gitu?"
Maya menarik napas panjang, perasaannya mulai tak tenang. Bukan konfrontasi seperti ini yang dia harapkan. "Bhara, kamu tau ... waktu itu aku harus kuliah ke Australi. Kita nggak mungkin berhubungan jarak jauh--"
"Kenapa nggak mungkin?" Bhara memotong lagi. "O, tolong jangan salah kaprah. Aku tanya bukan karena aku masih punya perasaan atau harapan sama kamu. Bukan. Sama sekali bukan. Aku nggak pernah juga menyesali kita udah putus," ralatnya.
"Terus kenapa kamu masih mengungkit soal itu, Bhara?"
"Karena seenggaknya, kalau kamu masih manusia normal, seharunya kamu nggak segampang ini aja datang ke kantor aku, dan bersikap pura-pura nggak pernah terjadi apa-apa di antara kita." Alis Bhara mengerut.
Maya terlihat tersudut, dia gigit bibir bawahnya dengan gelisah. Namun, tiba-tiba Bhara tertawa, gelak tawanya membesar sampai membuat Maya menatapnya cengo. Seperti tidak waras, Bhara tertawa lebar.
"Maaf ... maaf, Maya. Aku cuma bercanda. Aku cuma kangen liat muka kamu panik," katanya setelah tawanya mereda. Lagi-lagi akting yang luar biasa, padahal setengah mati dia menahan gejolak amarah yang tadi sempat membakar hatinya. Maya otomatis ikut memaksakan diri untuk tersenyum maklum meski dia sendiri kebingungan menghadapi polah aneh Bhara. "Muka kamu lucu kalau panik gitu." Bhara menunjuk wajah Maya yang masih setengah melongo.
"Aku sempat kaget tadi, aku sempat takut. Jangan kayak gitu lagi, ah. Nggak lucu."
"Maaf, ya. Cuma mau ngerjain kamu doang. Kamu kan tau aku orangnya nggak pendendam, semua itu cuma masa lalu. Waktu kita masih belum dewasa, ya kan? Lagian, kamu sekarang punya Dev, aku juga punya Lisa. Kita harus sama-sama move on, melihat ke depan. Ya kan?" Bhara menekankan kalimatnya.
"Kamu betul. Kita harus sama-sama bergerak maju, jangan lagi kita ingat masa lalu. Sama-sama membuka lembaran baru," timpal Maya.
Gampang banget bilang gitu, sahut Bhara dalam hati. Rahangnya diam-diam menggeretak, matanya berkilat-kilat kembali mengingat masa pahit beberapa tahun silam. Harapannya untuk menikahi Maya, angan-angan tentang cinta selamanya, semua itu kandas, yang tersisa hanya kepahitan dan benci.
Jika saja memang Bhara sudah berhasil move on, sudah sejak lama dia telah menjalin kisah asmara baru. O bukan, bukan cinta Maya yang membuatnya tak bisa bergerak maju dan melupakan semuanya, melainkan rasa sakit yang ditinggalkan Maya. Rasa sakit itu yang tak bisa dia lupakan dan tinggalkan begitu saja. Mungkin untuk selamanya.
***
"Jadi kamu kerja di mana sekarang?"
Bhara bertanya sambil mengunyah nasi di mulut. Saat ini dia tengah bersantap siang bersama Maya di restoran paling dekat dengan kantor. Alisa tidak ikut, alasannya ingin makan di kantor, padahal sebetulnya memang Bhara yang melarang dia ikut agar bisa leluasa bercakap-cakap dengan Maya. Berdua.
"Aku lagi nggak kerja."
Kunyahan Bhara sedetik berhenti. "Kenapa?"
"Situasinya sulit. Aku malu mau cerita sebenarnya."
"Kenapa?"
"Usaha Mama aku bangkrut."
Jadi gosip itu betul? batin Bhara agak terkejut. "Terus? Karena bangkrut?" selidiknya lagi.
"Kamu tau, Bhara ... dari dulu dunia aku itu dunia hiburan, entertainment! Itu passion aku, aku selalu pingin jadi model, jadi artis."
"Hm ... aku tau," sahut Bhara agak cuek. "Jadi?"
"Tapi ternyata sampe sekarang pun, aku cuma dapat peran kecil. Cuma jadi figuran, jadi kameo. Aku berniat untuk berhenti, tapi kalau aku berhenti, aku harus gimana? Aku jadi apa?" keluhnya.
"Kamu bisa jadi Nyonya Dev. Kamu bisa santai di rumah, nggak perlu repot-repot kerja. Hm?" Bhara tersenyum menyindir.
"Nggak semudah itu. Sebetulnya orang tua dia pun belum merestui kami."
Menarik, batin Bhara lagi. Siapa sangka dibalik figur mereka yang bak romeo juliet tersembunyi drama yang sepertinya menarik? "Kenapa?" tanya Bhara lagi.
"Ya karena latar belakang aku. Keluarganya kan terpandang, ibunya pejabat, ayahnya juga pengusaha ternama. Cuma soal itu sih bisa diatur nanti. Dev juga udah bulat pingin menikahi aku."
"Jadi apa yang bikin kamu cemas kalau gitu? Hidup kamu akan terjamin, kamu nggak akan menikahi cowok miskin kayak yang dulu kamu takutkan." Bhara menyindir lagi.
"Ya aku sih pinginnya ngejar karier aku, hari gini malu dong cewek diam aja di rumah, apalagi cewek kayak aku. Sayang kalau semua aset yang ada di diri aku nggak berguna. Kalau aku bisa dapat proyek bagus, mungkin aku bisa lebih mandiri ketimbang sekarang," ucap Maya bertingkah manja.
Bhara tidak sepenuhnya yakin, tapi entah mengapa, hati kecilnya menduga, Maya sengaja berkata seperti ini kepadanya dengan niat ditawari bantuan. "Kamu emang butuh apa?" Bhara mengikuti arus permainan yang diciptakan Maya.
Sorot mata Maya berubah berbinar. "Nggak ada, kok. Aku bukannya butuh apa-apa, tapi aku dengar kamu bersahabat sama Husen."
Kunyahan di mulut Bhara melambat. Rupanya Maya telah melakukan pencarian tentang Bhara. Memang benar, Bhara pernah memiliki kerja sama dengan salah satu sutradara ternama, Husen. Husen yang membuat iklan properti untuk perusahaan Bhara.
"Kamu tau dari mana? Aku memang kenal sama dia." Bhara bertanya balik.
"Aku liat di sosial media kamu."
Bhara tertegun, bahkan diam-diam Maya telah mengorek sosial media miliknya, entah apa yang dia cari.
"Kami cuma teman bisnis." Bhara menenggak minuman dinginnya.
Bibir Maya yang padat mengerucut manja. "Masa, sih? Jadi kamu nggak bisa ketemu dan minta tolong sama dia? Atau ngenalin dia sama aku?"
Bhara membeku, matanya menelusup ke dalam mata gelap punya Maya. Siapa kamu ini, Maya? Perempuan luar biasa, baru ketemu lagi sekian lama, kamu kembali cuma untuk memanfaatkan aku lagi? batin Bhara antara kagum sekaligus jijik melihat Maya. "Kamu mau ketemu?" Tapi, sebenci apapun, Bhara masih mengikuti arus yang dibuat Maya.
Saking fokusnya menyapukan lipstik di bibir ranumnya, Maya sampai tak sadar seseorang masuk ke dalam apartemennya. Pria berkulit sawo matang itu berdiri di ambang pintu kamar Maya, memperhatikan tunangannya yang sedang berada di depan meja kaca rias."Kenapa nggak angkat telepon aku?"Tangan kanan Maya yang kini telah berganti memegang kuasblushsejenak kehilangan keseimbangan. "Ya ampun, Dev! Kamu ngangetin aku! Aku kirain siapa, kamu kapan datang?" Maya melanjutkan kesibukannya yang sempat tertunda."Kamu belum jawab aku. Kenapa telepon aku nggak kamu angkat? Kamu mau ke mana? Ada jadwal syuting apa hari ini?" Dev mendekati meja rias."Nggak ada syuting, kok.""Terus? Mau ke mana? Ada janji ketemu teman kamu?"Maya langsung berbalik dengan muka sedikit masam. "Kenapa sih, Dev? Kamu kayak nggak senang banget kalau aku pergi dan ada kegiatan. Emang kamu mau ngapain? Kita kan nggak ada janji juga hari ini.""Karena
"Kejutan ...!"Maya spontan mundur tiga kalah setelah terperanjat dengan seruan Dev. Alisnya meninggi sedetik, tapi raut wajahnya perlahan berubah semringah.Apartemen yang tadi dia tinggal dalam keadaan kurang rapi kini terlihat begitu indah dengan lilin-lilin yang menyala dan ditata sedemikian rupa di atas lantai, lampu tentu dipadamkan untuk membuat suasana menjadi kian romantis. Dan di atas meja makan sudah tersedia makanan lengkap bunga mawar merah dalam vas kaca."Apa ini, Dev?" tanya Maya masih takjub."Sebagai wujud permintaan maaf aku atas sikap aku tadi. Aku siapkancandle light dineruntuk kita berdua." Dev meminta tangan Maya.Maya menggeleng sesaat tapi lekas menyambut uluran tangan Dev. "Tapi nggak perlu segininya juga kali," katanya pura-pura tak terkesan.Dev menuntun Maya dan mempersilakan tunangannya itu duduk. "Aku akui, tadi aku salah banget, Sayang. Harusnya aku ikut senang sama kemajuan kamu." Dev iku
Bhara baru bisa menarik napas lega setelah sampai di rumah Husen dan Maya masih berada di sana, dalam keadaan baik-baik saja, justru raut wajahnya kebingungan tingkat tinggi."Bhara? Kamu beneran ke sini? Kenapa?" tanya Maya sambil bangkit berdiri.Bhara yang tadi berlari dari luar pagar mencoba menstabilkan napasnya yang masih agak goyah. "Batalkan aja kerja samanya, ayo balik." Tak ada penjelasan.Tentu tak akan semudah itu Maya menurut, impiannya sudah nyaris berada di depan hidung, mana mungkin kesempatan langka ini dia lepas begitu saja. "Kamu nggak lagi bercanda, kan? Aku susah payah bisa ketemu sama dia langsung, Bhar! Aku di sini buat nunggu dia balik. Ini portofolio aku!" Maya mengangkat sebuah dokumen di tangan."Ini nggak akan berjalan baik, Maya. Sekarang aku antar kamu pulang." Bhara mendekat untuk meraih tangan Maya."Apa alasannya?! Kenapa?!" Maya menepis tangan Bhara. Matanya mendelik nanar."Aku nggak bisa cerita sekarang, t
Dalam hatinya, Bhara sebenarnya ingin meninju mukanya sendiri. Apa yang baru saja dia katakan? Tapi terlalu gengsi untuk menarik perkataannya sekarang, maka dia tunggu respons dari Maya.Mata kucing milik Maya menerawang seakan ada jawaban di udara, mendadak pikirannya kosong, hening. Sekalipun tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa pertanyaan seperti ini akan keluar dari mulut Bhara. Bhara yang dia kenal kutu buku dan tak suka macam-macam terhadap perempuan.Bukannya mundur, Maya malah merasa ini adalah sebuah tantangan. Dengan ego setinggi awan, dia lipat kedua tangan di depan dada. "Kalau aku setuju, kamu benar-benar bakal mastiin aku bisa jadi bintang film?"Seketika tenggorokan Bhara serasa kering, tak dia sangka Maya akan setuju dengan ide gila yang tadi dia ucapkan tanpa berpikir. Namun, keduanya sama saja, ego dan gengsi sudah telanjur naik."Apa pernah aku ingkar janji? Aku ini bisa dipercaya, kamu bisa pegang kata-kata aku."Sekujur tu
"Lu bawa cewek dari mana, sih?" omel Erik sehabis kelas akting yang dia ajar berakhir.Maya masih berada di dalam ruang latihan, sedang mengobrol bersama murid yang lain. Erik keluar untuk menjumpai Bhara yang baru saja tiba untuk mengecek situasi, dialah yang membawa Maya ke sini, kebetulan Erik adalah teman masa SMA-nya."Kenapa?" Alis Bhara mengerut sampai nyaris bertemu di tengah."Payah banget, nggak ada harapan." Kepala Erik menggeleng."Separah itu?""I-ya! Yang kayak gitu mau jadi pemain utama? Siap-siap aja dia disembur ama sutradara. Mukanya sih cantik, bodinyayahut, tapi kalau aktingnya kayak nenek-nenek diperkosa sih ...""Ngomong apaan sih lu?! Kasar banget," tegur Bhara."Emang dia siapa, sih? Ehem ... pacar lu, ya? Muke gile selera lu, kayak model. Nah, mungkin kalau jadi model bisalah diusahakan, tapi kalo akting ... ampun, bos! Lu mesti liat sendiri gimana. Gue jamin lu sependapat ama gue!"Bhara
"Maaf soal yang tadi, ya." Bhara baru membuka suara sesudah mobilnya berhenti di depan rumah Alisa.Wajah Alisa masih setengah padam, dia buka sabuk pengaman tanpa berkomentar apa-apa."Lisa? Kamu nggak dengar apa yang saya bilang?" tanya Bhara lagi."Saya dengar kok, tapi saya harus komentar apa, Pak?" sahut Alisa, intonasinya tak seceria biasanya. Matanya bahkan enggan menatap lurus kepada Bhara."Ya. Bilang apa yang ada di pikiran kamu. Apa kamu marah sama saya?""Emang apa hak saya untuk marah? Sudah ya, Pak. Tugas saya udah selesai, saya mau turun." Alisa bersiap untuk meninggalkan mobil Bhara."Tunggu!" Bhara menarik tangan Alisa, akhirnya mata keduanya selurus bertemu. "Lisa, saya merasa bersalah, perbuatan saya tadi sangat kurang ajar. Saya melakukan itu bukan karena saya atasan kamu, saya nggak bermaksud semena-mena."Memang, peristiwa seperti ini bisa dibilang sangat langka. Bhara bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf
"Maya! Maya!" panggil Bhara sambil tetap mengekor.Maya bergeming, diangkatnya rok gaun malamnya tinggi-tinggi agar langkahnya lebih cepat."Maya! Kamu nggak bisa pura-pura nggak dengar aku terus, Maya! Aku lagi ngomong sama kamu! Maya!" Bhara mulai kehabisan kesabaran. "Maya, dengar aku!" Dengan agak kasar, diraihnya tangan Maya lalu dia balikkan tubuh gadis itu.Wajah Maya sudah basah dengan air mata yang mengalir sampai dagu, dia tutupi setengah muka dengan tangan kanan. "Ngapain kamu?! Kamu mau ledekin aku?! Hiks, kamu senang kan sekarang, Bhar?!" amuk Maya sambil sesenggukan hebat. "Kamu pasti senang liat aku kayak gini! Kamu pasti ketawa dalam hati kamu! O ... kamu hebat, kamu sekarang direktur! Di-rek-tur! Sedangkan aku? Ha ha!" Polah Maya mulai aneh, akal sehatnya sedikit terguncang. "Kamu liat aku! Siapa aku ini, Bhara?! Artis gagal! Aku emang nggak berbakat, aku ini tolol! Aku nggak punya talenta apa pun!! Hancur semua, hancur! Silakan, Bhara ... silak
Sejenak Maya tertegun menerima pertanyaan seperti itu dari Bhara. Namun sedetik kemudian bibirnya mengumbar senyum tipis, "Kamu mau tau jawabannya? Aku bakal kasih tau nanti, setelah janji yang kita buat selesai." Suaranya begitu rendah, halus, seperti embusan angin malam yang menerpa pipi Bhara saat ini.Sebetulnya Bhara ingin memaksa, dia ingin tahu jawabannya saat ini, tapi menyimpan sebuah rahasia untuk waktu yang belum diketahui barangkali akan menyenangkan, pikirnya. Seperti teka-teki seru yang akan ada masanya untuk dipecahkan. Butuh waktu, tapi mungkin sepadan."Oke, aku akan tunggu hari itu datang," balas Bhara bersikap setawar mungkin, menyembunyikan rasa penasaran dalam hati terdalam.***Saat pintu lift terbuka, Alisa segera berdiri untuk menyapa Bhara yang baru tiba. "Selamat pagi, Pak!" sapanya agak canggung mengingat apa yang terjadi di acara premier film tempo hari."Pagi." Bhara cuma membalas sekenanya."Pak, ada yang mau sa
Dengan agak kesusahan, Alisa menarik koper besarnya keluar dari kamar. Di luar rumah, taksi yang akan membawa dia ke stasiun kereta sudah siap menunggu. Tepat saat kopernya baru sampai di anak tangga pertama, Damar masuk dengan derap langkah kaki yang cepat, pintu mobil bahkan dibantingnya tadi.
"Sayang ...!!"Jantung Bhara nyaris mau copot rasanya ketika suara nyaring Maya tiba-tiba memekakkan telinga, perempuan cantik itu masuk ke dalam ruang kerja Bhara membawa serantang makanan, menggunakan gaunsummerberwarna putih bermotif bunga seroja."Ngapain kamu di sini?" tanya Bhara bingung."Kunjungan mendadak ~" jawab Maya manja seraya mendekat lalu duduk di atas pangkuan Bhara. "Aku juga buatin makan sing, loh. Kamu belum makan, kan?""May, nggak usah berlebihan, deh. Ini tuh kantor, minggir sana. Atau turun tuh, temui Tommy aja di bawah, liat kerjaannya," ujar Bhara pura-pura seb
Kedua tangan Alisa memegang hasil pemeriksaan USG kehamilan yang baru tadi siang dia lakukan. Dipegangnya perut yang mulai membesar. Genap kandungannya memasuki usia enam bulan, dan menurut tes USG, jenis kelamin janin yang dia kandung adalah laki-laki. Lantas hasil pemeriksaan USG itu dia letakkan di atas meja lampu, di samping sebuah undangan pernikahan yang juga baru saja dia baca.
Pria di hadapan Bhara masih membolak-balik foto-foto yang tadi diserahkan kepadanya. Bhara sendiri sembari menyesap kopinya pelan-pelan terus mengawasi.
"Mana Bang Bhara? Kak Maya?" tanya Tommy ketika dia temukan hanya ada Luna di rumah.Luna yang tengah asyik membaca novel di ruang tengah cuma melirik sinis sesaat lalu menjawab datar, "Di rumah sakit.""Eh? Siapa yang sakit?" tanyanya lagi.Novel di tangan ditutup Luna dengan kasar, dia mulai tak senang dengan gempuran pertanyaan dari Tommy, terlebih rasanya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi cuma untuk mendekatkan diri dengannya."Kalau mau tau, tanya aja sendiri." Luna bangkit berdiri.Sebelum gadis remaja itu menaiki anak tangga, Tommy kembali membuka mulutnya, "Heh, B
Tulilit Tulilit ...
Lebih dari dua menit sudah Alisa mondar-mandir di depan TV, jam dinding klasik sudah berdentang tanda sudah lewat tengah malam. Bukan baru kali ini saja dia menunggu kepulangan Damar dengan hati resah, malah bisa dikatakan malam-malamnya hanya diisi dengan resah dan gelisah saja sejak hari pernikahan mereka. Padahal dokter kerap kali meminta dia untuk menghindari stres, tapi bagaimana bisa dia menghindari stres jika dia dihadapkan dengan situasi seperti ini setiap hari.Tepat saat Alisa baru meletakkan pantat di atas sofa, didengarnya suara pintu gerbang terbuka. Sesegera mungkin dia berlari untuk membukakan pintu. Dan tepat seperti dugaannya, Damar baru pulang, dengan kemeja agak acakadut dan berbagai aroma yang menguar dari tubuhnya."Aku mulai capek sama tingkah kamu, Mas," kritik
Maya terbangun dari tidur singkatnya di sofa usai telinganya menangkap suara pintu terbuka. Bhara akhirnya pulang setelah jarum pendek jam menunjuk angka 2. Sudah lewat pukul dua dini hari.
Senyum tipis tersungging di wajah tampan Bhara setelah dilihatnya kehadiran Alisa kembali di belakang meja kerjanya. Gadis itu berdiri tegak lalu menyapa dengan wajah berseri-seri, "Selamat pagi, Pak! Baru balik bulan madu dari Bali, ya?!" tanyanya bermaksud berkelakar.